Setelah di tinggalkan pacarku, aku menjadi bossnya...
Aku menghela nafas ketika bayangan menyakitkan itu kembali berputar.
5 tahun yang lalu.
"Ana" aku tersenyum, pasti Reno yang memanggilku. Dengan cepat aku membalikan tubuhku lalu berlari memeluk tubuh Reno dengan erat.
"Kangen" ucapku dengan manja. Reno, pria yang sudah 2 bulan ini menjadi pacarku itu, tertawa.
"Pinter banget sih, gombalnya.." ucap Reno disela tawanya lalu dengan gemes Reno mendaratkan kecupan di kening Ana.
Ana tertunduk sembari menutup wajahnya yang memerah.
"Kenapa ditutup?" Ucap Reno dengan lembut
"Malu" Gumam ku dengan pelan, namun gumaman itu masih dapat Reno dengar.
"Ngapain mesti malu sih Na, gak ada orang yang liat kalaupun ada mereka pasti akan maklum, kamukan pacar aku"
"Kamu gak malu pacaran sama aku?" Rahang Reno mengeras
"Aku udah bilang sama kamu, Na. Aku cinta sama kamu itu bukan karena fisik tapi karena ini" ucap Reno sembari menunjuk hatinya. "Kenapa kamu meski nanyain pertanyaan yang sama berulang kali?"
"Maaf"
Reno tertekun ia mendongakkan wajah ana "Maaf" Ucap Reno penuh penyesalan. "Aku gak bermasuk buat bentak kamu, Na. Kamu itu cantik mereka aja yang gak bisa liat kecantikan kamu"
Isakkan tangis dari Ana memenuhi koridor SMA Pelita, Reno menghela nafas mencoba meredakan kembali emosinya.
"Don't cry" Ucap Reno memeluk erat gadisnya itu.
"Sekarang lebih baik kita pulang" Ucap Reno sembari mengelus rambut Ana dengan lembut.
"Kamu gak jadi beli jas buat prom night nanti?" Tanya ku yang masih berada di dalam pelukan Reno.
"Gak"
"Kenapa?"
"Males, Dan yang paling penting kamu gak ada, terus buat apa aku datang"
"Ren, dengarin aku, kamu harus tetap pergi. Kamu itu ketua tim basket, mereka akan kecewa kalau kamu gak ada"
"Tapi____"
"Sekarang kita pulang" ucapku memotong perkataan Reno, aku hanya tidak ingin berdebat lebih lama lagi dengan Reno.
Reno mengagukkan kepala lalu menggandeng tangan Ana menuju parkiran.
_____________
Malam prom night yang di tunggu semua anak kelas 3 SMA pelita pun datang. Ana tengah sibuk memilih gaun yang akan ia kenakan, berulang kali ia menghela nafas setiap gaun yang ia coba terlihat tidak pas ditubuhnya.
Terdengar suara ketukan pintu dari kamarnya, Tokk.... Tok.... Tok.....
"Masuk"
Suara pintu terbuka pun terdengar. Clekkk....
Silvi, bunda Ana pun masuk sembari membawa beberapa paperbag di tangannya, ia tersenyum ketika putri semata wayangnya itu terlihat tengah sibuk memilih gaun.
"Sayang, ini bunda bawain tas sama sepatu buat kamu"
Ana tersenyum sembari memperlihatkan gigi putih berginsul itu kepada bundanya. "Makasih bunda, tapi Ana mau pakai tas yang dibeliin Reno" ucapku dengan malu.
Silvi tersenyum sembari mengagukkan kepala "kamu pergi ke prom night di jemput Reno?"
Pipi Ana memerah, lalu ia menggelengkan kepala "Reno gak tau kalau Ana datang, Ana mau buat kejutan buat Reno. Menurut bunda Reno seneng gak?"
"Pasti, pasti Reno seneng liat kamu datang. Udah cepat siap-siap benter lagi acaranya dimulai" Ucap Silvi sembari melihat jam di pergelangan tangannya.
Ana mengagukkan kepala sembari mengepang rambut panjangnya seperti biasa.
Sekarang ia telah sampai di cara prom night tersebut. Banyak mata menatapnya dengan tajam.
Ana mengedarkan pandangannya, ia tersenyum ketika melihat Reno tengah berkumpul bersama anak-anak tim basket.
Dengan senyum yang lebar Ana berjalan mendekat kearah Reno, namun perkataan yang keluar dari mulut Reno membuat ia tertekun.
"Tapi yang gue liat, loe benaran suka sama si cupu itu" Ucap Bagas lalu menaik turunkan alisnya.
