Januari 2022
"Sudah pulang Mas? Tumben cepat. Mau makan dulu atau mandi dulu?"
Istriku biasa menyambutku saat aku pulang kerja malam itu.
"Mandi dulu saja," jawabku. Kebiasaan itu sudah dilakoninya dari sejak kami menikah.
"Sebentar ya kuisi air di bathtub," kata Maira, istriku.
Aku pun menunggu di ruang tamu sambil melepas dasi dan kancing kemejaku.
"Agung di mana?" dengan setengah berteriak aku bertanya. Agung adalah anak kami, usianya menginjak 3 tahun.
"Main ke rumah mama," jawab Maira dari kamar mandi.
"Lagi-lagi..." aku mengeluh, lalu menelpon mamaku.
"Assalamualaikum?" sapa mamaku dari seberang.
"Aku sudah di rumah, Mah," desisku.
"Kamu tinggal saja lah dengan kami," pinta ibuku.
"Aduh, Mah, aku malas bahas beginian lagi. Aku capek baru pulang kerja nih, banyak pikiran," sahutku.
"Agung terus menerus cari kamu dan Maira,"
"Ya bilang Surti, berdamailah dengan istriku. Jangan melarikan diri terus ke rumah mama seperti itu," Surti adalah babysitter kami, masih saudaraku sebenarnya. Setelah lulus SMA dan butuh pekerjaan, kami membayarnya untuk mengasuh Agung. Surti sudah ada sejak Agung lahir.
Surti memang akrab dengan budenya, yaitu Mamaku.
"Firman," ibuku menegurku. Mungkin dia juga ingin memprotes kelakuan Maira.
Tapi Maira istriku, aku mencintainya sepenuh hati. Masa hanya karena Surti selalu membawa Agung ke rumah mama, lalu mamaku ingin kami tinggal di rumahnya? Kami memiliki rumah tangga sendiri.
"Mah, besok kalau Surti masih begitu, kupecat dia. Bagaimana pun, Maira ibu kandung Agung. Nggak bisa dia main bawa kabur ke rumah mama,"
"Tapi,"
"Sudah cukup Mah, bawa pulang Agung kesini. Dengan atau tanpa Surti. Atau kujemput paksa sekarang," desisku tegas.
"Ya Ampun Firman, tolonglah menyerah dengan keadaan," keluh mamaku.
"Airnya sudah Mas," desis Maira.
"Itu... Suara Maira?" tanya mamaku.
"Mama dengar sendiri. Aku mandi dulu, bawa pulang Agung ke sini," sahutku tegas.
Aku pun berjalan menuju istriku yang menunggu di depan pintu kamar dengan handuk di tangannya.
Wajahnya muram.
"Makin pucat saja kamu, sakit nggak?" desisku sambil membelai pipinya.
"Aku diperlakukan seperti tak ada oleh keluarga kamu. Lebih sakit daripada menahan penyakitku sendiri," kata Maira. "Padahal Agung sudah 3 tahun, selama ini aku memperlakukannya dengan baik. Kenapa Surti begitu memusuhiku?"
"Iya, aku sudah bilang ke mama untuk membawa Agung pulang. Kamu bisa menjaganya sendiri kan? Walaupun tanpa Surti,"
"Bisa Mas, kalau di dalam rumah saja. Tapi aku tak bisa mengantarnya kalau mau ke Paud atau ada kebutuhan belanja,"
"Itu jadi urusanku. Nanti kutanya Surti masih mau bekerja bersama kita atau tidak," kataku sambil mengambil handuk dari tangan Maira dan masuk ke dalam kamar mandi.
*
*
Surti dengan protektif menggendong Agung sambil duduk di sofa dengan kami. Dia menatap takut-takut ke arahku dan Maira, bergantian.
Sementara Agung terus menggapai-gapai Maira minta digendong.
"Mama mama," desis Agung sambil melambaikan tangan ke Maira.
Maira berdiri dan menghampiri Agung.
Surti tampak mempererat pelukannya ke Agung.
"Surti, sampai kapan kamu mau memeluk Agung? Lepaskan dia,"
"Ta-ta-tapi Mas..." Surti tampak enggan, ia menunduk berusaha menghindari tatapan Maira yang sinis.
"Lepaskan, kamu tidak berhak," desisku membela istriku.
"Ohok ohok!" Surti tampak terbatuk. Lalu mengernyit.
Maira mengulurkan tangan dan menggendong Agung yang langsung kegirangan. Anak itu memain-mainkan rambut istriku dan langsung membaringkan kepalanya di bahu Maira.
Tampaknya Agung kelelahan.
"Aku timang-timang Agung dulu di kamar ya Mas," kata Maira sambil berjalan ke kamar.
"Iya," Jawabku.
Surti tampak tidak rela melihat Agung dibawa ke kamar. Tapi dia pasrah karena ada aku.
Setelah istriku menutup pintu kamar, aku mencondongkan tubuhku ke arah Surti.
"Kamu masih mau kerja di sini atau tidak?" tanyaku.
