Sebuah mobil sedan melaju di jalanan yang sepi. Dua pasang pemuda berada di dalamnya. Mereka tengah dalam perjalanan pulang setelah liburan bersama. Bagas berada di belakang kemudi, sedang Echi, sang pacar duduk di kursi samping. Di bagian belakang, duduk dua sahabatnya, Rara dan Wandi.
Sebelumnya Rara sudah mengingatkan untuk pulang lebih awal agar tidak kemalaman di jalan. Namun Echi yang senang sekali selfie, tidak tahan untuk tidak berhenti di jalan setiap melihat spot unik di matanya. Begitu melihat tempat bagus, tangannya gatal untuk mengambil gambar diri dengan latar belakang tempat tersebut lalu mengunggahnya ke laman IG. Dia memang seorang selebgram, jumlah followernya bukan kaleng-kaleng, hampir setara artis ternama.
Alhasil kini saat malam mulai merayap naik, mereka masih berada di atas kendaraan roda empat tersebut. Rara yang memang memiliki kepekaan lebih mulai merasa tak enak saat melewati jalanan sepi yang jauh dari jalan raya. Menurut Bagas, ini adalah jalan pintas agar lebih cepat sampai ke tujuan.
Rara memang tidak bisa melihat secara langsung, tapi dia bisa merasakan jika ada hal ganjil di sekitarnya. Seperti yang dirasakannya saat ini ketika mobil yang ditumpanginya melintasi deretan pohon besar tanpa penerangan. Hanya kegelapan yang nampak dari kaca jendela mobil dan itu benar-benar membuatnya tak tenang.
“Eh, lo pernah denger cerita soal The Mansion ngga?” celetuk Wandi memecah kesunyian di antara mereka.
“Gue pernah denger. Katanya The Mansion itu sebuah rumah besar yang bisa muncul di mana aja dan kapan aja. Mereka menarik orang yang melintas di jalan untuk mampir. Setiap yang masuk, ngga bisa keluar lagi,” jelas Echi.
“Serius?” Bagas mengalihkan pandangan dari jalan di depannya ke arah sang pacar.
“Katanya sih. Namanya juga rumor bin mitos, jadi belum bisa dipastikan kebenarannya juga sih.”
“Ck.. kayanya mitos itu. Bukannya ada filmnya ya. Gue rasa sih, produser atau tim promo sengaja keluarin cerita itu buat narik popularitas aja, biar filmnya booming,” jelas Bagas.
“Bisa jadi.”
Perjalanan terus berlanjut, ada satu dua mobil yang melewati mereka, namun semakin malam, kondisi jalanan semakin sepi. Mereka seperti tengah melintasi jalan tak berujung. Rara semakin tak enak hati, dia berusaha memejamkan matanya namun sulit.
“Perasaan dari tadi ngga nyampe-nyampe,” celetuk Wandi.
“Iya beb. Lo ngga nyasar kan?”
“Ngga, bener kok.”
Mobil yang dikendarai Bagas terus melaju melewati deretan pohon yang semakin lebat. Malam semakin larut, kegelapan kian menyelimuti jalanan yang mereka lalui apalagi tidak ada penerangan di kanan kiri jalan. Praktis mereka hanya mengandalkan cahaya dari lampu mobil saja.
“Sh*t!!” terdengar teriakan Bagas.
“Kenapa Gas?” tanya Wandi.
“Bensin mau abis.”
“Apa??!!” teriak Wandi dan Echi bersamaan, membuat Rara yang baru akan terlelap kembali terjaga.
“Terus gimana? Masa iya kita harus nginep di jalan. Mana gelap banget lagi,” Echi memandangi sekeliling lewat kaca jendela dengan bergidik.
“Coba searching, pom bensin terdekat di mana?”
“Kaga ada sinyal. Lo yakin nih kita ngga nyasar?” Wandi kembali mencoba meyakinkan.
“Ngga lah. Gue lewat jalan ini bukan sekali dua kali. Tapi emang seringnya siang, kalau malem baru kali ini.”
“Salah belok kali tadi.”
“Ngga lah. Mana ada belokan, jalan yang kita lewatin tuh lurus terus.”
Semuanya terdiam, kecemasan mulai menyergap mereka. Ketakutan Rara semakin menjadi. Aura mencekam semakin kental dirasakannya. Bagas terus melirik ke arah penunjuk bahan bakar mobilnya. Kira-kira mereka akan bertahan sekitar dua atau tiga kilometer lagi sebelum mobil mogok kehabisan bensin.
