Ketika masih berusia 8 tahun, aku suka sekali ikut ibu kerja shift malam. Ibuku bekerja di sebuah perusahaan rotan yang cukup besar di kampung kami. Dulu, bekerja di tempat itu seluruh karyawan diwajibkan ikut serta dua dalam shift sekaligus. Shift siang, dimulai dari jam 8 pagi hingga jam 5 sore. Kemudian disambung dengan shift malam, dimulai dari jam 7 malam hingga jam 11 malam.
Malam itu bertepatan dengan malam jumat kliwon. Bagi sebagian orang percaya bahwa malam itu adalah malam yang angker dan menakutkan. Di mana setan-setan suka bergentayangan dan menampakkan wujudnya.
Namun, tidak bagi Ibuku. Seorang wanita tangguh dengan status single parent. Demi menghidupi kedua anaknya yang masih kecil-kecil, Ibu rela melakukan apapun. Termasuk bekerja di malam angker sekalipun.
Malam itu seperti biasanya aku ikut bersama Ibu. Kebetulan di tempat kerja Ibu tersebut tidak melarang karyawan membawa anak mereka, selama tidak menggangu pekerjaan. Ibu bekerja sama seperti biasanya. Sementara aku duduk tak jauh dari posisi Ibu sambil bermain-main dengan rotan kecil yang memang sudah tidak terpakai.
Waktu terus berlalu hingga akhirnya waktu menunjukkan pukul 11.00 malam, di mana waktu kerja Ibu dan teman-temannya sudah berakhir. Ibu meraih tanganku sambil tersenyum. Cucuran keringat terlihat membasahi kening Ibu saat itu dan aku tahu di balik senyuman hangatnya, tersimpan rasa lelah yang amat sangat.
"Mari kita pulang," ucap Ibu.
"Horeee!" Aku yang tidak mengerti apa-apa, begitu senang mendengarnya.
Kami pun pulang bersama teman-teman ibu. Seperti biasa, kami mengambil jalan pintas agar cepat sampai. Sebuah jalan setapak di tengah-tengah sawah. Jalannya becek dan yang pastinya gelap gulita. Tak ada penerangan di jalan tersebut. Kami mengandalkan cahaya senter yang memang sengaja kami bawa dan bagi yang tidak punya senter, mereka menggunakan obor.
Tak ada rasa takut di hati mereka semua, termasuk Ibu. Entah karena sudah terbiasa atau pun karena sebuah tuntutan hidup. Semua itu terpaksa mereka jalani demi memperoleh sesuap nasi.
Tidak berselang lama, kami pun tiba di jalan titian (jalan yang terbuat dari kayu). Di mana rumah penduduk tampak berjejer di samping jalan. Ibu dan teman-temannya mulai berpencar, mengambil jalan menuju kediaman mereka masing-masing.
Aku berjalan di depan, mendahului ibu. Sebagaimana anak-anak pada umumnya, aku berlari-lari kecil sambil bernyanyi riang. Tak terasa akhirnya aku tiba di depan kediaman kami. Sebuah rumah panggung sederhana yang terbuat dari kayu.
Ya, mungkin bagi sebagian orang, rumah kami terlihat jelek dan tidak layak huni. Namun, tidak untuk kami. Rumah itu adalah tempat berlindung kami dari panas matahari serta dinginnya angin dan air hujan.
Aku menghentikan langkahku tepat beberapa meter dari depan pintu rumah. Sembari menunggu ibu yang masih berjalan di belakangku, aku memperhatikan pintu tersebut dengan seksama.
Samar-samar, mata kecilku melihat bayangan seorang laki-laki bertubuh besar dan berwarna hitam pekat tengah berdiri di ambang pintu. Karena rumah memang sengaja ditinggalkan dalam kondisi gelap gulita, aku tidak bisa melihat jelas mahluk apa yang aku lihat di depan mataku.
Cukup lama mahluk hitam berukuran besar itu menatapku dengan mata merahnya. Tangannya yang dipenuhi bulu-bulu kasar memegang daun pintu dengan erat. Mahluk itu seolah menyeringai kepadaku dengan memperlihatkan gigi-giginya yang runcing dan tajam.
