Hah~
Seorang gadis berperawakan sedang berjalan gontai di trotoar. Wajahnya tampak kusut, kelopak mata terkulai, kedua bahu melorot jauh, langkah yang diayunnya pun nampak berat dan malas. Hembusan napas berkali-kali ia lakukan demi mengurai sesak yang merebak di dada.
"Pekerjaan yang kuinginkan semua hilang dan hancur hanya karena berita itu," sungutnya berapi-api. Ia meringis sedih, menendang kejam sebuah kerikil yang tak berdosa.
"Lagipula siapa yang menyebarkan videonya hingga terdengar di telinga si jomblo tua itu!" Ia kembali mengumpat kesal. Membayangkan wajah sang manager, membuatnya muak.
Lagi-lagi napas panjang dan berat dia hembuskan, jalanan yang bising tak ia pedulikan, di tempat seramai itu ia masih saja merasa sendiri.
Wajahnya mengernyit mengingat kejadian siang tadi, di mana ia dipecat sang manager tanpa tahu kesalahannya sendiri. Semua itu hanya karena sebuah video yang tersebar cepat di antara karyawan dan manager tersebut tidak mau tahu.
Ia meremas gemas tali tas yang ia pegang, wajah jomblo tuanya tak sedap dipandang. Selama ini juga, Shanti selalu menjaga sikap dan bicara di depan senior yang masih bergelar single itu.
"Shanti!" panggil sang manager dengan suara menggeram marah siang tadi. Shanti yang sedang duduk di depan komputernya segera menoleh dan sigap berdiri.
"Iya, Bu. Ada apa?" tanyanya takut-takut sebab wajah tua itu kini nampak sangar di mata Shanti.
"Ke ruangan saya, cepat!" tegasnya seraya berbalik dengan cepat dan berjalan meninggalkannya.
Shanti menarik napas, lantas mengayun langkah mengekor di belakang wanita hampir setengah abad itu menuju ruangannya. Tangannya dengan halus menutup pintu dan melangkah tanpa suara.
"Ada apa, Bu? Kenapa saya diminta ke ruangan Ibu?" tanya Shanti lagi meski takut ia harus tahu kepentingannya dipanggil sang manager.
"Sudah aku peringatkan jangan membuat ulah di kantor ini, tapi kamu tidak mengindahkan saya, ya?" katanya sambil berkacak pinggang angkuh. Nampak seram.
Shanti gelagapan bingung, ia mengingat lagi apa yang sudah dia lakukan selama di kantor. Tak ada.
"Maaf, Bu. Saya tidak mengerti bagaimana maksud Ibu? Tolong, bisa Ibu jelaskan," ucap Shanti pada akhirnya. Ia menyerah lantaran tidak menemukan kejanggalan dalam ingatan.
Manager bengis itu mengeluarkan gawai dari saku dan memperlihatkan sesuatu kepada Shanti. Dengan tangan gemetar, ia menerima benda tersebut dan melihat apa ingin ditunjukkan sang manager.
Shanti melongo dengan wajah bodoh ia menatap sang manager yang geram kepadanya. Pantas saja, singa itu terlihat sangar pagi ini karena video yang sedang dilihatnya.
Sebuah video yang menunjukkan Shanti berada dalam satu lift yang sama dengan Presdir di perusahaan tersebut. Semua karyawan tahu jika sang manager tergila-gila pada pria jangkung dan tampan itu.
Dalam video itu memperlihatkan sang Presdir tengah berhadapan dengan Shanti di sebuah lift yang rusak. Laki-laki itu menolong Shanti yang hampir kehabisan napas karena lift belum berhasil ditangani.
"Apa yang kamu lakukan pada Presdir di dalam lift itu?" sungut sang manager melayangkan tatapan tajam dan dingin langsung menusuk ke ulu hati Shanti.
"Ti-tidak ada, Bu. Sa-saya tidak melalukan apapun pada Ketua," sahut Shanti tergagap. Tangan manager merebut paksa ponsel tersebut dari tangan Shanti.
Sungguh tak dinyana, video tersebut akan menyebar ke seluruh bagian kantor. Shanti hanyalah seorang karyawan biasa, belum lama ikut bergabung di kantor tersebut. Dia memiliki paras yang cantik alami, membuat iri setiap karyawan wanita di gedung tinggi tersebut.
