Ketika harus memendam rasa, aku melakukannya dengan baik. Hanya menatap dari jauh dan berusaha menjadi teman yang selalu berada di sisinya.
“Kau tidak makan?” tanya Kyoung Jae.
Ya, Kim Kyoung Jae, anak keturunan Korea yang popular sejak ia menginjakkan kaki di SMA 1 Tenggarong. Dan bagai anak ayam yang mengikuti induknya, dia selalu mengekori ke manapun Opuri Zafran pergi.
“Aku tidak nafsu makan. Perutku sakit,” sahut Opuri malas-malasan.
“Jadi, untuk apa kita ke kantin? Aku sudah mengambil makananku,” omel Kyoung Jae.
“Terserah. Aku balik ke kelas dulu.”
Bukan sakit perut yang sebenarnya kurasakan saat ini namun, sakit yang tidak pernah kurasakan sebelumnya. Orang bilang, itu patah hati.
“Hei, kenapa berapa hari ini kau selalu menjauhiku?” tanya Kyoung Jae kecewa.
“Aku tidak nyaman dengan pacarmu. Pergilah. Jangan dekat-dekat. Aku tidak ingin orang mengatakan, kalau aku merusak hubunganmu dengan Kinan.”
Dibanding gadis bernama Kinan, aku tidak lebih dari seorang gadis sampah. Aku sedikit beruntung karena telah membantu dan bertemu Kyoung Jae lebih dulu di hari pertama sekolah. Aku hanya terlalu sabar mengajarinya Bahasa Indonesia juga tentang kehidupan di kota sederhana ini. Dan membuat diriku sendiri tampak jadi gadis yang menyenangkan.
TOK! TOK! TOK!
“Boleh Ibu masuk, Nak?”
Hanya senyum tipis yang ditujukan Opuri tatkala melihat Sang Ibu dari balik pintu bersama baki berisi roti bakar dan susu.
“Jangan belajar terlalu keras, ya. Cukup berusaha yang terbaik dan buatlah dirimu lebih santai.”
“Iya, Ibu. Aku tahu. Tiba-tiba ingin mengerjakan tugas juga menyicil belajar lebih cepat,” sahut Opuri seraya kembali sibuk dengan buku pelajarannya.
“Apa ada masalah, Sayang?”
“Tidak, Bu. Semuanya baik.”
“Tapi, dari prilakumu selama dua minggu terakhir tidak menggambarkan hal itu.”
Diam, Opuri menghela napas pelan sebelum akhirnya menatap Sang Ibu yang telah
tersenyum penuh kasih.
“Kyoung Jae…sekarang, dia telah memiliki pacar,” ucapnya lirih.
Masih tersenyum, Sang Ibu mengusap lembut puncak kepala anak semata wayangnya.
“Kau marah karena dia memiliki pacar?”
“Tidak, hanya entah kenapa sedikit sakit setelah mengetahuinya.”
Ada nada sedih dalam kalimat yang terucap di bibir Opuri. Dan terlihat dia menunduk, berusaha menyembunyikan tatapnya. Namun, alih-alih marah pada anak gadisnya yang begitu polos dan tidak pernah memikirkan sakit hati hingga menginjak usia 18 tahun, wanita cantik penuh wibawa itu hanya tersenyum sebelum kemudian menarik dia ke dalam pelukannya. Membiarkan dia menangis dan meluapkan seluruh rasa kecewanya.
“Hei, ajari aku pelajaran Bahasa Indonesia, ya. Besok ujian ini, beritahu aku cara agar bisa menyelesaikannya tepat wak…”
Diam, tidak merespon dan langsung beranjak membuat Kyoung Jae memutus kalimatnya tatkala menyaksikan sikap teman terbaiknya hari itu. Dan hanya hitungan detik, dia bergegas mengejarnya.
“Dia marah, karena menyukaimu.”
Mendengar teguran dari suara yang ia kenal, Kyoung Jae pun mengerutkan kening dan menoleh ke sisi kirinya.
“Kinan?”
“Kau tidak cerita kalau aku sepupumu?”
Celotehnya membuat Kyoung Jae sesaat tampak berpikir sebelum kemudian menggeleng singkat.
“Bodoh,” umpat Kinan, “kelihatan sekali dia cemburu. Baru setahun aku pindah kemari, terlebih aku adik kelas. Aku banyak teman dan tiba-tiba kau sering menemui juga mengantar jemput aku. Dia minder, dia anak cerdas, polos dan penyendiri sedangkan, kau anak baru yang begitu populer.”
