"Aku sangat tidak sabar untuk menemuinya!" monolog Sheila dengan senyum cerah di wajahnya.
Saat ini ia berniat ke apartemen pacarnya untuk memberi kejutan. Malam hari tepat pada pukul 12 malam merupakan ulang tahun sang pacar--Ezra yang ke 18. Sheila bersenandung ceria dengan sebuah kotak yang berisi kue di tangannya.
Saat sampai di depan apartemen pacarnya, Sheila menarik nafas dalam-dalam. Karena ia sudah tahu passwordnya, tanpa basa-basi Sheila langsung masuk.
Senyum di wajahnya langsung lenyap di gantikan keterkejutan saat melihat dua pasangan yang tengah berciuman panas di sofa. Kue malang itu jatuh begitu saja ke lantai menarik atensi kedua orang itu. Tidak ada rasa terkejut di ekspresi mereka seolah-olah kedatangan Sheila sudah mereka duga.
Bagaikan pisau yang menusuk bertubi-tubi, hati Sheila sangat sakit. Ia tidak percaya bahwa pacarnya akan berselingkuh, apalagi orang itu adalah sahabatnya sendiri.
"Ezra? Ara?" liriknya. Air mata menggenang di mata Sheila. Matanya memerah. "Kenapa ...."
Sheila kira semua ini hanya mimpi buruk, namun saat kukunya tertancap di telapak tangan karena kepalan, ia pikir ini semua benar-benar nyata karena rasa sakitnya pun nyata.
Ezra dan Ara dengan santai merapikan pakaian yang kusut karena kegiatan panas sebelumnya. Ezra berdiri diikuti Ara. Pria itu melingkarkan tangannya di pinggang Ara dan berkata. "Sheila, Ayo putus."
"... apa?" Sheila tersedak. Air matanya semakin deras. Rasa sakit di hatinya begitu kuat, apalagi melihat wajah mereka yang sama sekali tidak bersalah.
"Aku sudah mencintai Ara begitu lama, dan kamu hanya aku jadikan sebagai alat untuk mendekati Ara." Ezra berujar begitu santainya.
Ara bersandar di pelukan Ezra dengan senyuman tak bersalah. "Maaf, Sheila. Aku memang egois. Tapi aku sama-sama mencintai Ezra."
Sheila tertawa marah. Suaranya yang serak menjerit dan meraung. "Kau berengsek, Ezra! Aku membencimu! Aku sangat membenci kalian berdua!!"
***
Sheila menghapus air matanya dengan kasar saat mengingat kejadian enam tahun yang lalu itu. Ekspresinya suram dan dingin. "Kenapa aku masih belum melupakannya?"
Sheila mengepalkan bolpoin di tangannya. Sejak malam itu, Sheila tidak pernah bertemu lagi dengan Ezra seolah dia lenyap dari bumi. Dan sahabatnya--Ara, sama-sama menghilang tanpa kabar. Sheila tidak tahu, apakah ia masih mencintai Ezra? Atau mungkin membencinya.
Tok tok
Mendengar ketukan, Sheila langsung duduk tegak dan kembali pada penampilan dinginnya. "Masuk."
Detik berikutnya, pintu terbuka menampilkan seorang wanita berusia sekitar 25 tahun, di tangannya terdapat buket besar. Ia menatap atasannya dengan senyuman menggoda. "Seperti biasa, Bos. Anda mendapatkan kiriman bunga lagi."
Tanpa meliriknya sedikit pun, Sheila berkata tanpa ampun. "Buang."
Berlina--sekretaris Sheila hanya menghela nafas. "Apakah Anda tidak mau membuka hati, Bos? Jika kamu terus seperti ini, kamu akan menjadi perawan tua."
Mereka sudah dekat layaknya seorang teman, jadi Berlina sangat santai dan blak-blakkan kepada Sheila.
Sheila adalah bos cantik yang dingin di mata semua karyawan perusahaannya. Hampir setiap hari, selalu ada barang kiriman dari berbagai pria yang mengincar Sheila. Dan bahkan, banyak CEO muda yang ingin bekerja sama dengan perusahaan Sheila hanya karena kecantikan dan keprofesionalannya terhadap pekerjaan. Hanya saja, hati Sheila sudah benar-benar membeku dan tertutup rapat. Sejak putus dengan mantannya, Sheila tidak pernah membuka hati lagi.