"Mas! Jangan begitu! Semua kulakukan demi keselamatan Agung!" seru Surti.
"Keselamatan apanya? Memangnya hidup Agung terancam?"
"Mas!"
"Aku tahu kamu sudah mengasuh Agung sejak lahir. Tapi bagaimana pun Maira ibu kandungnya, masa kamu mau memonopoli Agung sendirian?!"
"Mbak Maira memang ibu kandungnya! Tapi yang sekarang ..."
"Diam kamu!!" seruku marah.
Surti langsung bungkam.
"Kamu saya pecat," desisku kemudian. Aku tidak tahan lagi dengan sikap keras kepalanya.
"Nggak bisa, Mas! Saya menyayangi Agung,"
"Kalau begitu berdamailah dengan Maira,"
"Itu juga tidak bisa," kata Surti.
"Kalau begitu silahkan pergi," aku cuek dan berjalan menuju kamar.
"Mas Firman! Jangan begitu Mas!!" Seru Surti.
Aku tak peduli, kututup pintu kamar.
*
*
Agung setengah mendengkur di kasur, Maira menepuk-nepuk lembut bokong anak itu sambil bersenandung.
"Aku sudah pecat Surti," desisku.
"Hm," gumam Maira.
"Kenapa? Kamu keberatan?"
"Aku sebenarnya butuh dia, ada beberapa hal yang tidak bisa kulakukan sendiri, seperti kalau Agung minta jajan kalau tukang bakpau lewat, atau kalau tiba-tiba popok habis. Kamu kan pulangnya malam terus Mas," kata Maira.
"Yah, gimana? Dia suka seenaknya,"
"Aku boleh bicara dengannya? Dia masih di sini kan?"
"Boleh saja, asal jangan berantem,"
Maira menyeringai, "Nggak lah, aku tak pernah berantem dengannya. Dia selalu menghindar soalnya,"
"Tiga tahun begitu terus, aku heran kalian bisa tahan," kataku sambil berbaring.
"Aku sih tahan, Surti yang tidak,"
"Benar juga,"
"Oke, aku akan bicara dengannya. Titip Agung," kata Maira sambil turun dari ranjang dan berjalan keluar kamar.
*
*
Setelah beberapa lama, aku akhirnya bangun dari 'tidur-tidur ayam'ku. Aku penasaran mengenai perbincangan istriku dengan Surti.
Mereka tidak saling bicara sejak awal, sejak 3 tahun yang lalu. Surti selalu menghindari Maira, padahal Maira kalem-kalem saja.
Surti mengasuh Agung, tapi dia menolak tinggal di rumah kami. Ia menginap di rumah mamaku. Selama ini Surti lebih banyak mengajak Agung keluar rumah, entah bermain di rumah mama, atau jalan-jalan, atau seharian di rumah tetangga sampai aku pulang.
Sementara Istriku dengan keterbatasannya menjaga rumah kami.
Kalau aku pulang, Surti menyerahkan Agung padaku. Dan dia sendiri pulang ke rumah mama. Entah ada apa dengan mereka berdua sampai tidak akur begitu.
Perangai mama juga berbeda setelah Agung lahir. Seakan Surti sudah mempengaruhi mama agar menjadi tidak suka dengan Maira.
Jadi, aku akhirnya berdiri dan mengintip dari pintu kamar. Penasaran bagaimana cara mereka menyelesaikan masalah berdua.
Aku lihat, Surti hanya duduk di sofa sambil menunduk, sementara Maira berdiri di depannya. Tampak tangan Surti gemetaran.
"Jadi, menurut kamu bagaimana Surti?" tanya Maira.
Surti? Dia malah menutup telinganya sambil memejamkan mata. Seakan tidak mau mendengarkan Maira.
Aku pun emosi.
"Hey!" Akhirnya aku nimbrung juga. Aku tak suka dengan perlakuan Surti terhadap istriku. "Kamu jangan begitu! Kamu itu nggak sopan namanya! Diajak bicara malah tutup telinga!" tegurku sambil menghampiri Surti.
"Mas Firman, aku... Aku mau resign saja. Aku nggak tahan Mas!" gumam Surti sambil gemetaran.
"Kalau memang menurut Mas Firman, Agung akan baik-baik saja, kuserahkan saja ke Mas Firman penyelesaiannya," desis Surti.
"Maira masih berbaik hati mau berdamai dengan kamu! Dia kan barusan bilang kalau sebenarnya dia masih butuh kamu untuk menjaga Agung! Kamu kok begitu sih tingkahnya?!" Seruku marah.
Dongkol rasanya hati ini melihat kelakuan Surti.
"Mas!" Surti berdiri sambil berlinang air mata, "Terus terang saja Mas, aku nggak dengar Mbak Maira bicara apa!! Yang kudengar dari tadi hanya suara dia tertawa cekikikan! Memangnya Mas Firman mendengarnya seperti apa?!"
*
*
Innalillahi Wainnailaihi Rojiuun
Maira Rianti Binti Haryadi, Lahir 1 September 1995, meninggal 1 September 2019.