“Jadi, dia menyukaiku dan cemburu padamu?”
“Tahun ini kalian lulus. Kalau kau juga menyukainya, lebih baik katakan sekarang. Aku dengar, dia akan melanjutkan kuliah ke Tokyo.”
“Ha? Kenapa tidak sekalian ke Seoul?”
“Mana aku tahu. Tanyakan saja padanya.”
Diam seribu bahasa, Kyoung Jae sama sekali tidak bisa menjawab seluruh ucapan Kinan yang telah berlalu pergi. Dan hari serta bulan berlalu begitu cepat, tiba saat dimana seluruh siswa kelas 12 menerima surat kelulusannya. Tidak ada perbincangan antara Opuri dan Kyoung Jae sampai mereka berpisah satu sama lain. Perlahan menjalani hari demi hari sebagai mahasiswa di negara berbeda. Dan malam itu, dering ponsel dari nomor tak dikenal mengejutkan Opuri yang tengah mengerjakan tugasnya dengan begitu serius.
“Aku di bawah. Bisa turun sekarang?”
Sesaat Opuri mengerjap cepat sebelum otaknya benar-benar bisa mencerna ucapan pria yang terdengar melalui ponselnya.
“Apa...yang kau lakukan…di sini? Bagaimana…bisa?”
Tanya Opuri yang begitu terkejut dan berusaha menyembunyikan napasnya yang tersengal hingga membuat Kyoung Jae menahan senyum geli.
“Pertanyaan pertama, apa kabar? Apa kau sehat? Pertanyaan kedua, kenapa tidak mengabariku kalau akan kuliah di Seoul? Ketiga, siapa Kinan Jung Pratama?”
Kening Opuri berkerut usai mendengar seluruh pertanyaan Kyoung Jae hingga membuatnya berniat akan pergi namun, segera Kyoung Jae meraih dan menggenggam erat pergelangan tangannya.
“Jangan pergi lagi, tanyakan semua yang kukatakan dan aku akan jelaskan. Kalau kau tidak bertanya, aku tidak tahu harus bicara apa sebab kupikir kau pasti sudah tahu semuanya. Umur kita sekarang sudah 20 tahun, sudah saatnya saling terbuka.”
Ingin mengelak tetapi, baginya seluruh ucapan Kyoung Jae benar. Dia terlalu banyak menepis, terlalu lama memendam dan terlalu lama dihantui akan rasa takut dijauhi.
“Ingin pergi sebentar? Kita bisa saling cerita tentang yang terjadi sejak kelulusan.”
Seakan luluh akan ajakan teman lama yang sempat ingin ia lupakan, Opuri pun mengangguk singkat. Dan di dalam sebuah taman bermain komplek, mereka menikmati minuman hangat masing-masing sambil duduk santai di salah satu gazebo.
“Kau tidak pernah cerita kalau akan kuliah di sini,” tegur Kyoung Jae setelah cukup lama berdiam.
“Aku ingin cerita saat semua itu sudah benar terlaksana.”
“Tidak ingin tanya apapun padaku?”
“Bukan kewajibanku untuk bertanya yang bukan hakku.”
Hanya terdengar helaan napas Kyoung Jae, sebelum akhirnya tersenyum dan memandangi langit malam yang dipenuhi bintang.
“Sejak kau tak ingin mengajariku pelajaran Bahasa Indonesia dan memutuskan untuk menjaga jarak, kesehatanku pun memburuk. Setibanya di Seoul, aku bermalam selama dua minggu di rumah sakit.”
Tertegun, Opuri sama sekali tidak berani membuka suara usai mendengar ceritanya.
“Awalnya aku hanya ingin jalan-jalan, melewatkan hari bebasku setelah kelulusan SMP. Tapi, tidak sengaja aku melihat seorang gadis yang menarik perhatianku sedang mengurus pendaftaran
sekolahnya di SMA 1 Tenggarong. Karena itu, aku memilih untuk tinggal serta menetap bersama Bibi Jung di sana. Dan berjanji pada Ibu, akan kembali setelah lulus SMA.”
Ada rasa kesal tatkala Kyoung Jae tiba-tiba membahas tentang pertemuannya dengan seorang gadis dan sesaat, dia melirik Opuri yang tampak mengepalkan tangan kanannya.
