Terlahir dalam keluarga sangat-sangat sederhana (jika tak mau di katakan miskin), anak kedua dari enam bersaudara.
Tempat lahirku, sebuah pondok kecil di tengah belantara kalimantan tengah. Rumah kayu di tengah hutan, di kelilingi kebun karet dan buah. Rumah kakekku itu, berada di dalam hutan yang jika ingin bertemu rumah orang lain harus melewati ladang dan berjarak dua sampai tiga kilometer.
Aku lahir, di subuh sabtu...begitu cerita mendiang ibu, dan ayahku harus naik sepeda onthel untuk mencapai rumah dukun beranak yang di sebut bidan kampung, di mana jaraknya sepuluh kilometer ke tempat perkampungan.
Aku anak yang di nantikan, meski keluarga kami hidup seadanya dari berladang dan menyadap getah karet. Kakakku yang pertama bukan anak kandung orangtuaku tetapi anak dari kakak ayahku yang meninggal saat melahirkannya.
Setahun setelah kelahiranku, kami di bawa pindah ke perkampungan, yang jauhnya 10 kilometer dari rumah kakek dan nenekku. Desa kecil yang waktu itu hanya di huni puluhan keluarga saja karena ibuku akan melahirkan anak kedua, adik laki-lakiku.
Aku di besarkan dengan sederhana, tinggal di rumah kayu. Tak mengenal kompor, hanya perapian kayu tapi kami tak kekurangan nasi dari hasil ladang, kami makan sayur dan semua hal yang bisa kami olah dari hutan. Ikan-ikan dan udang kecil kami dapat dari menangguk di dalam luau(parit-parit panjang yang melintasi hutan), binatang-binatang buruan dari kancil, rusa sampai dengan burung-burung jika musim buah tiba.
Kadang hasil tangkapan itu di asinkan, di keringkan atau mungkin di fermentasi dengan garam dan tumbukan beras yang di sangrai supaya cukup untuk persediaan beberapa bulan.
Hidupku benar-benar telah melewati fase, dimana makan nasi yang di panaskan tanpa minyak dan cukup di taburi garam adalah sesuatu yang spesial. Membantu orang tua di ladang dari pagi sampai sore sambil menanak nasi di tengah ladang adalah hal yang biasa.
Lampu? membeli minyak tanah adalah hal yang langka, karena itu kami menggunakan lampu minyak, yang jika kami tidur maka orangtua kami meniupnya supaya minyak tanahnya tak cepat habis.
TV? Masa kanak-kanakku menyenangkan meski mungkin dari sudut pandang orang lain mungkin menyedihkan. Kami tak punya televisi. Bagaimana punya televisi, listrik saja tak ada. Di desa kami hanya ada satu orang yang punya televisi, yaitu orang terkaya di desa, dia punya TV yang di sambungkan dengan ACCU. Rumahnya akan terang benderang di waktu malam, sampai menjelang tengah malam, karena punya mesin genset.
Anaknya adalah teman sekolahku, aku bahkan kadang merasa iri, bagaimana bisa dia punya baju yang bagus saat natal tiba, sementara aku memakai baju yang sama sampai kekecilan.
Bagaimana bisa dia punya tas bergambar unyil, ucrit dan usro sementara aku menenteng tas plastik untuk tempat pensil dan bukuku.
Aku adalah anak yang mandiri sejak kecil, aku telah mengasuh adik-adikku dari sejak aku bisa menggendong mereka. Aku bisa masak nasi sebelum aku masuk sekolah SD, aku terbiasa setiap padi dan sore membersihkan rumah sementara orangtuaku pagi pergi menyadap karet, langsung siang ke ladang, bahkan kadang-kadang mereka pulang dua hari sekali dari ladang yang berdekatan dengan rumah kakek.
Sejak aku bisa membaca, aku sangat suka menulis dan membaca. Semua buku akan ku baca, bahkan aku bersedia duduk di depan rumah tetanggaku yang orangtuanya adalah guru demi bisa membaca buku-buku majalah anak-anak miliknya. Aku tahu, jika hari senin, hari pasar di kota kecamatan yang jaraknya 12 km dari kampungku, dia akan di belikan majalah bobo dan ananda. Aku rela menunggu dia selesai membaca untuk mendapat pinjaman bmajalah itu.