Kemudian sudut matanya melihat kelip lampu sekitar tiga ratus meter di depan mereka. Bagas berharap itu adalah pom bensin atau rumah penduduk yang bisa dimintai pertolongan. Bagas memperlambat laju kendaraannya ketika semakin mendekati cahaya.
“Eh bro.. ada rumah tuh,” seru Wandi yang juga melihat cahaya tersebut.
“Iya.. kita ke sana aja.”
“Eh tunggu.. kok bisa ada rumah di jalanan sepi kaya gini?” Rara berusaha mencegah.
“Iya juga sih. Beb.. jangan berhenti dulu.”
Bagas semakin memperlambat laju mobilnya, matanya memperhatikan sebuah rumah besar dan mewah yang terang karena sekeliling rumah dipenuhi pendar cahaya. Awalnya dia sedikit ragu untuk berhenti, tapi ketika melihat dua buah mobil yang tadi menyalipnya juga berada di sana, Bagas langsung membelokkan kendaraannya mendekati rumah tersebut yang memang tidak berpagar.
“Eh serius lo mau mampir?” tanya Wandi.
“Iya.. tuh ada mobil lain. Itu mobil yang nyalip mobil kita tadi.”
Bagas menghentikan kendaraannya di belakang sebuah mobil berjenis SUV. Dia memang mengenali mobil tersebut, karena jalan ini jarang dilalui mobil, jadi pemuda itu hafal dua mobil yang tadi hampir beriringan dengannya.
“Ayo turun,” ajak Bagas seraya membuka pintu.
Ragu-ragu ketiga temannya menyusul turun. Rara memperhatikan bangunan megah di depannya. Entah mengapa bulu kuduknya langsung berdiri melihat bangunan tersebut. Walau rumah tersebut nampak bersih dan indah, namun seperti ada aura kegelapan memancar dari dalamnya.
“Gaaeess.. mending pergi aja yuk. Perasaan gue ngga enak ini,” seru Rara.
“Mau pergi gimana Ra? Bensin aja udah mau abis. Mending nunggu sampe pagi di sini dari pada mogok di tengah jalan,” jawab Bagas.
“Kita jalan aja.”
“Gila lo. Kalau tiba-tiba ada binatang buas gimana? Udah ayo masuk,” ajak Bagas.
Saat mereka masih berdebat, tiba-tiba pintu terbuka. Dari dalamnya muncul seorang pria bertubuh jangkung dan berperawakan kurus berdiri di tengah-tengah pintu. Matanya menatap tajam ke arah empat orang yang tengah berembuk.
“Maaf pak, mau tanya kalau pom bensin terdekat di mana ya?” tanya Bagas.
“Jauh.. mungkin sekitar lima kilometer dari sini.”
Bagas menolehkan kepala pada ketiga temannya. Mobilnya mungkin hanya bisa jalan sampai dua kilometer ke depan, tidak mungkin sisanya mereka harus mendorong sampai ke pom bensin.
“Kalau kalian mau menunggu sampai fajar, silahkan masuk tapi kalau tidak mau tak apa.”
Pria jangkung itu hendak masuk kembali, namun Bagas segera menyusul langkahnya diikuti oleh yang lain. Rara terpaku di depan pintu, gadis itu masih ragu untuk melangkah. Namun akhirnya dia menyeret kakinya yang terasa berat memasuki rumah megah tersebut.
Perasaan Rara sedikit lega melihat ada empat orang lagi di sana. Sepasang suami istri dan dua orang pemuda yang usianya tak jauh berbeda darinya. Keempatnya langsung menyambut kedatangan Bagas dan yang lainnya.
“Apa kalian juga kehabisan bensin?” tanya pemuda yang berambut cepak.
“Iya,” jawab Bagas.
“Sama berarti. Untuk pak Bowo mengijinkan kami untuk rehat di sini. Kenalin, nama gue Deni. Ini temen gue, Yoyo.”
Bagas bersalaman dengan Deni dan Yoyo, disusul ketiga lainnya. Pria bertubuh jangkung yang bernama Bowo, menginterupsi acara perkenalan mereka dan mempersilahkan semua untuk ke meja makan. Perut Wandi langsung berbunyi saat melihat aneka hidangan yang tersedia. Di sana berdiri dua orang pelayan perempuan dan seorang pelayan laki-laki.