"Jangan ngaco, Loe tau sendiri gue pacaran sama si Ana karena taruhan dengan kalian. Mana mungkin gue sebagai ketua tim basket suka sama cewek cupu kayak dia"
"Terus kapan loe bakal ngambil keperaw*nan si cewek cupu itu? Ingat Ren, waktu loe tinggal 2 minggu lagi"
Air mata Ana mengalir begitu deras membasahi wajahnya, ia menggelengkan kepalanya tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
Dengan cepat Ana bergegas pergi meninggalkan acara prom night tersebut. Setelah berada di dalam taxi ia mengeluarkan ponselnya "Terima kasih😊" beberapa menit kemudian panggilan dari Reno terdengar, ia kembali terisak lalu membiarkan panggilan itu berakhir dengan sendirinya.
"Neng, diangkat dulu telponnya siapa tau penting" ucap sang supir taxi, citra hanya tersenyum, ketika ponselnya kembali berdering ia mengangkat panggilan itu.
"Halo" Ana menarik napasnya ketika suara Reno mulai terdengar.
"Kita putus" setelah mengatakan itu Ana mematikan ponselnya.
Ana tertawa, menertawakan kebohongannya, begitu mudah ia percaya dengan apa yang Reno katakan.
Sesampainya di rumah, Ana bergegas menuju kamarnya. Silva yang tengah berada di ruang keluarga mengerutkan keningnya.
"Sayang, kamu kenapa?"
Ana menghapus air matanya, lalu membalikkan tubuhnya memperlihatkan senyum ceria yang selalu ia perlihatkan kepada ayah dan bundanya itu.
"Gak apa kok, bunda. Ana keatas dulu ya, kalau ada yang cari Ana bilang aja ana udah tidur"
Ana tersenyum getir, bodoh,,, kenapa di kondisi seperti ini sekarang saja ia masih mengharapkan kehadiran reno.
"Bunda" Ana menjeda sejenak perkataannya. "Kuliah di amrik masih berlaku gak?"
Silvi menatap lekat putri kesayangannya itu beberapa hari yang lalu putrinya itu menolak untuk melanjutkan pendidikannya keluar negeri, tapi sekarang.... "Sayang, kamu ada masalah sama Reno?"
"Ana sama Reno baik-baik aja kok, bunda"
Silvi menghela nafas "Bunda masih ingat alasan kamu nolak buat kuliah ke amrik. Kamu yakin dengan keputusan yang kamu buat?"
Ana mengagukkan kepalanya.
"Bunda akan beri tau ayah kamu, kalau kamu setuju buat kuliah ke amrik"
Ana tersenyum "Terima kasih, bunda"
_______________
Drrret...drrett... Suara ponsel milik Ana bergetar membuat lamunannya buyar seketika.
Ana menarik nafas sebelum mengangkat panggilan tersebut.
"C I T,, ngemall yuk" Citra menjauhkan ponsel dari telinganya. Suara cempreng dari Rose sahabatnya itu buat telinganya sakit.
Ana nama itu tidak pernah ia gunakan lagi semejak kejadian itu. Ia meminta orang-orang memanggilnya dengan nama depannya saja - Citra.
"Loe lupa apa gimana si Rose? Gue hari inikan mesti ke cafe baru yang baru aja gue buka"
"Loe gak capek dari kantor terus ngurus cafe?"
"Sayangnya, enggak" terdengar helaan nafas dari Rose gadis cantik keturunan amrik-indo itu.
"Terserah loe aja, awas aja kalau gue denger dari bunda loe sakit"
"Ehhmmm...."
"Iya udah gue tutup dulu telponnya. Gue lagi sibuk"
Citra mengerutkan keningnya "sibuk?" Tanya-nya dengan nada tidak yakin.
"Iya. Sibuk ngebucin ama ayang" Terdengar decakan dari sebrang telpon membuat gelak tawa Rose pecah seketika.
"Biasanya, orang yang menzolimi jomblo itu, cepat matinya" setelah itu Citra dengn cepat menutup panggilan telpon tersebut, sebelum teriakan Rose terdengar.
Pukul 14:00 wib, Citra sampai di depan cafe, terlihat ramai untuk ukuran cafe yang baru aja buka.
Citra langsung menemui pak Andre yang menjabat sebagai manager cafe barunya itu.