Bahkan, aku tak akan bosan membaca majalah itu berkali-kali hingga kadang aku hapal isinya.
Saat SD, setahun aku punya buku dua buku tulis saja karena orangtuaku kadang tak punya uang untuk membeli buku, sebagai anak tertua aku tak mau membebani orangtuaku untuk membeli buku. Jadi aku akan menulis menggunakan pensil, jika sudah penuh akan ku hapus dan ku tulis ulang lagi.
Aku punya sepatu, yang hanya kupunya bisa tiga tahun sekali baru di ganti. Ketika kakiku kebesaran dan robek di sana-sini aku akan menjahitnya.Dan jika tak bisa di pakai sama sekali, aku akan ke sekolah tanpa alas kaki. Untung saja, tidak hanya aku yang begitu, jadi guru tak akan memarahi kami jika hanya tak punya sepatu.
Kadang, aku akan membawa adikku ke sekolah, jika tak ada yang menjaganya, aku akan belajar sambil mengasuh adikku, itu adalah pengalaman yang tak kulupakan. Bahkan jika aku sangat ingin pergi bermain, kadang adikku ku gendong kesana kemari.
Kenangan masa kecilku, tetaplah indah jika ku ingat lagi, dari sana aku di tempa menjadi perempuan yang tangguh.
Beranjak remaja, kehidupan kami sedikit lebih baik dari masa kanak-kanakku, pada saat masuk bangku SMP, di sinilah cinta pertamaku pada dunia tulis menulis bersemi.
Sekolah SMPku berjarak 4 km dari rumahku, dan aku akan berjalan jaki ke sana dengan suka cita setiap pagi bersama teman-temanku. Sekolah kami agak jauh dari pemukiman, entah mengapa juga di bangun lewat jalan setapak. Bahkan bangunan sekolah kami itu berjarak 1 Km dari perpustakaan dan bangunan lama yang di jadikan kantor guru.
Bayangkan, aku dan teman-temanku harus berjalan dulu sejauh 1 Km untuk membaca buku di perpustakaan sekolah, bangunan kecil sederhana dari kayu, isi bukunya pun hanya buku pelajaran yang jumlahnya tak seberapa.
Tetapi bangunan kayu reyot itu, adalah hal pertama yang ingin ku datangi jika ke sekolah, membaca buku IPA tentang planet dan tata surya itu adalah favoritku selain buku sejarah.
Pada saat SMP seorang teman memberikan aku buku tulis, dan menyuruhku menulis cerita bersambung di situ. Lalu setiap hari buku itu berpindah tangan untuk di baca, lalu setelah beberapa hari kembali padaku untuk kutulis sambungannya.
Aku dan seorang temanku bernama Puni, akan menulis di sana, beberapa cerita, hanya dengan modal pen dan tulisan tangan, buku tulis itu sampai lecek beredar dari kelas ke kelas.
Lucu tetapi menyenangkan, kami tak punya majalah sekolah tetapi kami membuatnya sendiri, meski hanya cerita-cerita sederhana.
Di sanalah aku kemudian sangat suka menulis, bahkan cerita sehari-hariku ku tulis di buku Diary ketika sudah masuk SMA.
Perjuangan masa SMA pun tak kalah menantangnya, kami bersepeda ke kota kecamatan yang berjarak lebih dari 10 km setiap hari. Pergi jam 4 subuh sampai sekolah jam 6 pagi, tak pernah melewatkan upacara senin atau senam pagi dan pulang sampai rumah hari sudah sore.
Begitu selama tiga tahun, karena kami tak mampu membeli motor. Aku tetap suka membaca di perpustakaan sekolah, di perpustakaan SMA lebih besar, ada buku-buku cerita bahkan novel-novel sastra serta majalah-majalah sastra seperti horison.
Aku bercita-cita menjadi penulis, sebuah cita-cita yang akan semakin membuncah ketika aku membaca buku atau novel. Sayangnya, aku tak tahu caranya, tinggal di kampung kecil yang jauh dari teknologi bukanlah hal yang mudah untuk mewujudkan cita-cita itu.
