Dul sedang duduk di bangku kecil dari kardus yang dipadatkan dan dibungkus ketat dengan plastik. Di tangannya tergenggam sebuah mainan robot yang sebelah kakinya tak ada. Mainan robot itu masih cukup bagus. Ibunya memungut dari pembuangan sampah dan sudah mencucinya sampai bersih.
Di kejauhan, ibunya masih menunduk mencakari gunungan sampah dengan sebuah keranjang di punggungnya. Matahari cukup terik. Ibunya tak memberinya izin untuk membantu. Kata ibunya, usia lima tahun itu harus dipergunakan untuk bermain, bukan membantu orang tua mencari nafkah.
Suara sepatu boot karet ibunya yang menginjak sampah kering terdengar mendekat. Dul mendongak, “Udah selesai, Bu?” tanyanya.
Ibunya mengusap peluh dan mengangguk tersenyum. “Dapetnya enggak banyak, tapi cukup buat masak hari ini dan jajan kamu besok pagi.”
Dul ikut bahagia melihat segurat senyum letih, namun sangat cantik di wajah ibunya. Kata Mbah Wedok, ibunya masih sangat muda saat melahirkannya ke dunia. Pernikahan orang tuanya hanya bertahan sebentar saja. Ibunya dipaksa putus sekolah dan menikahi laki-laki yang tak dicintainya.
Alasan yang belum dimengerti Dul sampai detik itu. Sama dengan alasan kenapa bapaknya selalu memaki dan memukuli ibunya tiap datang memberi selembar dua lembar lima puluh ribu untuk jajannya.
“Siang ini mau makan apa? Kalau nunggu Ibu masak, kayanya enggak keburu. Kamu pasti udah laper.”
“Beli nasi juga enggak apa-apa. Pakai ayam goreng boleh, Bu?” Dul memandang wajah ibunya. Sedetik kemudian dia melonjak senang. Ibunya mengangguk menyetujui.
“Ibu beresin ini dulu. Hari ini, Mbok Jum yang biasa jadi temen Ibu mulung sampah, pergi bawa suaminya berobat. Kalau udah pergi, meski sebentar, pasti enggak ada penghasilan hari ini. Jadi, Ibu mau naruh ini. Di sini.”
Dul melihat ibunya mengacungkan selembar sepuluh ribu dan meletakkannya di bawah keset kaki rumah kardus Mbok Jum.
“Uang Ibu banyak, ya?” tanya Dul.
“Banyak. Dibanding kemarin. Hari ini Ibu punya empat puluh ribu. Kemarin cuma dua puluh lima ribu. Banyak atau sedikit tergantung kita mensyukurinya. Ayo, kita ke pengepul dulu. Dari sana kita pergi ke warung nasi.”
Dul bangkit dari bangku kardusnya dan meraih tangan ibunya yang terulur. Bersama-sama mereka menyusuri gang-gang sempit untuk memotong jalan agar lebih dekat ke pengepul. Ibunya membawa karung plastik besar berisi kaleng minuman yang akan dijual. Bagi mereka, kaleng-kaleng minuman bekas itu, adalah harta yang sangat berharga untuk mengisi sejengkal perut.
Walau terik matahari menyengat dan keringat mulai membasahi dahi dan punggungnya, Dul cukup bahagia. Siang itu dia akan makan siang bersama ibunya. Itu adalah kesempatan yang langka.
Selama ini ibunya memilih menyewa sepetak kamar dan hidup terpisah darinya karena ulah sang bapak. Ibunya merasa lebih aman karena bapaknya tak bisa menemui dan memukul saat mabuk. Dul tak mengerti dengan apa yang terjadi. Tapi saat ia melihat ibunya lebih tenang, tidak luka-luka, itu sudah membuatnya cukup bahagia.
“Mereka sedang apa, Bu?” tanya Dul saat ia dan ibunya melintasi tepian sungai dan melihat kerumunan anak-anak saling berebutan sesuatu dari kotak.
“Ini hari Jumat. Banyak yang sedekah nasi. Mereka pasti dapet sekotak nasi bungkus yang bisa dibagi-bagi. Ibu juga pernah dapet sewaktu mulung. Lauknya enak. Lumayan buat menghemat sekali makan,” kata ibunya.
“Kenapa mesti hari Jumat? Memangnya hari lain enggak ada yang sedekah?” tanya Dul lagi, mendongak memandang wajah ibunya.