“Wah.. ada acara apa pak?” tanya Wandi sambil memegangi perutnya yang terus bernyanyi.
“Kebetulan hari ini nyonya berulang tahun. Kami memasak banyak hari ini. Maaf hanya tinggal ini yang tersisa.”
“Ini sih bukan sisa, pak. Banyak begini,” mata Wandi terus memandangi aneka hidangan di atas meja.
“Kalau nyonya rumahnya mana pak?” tanya Bagas.
“Nyonya sudah beristirahat. Nyonya selalu masuk kamar setelah jam delapan malam.”
Bagas melihat jam di pergelangan tangannya. Dia terkejut karena jarum jam pendek menunjuk ke angka sebelas. Berarti hampir lima jam dia melewati jalan tadi dan belum menemukan ujungnya.
“Silahkan dinikmati dulu hidangannya. Kalau sudah, biar nanti Tika, Tiwi dan Tono yang menunjukkan kamar kalian untuk beristirahat. Saya permisi dulu.”
Tanpa menunggu disuruh untuk yang kedua kali, semua tamu dadakan di rumah tersebut langsung menarik kursi di meja makan panjang tersebut. Wandi yang memang sudah lapar berat langsung menyendokkan nasi berikut lauknya ke dalam piring baru kemudian disusul yang lain.
Setengah jam berlalu, kedelapan orang itu sudah menyelesaikan makan malamnya. Sesuai instruksi Bowo, ketiga pelayan yang sedari tadi menunggui para tamu menikmati hidangan, mempersilahkan para tamu untuk ikut dengannya.
Tika membawa pasangan suami istri, Echi dan Rara naik ke lantai dua. Tika membukakan pintu kamar di sebelah kanan dan mempersilahkan pasangan suami istri tersebut untuk masuk. Kemudian dia membuka pintu kamar di depannya, lalu mempersilahkan Echi dan Rara untuk masuk. Di lantai bawah, Tiwi membawa Bagas dan Wandi masuk ke kamar yang berada di ujung. Sedang Tono membawa Yoyo dan Deni ke kamar yang ada di dekat ruang tengah.
Rara memandangi seisi kamar yang dimasukinya. Sebuah ranjang dengan ukiran indah di sisinya, lemari besar yang terbuat dari kayu jati dan sebuah meja rias terdapat di sana. Yang menarik perhatiannya adalah sebuah cermin besar yang diletakkan di sudut kamar. Sisi kaca juga di penuhi dengan ukiran. Memandang kaca tersebut membuat perasaan Rara semakin tak menentu.
Echi merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk itu. Dia menepuk ruang kosong di sebelahnya, meminta Rara juga ikut berbaring. Walau enggan, Rara akhirnya mendekati Echi dan ikut merebahkan diri. Tak dapat dipungkiri tubuhnya terasa lelah. Matanya langsung memberat saat punggungnya menyentuh kasur.
Sementara itu, di kamar depannya, pasangan suami istri juga tengah beristirahat di kasur empuk berukuran king size. Dito, sang suami mengubah posisi tidurnya menjadi menyamping dengan tangan sebagai penyangga kepalanya.
“Perasaanku ngga enak, Ri. Gimana kalau kita pergi aja sekarang,” ujar Dito pada Tari, istrinya.
“Apaan sih mas, bikin parno aja.”
“Coba kamu pikir deh, kenapa cuma ada satu rumah di sini? Sepanjang jalan yang kita lewatin tadi, cuma pohon aja kan. Rumah ini kaya muncul tiba-tiba. Aku curiga ini tuh rumah yang lagi santer dibicarain.”
“The Mansion maksud mas?”
“Iya. Yang lebih anehnya, semua yang dateng ke sini semuanya kehabisan bensin. Aku jadi mikir gimana kalau sebenernya kita cuma muter-muter aja di sekitar sini.”
Tari terdiam memikirkan ucapan suaminya. Memang masuk akal pertanyaannya tadi. Mendadak wanita itu merinding juga, saat membayangkan rumah yang mereka masuki adalah The Mansion. Konon orang yang masuk ke dalam rumah, tidak akan bisa keluar lagi.
“Ya udah mas, kita pergi aja. Kok aku jadi kepikiran.”