Aku cukup pintar di kelas tak pernah keluar dari tiga besar, sehingga aku dipilih untuk masuk jurusan IPA. Dulu jurusan bukan siswa yang memilih tetapi gurunya.
Waktu berjalan cepat saat lulus SMA dalam kehidupan yang sederhana itu, aku bersikeras untuk kuliah. Dan Orangtua mendukungku meski dengan kemampuan yang rendah dan adik-adik yang masih kecil-kecil.
Bermodal uang 150rb aku di kirim melewati kapal air ke rumah tanteku di Palangka Raya melewati kota kabupaten buntok, pertama kali dalam hidupku tiga hari tiga malam bangun dan tidur di dalam kapal air, karena waktu itu tdk ada jalan darat dari kampungku menuju ibukota provinsi. Jikapun ada harus melewati ibu kota provinsi sebelah dan itupun menggunakan bus yang memakan waktu sehari semalam. Waktu itu biaya bus lebih mahal dari biaya naik kapal air.
Singkat cerita, aku kuliah sambil tinggal dirumah adik ibuku, bekerja membantu di sana sambil kuliah bukan hal yang mudah. Orang naik taksi aku bwrsepeda menuju kampus, supaya uang yang dikirimkan orangtuaku yang hanya 100rb/bulan itu cukup untukku. Kadang kala aku hanya bisa menatap teman-teman kuliahku yang asyik jajan sementara aku tak punya cukup uang untuk membeli cemilan.
Aku harus berhemat, aku berusaha mencukupkan kiriman orangtuaku tanpa menuntut banyak.
Hal yang paling berat jika harus menebus diktat atau memfotocopy materi dalam jumlah banyak dan membuat laporan tugas yang memerlukan biaya. Aku bahkan harus membagi dadar telur satu biji untuk dua kali makan. Ini bukan cerita khayalanku tetapi benanr-benar terjadi dalam hidupku. Banyak pengalaman sedihku saat berusaha meraih cita-cita yang hampir mustahil ku gapai. Tak cukup goresan di sebuah cerpen, tapi biarlah semua itu akan ku tulis dalam kenanganku sebagai pengalaman berharga dalam hidupku. Aku adalah orang yang bertekad kuat, aku tak menyerah. Karena kesibukan kuliah akhirnya aku melupakan cinta pertamaku ingin menjadi seorang penulis.
Di dua tahun terakhir masa kuliah aku pindah ke tempat kost karena aku kuliah sambil kerja di sebuah toko ponsel yang mendadak sedang trend waktu itu sekitar tahun awal 2000. Karena di sana kerja shif, aku bisa mengatur jadwal dengan temanku. Sehingga aku bisa meringankan orangtuaku dalam membiayaiku.
Lulus sekolah, aku menjadi guru honor di sekolah swasta, sambil membantu orangtuaku membiayai salah satu adikku yang berkuliah juga mengikuti jejakku.
Ada rasa bangga yang luar biasa saat aku menamatkan kuliahku, karena aku satu-satunya sarjana dalam keluarga kakek nenekku. Setidaknya aku berhasil menunjukkan dari ketiadaan kami bisa bersekolah tinggi seperti orang lain meskipun penuh perjuangan dan liku.
4 adikku berkuliah dan lulus, dan semua kami telah bekerja, aku bangga ikut andil dalam perjalanan mengantar mereka menjadi sarjana.
Hidup kami berubah pelan-pelan, dan kami bisa membangun toko serta pengisian galon untuk orangtua kami supaya di masa tuanya tak perlu lagi keluar masuk hutan dan bekerja di ladang.
Meski kemudian ibuku meninggal karena kangker saat aku dan adikku beberapa tahun di angkat menjadi pegawai Negeri. Dia pergi di saat kami sudah bisa membuatnya bangga.
Sekarang, aku adalah seorang ibu dengan tiga anak yang kadang-kadang masih bermimpi menulis buku tetapi karena kesibukanku sebagai guru Biologi di sebuah Sekolah Menengah Atas sekaligus ibu rumah tangga, aku meredam mimpi itu.
