Di malam pernikahan mantan pacar, aku baru tahu bahwa ternyata selama ini bestie-ku adalah orang ketiga di antara hubunganku dengan someone-ku.
Di depan mata kepalaku sendiri aku melihat mempelai wanita keluar dari kamar rias itu adalah dia, bestie-ku.
Hatiku hancur seketika. Pikiranku melayang tak karuan. Kakiku gemetar. Jiwaku bergetar. Duniaku serasa gelap. Terkejut, aku menatap nanar pada seuntas senyum yang bagiku sangat menyakitkan itu. Hingga tanpa aku sadari, netraku tak sanggup membendung air mata yang memaksa keluar.
Aku tertegun tanpa kata. Sampai salah satu temanku menarik tanganku, mengajakku menjauh dari tempat itu.
"Ra, kamu oke?" tanyanya.
Aku masih diam. Masih mencoba mencerna apa yang terjadi.
Kepalaku serasa sakit, jantungku berdetak sangat kencang. Semua kata serasa terkumpul di tenggorokan. Serasa berat, hingga menghambat aliran napasku.
Aku tak sanggup berucap. Aku gugup. Aku gemetar. Keringat dingin mengalir begitu saja. Sampai menangis pun aku tak sanggup. Aku kelewat gugup.
"Raa!" ucapnya lagi, sembari menepuk pipiku. Berusaha menyadarkanku dari keruwetan pikiranku saat ini.
"Rara, hay... Ra!"
Namun sayang, rasa terkejut itu masih setia merengkuh ku. Aku oleng. Pikiranku butar. Konsentrasi ku terpecah. Jiwaku makin tenggelam dalam rasa tak percaya yang begitu dalam.
Sungguh aku tidak menyangka, bahwa wanita yang hamil karena perbuatan kekasihku itu adalah dia, bestie-ku. Sungguh aku tidak mengira, bahwa wanita yang hendak dinikahi mantan kekasihku itu adalah dia, sahabat karibku.
Selama ini aku tidak percaya dengan kabar yang beredar. Bahwa kakasihku ada main hati dengan sahabat terbaikku.
Namun, saat ini, detik ini, aku tertampar oleh kenyataan yang seharusnya aku sadari dari awal.
Antara ikhlas dan tidak. Antara rela dan tidak. Antara menerima dan tidak. Antara percaya dan tidak, nyatanya saat ini aku melihat mereka mengubar senyum kebahagiaan. Seakan mengejek luka yang aku rasakan saat ini.
Sebelas tahun aku dan pacarku menjalin kasih. Aku pikir, akulah satu-satunya wanita yang mampu membuatnya tertawa. Aku pikir, aku adalah satu-satunya wanita yang mengerti akan dirinya.
Sayangnya aku salah. Kini kenyataan pahit itu harus aku hadapi. Dengan mata kepalaku sendiri, aku dipaksa menyaksikan dia, dia yang aku cintai bersanding dengan sahabatku sendiri.
Hatiku menangis, batinku merintih. Bagaimana tidak? Kepercayaanku diinjak-injak oleh dua orang yang paling penting dalam hidupku.
"Ra, kamu oke?" tanya sahabatku lagi.
"Ha, apa?" tanyaku, sungguh saat ini aku bingung, bagaimana harus bersikap.
"Kamu oke! Kalo kamu nggak kuat, Mari kita pulang!" ajak Lina sembari memegang tanganku.
"Ah, tidak. Aku oke. Yuk kita lanjut!" anakku sembari menghapus sisa-sisa air mataku yang keluar tanpa aku suruh.
Ketika Lina kembali memapahku, aku kembali oleng. Kakiku serasa berat. Hingga aku memintanya untuk menunggu beberapa saat.
"Sebentar, Lin. Aku napas dulu!" pintaku lirih.
Dengan sabar dan penuh pengertian, Lina pun menungguku siap.
Ya Tuhan, inikah hadiah untukku. Karena aku terlalu percaya dengan kebaikan seseorang.
Salahkah aku yang terlalu percaya dengan ketulusan seseorang atau aku terlalu bodoh menilai seseorang.
