Aku bukan muslimah yang sholehah, aku hanyalah perempuan akhir zaman yang merindukan sorga.
Namaku Annisa, di umur 28 tahun, akhirnya Allah mengantarkan seorang imam untukku, namanya Lutfi. Pernikahan kami sangat indah, saling bekerja sama mengerjakan ibadah, saling mengingatkan, dan saling melengkapi. Ini mulanya.
Pernikahan kami kini menginjak tahun kelima, dan kami dikaruniai seorang anak perempuan yang sangat cantik, kami beri nama Inayah.
"Nisa! Abang mau pergi bekerja, bekal abang mana?!"
Suara lembut yang penuh kasih sayang itu tak pernah lagi ku dengar, namun aku tidak menyalahkannya, mungkin ini tekanan hidup yang begitu berat, dan tanggung jawab yang semakin besar, membuatnya tidak bisa bersikap lembut seperti dulu.
Dengan senyum terbaikku, aku mendekatinya sambil menggendong putri kecil kami yang kini berusia tiga tahun. "Maafkan Nisa bang, Nisa tidak bisa bangun tadi pagi, Inayah masih sakit."
"Dari zaman dulu, semua orang punya anak! Tapi tugas mereka pada suami mereka, tidak pernah lalai!" Dengan kemarahan yang masih menyala, dia pergi begitu saja dari rumah, bahkan tanpa salam.
Sakit, rasanya jutaan anak panah menancap di hatiku.
***
Siang itu berlalu begitu saja.
Tapi aku tidak bisa mengerjakan pekerjaan rumah. Inayah terus menangis ingin dipeluk uminya, perut lapar karena aku hanya menghabiskan bubur Inayah ynag tidak bisa dia habiskan. Siang itu, hanya suara tangisan Inayah yang pecah.
"Assalamu alaikum."
Aku mendengar suara salam, tapi tidak bisa bergerak, karena Inaya tidur memeluk diriku.
"Wa alaikum salam," sahutku pelan.
Ceklak!
Pintu kamar terbuka.
"Ya Allah Ya Rabbi! Apa yang kamu kerjakan seharian ini dek?!"
Aku memberi isyarat dengan menarih satu jari telunjuk di depan mukut, berharap Bang Lutfi faham, kalau anaknya sedang tidur.
"Dasar pemalas! Mimpimu masuk sorga bersama ummul mukminin dalam kitab-kitab yang kamu baca, tapi suamimu malah kamu telantarkan!"
Aakkkkk!
Tangis Inayah pecah, rasanya hatiku sangat sakit melihat anakku tidurnya terganggu. Aku bangun, menggendongnya dan berusaha menenangkannya.
"Bang, saat ini Inayah sakit."
"Halah, itu cuma alasanmu pada dasarnya kamu pemalas!"
Jangankan peduli pada anaknya, dia malah teelihat sangat marah. ku berusaha menahan air mataku yang hampir jatuh.
"Lupa dengan wanita-wanita muslimin yang dirindukan sorga? Mereka dirindukan sorga karena ketaatan mereka pada suami, karena bakti dan taah mereka, maka suami-suami mereka ridho kepada mereka. Kamu, apa yang kamu lakukan? Jangankan meridhoimu, aku malah di buat kesal!"
"Jika aku tidak ridho, dengan apa kamu masuk sorga? Keridhaan Allah di keridhaan ibu bapak, kemurkaan Allah di atas kemurkaan ibu bapak. Untuk wanita muslimah yang bersuami, maka keridhaan itu atas keridhaan suaminya, aku ridha padamu, Allah juga Ridha. Aku murka padamu, Allah juga murka."
"Kenapa penghuni neraka terbanyak perempuan? Karena banyak wanita yang durhaka pada suaminya!"
Mendengar kata neraka, aku menangis tersedu. Walau aku jauh dari kata sholehah, tapi aku sangat menginginkan sorga untuk akhir perjalanan akheratku nanti.
"Pergi bekerja dalam keadaan lapar, pulang pun kelaparan tanpa ada makanan!"
Rasa sakit itu akhirnya membuat air mataku jatuh, bukan hanya tangisan Inayah, tapi kata-kata bang Lutfi sangat menyakitkan.
"Istri Nabi, seperti Sayyidatina Khadijah, pengabdiannya pada Rasullullah begitu besar, hartanya, dirinya, bahkan beliau berkata jika tidak ada apa-apa untuk baginda menyeberangi sungai, maka gunakanlah tulang belulangnya untuk dijadikan baginda untuk menyeberang sungai, agar dakwah nabi sampai pada ummat. Kamu! Apa yang kamu berikan untukku! Berkorban tenaga saja kamu malas!"
