"Ketika kamu kehilangan satu mimpi, bukan berarti kamu tak bisa memiliki mimpi lagi."
Langit jingga telah memudar di atas cakrawala, yang berganti menjadi langit gelap gulita. Bersama dengan tetesan air yang mulai turun membasahi bumi, lalu lalang jalanan pun tampak sepi. Memangnya siapa yang akan memilih keluar rumah disaat hujan dan cuaca dingin.
Mereka akan lebih memilih bergelung di dalam selimut,membuat secangkir kopi hangat, membaca sebuah novel atau mungkin tengah sibuk dengan segala pemikiran di kepala. Dan seorang gadis yang tengah berjalan di bawah guyuran pun sama, ia sibuk dengan pikirannya.
Gadis itu hanya terus berjalan dengan menundukan wajahnya, bahkan tak peduli dengan hawa dingin yang menembus kulitnya. Ia hanya terus berjalan dan terus berjalan. Hingga akhirnya langkahnya terhenti, saat netranya melihat sepatu yang di kenalinya. Ya, dia mengenali seorang pemilik sepatu itu dan kiri seseorang itu tengah berdiri di hadapannya.
Memegang sebuah payung berwarna hitam dan ia pun memakai dress sebatas lutut yang juga berwarna hitam.
"Kemana aja kamu?" tanya seseorang itu dengan nada datar, tapi gadis itu tak menggubris nya sama sekali.
"Kayla jawab aku!" bentak seseorang itu sembari menahan erat tangan Kayla. Tapi sang empu sama sekali tidak menjawab apapun, Kayla masih menatap aspal yang ia pijak, seolah enggan untuk barang sejenak menatap ke arah lain.
"Kayla, ayo pulang," mohon seseorang itu, seorang gadis dengan rambut yang di kucir kuda. Tapi setelahnya hanya diam yang menjawabnya, tak berhenti di situ saja ia kemudian berdiri di depan Kayla, melepaskan payung dari genggaman nya dan memegang erat bahu rapuh milik Kayla.
"Kayla tatap gue! Gue Sena!" bentaknya tepat di depan Kayla yang kini menatapnya terkejut. Pupil matanya bergetar begitupun bibirnya, Kayla merasa lidahnya kelu. Ya, itu Sena, itu Sena. Dan Sena pun langsung membawa Kayla dalam pelukannya, begitu erat, tidak peduli meski bajunya kini basah.
Kayla menangis di sana, benar-benar menangis, begitupun dengan Sena. Gadis itu juga menangis dalam diamnya, tak mengucapkan apapun dan hanya diam mendengar tangisan Kayla.
"S-sena gue, gue...Rey gimana." Ucapnya terbata, sedangkan Sena melepas pelukannya pelan, dan kembali memegang bahu Kayla erat. Menatap tepat pada kedua netra berwarna hazel yang begitu indah.
"Rey udah bahagia, jadi kamu nggak perlu merasa bersalah lagi. Oke?"
"Tapi, tapi karena gue Rey-"
"Bukan salah lo Kayla," Sena menekankan kata 'Kayla' di akhir kalimatnya. Gadis itu menggeleng dengan senyum tipis di wajahnya.
"Ada hal yang nggak bisa di cegah di dunia ini, dan itu takdir. Jadi, Kayla lo harus tetap hidup. Itu yang Rey bilang," nada suara itu sedikit bergetar dan Kayla sangat paham. Rasanya seperti ada batu besar menghantam nya, rasanya sesak, tapi tercekat di tenggorokan nya tanpa mampu ia keluarkan, hanya diam mematung di sana dengan lelehan air mata yang terus mengalir.
"Sena, kenapa lo nggak pergi ninggalin gue aja?" suara itu terdengar begitu lirih tapi Sena masih cukup jelas mendengarnya.
"Karena gue lo kehilangan adek lo."
"Karena gue lo kehilangan satu-satunya keluarga lo."
"Karena gue lo sendirian lagi.".
"Kenapa lo ngga benci sama gue-" Kayla menjeda ucapannya dan menatap dalam ke arah mata Sena.
"Gue penderita Prosopagnosia, seharusnya lo benci gue. Seharusnya lo nggak biarin Rey suka sama gue, orang yang bahkan gabisa mengenali wajahnya bahkan wajah gue sendiri." Dan Kayla tak dapat menyembunyikan getaran pada nada suaranya, kedua tangannya mengepal erat.
Jika saja ia bisa meraih tangan itu
Jika saja ia bisa menyelamatkan
Jika saja ia bisa mengenali wajah Rey
Semuanya tidak akan berakhir bukan?
Padahal ia mengenali suara Rey
Padahal ia mengenali netra biru milik Rey
Tapi kenapa ia tak melangkah maju
Kenapa ia malah melangkah mundur
Jika saja ia bisa, maka Rey tidak akan jatuh
Rey tidak akan memilih jalan untuk mengakhiri diri sendiri
Tapi ia, ia bahkan terkadang kesulitan memahami perasaan orang lain
Dan Kayla, hanya tersisa penyesalan dalam dirinya
Hanya itu yang tersisa