Tari bangun dari tidurnya disusul oleh Dito. Pelan-pelan Dito membuka pintu kamar, kepalanya menoleh ke kanan dan kiri. Koridor di lantai dua ini nampak lengang. Sambil menggandeng tangan istrinya, pria itu beranjak keluar kamar. Namun saat Tari akan keluar, sebuah tangan menariknya masuk kembali kemudian pintu tertutup kencang.
“MAS!!”
Tubuh Tari terus ditarik masuk, dengan sekuat tenaga wanita itu berusaha melepaskan diri, namun sia-sia. Yang lebih menakutkan, tak ada wujud yang dapat dilihatnya. Tari hanya merasakan tubuhnya terus ditarik kemudian dihempas ke kasur. Wanita itu tak dapat menggerakkan tubuhnya yang terasa dikunci. Tiba-tiba lampu gantung yang berada di atasnya jatuh menimpa dirinya.
“Aaaaaa..!!”
Darah keluar dari mulutnya ketika hiasan Kristal yang berbentuk runcing menancap tepat ke jantungnya. Seketika Tari kehilangan nyawanya. Kemudian muncul tangan hitam menarik tubuh Tari hingga melesak masuk ke dalam kasur kemudian menghilang tanpa jejak. Perlahan noda darah yang membasahi seprai menghilang. Kondisi ranjang kembali rapih, seperti belum ada yang menidurinya.
Sementara itu, Dito yang tak menyadari kalau sang istri terjebak di dalam kamar dan sudah kehilangan nyawa terus berjalan. Tangannya terus menggenggam tangan yang diyakini adalah istrinya. Dengan mengendap-endap pria itu berjalan melintasi ruang tengah, terus maju hingga akhirnya sampai di depan pintu keluar.
Saat tangannya hampir mencapai pintu, dia merasa ada yang menahan pergerakan tangannya. Serta merta Dito menoleh ke belakang dan terkejut begitu melihat, bukan istrinya yang ditarik melainkan seorang bertubuh besar dengan wajah rata. Belum hilang rasa terkejutnya, tiba-tiba kepala Dito dibenturkan ke tembok dengan cepatnya. Pria itu ambruk dengan tulang kepala retak. Tangan-tangan hitam muncul dari tembok kemudian menarik Dito masuk. Jejak pria itu hilang begitu saja.
Tak ada satu pun yang menyadari kalau Dito dan Tari telah kehilangan nyawanya. Semua tetap berada di kamarnya masing-masing. Deni mengisi daya ponselnya yang habis, kemudian keluar kamar untuk meminta minum. Sebelum keluar kamar, dia sempat melihat Yoyo masuk ke kamar mandi.
Yoyo membuka kran air di bath tub, mengisi bak mandi tersebut dengan air hangat. Sambil menunggu bak mandi penuh, itu membuka membuka semua pakaiannya. Setelah ketinggian air dirasa cukup, pemuda itu masuk ke dalam bath tub. Tubuhnya yang pegal seharian berada dibalik kemudi, langsung terasa rileks.
Saat hampir memejamkan matanya, tiba-tiba Yoyo dikejutkan saat ada yang menariknya masuk ke dalam air. Pemuda itu mencoba untuk berontak. Tangannya mengepak-ngepak, berusaha mencari pegangan yang bisa dijadikan tumpuan, namun sia-sia. Lama-lama Yoyo kehabisan tenaga ketika oksigen mulai berkurang dan air terus masuk ke dalam mulutnya. Tubuh Yoyo terkulai lemas, kemudian dari dasar bath tub muncul tangan-tangan hitam menarik tubuh pemuda itu hingga hilang tak berbekas. Kondisi kamar mandi kembali kering seperti belum pernah digunakan.
Di kamar lain, Bagas dan Wandi tengah berbincang. Seperti halnya Dito dan Tari, mereka juga membicarakan keanehan rumah yang dimasukinya. Keanehan terlihat dari sikap pelayan yang terasa kaku dan wajah mereka pucat seperti tidak memiliki darah dalam tubuhnya.
“Gue beneran curiga kalo ini tuh The Mansion yang lagi viral di sosmed,” ujar Wandi dengan suara berbisik, seolah takut suaranya terdengar yang lain.
“Terus kita mau gimana? Lo tahu sendiri mobil gue kehabisan bensin.”
“Kita kaya maju kena, mundur kena ya.”