"Kamu menggoda Presdir, 'kan? Beraninya kamu menggoda calon suami saya! Ini! Mulai hari ini kamu tidak perlu lagi datang ke kantor!" katanya seraya memberikan secarik kertas kepada Shanti.
Kertas pemecatan dirinya secara tidak hormat.
Lagi, Shanti membuang napas panjang. Di jalanan ramai itu ke mana kaki akan melangkah? Ia sendiri tidak tahu. Memikirkan ke mana harus mencari kerja, sedangkan ia hanya berbekal ijazah SMA saja. Sangat sulit untuknya mencari kerja.
"Siapa yang mau menerima lulusan SMA sepertiku? Kenapa harus dipecat segala, sih?" Ia mulai kesal. Mengumpati manager tua itu dengan kejam.
"Aku sumpahin si manager itu tidak akan pernah menikah dalam waktu yang lama!" Kakinya menendang-nendang kerikil dengan kesal.
Lelah dengan kelakuannya, Shanti berbelok ke sebuah taman kota yang sepi jika siang hari seperti ini. Ia duduk di sebuah bangku taman, bersandar lesu. Peluh membanjiri wajahnya yang cantik tanpa polesan make-up.
"Bagaimana aku akan melanjutkan hidupku?!" Ia menggeram. Menengadah dengan mata terpejam. Lelah dan bosan.
Ia menurunkan pandangan, menatap jalanan yang tak pernah sepi kendaraan. Kendaraan roda empat dan dua berseliweran tiada henti. Tak pernah surut, dan terus berdatangan.
Shanti mengernyit saat kedua matanya melihat satu sosok yang berdiri di pinggir jalan. Di telinganya menempel sebuah ponsel, nampaknya, ia hendak menyeberang.
Laki-laki berseragam resmi itu mulai meniti langkah memasuki jalanan yang ramai tanpa melihat ke kanan dan kiri tubuhnya. Ia melangkah pelan dengan salah satu tangan yang membentang, dan tangan lainnya yang menempel di telinga.
Shanti berdiri cepat saat menangkap sebuah kejanggalan. Dari arah kiri laki-laki itu sebuah truk melaju tak terkendali. Bunyi klakson peringatan nyaring terdengar, tapi tak tertangkap indera rungu laki-laki yang sedang menyeberang itu.
"Tuan! Awas!" teriak Shanti, tapi tak digubrisnya. Ia yang panik langsung berlari ke arah jalanan. Tepat, disaat truk itu hampir menghantam tubuhnya, laki-laki tersebut baru tersadar, tapi sudah terlambat.
Ia melindungi wajah dengan kedua tangan siap menerima nasib buruknya. Namun, seseorang dengan keberanian yang tinggi menerobos jalanan itu dan menarik tubuh laki-laki dari jalanan beberapa detik sebelum truk tersebut menerjang tubuhnya.
Mereka berguling di atas rumput, saling berpelukan, dan Shanti terpental jauh.
"Aw!" Shanti melenguh kesakitan. Kedua matanya terpejam, mengernyit merasakan sakit di sekujur tubuhnya.
Warga berbondong-bondong datang menolong. Membantu laki-laki itu untuk bangun dari atas rumput. Ia mencari sosok yang sudah menarik tubuhnya, di sana Shanti sendirian. Ia terlempar dan menabrak pohon palem yang tumbuh di pinggiran taman.
Shanti berdesis, memegangi bagian pinggangnya yang berdenyut karena menghantam batang pohon palem. Ia membuka mata cepat untuk melihat keadaan laki-laki yang hampir mati itu.
Shanti menghela napas lega disaat ia selamat dan dibantu para warga. Namun, detik berikutnya, ia membelalak saat mengenali siapa laki-laki itu.
"Ke-ketua!" lirihnya dengan lidah yang kelu. Namun, laki-laki itu justru tersenyum kepadanya.
"Gawat! Sepertinya Ketua mengenali aku. Bagaimana ini? Pinggang aku sakit!" keluh Shanti membuang pandangan sambil menggigit bibirnya.
Terbayang adegan dalam video di mana wajah mereka begitu dekat dan teramat dekat hampir bertabrakan. Ingin segera beranjak dan pergi, tapi tubuhnya tak mengizinkan.
Laki-laki itu beranjak, berjalan sedikit pincang menghampiri tempat Shanti berada.
"Kamu tidak apa-apa?" Suaranya yang maskulin menggetarkan hati gadis polos itu. Ah, seandainya suara itu mampu mengembalikan pekerjaannya ... sudahlah!