"Tidak," balas Sheila dingin. "Buang itu. Jangan menghalangi pandanganku."
Berlina hanya pasrah. "Baiklah, baiklah." Lalu ia keluar.
"Berengsek." Sheila akan mengutuk setiap mendapatkan kiriman apapun dari pria. Tanpa sadar, ia menganggap semua pria sama seperti Ezra. Di mana mereka akan berbohong dan berkhianat.
***
"Apakah Anda ingin saya antarkan pulang?"
Sheila tidak tahan melihat binaran di matanya yang agak polos. Jadi ia mengangguk membuat karyawan pria itu kesenangan.
Sheila sudah mengenal Reza selama setahun, dan sudah setahun pula Reza bekerja di perusahaannya. Walaupun Sheila membenci para pria, tapi sepertinya Reza pengecualian. Dia sangat lucu sehingga membuat mood buruk Sheila selalu membaik. Sikapnya yang agak polos, terlalu rajin, ceria, ramah, membuat Sheila sedikit luluh.
Sheila tahu bahwa banyak karyawannya sendiri yang tidak menyukai Reza karena temperamennya seperti orang bodoh, tapi tidak dengan Sheila. Reza selalu berinisiatif mendekatinya tanpa rasa takut bawahan kepada atasannya. Setiap kali berpapasan, dia akan mengajaknya makan atau minum coffe ataupun mengantarnya pulang.
Pada akhirnya sikap Sheila yang dingin agak luluh. Selama itu, mereka cukup sehingga Reza selalu menceritakan tentang dirinya sendiri tanpa khawatir, dan itu membuat Sheila di beri kepercayaan olehnya.
Bukannya Sheila tidak punya sopir, tapi ia sengaja agar Reza menawarkannya pulang bersama.
Reza dengan semangat memimpin jalannya dan keluar dari perusahaan menuju tempat mobil sederhananya berada. Ia berlari dan membukakan pintu untuk Sheila. "Silahkan, Nona."
Sheila tersenyum geli dan masuk.
Reza berjalan memutar dan ikut masuk ke tempat duduk mengemudi. Mobil mulai berjalan dengan kecepatan rata-rata. Lama-kelamaan, suasana menjadi hening dan agak aneh.
Sheila melirik Reza dan merasa heran dengan keterdiamannya. Biasanya, dia akan mengoceh sepanjang jalan. Namun, kenapa hari ini dia diam?
Tiba-tiba, Sheila merasa ada yang salah. Jalan ini asing. Sheila menatap Reza ragu. "Reza? Sepertinya jalannya salah. Ini bukan jalan pulang ke rumahku ...."
Reza tidak menjawab seolah tuli. Sheila merasa ada yang tidak beres. Wajah Reza tanpa ekspresi, dan matanya hanya fokus ke depan untuk mengemudi.
"Reza? Ini bukan jalan ke rumahku," imbuhnya lagi berusaha tenang.
"Ya. Aku akan mengajakmu ke tempatku. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan." Suara Reza rendah dan samar tanpa jejak emosi.
Sheila terkejut karena ini pertama kalinya Reza berbicara informal kepadanya. Tapi ia hanya diam dan mengikuti. Walaupun ia sedikit curiga, tapi ia sudah mengenal Reza sejak lama.
Dalam keheningan yang menyesakkan untuk Sheila, akhirnya mobil terparkir di depan gedung sebuah apartemen. Sheila sangat terkejut. "Apartemen ini ...."
Reza menoleh. "Ada apa? Apakah apartemenmu di sini? Kebetulan aku juga di sini."
Kejadian menyakitkan itu terlintas kembali di benaknya. Ia menggeleng kosong. "Tidak. Aku tidak tinggal di sini. Kenapa kamu membawaku ke sini?"
"Aku ingin membicarakan sesuatu yang sangat penting, dan aku tidak bisa mengatakannya di luar. Jadi, aku mengajakmu di apartemenku yang tertutup," kata Reza santai.
Sheila merasa sikapnya berbeda. Namun, mendengar apa yang di bicarakan, ia hanya mengangguk setuju.
