Dulu, aku selalu menemukan senyumnya. Mungkin aku terlalu egois, aku sangat menyukai bundaku dalam kesederhanaan, aku juga selalu mendengarkan setiap kali bundaku memberikan teguran dan saran. Tak jarang ia rela menghabiskan waktu demi menjadi pendengar setia anak-anaknya. Dan aku bahagia di masa itu. Masa yang aku yakin tidak akan pernah terulang.
Hingga kemudian badai datang di keluarga kami, aku sedih sekali. Rasanya dunia hancur saat aku kehilangan ayah untuk selama-lamanya.
Waktu itu, aku sudah yakin. Jika aku tidak sanggup melanjutkan hari tanpa ayah. Aku hanya diam tercenung di hadapan jenazahnya. Di waktu bersamaan, aku mendengar suara isak tangis Bunda yang memilukan.
"Bagaimana bisa aku hidup? Bagaimana bisa ...?"
Tangisnya pecah, aku paham, ayahku memang satu-satunya tulang punggung keluarga kami. Semua kebahagiaan kami bersumber dari ayah, perilaku baik kami karena beliau yang memberikan contoh.
Harum pandan, cendana, mawar, melati semua itu menguar kuat di ingatanku hingga membuatku trauma. Selalu mengingatkan saat-saat ajal menjemput ayah. Apalagi jika hujan, hatiku rasanya sesak.
Karena sudah menikah, aku tinggal bersama suami di kota yang berbeda. Tapi itu bukan berarti aku mampu melupakan ayah. Bahkan di setiap pejam dan kedipku, di setiap helaan napasku, aku masih mengingat jelas bagaimana rupanya, suaranya, bayangannya. Pokoknya aku merasa selalu butuh ayah.
Setelah 7 hari berlalu meninggalnya ayah, aku memutuskan kembali ke rumah suamiku. Di sana kami menjalani hari masing-masing. Bunda dengan hidupnya, aku dengan keluarga kecilku sendiri. Mulanya semua terlihat biasa saja.
Hingga akhirnya, beberapa bulan berlalu aku memutuskan kembali pulang untuk menengok Bundaku yang ku rindukan. Di sana, di waktu itu, nyaris smua terlihat samar dan berbeda.
Hilang.
Bukan keberadaannya yang kumaksudkan, akan tetapi aku nyaris tak mengenali jika itu adalah sesosok wanita yang dulu melahirkan dan mendidikku.
Penampilannya berbeda, pergaulannya pun juga berbeda. Rumah terasa asing bagiku. Bundaku menjelma menjadi seorang wanita yang lebih modern dari segi penampilan, sedihnya ia tidak lagi peduli denganku.
"Bu, aku boleh ngobrol enggak? Pengen cerita banyak," ucapku sembari bergelayut manja. Kulemparkan tatapan teduh seolah memohon.
"Bunda gak ada waktu, ada tamu!" bentaknya padaku.
"Kamu sampai kapan di rumah? Jangan terlalu lama, kamu 'kan punya rumah sendiri bersama suami kamu! Maaf, ibu juga ingin bahagia," selorohnya dengan tatapan sengit.
Sungguh. Aku tidak pernah menduga, kalau akan kehilangan Bundaku seiring meninggalnya ayah. Hatiku hancur berserak. Tak ada yang tersisa, kecuali air mata.
Tuhan, seandainya waktu bisa diputar kembali, aku ingin menjadi anak kecil, seperti aku dulu. Tinggal bersama ayah dan bunda yang berlimpah kasih sayang tanpa adanya penyesalan. Aku takut jadi anak yang durhaka, aku bingung harus berbuat apa?
Jujur, aku merindukan bunda. Tapi bundaku yang dulu. Bunda yang mau mendengarkan keluh kesah anak-anaknya. Dan juga hidup dalam kesederhanaan. Bukan kemewahan yang menyesatkan.
Terkadang, tidak semua yang kita inginkan berjalan seperti semestinya. Menyakitkan memang, mungkin itu takdir, tapi yakinlah setiap manusia bisa mengubahnya jika memiliki keyakinan yang kuat.
White by: Lia Lintang