“Hari lain ada yang sedekah, tapi enggak sebanyak hari Jumat. Karena katanya hari Jumat lebih baik,” sahut ibunya, memandang ke kerumunan anak-anak yang kini sudah duduk berpisah dan tekun dengan nasi bungkus di tangan masing-masing.
“Kalau yang sedekah di hari lain juga banyak, pasti enggak perlu rebutan,” ucap Dul, masih memandang anak-anak pedagang asongan, pengamen dan badut berkostum tokoh kartun.
“Ada yang sedekah hari Jumat aja terkadang masih ada yang ngomong sedekah itu malah memanjakan. Meski enggak semua, tapi memang benar. Yang enggak mampu makan lauk enak di hari biasa, dimanjakan di hari Jumat.” Ibunya tertawa sumbang. “Ayo, jalannya lebih cepat. Ibu ikut laper liat mereka makan.” Ibunya mempercepat langkah sambil menggandengnya.
Mereka tiba di pengepul dan ibunya mengeluarkan semua hasil pungutan hari itu dengan cekatan. Dul diminta duduk di sebuah timbangan besar tua yang tak terpakai. Ia memperhatikan cara ibunya bernegosiasi mempertahankan keyakinannya bahwa hasil pungutannya hari itu berharga lebih mahal lima ribu rupiah dari yang ditawarkan agen pengepul. Berdalih sudah langganan, agen pengepul itu mengangsurkannya dua lembar pecahan dua puluh ribu. Ibunya tersenyum sumringah.
“Ayo, kita bisa makan pakai lauk ayam,” kata ibunya seraya menjejalkan yang ke kantong celana.
Walau terik matahari semakin menyengat tepat di atas kepalanya, Dul melangkahkan kaki dengan riang. Lauk ayam goreng sudah membayang di benaknya. Keluar dari jalanan kecil mereka langsung tiba di tepi jalan raya. Ibunya melambaikan tangan pada angkutan umum yang melintas. Angkot sedikit padat. Dan demi menghemat ongkos, ia duduk di pangkuan ibunya. Angkot itu membawa mereka langsung ke dekat gang rumah Mbah Lanang dan Mbah Wedok, orang tua kandung ibunya.
“Kita makan ayam goreng dan sebelum ibu antar kamu pulang, kita belanja jajan di mini market," terang ibunya.
Dul mengangguk menyetujui rencana ibunya. Mereka menuju ke gerai ayam goreng ternama yang tak jauh dari gang rumah Mbah. Gerai ayam goreng itu terletak di dalam SPBU besar, persis di sebelah kantor polisi.
“Bu, lihat itu. Mereka sepertinya baru dapat nasi sedekah,” kata Dul, menunjuk tiga orang pengamen anak-anak yang masing-masing memegang kotak nasi. Ketiganya berbicara sambil tertawa-tawa.
“Iya, mereka juga baru dapat sedekah nasi tepat di jam makan siang. Benar-benar suatu kemewahan,” sambut ibunya.
“Kalau sudah besar dan punya uang sendiri, aku mau bagi-bagi nasi, Bu.” Dul mendongak memandang ibunya.
“Kalau Ibu ada rejeki, Ibu juga mau bagi-bagi nasi. Di dekat tempat pembuangan sampah, banyak anak-anak yang enggak pernah makan ayam. Makanya, kalau Ibu masih bisa beliin kamu ayam goreng bermerek, kamu wajib bersyukur.”
Siang itu mereka duduk berhadapan di meja terluar gerai ayam goreng. Ibunya membeli satu paket yang berisi dua potong ayam goreng dan setangkup nasi. Berdua mereka meresapi kelezatan dari rezeki yang mereka peroleh hari itu. Dul memakan menu lengkap, dan ibunya bersikeras bahwa ianya sudah cukup kenyang dengan sepotong ayam goreng.
“Jajanan ini disimpan untuk beberapa hari, ya. Mungkin dua hari ke depan Ibu nggak sempat jenguk kamu ke rumah Mbah. Ada acara kampanye di lapangan besar. Ibu mau dagang air mineral. Kalau datang malem-malem, Ibu khawatir ketemu Bapak kamu. Kamu enggak apa-apa, kan, Dul?” ibunya menatap dan mengusap dahinya yang berpeluh.
“Enggak apa-apa. Jangan sampai Ibu ketemu Bapak. Nanti dipukul lagi,” kata Dul.