Mereka keluar mobil dan masuk ke dalam gedung tinggi itu. Sepanjang jalan, Reza tidak berkata apapun, begitu pun Sheila yang sudah terbiasa dengan dirinya yang irit bicara. Saat menaiki lift, Sheila sedikit termangu karena Reza menekan lantai 9. Hati Sheila kacau. Wajahnya memucat. Itu adalah lantai apartemen Ezra dulu. Walaupun ia sangat tahu pria itu tidak akan berada di sini lagi, namun kenangan buruk menghantui pikirannya.
Sheila kira, hanya kebetulan apartemen Reza berada di lantai 9, namun tiba-tiba saja Reza berhenti di depan pintu apartemen yang merupakan pertemuan terakhir Sheila sana Ezra.
Wajah Sheila semakin pucat. Ia bertanya gemetar. "Ap-akah ini apartemenmu?"
Seolah tidak menyadari ada yang salah, Reza membuka pintunya setelah memasukan password dan membalas. "Ya."
Saat pintunya terbuka lebar, Sheila mundur dengan ketakutan.
"Ada apa denganmu? Ayo masuk." Reza menatapnya santai.
"Aku tidak mau. Besok saja jika ada yang ingin kamu bicarakan. Aku akan pulang." Sheila menggeleng lemah.
Tiba-tiba saja dengan agresif Reza mendekat dan menarik lengan Sheila masuk dengan paksa. "Tidak. Aku ingin mengatakannya sekarang."
Sheila sangat terkejut dengan gerakannya. Ia marah. "Ada apa denganmu, Reza?! Aku tidak mau! Kamu sangat berani memaksaku!"
Karena kekuatan yang tak seimbang, Sheila terseret begitu saja ke dalam apartemen Reza. Setelah pria itu menutupnya pintunya, Reza langsung memeluk Sheila erat.
Sheila tertegun dan takut sehingga air matanya mengalir. "Apa yang kamu lakukan! Lepaskan aku! Kenapa kamu membawaku ke sini, Reza?! Kamu sangat abnormal!!"
Tangannya yang keras dan melingkar kuat di pinggang Sheila dan sama sekali tidak berpengaruh oleh berontakan Sheila.
"Lepaskan aku!! Tolong ... lepaskan aku ...." Sheila sangat putus asa. Seharusnya ia benar-benar tidak mempercayai pria mana pun..
Reza memegang kepalanya dan menyenderkan ke dadanya yang lebar. Dengan satu tangan, ia mengeluarkan sesuatu dari tenggorokannya tanpa Sheila sadari. Lalu tiba-tiba suara Reza berubah menjadi magnetis. "Ini aku, Sheila."
Sheila menegang, gerakannya yang berontak langsung berhenti, matanya membulat terkejut, jantungnya yang mati rasa langsung berdegup kencang. Ia akan mendongak, namun pria itu menahan kepalanya di dadanya. Sheila bisa mendengar detak jantung pria itu yang lebih cepat darinya.
"Kamu mendengarnya sendiri. Jantungku berdetak kencang dan sampai kapanpun akan selalu seperti ini jika berada di dekatmu." Bisikan lembut familier menerpa telinga Sheila. "Tolong dengarkan aku, Sheila. Aku akan menjelaskan semuanya dari awal."
Rasa cinta dan benci, rasa rindu dan muak bercampur di dada Sheila. Ia hanya diam.
Ezra menjadi sedikit tenang saat Sheila tidak berontak lagi. Ia meletakkan dagunya di kepala gadis itu. "Aku sama sekali tidak menyukai Ara sedikit pun, karena yang aku cintai hanyalah kamu satu-satunya. Kamu akan menjadi cinta pertama dan terakhirku."