“Marga bagi orang Korea adalah suatu kebanggaan tersendiri dan Bibiku, salah satu orang yang tidak bisa melepaskan marganya walaupun telah menikah dengan orang Indonesia,” jelas Kyoung Jae seraya tersenyum melihat Opuri yang telah memandangnya lebih dulu dengan tatap penuh tanya, “Kinan Jung Pratama, aku sudah sebutkan nama bocah itu satu jam lalu. Kinan Jung, dia anak bibiku. Dia adik sepupuku yang tinggal di Tenggarong. Alasan aku selalu menunggu dan mengantar jemput dia sepulang sekolah karena kami tinggal di rumah yang sama. Dialah GPS-ku selama ini. Dialah radar yang telah mencari tahu tentang gadis yang membuatku ingin tinggal. Dan sekarang, gadis itu sedang duduk di sampingku.”
Bingung adalah hal pertama yang dilakukan Opuri saat tatapnya bertemu tepat di mata Kyoung Jae, hingga membuatnya salah tingkah dan tertunduk dengan wajah bersemu.
“Maaf, untuk seluruh kesalahpahaman yang selama ini tidak pernah kukatakan. Kupikir karena adik kelas tahu, kau pun pasti tahu kalau Kinan adikku,” kata Kyoung Jae tulus.
“Aku juga…minta maaf karena sudah berlaku kasar padamu. Tapi…” segera Opuri mengangkat wajah dan menatap Kyoung Jae dengan kesal, “kenapa tidak minta ajari Kinan saat ujian Bahasa Indonesia?”
“Hahaha…bocah itu sering pulang dan jalan-jalan di Tenggarong. Tapi, dia baru benar-benar pindah dua tahun setelah aku sekolah di sana. Dia lahir dan besar di Korea. Jadi, kami sama bodohnya. Hahaha…”
Mendengar gelak tawa Kyoung Jae yang hampir memenuhi setiap penjuru taman yang sepi, tentu membuat Opuri menahan senyum geli.
“Lalu, apa yang kau lakukan di sini? Tidak mungkin kau sedang liburan, sekarang musim ujian. Dan bagaimana kau bisa dapat alamat juga nomorku?”
“Aku minta ujian susulan. Memohon serta menulis surat perjanjian bahwa nilaiku akan di atas semester lalu. Sudah kukatakan, aku memiliki Kinan. Dia bocah cerdas dalam hal mencari tahu tentang jejak orang lain. Dan…aku hanya ingin tahu, apa kau ingin menjadi pasangan hidupku sampai di kehidupan selanjutnya?”
Diam namun, anggukkan pelan Opuri memastikan seluruh jawaban dari harapan seorang Kim Kyoung Jae yang langsung mendaratkan kecupan singkat di pipi kanannya.
“Tanganmu dingin,” ujar Opuri.
“Iya. Makanya, aku selalu ingin dekat denganmu. Kau memiliki hati, tatapan juga tangan yang hangat,” kata Kyoung Jae tulus, “jadi, kenapa kau tidak ingin kuliah di Seoul sementara, kau tahu
kalau aku akan kembali ke sana?” omelnya kemudian.
“Aku suka Disneyland, pergi berapa kali pun aku tidak pernah bosan dan aku suka sushi. Aku hanya pernah berjanji pada diri sendiri, saat mungkin kita tidak bertemu, aku akan ke Seoul untuk menyapamu setelah menyelesaikan studi di sini.”
“Tapi, sekarang kita bertemu.”
“Karena itu aku sekarang bersyukur, sebab pertemuan sekarang tidak akan membuatku menyesalinya dikemudian hari. Terima kasih.”
“Kau tahu tentang keadaanku sejak kita pertama kenal. Hanya ingin tahu sekali lagi, apa mungkin kau melakukan semua ini karena kasihan?”
“Kau main basket dengan baik, latihan taekwondo dengan begitu giat, dan berlari ke sana kemari tanpa sedikitpun merasa lelah. Bagaimana mungkin aku kasihan melihat bocah bar bar sepertimu.”
Mendengar celotehnya, Kyoung Jae pun tersenyum geli.
“Terima kasih karena telah melihatku sebagai pria sempurna.”
“Ng…terima kasih juga karena telah melihatku sebagai wanita yang baik.”
Tidak ada kata yang bisa menggambarkan rasa bahagia sepasang muda mudi yang tengah dilanda asmara. Hanya saja, jika itu bertahan lebih lama, mungkin akan terasa hangat bagi semua orang.
Untukmu kekasihku, untuk segala kebahagiaan yang selama ini telah kau ciptakan, untuk seluruh sakit yang telah berusaha kau lawan. Kau hebat, terima kasih telah terlahir ke dunia dengan senyum dan cintamu.
Terima kasih…untuk hidupmu selama 7,012 hari.