“Dan yang anehnya, pas kita masuk ke jalan pintas, itu masih jam enam sore. Tapi pas kita masuk ke sini tuh jam sebelas malem. Kebayang lima jam kita muter-muter doing. Seinget gue, lewat jalan pintas ini ngga sampe dua jam.”
“Makanya tadi gue nanya, lo nyasar apa ngga?”
“Nyasar sih ngga. Tapi gue ngerasa kita sengaja diputer-puter sampai akhirnya nemu nih rumah.”
“Kalau gitu mendingan kita pergi sekarang. Kalau bener ini The Mansion, kita ngga bakalan bisa keluar dari sini.”
“Ya udah ayo.”
“Bentar, gue kebelet.”
Wandi bergegas menuju kamar mandi yang ada di dalam kamar untuk menuntaskan hajatnya, sedang Bagas keluar lebih dulu. Dia menghampiri Deni yang berada di ruang tengah. Pemuda itu seperti tengah mencari-cari sesuatu.
“Cari pa?” tegur Bagas.
“Gue mau minum, haus banget. Tapi nih pelayan pada kemana ya. Pak Bowo juga tiba-tiba ngilang.”
“Bro.. gue ngerasa ada yang ngga beres sama rumah ini. Gue sama yang lain mau cabut. Lo mau ikut ngga?”
“Ngga beres gimana?”
“Aneh ngga sih, ada rumah segede gini. Gue udah sering lewat jalan pintas ini siang-siang, tapi ngga pernah lihat rumah ini sebelumnya.”
“Seriusan?”
“Iya.”
“Kalau gitu, gue panggil Yoyo dulu, kita keluar bareng.”
“Oke.. gue mau ke atas, manggil yang lain.”
Wandi menarik resleting celananya, lalu menekan tombol yang ada di atas kloset. Seketika bunyi air terdengar. Saat akan keluar, Wandi melihat benda berkilauan dari lubang kloset. Karena penasaran, Wandi membungkukkan badannya. Tiba-tiba sebua tangan menarik kepalanya masuk ke dalam kloset. Sekuat tenaga Wandi berusaha melepaskan diri namun sia-sia. Tubuh pemuda itu terkulai dan lagi-lagi keluar tangan-tangan hitam menarik Wandi ke dalam kloset dan menghilang tanpa jejak.
Echi terbangun dari tidurnya, di sebelahnya, Rara masih terlelap. Gadis itu bangun lalu menuju kamar mandi. Setelah buang air kecil dan membasuh wajahnya, Echi keluar dari kamar. Sambil mengeringkan wajahnya, Echi memandangi pantulan dirinya di depan cermin besar yang ada di kamar.
Tangan Echi bergerak merapihkan rambutnya. Sesekali dia memasang berbagai ekspresi di depan cermin besar tersebut. Gadis itu terhenyak saat pantulan dirinya tak melakukan gerakan yang sama. Belum hilang rasa terkejutnya, dua buah tangan dengan kuku panjang keluar dari dalam cermin kemudian menarik bahu Echi. Dengan cepat tangan tersebut menarik tubuh Echi hingga terbentur keras. Seketika darah keluar dari kepala gadis tersebut, dalam sekejap tubuh Echi hilang masuk ke dalam cermin dan darah di sekitarnya juga menghilang.
“ECHI!!”
Rara terbangun dari tidurnya. Tadi dia seperti mendengar sahabatnya itu berteriak meminta tolong namun tak jelas suaranya berasal dari mana. Pandangan gadis itu berkeliling mencari keberadaan Echi. Rara membuka pintu kamar mandi, namun kosong. Akhirnya Rara memutuskan untuk keluar. Di saat yang bersamaan, Bagas sampai.
“Ra.. Echi mana?”
“Ngga tau, Gas. Gue tadi ketiduran, kebangun kaya denger suara Echi minta tolong. Tapi pas gue bangun, dia ngga ada.”
“Coba tanya siapa tuh yang pasutri.”
“Mas Dito sama kak Tari.”
“Iya. Mereka di mana?”
Rara menunjuk kamar di dekatnya. Bagas segera mengetuk pintu kamar tersebut. Tak ada jawaban dari dalam. Bagas mengeraskan suara ketukannya, namun tetap tak ada respon. Akhirnya pemuda itu memutuskan untuk membuka pintu. Terlihat Tari tengah duduk di sisi ranjang dengan posisi membelakangi mereka.
“Eung.. kak Tari,” panggil Rara, namun Tari tak menoleh ke arahnya.