"Gimana?" Tanya Citra tanpa basa-basi
"Kita sedikit kewalahan, buk" Citra mengagukkan kepalanya
"Pak Andre udah cari Karyawan baru"
Pak Andre mengganggukkan kepala "Kebetulan bentar lagi ada yang mau interview"
"Kalau gitu biar saya aja yang ngeinterview. pak Andre silahkan lanjutkan pekerjaannya yang lain saja"
"Baik buk, kalau begitu saya permisi dulu"
10 menit berselang, pintu ruangannya terdengar di ketuk dari luar.
"Masuk" Citra menutup laptopnya lalu membuka CV pelamar tersebut. Matanya membulat dengan cepat ia mendongakkan kepala dan benar saja ketakutannya terjadi.
Ia menghela nafas lalu menormalkan kembali raut wajahnya "Tuan Reno Alexander, Anda tamatan dari universitas Chicago?" Reno mengagukkan kepalanya.
"Kenapa anda ingin melamar menjadi karyawan disini"
Reno terlihat menimbang lalu ia menjawab dengan cepat "Hanya ingin tau alasan dari Citra putri Anastasia meminta putus seorang Reno Alexander"
Citra tertekun, "Tuan Reno ini bukan waktu yang tepat untuk membahas masa lalu, kalau anda tidak serius bekerja disini, silahkan keluar"
"MAAF" Ucap Reno sembari membungkukkan tubuhnya.
Citra menghela nafas "Tuan Reno Alexander, selamat anda di terima bekerja disini" Reno menyunggingkan senyumnya.
"Terimakasih, saya akan bekerja dengan giat"
"Silahkan keluar dan temui pak Andre untuk meminta jadwal kerja anda"
Seperti biasa setiap minggu Reno mampir ketoko bunga yang sering iya kunjungi selama 5 tahun ini.
Setelah mendapat apa yang ia inginkan, Reno mengendarai mobilnya menuju tempat peristirahatan terakhir dari orang yang ia sayangi.
Disana tertulis "Reno Alexander, wafat: 25-4-2017"
"Aku menemukannya, wanita yang menyebabkan aku harus kehilangan dirimu" - Rano Alexander.
Setelah 30 menit berada di makamnya Reno, Rano kembali apert kecil yang ia sewa untuk melancarkan misinya.
Citra bersiap kekantor sebelum kekantor ia menyempatkan diri berkunjung ke cafe miliknya. Terlihat semua karyawan tengah sibuk, menyiapkan semua bahan untuk menu spesial hari ini.
Citra mengedarkan pandangannya, matanya tertuju kearah seorang pria dengan perawakan tinggi, putih dan tampan, tengah merapikan kursi cafe.
Rano melirik melalui ekor matanya, ia tersenyum, target telah memasuki jebakan.
Citra menghela nafas "Ini tidak akan berakhir baik". Lalu Citra segera mengalihkan pandangannya, lebih baik ia segera kekantor.
Rano yang melihat Citra ingin meninggalkan cafe pun bergegas menyusulnya "Tunggu" cegah Rano.
Deg... Jantung Citra berdetak dengan cepat ia menatap lekat pergelangan tangannya, dengan cepat Rano melepaskan genggamannya itu.
"Ada apa?"
"Kita perlu bicara" Citra mengerutkan keningnya 'ada yang aneh kenapa mata gelap milik Reno menatapnya seperti itu'
"Tentang apa?"
Rano terdiam lalu menatap lekat Citra "Banyak!!! mungkin salah satunya___" Rano menjeda ucapannya lalu mengalihkannya dengan cepat "ikutlah denganku kesuatu tempat"
Citra melirik jam di pergelangan tangannya masih ada waktu sebelum rapat bulanan di mulai.
"Kemana?"
"Kau akan tau nanti" Citra mengerutkan keningnya lalu mengagukkan kepala.
Setelah memakan waktu lebih dari 15 menit, Rano menghentikan mobilnya "Turun" ucap Rano dingin.
"Untuk apa kau membawaku kesini?"
Rano menyunggingkan senyumnya lalu meninggal Citra yang masih mematung dengan tubuh yang gemetar.
"Heyy,,, tunggu aku" Teriak Citra lalu dengan langkah tergesa-gesa ia mengikuti langkah kaki Reno yang menyelusuri pemakaman itu.
Reno berhenti di salah satu makam yang terlihat baru saja dikunjungi oleh seseorang.
"Ini makam siapa?" Tanya Citra, Rano hanya diam. Citra melangkah kaki untuk melihat dengan jelas siapa yang ada di dalam makam itu.
Tubuh Citra membeku, ia menatap Rano lalu menggelengkan kepalanya "Ini tidak mungkin"
TAMAT