"Ti-tidak apa-apa. Sa-saya ti-tidak apa-apa," jawabnya terbata dengan kepala tertunduk tak berani menatap lawan bicaranya. Pada hakikatnya, ia sedang menahan nyeri di sekujur tubuhnya.
"Kamu ... Shanti, bukan? Karyawan di bagian pemasaran? Kenapa di jam kerja seperti ini berkeliaran di luar?" cecar laki-laki tersebut membuat Shanti semakin kikuk.
Hening. Gadis itu bungkam. Bingung harus menjawab seperti apa.
"Sa-saya dipecat, Ketua. Tadi pagi." Pada akhirnya ia memilih untuk jujur saja karena tak ingin menambah masalah.
"Dipecat? Apa masalah yang kamu buat hingga kamu dikeluarkan oleh perusahaan?" Terkejut, laki-laki itu amat terkejut mendengarnya. Yang ia tahu, Shanti karyawan baru yang tak pernah membuat masalah.
"Semua itu karena video kita yang terjebak di dalam lift rusak waktu itu tersebar di seluruh ponsel karyawan, Ketua. Oleh karena itulah saya dipecat, dan sekarang tidak tahu harus mencari pekerjaan ke mana dengan berbekal ijazah SMA saja," keluh Shanti tanpa sadar mengungkapkan isi hatinya.
Laki-laki yang ia sebut sebagai Ketua itu mendesah, Shanti tetap membuang pandangan darinya. Terlalu malu untuk bertatapan dengan manik tegas di hadapan.
Ia berdesis disaat pinggangnya kembali berdenyut nyeri.
"Kita ke rumah sakit! Sepertinya kamu butuh pertolongan," katanya. Tanpa segan mengangkat tubuh Shanti dan membawanya ke mobil. Gadis itu memekik terkejut, tapi senang bukan kepalang. Hatinya bersorak gembira, dengan reflek kedua tangannya melingkar di leher sang Ketua.
*****
"Bagaimana keadaan kamu?" tanya Kevin sang Ketua di perusahaan.
"Sudah lebih baik, Ketua. Anda tidak perlu repot menjenguk saya. Saya sudah tidak apa-apa," sahut Shanti sambil menunduk dalam-dalam.
Kevin tersenyum, ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan sesuatu dari sana.
"Ini, ambillah, sebagai ungkapan terima kasih saya karena kamu sudah menyelamatkan nyawa saya," katanya sambil menyodorkan sebuah kotak berudu ke depan wajah Shanti.
Gadis itu mendongak, menatap penuh tanya pada laki-laki di depannya.
"A-apa ini?" tanyanya masih belum berani mengambil apa yang disodorkan laki-laki itu.
Kevin meraih tangan kanan Shanti, membuka kotak tersebut yang ternyata sebuah cincin sederhana, tapi indah di dalamnya. Tanpa segan ia menyematkan cincin tersebut di jari manis Shanti.
"Ke-ketua? Ini tidak perlu. Sungguh, saya tidak memerlukan hadiah apa-apa," katanya melipat jemari sebelum cincin tersebut tersemat sempurna.
Kevin mengurai jemari Shanti dan melanjutkan apa yang ia lakukan. Sangat pas di jari gadis itu.
"Besok, datanglah ke kantor. Jika ada yang bertanya, sebut saja nama saya!" katanya tegas. Shanti kembali menunduk, memandangi cincin yang tersemat di jari manisnya. Kevin mengulas senyum, puas dan lega.
Keesokan harinya, Shanti kembali ke kantor dengan jantung yang berdebar-debar. Berharap tak bertemu dengan sang manager yang memecatnya kemarin.
"Shanti! Masih berani kamu menginjakkan kaki di kantor ini?!" Suara lantang menghardik Shanti yang baru saja memasuki lobi. Ia memejamkan mata, menyiapkan hatinya.
Shanti berbalik dengan wajah ramah, "Selamat pagi, Bu!" sapanya sopan.
"Siapa yang menyuruhmu datang ke kantor? Bukankah surat pemecatan kemarin sudah jelas?" bentaknya tak suka.
Shanti menarik napas menguatkan hatinya. "Maaf, Bu, tapi Ketua sendiri yang meminta saya untuk datang ke kantor," jawabnya dengan tenang.
Ia mencibir, menatap nyalang sosok gadis cantik di hadapannya.