Sekujur tubuhku bergetar hebat, aku tidak sanggup lagi diam. "Boleh Nisa bicara banyak Bang?" Aku masih berusaha menenangkan Inayah yang terus menangis.
"Bicaralah, pembelaan apalagi yang mau kamu katakan? Alasan apa yang ingin kamu pakai untuk menutupi kemalasanmu?"
"Nisa tidak ingin membela diri bang, Allah maha tahu, Nisa tidak berniat membela diri Nisa sendiri."
"Katakan, apa yang ingin kamu katakan."
Aku menarik napas begitu dalam, mempersiapkan hati untuk berkata panjang lebar.
"Ummi Khodjah, sosok yang aku kagumi, pengabdian, dan rasa cinta beliau menjadi panutanku, tapi abang ingat satu hal! Aku Bukan Khodijah yang dirindukan oleh sorga! Aku hanyalah wanita akhir zaman yang merindukan sorga!"
Terlalu besar rasa sakit yang Bang Lutfi berikan padaku. Membuat air mataku tidak bisa berhenti menetes. "Kalau abang sudah tidak suka padaku, abang kembalikan saja aku pada kedua orang tuaku, aku juga tidak ingin menjadi beban buat abang."
Lutfie terdiam, dia terlihat terkejut dengan jawabanku.
"Nisa izin pulang ya bang, Inayah sakit, dia butuh suasana tenang."
Aku hanya membawa baju yang melekat di badan, handphone, dan Inayah. Sesampainya di rumah orang tuaku, aku meminta ibu, untuk membayar ongkos taksi kami.
"Katakan, ada apa yang terjadi, Nisa?" tanya ibu.
"Nisa tidak bisa menjadi istri yang baik bagi bang Lutfi bu, bahkan bang Lutfi tidak ridho dengan Nisa. Apa yang bisa Nisa lakukan? Nisa tidak bisa meraih kunci sorga Nisa, bu."
"Kita tenangkan diri dulu, tunggu Inayah sembuh, setelah itu kita musyawarah dengan Lutfi," kata Ayah.
2 minggu berlalu.
Dua minggu juga kami berpisah dengan bang Lutfi. Hari ini Ayah mengundang Bang Lutfi dengan kedua orang tuanya datang ke rumah, untuk menyelesaikan masalah kami. Mereka pun datang.
"Nak Lutfi, apakah kesalahan Nisa padamu, sehingga kamu tidak bisa meridhoi anakku?" tanya Ayah.
Lutfi mengatakan banyak hal buruk tentangku, dan membandingkan pengabdianku dengan pengabdian ummul mukminin pertama itu. Wanita mulia, impian wanita-wanita muslimah.
"Kalau kamu tidak senang padanya, kembalikan saja dia padaku, aku dengan senang hati menerimanya kembali bersama buah cinta kalian," ucap Ayah.
Dengan bangganya Lutfi mengucapkan kata talaq, dan di saksikan kedua orang tua kami.
"Mulai sekarang, Nisa kamu kembalikan padaku. Sebagai orang tua Nisa, aku meminta maaf atas dirinya, karena dia tidak bisa menjadi istri solehah di matamu. Bukan hanya Nisa, ku rasa di muka bumi ini, apalagi akhir zaman seperti ini, tidak ada wanita mulia seperti ummi khadijah. Tuntutanmu pada anakku terlalu besar, Nak. Anakku bukan Khodijah, anakku hanyalah muslimah biasa," ucap Ayah.
Aku melangkah kedepan, mendekati mereka. "Kamu berharap aku berakhlaq mulia seperti ummi khodijah, tapi apakah kamu sudah berusaha mengikuti akhlaq baginda S.A.W?"
Aku langsung pergi meninggalkan mereka semua.
"Saling meridhoi ya nak." Ayah menepuk pundak Lutfi.
"Dek ... maafkan abang."
"Aku maafkan abang, ku harap juga abang Maafkan aku," sahutku dari dalam.
"Kita bisa memulai semua dari awal dek?"
"Aku bisa memaafkanmu bang, tapi aku tidak bisa kembali padamu."
"Aku memberikan anakku padamu, untuk menjadi patnermu berjalan bersaman di jalan Allah, untuk kamu limpahi cinta dan kasih sayang, bukan untuk kamu jadikan pelayan." Ayah dengan lembut mengusir mereka semua.
END.
(Mohon maaf, jika ada kesalahan dalam penulisan, atau salah dalam kata.)