Aku mempunyai banyak buku novel dari berbagai genre, karena aku menyukai membaca.
Dan di awal tahun 2021, tepatnya di bulan april, seorang teman mengenalkan aku kepada aplikasi Noveltoon, berhari-hari aku cuma menatap aplikasi itu tanpa berani menulis satu katapun. Mengagumi setiap buku-buku di dalamnya.
Aku takut, ketika aku menulis tak ada yang membaca atau bahkan jadi bahan bullyan.
Tetapi, pada pertengahan april aku kemudian memutuskan menulis sebuah novel berjudul Menikahi Tunangan Adikku, di bimbing menulis oleh seorang teman yang telah lebih dulu menulis di noveltoon. Dia juga cuma author waktu itu bahkan belum bronzhe, tak ada penghasilan bahkan novel pertamanyapun belum di kontrak.
Selama dua minggu menulis beberapa bab, aku tertarik menulis genre romansa istana karena aku memang menyukai novel-novel kerajaan, lalu lahirkah novel Selir Persembahan.
Novel pertamaku juga jatuh bangun, pada episode ke 22 aku bahkan kehilangan ide, lalu tak menulis lagi untuk beberapa lama hanya membaca novel-novel para penulis yang sudah femes, tetapi aku punya satu orang pembaca yang selalu memberiku semangat untuk melanjutkan tulisanku, meski aku sudah berencana menghapus novelku itu. Tapi pembaca bernama Na itu begitu gigih menyemangatiku, dan selalu menunggu lanjutan babku, bahkan dia chat aku untuk memintaku melanjutkan.
Aku melanjutkan tulisanku itu hanya karena dia saja, karena takut mengecewakannya. Pada pembaca ini, aku akan selalu berterimakasih telah setia menyemangatiku dalam keadaan putus harapan.
Dengan tersendat-sendat akhirnya aku lanjutkan meski Noveltoon kadang memberi surat cinta karena aku tidak menulis dalam tiga hari lebih.
Kemudian, aku di serang virus covid pada bulan juli, aku dan anak-anakku dan suamiku, sehingga aku selama dua minggu tak membuka aplikasi Noveltoon lagi, aku bersiap untuk putus dengan noveltoon, aku fikir menjadi penulis hanya mimpi saja.
Tetapi, saat aku pulih, iseng-iseng aku membuka NT, dan aku tercengang, bahkan novel itu lulus pengajuan kontrak.
Dan, aku terpana dengan ribuan pemberitahuan dan ratusan komen, novel Menikahi Tunangan Adikku tiba-tiba masuk baner bersama Selir persembahan dan aku merasa semangat menulisku kembali lagi.
Setelah itu, levelku naik dari bronzhe ke Silver dan pada bulan agustus bahkan bisa menarik gaji pertamaku dan dengan bangga aku menyandang lencana penulis gold. Perjalananku bersama NT, dalam jatuh bangun, bersemi begitu manis sampai kini aku salah satu yang beruntung menjadi penulis platinum dengan penghasilan lumayan di satu tahun aku menulis.
Aku belajar banyak tentang menulis, strategi menulis dari Noveltoon dan setiap harinya berbenah diri untuk berharap suatu saat aku benar-benar menjadi penulis sukses di Noveltoon.
Tak pernah ada kata terlambat untuk meraih cita-cita meski kini aku menulis di aplikasi dan punya dua buku lain yang di terbitkan pada usia yang hampir kepala 4.
Kesabaran, kegigihan dan keyakinanlah yang merubah hidup kita bahkan kini akupun mempunyai kehidupan layak dan cukup karena berbekal pengalaman di masa lalu.
Dan Cintaku dengan Noveltoon semoga bisa menginspirasi penulis pemula yang pernah berada di titik insecure serta kehilangan ide. Aku mungkin tak sesukses penulis femes lainnya, tapi aku merasa bangga mewujudkan cita-citaku bersama Noveltoon.
I love You Noveltoon, terimakasih telah mengembalikan cinta pertamaku pada dunia menulis.
"Bersama Noveltoon aku telah jatuh cinta kedua kalinya pada dunia menulis dan bisa bertemu mimpi masa remaja yang pernah kulupakan"