"Apakah kamu tahu kenapa aku menghilang lama setelah malam itu? Karena itu sudah menjadi rencanaku. Aku melakukan itu dengan Ara agar kamu membenciku dan melupakanku. Aku bekerja sama dengannya dan Ara menyetujui permintaanku. Aku mempunyai penyakit langka sehingga dokter tidak menyembuhkanku dengan mudah. Dan aku berkemungkinan tidak bisa hidup lama lagi jika tidak segera di sembuhkan. Aku putus asa, Sheila. Aku tidak tahu apakah aku harus memberitahuku atau merahasiakannya. Aku tidak ingin berpisah denganmu, aku tidak mau meninggalkanmu, aku hanya ingin tetap berada di sisimu. Sampai di mana, pamanku mendapat kabar bahwa ada seorang dokter jenius dari luar negeri yang berkemungkinan 10% bisa menyembuhkanku, namun jika gagal aku tidak bisa di selamatkan. Semangat ku untuk hidup berkobar kembali dan aku yakin bisa hidup saat itu juga. Aku berencana membuatmu membenciku dan melupakanku karena aku takut aku tidak bisa kembali hidup-hidup ke negara ini. Selama empat tahun aku berobat di luar negeri, akhirnya berkat anugrah Tuhan aku di nyatakan sembuh sepenuhnya. Aku ingin memberitahumu kabar bahagia ini, namun aku lupa, kamu pasti sangat membenciku. Jadi, saat aku pulang kembali ke tanah air, aku menyamar menjadi karyawanmu hanya untuk mendekatimu. Aku tidak berani berhadapan denganmu langsung. Aku hanya takut keberadaanku membuatmu semakin muak dan benci. Jadi selama ini aku menyamar menjadi Reza. Saat pertama kali aku bertemu denganmu sebagai samaran, aku sangat ingin memelukmu, namun aku harus menahannya. Dan saat ini. aku tidak bisa menahannya lagi, Shaila. Aku benar-benar merindukanmu, aku ingin memelukmu seperti ini ...."
Sheila benar-benar tidak menduga semua ini. Reza di matanya sangat berbeda dengan Ezra sehingga ia sama sekali tidak bisa mengenali. Ia tidak tahu harus berkata apa. Namun, diam-diam hatinya lega. Dan kerinduan dan cintanya tidak bisa di sembunyikan lagi.
Mendengar keheningannya, hanya membuat Ezra semakin cemas, takut, kalut. Ia memeluknya lebih erat dan membenamkan wajahnya di leher Sheila. Tubuhnya bergetar. Suaranya serak karena menangis. "Maafkan aku, Sheila. Aku mohon padamu. Tolong maafkan aku."
Ezra merasakan kepalan tangan memukul-mukul dadanya. Lalu ia mendengar isakan orang di pelukannya. "Aku membencimu, hiks. Aku sangat membencimu."
Tidak seperti kalimatnya, nada suaranya sama sekali tidak mengandung kebencian. Ezra sedikit lega. Ia mencium pucuk kepalanya bertubi-tubi.
"Kamu berbohong. Aku membencimu, hiks. Kamu pembohong besar. Kamu pasti akan meninggalkanku lagi ...," isak Sheila tanpa henti memukul dada pria itu.
Ezra mengambil kepalan tangannya dan menciumnya lembut. "Ya, ya. Aku pembohong. Maafkan aku, Sayang. Aku berjanji tidak akan pernah meninggalkanmu sampaii kapan pun."
Sheila mendongak dan melihat wajah tampannya yang sedikit berubah dan lebih dewasa. Tidak ada kaca mata yang bertengger di hidungnya, fitur wajahnya berubah. Sheila tidak tahu kapan pria ini menghapus penyamarannya, namun ini benar-benar Ezra yang di kenalnya versi dewasa.
Dengan mata berair, hidung dan lingkaran bahwa mata memerah, bibir mengerucut, Sheila mengedipkan matanya. "Benarkah? Apakah kamu benar-benar tidak akan meninggalkan ku lagi?"
Ezra menunduk dan mencium kedua kelopak matanya yang langsung tertutup. "Ya. Aku berjanji."
Ezra menunduk. Bibirnya turun dan bertumpu pada bibir Sheila.
Sheila yang terkejut langsung terhanyut dan melingkarkan tangannya di lehernya. Keduanya berciuman sehingga nafas mereka habis dan terengah-engah. Ezra memeluknya kembali dan mencium dahinya. "Aku mencintaimu, Sheila."
Sheila melingkarkan tangannya di pinggang pria itu dan berbisik lembut. "Aku juga mencintaimu. Ezra."
***
[END]
20 Maret 2022