“Kakak lihat temanku ngga? Echi..”
Suasana hening sejenak. Kemudian perlahan Tari menolehkan kepalanya. Bagas dan Rara terkejut saat melihat wajah Tari yang bersimbah darah, kedua bola matanya keluar dan menggantung dengan darah berceceran.
“Huwaaaaaa!!!”
“Aaaaa!!!”
Terkejut melihat penampakan di depannya, Rara dan Bagas spontan berteriak. Tari bergerak cepat merangkak kea rah kedua orang itu. Rara dan Bagas bergegas keluar kamar. Rara berhasil keluar dari kamar, namun Bagas tak berhasil. Penampakan Tari berhasil menarik kaki Bagas hingga pemuda itu terjatuh. Dia mengarahkan tubuh Bagas ke tembok hingga kepalanya terbentur. Darah segar mengalir dari kepala pemuda itu. Seperti halnya Tari, Bagas kehilangan nyawanya.
Rara yang ketakutan terus berlari menuruni anak tangga. Dia sudah tak ingat lagi kalau sedang mencari Echi. Rara berlari sekuat tenaga namun dirinya tak pernah sampai di lantai dasar. Mulutnya terus berteriak membuat Deni yang tengah mencari Yoyo mendengar kemudian berlari ke arah tangga.
“Deni tolong!!”
Deni berlari menaiki tangga kemudian menarik tangan Rara. Akhirnya gadis itu berhasil menuruni anak tangga. Sambil berpegangan erat, keduanya terus berlari, berusaha mencapai pintu. Tangan Rara berhasil meraih gagang pintu kemudian membukanya. Sebelah kakinya sudah ada di luar, namun dia merasa pegangan Deni terlepas. Reflex gadis itu menoleh ke belakang.
Rara terkejut melihat kaki Deni tengah ditarik oleh Bowo, Tika, Tiwi dan Tono. Wajah keempat orang itu nampak mengerikan. Mata Tiwi besar sebelah, kepala Tono seperti terbelah kapak, mulut Tiwi robek dan wajah Bowo rata.
“DENI!!”
“Pergi Ra!! PERGI!!”
Rara merasa gamang, untuk sesaat gadis itu membeku di tempatnya. Namun kesadarannya kembali saat mendengar suara kencang Deni menyuruhnya pergi.
“PERGI RA!! PERGI!! CEPAT!!!”
Entah mengapa tiba-tiba tubuh Rara terasa lemas, namun sekuat tenaga gadis itu menggerakkan kakinya kemudian berlari sekencangnya menjauhi rumah. Sayup-sayup terdengar teriakan Deni dari dalam rumah. Rara terus berlari tanpa berani melihat ke belakang. Beberapa kali kakinya tersandung batu, namun tak dipedulikannya. Dia terus berlari menjauhi rumah hingga akhirnya bisa mencapai jalan.
CIIITTTT
Hampir saja tubuh Rara tertabrak kendaraan yang melintas. Untuk sang pengemudi dengan sigap menginjak pedal rem. Tubuh Rara menabrak bodi mobil. Bergegas pengemudi tersebut keluar dari mobil diikuti penumpang di sebelahnya. Dua orang yang berbeda lawan jenis yang seperti suami istri segera mendekati Rara. Mereka terkejut melihat wajah pucat Rara, tubuhnya bergetar hebat dengan keringat membasahi pakaiannya.
“Kamu ngga apa-apa nak?” tanya wanita paruh baya berambut sebahu itu.
“To.. tolong ba.. bawa sa.. ya.. pe.. pergi dari si.. ni.”
Melihat kondisi Rara yang memprihatinkan, wanita tersebut segera membawa Rara masuk ke dalam mobil. Tak berapa lama sang pengemudi menyusul naik kemudian menjalankan kendaraannya kembali.
“Ini, minumlah dulu.”
Wanita bernama Sari itu menyodorkan sebotol air mineral pada Rara. Gadis itu langsung meneguknya sampai habis. Kesadaran masih belum sepenuhnya kembali. Rara menolehkan kepalanya ke samping saat merasakan rangkulan di bahunya. Seorang wanita yang sudah berusia lanjut menyunggingkan senyuman ke arahnya.
“Kamu sepertinya lelah. Sebaiknya tidur.”