"Jangan membual! Siapapun tidak akan ada yang percaya sama kamu. Sebaiknya kamu pergi sebelum saya panggil satpam!" ancamnya kejam.
Shanti tetap tenang. "Maaf, Bu, tapi Ketua meminta saya untuk datang menghadapnya," katanya dengan tegas.
Mulut wanita paruh baya itu terbuka, tapi sebuah panggilan menghentikannya.
"Bu Retno, semua karyawan diminta berkumpul di aula. Ada pengumuman besar hari ini dari Presdir," katanya memberitahu manager jahat itu.
Sekilas wajah tuanya berbinar, teramat senang akan bertemu dengan sang pujaan hati. Ia meninggalkan Shanti tanpa kata menuju aula. Tak lupa memoles lipstik mempertebal warna merah di bibirnya.
Shanti mengekor jauh di belakangnya, ia berdiri di barisan paling belakang karena segan. Di atas podium Kevin berdiri dengan gagah. Memberi sapaan kepada semua karyawan yang disambut antusias oleh semuanya.
"Hari ini sengaja saya kumpulkan kalian semua karena ada hal penting yang ingin saya beritahukan kepada kalian semua." Ia tersenyum memandang semua karyawan. Bos yang ramah. Pantas saja si manager tua itu tergila-gila padanya.
"Yang pertama saya mengangkat salah satu di antara kalian sebagai asisten pribadi saya." Suara riuh rendah saling berbisik dan menebak siapa di antara mereka yang beruntung.
"Shanti! Silahkan naik ke podium!" Gadis yang berdiri di belakang itu membelalak tak percaya. Sang manager yang percaya diri pun tak kalah terkejut seperti yang lain.
Shanti yang bingung menuntun langkahnya menuju podium. Ia berdiri berdampingan dengan Kevin dan yang tak ia sangka adalah, Kevin menjulurkan tangan ke arahnya. Dengan segan ia menyambut uluran tangan tersebut.
Ada yang sedang berapi-api di tengah kerumunan karyawan tersebut. Dia yang menginginkan Kevin, tapi gadis itu yang dapat. Maksud hati memecatnya agar ia menjauh, tapi nyatanya justru semakin dekat dengan laki-laki incarannya.
"Shanti akan menjabat sebagai asisten pribadi saya. Mulai sekarang hormati dia sebagaimana kalian menghormati saya!" pintanya. Hening. Semua orang terlalu terkejut mendengar berita itu.
"Dan yang kedua, selain menjadi asisten saya, Shanti adalah tunangan saya, calon istri saya. Jangan sekali-kali memperlakukannya dengan buruk atau nasib buruk menghampiri kalian."
Shanti membelalak, dan semua karyawan ikut terbelalak mendengarnya. Manager tua itu bahkan jatuh pingsan dan harus dilarikan ke ruang kesehatan.
"Ke-ketua ...?" Kevin menoleh dengan senyum tersemat. Ia menunjukkan cincin di jari manisnya, cincin yang sama seperti yang ia kenakan. Shanti menggeleng tak percaya.
Kevin menyudahi pengumuman dan mengajak Shanti ke ruangannya. Di ruangan itu ia akan bekerja, di bawah pengawasan langsung sang Presdir.
"Ke-ketua? Anda tidak bersungguh-sungguh, bukan? I-ini hanya lelucon saja, bukan!" tanya Shanti setelah keduanya sampai di ruangan Kevin.
Laki-laki itu berbalik, menggenggam tangan lembab Shanti dan meremasnya. Tatapannya berpijak pada manik coklat milik Shanti yang terasa hangat.
"Tidak, Shanti. Aku bersungguh-sungguh. Aku ingin menikahimu karena keinginanku sendiri. Sudah lama aku memerhatikan kamu, dan baru sekarang aku berani mengakui. Maukah kamu menikah denganku, dan menjadi Ibu untuk anak-anakku, Shanti!" ungkap Kevin seraya mencium punggung tangan Shanti penuh cinta.
Ah, entah apa yang telah dia lakukan sehingga nasib baik datang menghampirinya. Ia tersenyum, mengangguk malu-malu dengan wajah yang bersemu.
Kevin menarik tubuh gadis itu ke dalam pelukan, menumpahkan segala perasaan. Padahal, ia melakukan itu karena desakan orang tua yang memintanya untuk segera menikah, tapi dibalik itu hati kecilnya mulai ditumbuhi bunga-bunga cinta.