Tak ada rasa takut pada saat itu. Bahkan aku membalas tatapan mahluk seram itu untuk beberapa saat. Hingga akhirnya mahluk itu kembali menutup pintu dan menghilang dari pandanganku.
Aku terdiam sambil memikirkan mahluk apa yang aku lihat barusan. Tanpa kusadari ibu sudah berada di sampingku dan mengajakku masuk.
"Ayo, kenapa malah bengong?" ujar Ibu.
Aku tidak menjawab dan mengikuti langkah Ibu dari belakang. Ibu melewati pintu depan, di mana mahluk itu muncul. Ibu berjalan menuju pintu dapur karena kami keluar masuk memang menggunakan pintu dapur. Sementara pintu depan, dikunci dari dalam agar tetap aman ketika ditinggalkan.
Karena penasaran, aku mendorong pintu depan. Ternyata apa yang aku lihat barusan bukanlah sebuah halusinasi. Pintu itu memang benar-benar terbuka saat aku dorong. Padahal sebelum berangkat kerja, ibu sudah memastikan bahwa pintu dan jendela sudah terkunci rapat.
Aku tersentak kaget dan segera memberitahu ibu soal pintu itu. "Bu, Ibu!" panggilku.
"Ya?" Ibu yang baru saja selesai membuka kunci pintu dapur segera menghampiriku.
"Bu, pintu depan tidak dikunci. Coba lihat ini!"
Ibu benar-benar kaget. Namun, yang saat itu ada di pikiran ibu bukanlah tentang mahluk halus yang aku lihat barusan. Ibu malah berpikir bahwa itu adalah perbuatan maling atau sebagainya.
Dengan tergesa-gesa ibu masuk ke dalam rumah dan menyalakan semua lampu. Kini rumah kami terang benderang, bahkan tikus yang sering berkeliaran pun keliatan dengan jelas. Ibu yang masih panik, mengecek seluruh ruangan. Kamar, dapur, dan semuanya.
Tidak ada keanehan dan kondisi rumah pun tampak baik-baik saja. "Kenapa pintunya bisa terbuka? Padahal Ibu yakin sekali sudah menguncinya sebelum berangkat," gumam Ibu heran.
Keanehan pun tidak sampai di situ saja. Ketika Ibu mengecek warung, yang letaknya tepat di samping pintu depan (Kami punya warung kecil-kecilan). Ibu kembali dikejutkan dengan kondisi laci tempat penyimpanan uang, hampir jatuh dari tempatnya. Laci tersebut terbuka lebar dan di dalamnya, ibu menemukan dua lembar uang kertas senilai 2000 rupiah.
Uang kertas itu tersusun rapi dan anehnya lagi uang itu masih baru. Kertasnya masih keras dan tidak ada bekas lipatan sedikit pun. Ibu menatapku heran.
"Uang siapa ini? Uang di dalam laci sudah Ibu ambil semua," tanya Ibu padaku.
Aku mengangkat kedua bahuku. "Entah!"
Bukan hanya keberadaan uang itu yang membuat kami terheran-heran, tetapi juga kotak mie instan yang tersusun rapi di ruang depan. Padahal kotak mie instan itu letaknya di dalam warung, tepatnya di depan, agar para pembeli bisa meraihnya lebih mudah.
Setelah memastikan bahwa tidak ada orang lain selain kami. Ibu pun kembali menutup pintu dan menguncinya rapat. Setelah agak tenang, perlahan aku ceritakan semua yang aku lihat kepada Ibu. Ibu tampak syok dan beliau percaya dengan apa yang aku ceritakan.
Sejak kejadian itu, Ibu memutuskan untuk tidak mengambil shift malam, khususnya malam Jum'at. Ibu berkesimpulan bahwa kejadian itu adalah teguran dari Sang Penunggu Rumah yang memang sudah lama menunggu rumah kami.
Itu lah kisah nyata yang pernah aku alami. Sebenarnya masih banyak kisah aneh yang sering terjadi padaku. Namun, kisah ini adalah kisah yang paling aneh menurutku.
*** The End***