Ibunya menghela napas. “Makasih, ya, Dul. Hidup Ibu pokoknya cuma buat kamu. Kamu yang sabar tinggal sama Mbah. Nanti kalau uang yang Ibu kumpulkan sudah cukup dan kamu sudah bisa mandiri, kita bakal tinggal sama-sama. Ibu akan cari kontrakan buat kita berdua,” tutur ibunya.
“Ibu enggak mau cari Bapak baru? Kasian Ibu sendirian terus enggak ada yang belain. Aku masih kecil. Enggak bisa bales mukul Bapak.”
Ibunya tertawa. “Enggak usah mikir nyari Bapak dulu. Yang penting kamu bahagia dan cukup. Ibu sudah bahagia,” kata ibunya.
“Tapi aku bahagianya kalau punya Bapak. Tapi bukan Bapak yang suka pukul Ibu. Ibu cari Bapak baru aja," ujar Dul, keras kepala.
“Siapa yang mau sama Ibu? Ibu kerjanya jadi pemulung. Ya, sudah. Sana masuk ke rumah. Ibu mau pulang. Malam nanti Ibu mau kerja lagi.”
“Jangan kerja malem-malem, Bu. Nanti Ibu sakit,” ucap Dul, menunduk memandang kantong belanjaan mini market berisi jajanan.
“Ibu cuma anter-anter pesanan ke meja tamu. Pulangnya enggak lama. Pokoknya kamu sekolah yang rajin biar capeknya Ibu terbayar.”
Sore itu Dul melambaikan tangan pada ibunya di depan gang. Ia berjalan menyusuri gang menuju rumah Mbah tempat dia tinggal selama ini.
Sebelum mendorong pintu pagar kayu yang reyot, Dul kembali menoleh ke mulut gang. Ibunya masih berdiri di sana menunggu sampai ia benar-benar masuk ke rumah. Melihat senyum letih ibunya, Dul tak pernah berhenti berdoa agar ibunya juga bisa berbahagia. Ia juga menginginkan kehadiran seorang Bapak yang bisa menjadi pelindung ibunya. Bukan Bapak yang bisanya memaki dan menyakiti ibunya tiap kali mabuk.
Kilasan masa lalu itu memudar. Dul merasa bahunya ditepuk pelan. “Mas Dul lagi mikirin apa? Asik bener, deh. Itu ibu udah selesai. Ayah udah nunggu di mobil ngajak makan malam. Besok Mas Dul udah berangkat dinas lagi,” ucap Mima, adik perempuannya.
“Ayo, pulang. Ibu sudah selesai. Nasi yang dibagiin sudah habis,” kata ibunya, menunjuk kantong plastik besar yang sudah kosong.
“Terlalu sedikit, ya, nasinya? Nanti lain kali Mas tambah lagi. Masih banyak anak-anak yang belum dapet,” kata Dul, memandang ke arah sekumpulan anak pedagang asongan yang sedang melihat isi bungkusan temannya.
“Enggak apa-apa. Nanti kalau Mas Dul pulang berikutnya, kita buat bungkusan nasi yang banyak. Itu Ayah udah nunggu. Katanya Ayah mau ngajak kita makan malam di tempat yang spesial. Jarang-jarang Mas Dul bisa pulang di tengah waktu dinas yang padat.” Ibunya menggandeng mereka. Mima di tangan kanannya, dan merangkul lengannya di sebelah kiri.
Di kejauhan, Ibra adik bungsunya dari lain ayah, sedang melambaikan tangan dari jok tengah.
“Ayo—ayo, naik. Ayah punya tempat makan baru yang spesial.” Ayahnya yang gagah duduk di belakang kemudi. Ikut melambai saat mereka berjalan mendekat.
Ayahnya baru genap berusia lima puluh tahun. Sebagian rambutnya sudah memutih, namun gagahnya masih sama dengan dua puluh dua tahun yang lalu saat mereka pertama kali bertemu. Kegagahan seorang pria menunggangi motor besar yang sedang mendekati ibunya, tak bisa ia lupakan. Ayahnya adalah sosok pria sejati yang begitu ia kagumi. Mempersunting ibunya yang seorang janda dan menyayangi dirinya bagai anak kandung.
“Mas Dul kayanya udah lebih tinggi dibanding Ayah. Apa Ayah yang sekarang semakin menyusut, ya?” Ayahnya tertawa, tak lepas memandang wajahnya sejak mereka bertemu kemarin sore.