Rara yang mulai dapat menguasai dirinya, melihat seisi mobil. Di bagian depan, dua orang paruh baya yang sepertinya sepasang suami istri. Di sebelahnya juga sepasang suami istri namun sudah berusia lanjut. Sedang di bagian belakang duduk dua gadis yang sebaya dengannya dan seorang remaja putra berusia sekitar lima belas tahunan.
“Apa kamu tersasar?” tanya Sari yang melihat Rara dari spion belakang.
Bukannya menjawab pertanyaan Rara malah menangis, mengingat ketiga temannya serta pengunjung The Mansion yang menghilang di dalam rumah. Wanita tua yang berada di sampingnya berusaha menenangkan Rara. Diusapnya punggung gadis itu yang basah oleh keringat.
Lelah menangis, mata Rara mulai memberat. Seperti biasa, jika habis mengalami kejadian menakutkan atau merasakan hal ghaib di sekitarnya, tubuh Rara cepat merasa lelah dan mengantuk. Tak butuh waktu lama untuknya terlelap.
Perjalanan terus berlanjut. Tak terasa mereka sudah berkendara hampir dua jam lamanya sejak menemukan Rara, namun masih belum menemukan ujung jalan pintas yang mereka lewati. Sang pengemudi melihat ke arah penunjuk bahan bakar. Dia mendesah pelan ketika jarum hampir menunjuk ke titik empty. Sang istri yang menyadari perubahan wajah suaminya segera bertanya.
“Kenapa pa?”
“Bensin kita sepertinya mau habis.”
“Bagaimana ini? Perjalanan sepertinya masih jauh. Padahal sebelumnya ngga sejauh ini, ya. Aneh,” gumam Sari.
“Ma.. lihat, itu sepertinya ada rumah. Apa tidak sebaiknya kita mampir sebentar? Siapa tahu mereka tahu di mana letak pom bensin terdekat.”
“Hmm.. kok aneh ya, ada rumah di daerah sepi seperti ini,” Sari melihat ke arah kanan dan kirinya.
“Bagaimana ma? Mau mampir? Daripada mogok di jalan.”
Sari hanya menganggukkan kepalanya. Sang suami segera membelokkan mobil, mengarah ke arah rumah megah tersebut. Pria tersebut segera turun dari mobil kemudian bergegas menuju rumah. Dari dalam mobil Sari memperhatikan suaminya yang tengah berbicara dengan pria jangkung berperawakan kurus yang tak lain adalah Bowo. Tak lama suaminya kembali ke mobil.
“Ayo ma, kita boleh beristirahat di sana. Besok pagi, kita bisa melanjutkan perjalanan lagi.”
“Anak itu bagaimana?” Sari menunjuk ke arah Rara yang masih terlelap.
“Biar papa gendong.”
Pria itu membuka pintu belakang kemudian membopong tubuh Rara. Diikuti yang lainnya dia melangkah menuju rumah besar tersebut. Dengan gerakan tangan Bowo mempersilahkan semuanya masuk. Terlihat senyum samar di wajahnya saat melihat Rara berada dalam gendongan pria yang akan segera menjadi korban selanjutnya.
“Ra.. bangun Ra.. Rara!! Rara.. RARA!!”
Rara terlonjak dari tidurnya ketika mendengar suara Echi memanggilnya. Matanya berputar melihat sekeliling. Betapa terkejutnya dia saat melihat dirinya berada di kamar yang sama. Serta merta dia bangun dari tidurnya.
“RARA!!”
Kepala Rara menoleh ke arah cermin begitu mendengar suara dari arah sana. Matanya membelalak melihat Echi yang terkurung di dalam cermin. Perlahan dia mendekati cermin tersebut.
“Echi..”
“Pergi Ra.. pergi!! Kamu harus pergi dari sini. Cepat!!!”
Tanpa menunggu lama, Rara segera keluar dari kamar kemudian bergegas menuruni anak tangga. Keadaan di lantai bawah nampak sepi. Keluarga yang tadi memberinya tumpangan juga tak terlihat. Tak mempedulikan itu semua, gadis itu bergegas menuju pintu utama. Sesekali kepalanya menoleh ke arah belakang.
Langkah Rara semakin mendekati pintu. Hatinya terus berdoa semoga Bowo dan kawan-kawannya tidak muncul. Dengan dada berdebar, Rara memegang gagang pintu. Sekali lagi kepalanya menoleh ke belakang seraya menggerakkan handle pintu. Begitu pintu terbuka.
“AAAAAAAA…..!!!!”