“Ya, udah tentu lebih tinggi Mas Dul. Perwira gitu, lho. Temen-temenku yang cewe pada titip salam sama Mas Dul. Banyak yang mau kenalan,” ucap Mima, menyenggol bahunya saat mereka sudah duduk bersisian di jok tengah.
Candaan itu terus mengalir sepanjang perjalanan. Ayah mereka mengajak makan di sebuah restoran seafood ternama yang Dul tahu harganya tak murah. Lagi-lagi ayahnya tak mau kalau ia mengeluarkan uang buat mentraktir mereka.
Alasannya selalu sama. “Anak Ayah belum ada yang menikah, semua masih jadi tanggungan Ayah. Lagian uang Ayah banyak, kok.”
Ayahnya masih bekerja sebagai redaktur di kantor berita. Pria itu sangat aktif di usia senjanya. Terkadang bahkan masih mengendarai motor besar miliknya yang terparkir di garasi rumah. Ibunya sering mengomel dan mengatakan kalau ayahnya hanya mencari alasan saat membelikannya motor besar.
Karena sejatinya, ayah mereka yang paruh baya itu yang ingin mengendarainya. Sejak ia berdinas di Magetan, motor itu seolah kembali pada pemilik aslinya. Ayahnya kembali pada hobi lama. Merawat dan sesekali mengendarai sepeda motor besar bak anak muda. Sedangkan ibunya, hanya sesekali mau ikut dibonceng. Alasannya, sudah sering sakit pinggang.
Tak terasa, waktu seminggu bersama keluarga begitu cepat berlalu bagaikan terbang. Dul harus kembali ke Magetan.
“Hati-hati, ya, Mas. Doa Ibu selalu menyertai Mas Dul.” Ibunya menangis memeluknya di depan pintu.
Selalu sama. Sejak pertama kali ia berangkat pendidikan, sampai ia sudah menjadi perwira pertama angkatan udara, ibunya masih menangis tiap melepasnya.
“Pokoknya Ibu doain Dul sehat-sehat selalu. Ayah dan Ibu juga sehat-sehat. Jangan sering ngambek sama Ayah karena Ayah pulang kerja suka lama. Jangan suka cemburuan juga meski Ayah memang masih ganteng,” kata Dul, memeluk ibunya sambil melirik sang ayah yang mengacungkan ibu jari padanya.
“Sukanya godain Ibu,” kata Ibra, menonjok pelan lengannya. Dul tertawa, Ibra si anak bungsu memang selalu menjadi si anak Ibu.
Ibunya melepaskan pelukan seraya menyeka air mata. Mima dan Ibra bersamaan memeluknya. Sepasang adiknya itu mengguratkan kesedihan yang berusaha mereka tutupi karena gengsi. Taksi sudah menunggu di luar pintu pagar. Ayahnya mengangkat tas bawaan ke luar pintu rumah. Pria itu belum mengatakan apa pun padanya.
Saat mereka berdua saja di depan pintu pagar, Dul meraih tangan ayahnya. “Aku berangkat, Yah. Jaga ibu, ya. Jangan sering pulang malem. Ayah harus jaga kesehatan. Ayah masuk angin muntah-muntah kemarin, Ibu khawatir banget dan kirim pesan panjang ke aku.”
“Siap, Kapt!” sahut ayahnya. Dul tertawa dan menunduk. Mencium punggung tangan pria yang selalu didoakannya panjang umur.
“Aku berangkat,” kata Dul, melepaskan jabat tangannya.
Ayahnya menepuk bahunya. “Selamat bertugas Lettu Penerbang Abdullah Satyadarma. Ayah sangat bangga punya anak laki-laki seperti kamu. Kamu memenuhi impian Ayah, Nak. Jaga diri.”
Dul mengangguk-angguk dan melambai. Ia berjalan menuju taksi dan masuk menenteng bawaannya. Dan seperti biasa. Ia selalu mengusap air mata saat telah benar-benar sendiri. Ia tak mau beradu pandang dengan mata sama-sama penuh air mata dengan Ayah dan ibunya. Setiap berangkat dinas, ia merasa separuh nyawanya tertinggal di rumah bersama keluarganya. “Aku sayang kalian semua,” bisik Dul.
*****
(Sepenggal cerita dari novel berjudul "DUL" yang sedang dalam tahap pengembangan kerangka karangan. Diterbitkan dalam bentuk CERPEN dan akan mengisi buku ANTOLOGI CERPEN ANNIVERSARY LITERATION COMMUNITY yang pertama.)