Nyatanya, dunia sekarang menertawakanku. Menertawakan kebodohanku yang terlalu percaya pada seseorang yang kuanggap rumah. Ku anggap tempat terbaik untuk mencurahkan segala keluh kesahku.
Aku menangis dalam diam. Berusaha kuat menghadapi kenyataan pahit ini.
Sungguh, aku masih tidak percaya dengan kenyataan yang saat ini aku hadapi. Aku masih tidak percaya, bahwa wanita yang bersanding dengan orang yang aku cintai adalah dia. Dia orang yang selama ini aku percaya. Orang yang aku anggap saudara sendiri. Orang yang tidak pernah aku kira, bahwa dia akan tega. Tega menghianatiku.
Aku tersenyum getir. Hatiku menangis kala ku dengar mantan kekasihku itu mengucapkan ijab qobulnya. Mengucapkan nama mantan sahabat pengianatku itu. Air mataku jatuh menetes di sela-sela teriakan kata 'sah' dari para saksi yang datang di acara tersebut.
"Sabar, Ra!" bisik seseorang tepat di telingaku.
Aku tersenyum sembari menundukkan wajahku. Berharap tak ada seorangpun yang menyadari betapa sakitnya rasa yang aku telan saat ini.
"Kalo kamu nggak kuat, kita pulang, yuk!" ajaknya lagi.
"Tidak! aku oke, kok!" jawabku berusaha tegar.
"Kamu yakin? Jangan memaksa kalo nggak bisa, Ra. Dia nggak pantas dapet air matamu," ucap Lina, salah satu sahabatku juga.
"Aku tidak menangis untuk Yoga, Lin. Aku menangis kenapa harus dia yang mengambil Yoga dariku. Seandainya orang lain, mungkin aku nggak akan sesakit ini, Lin. Kamu tahu kan, aku dan dia udah seperti saudara sendiri. Kenapa dia begitu tega, Lin? Kenapa? Salahku sama dia apa?" tanyaku sembari menghapus air mata yang enggan berhenti ini.
"Iya aku tahu, Ra. Kami semua juga nggak habis pikir. Tapi percayalah, Tuhan tidak tidur. Ikhlas ya, Ra. Yoga tidak bisa menjaga cintamu, berarti dia bukan pria yang tepat untukmu. Susi bukan sahabat yang baik, maka biarlah mereka berdua bersama. Bukankah penghianat sangat cocok bersatu dengan penghianat," ucap Lina lagi.
Aku tersenyum pahit. Tidak menyangka bahwa mereka berdua telah berani membuatku sehancur ini.
"Salahku di mana, Lin? Aku bingung," ucapku, lirih.
"Kamu tidak salah, Ra. Hanya mereka yang lebih mementingkan ego. Mereka tidak bisa menghargai sebuah hubungan. Sudah, jangan disesali. Percayalah! suatu hari nanti, Yoga pasti akan menyadari, bahwa kamu adalah wanita yang mencintainya dengan tulus," ucap Lina lagi.
Aku mengangguk pelan. Berusaha menerima kenyataan yang telah membakar hangus hatiku.
Seusai ijab qobul itu aku memutuskan pergi dari tempat itu. Melangkahkan kaki tanpa berpamitan dengan kedua penghianat itu. Aku mencoba berusaha kuat. Membalut luka yang telah tercipta oleh mereka berdua. Berusaha menerima kenyataan yang kini nyata ada di depan mata.
Tangisku pecah ketika sampai di dalam mobil milik Lina. Beberapa teman dekatku berusaha membuatku kuat. Berusaha membuatku ikhlas.
Namun, hati ini terlanjur kecewa. Hati ini terlanjur patah. Hati ini terlanjur membenci. Hati ini terlanjur tidak menyangka. Tidak menyangka dengan kenyataan bodoh yang kini nampak jelas di depan mata.
Bohong kalau aku tidak terluka. Bohong kalau aku tidak sakit. Bohong kalau aku tidak hancur. Bohong kalau aku tidak trauma.
Aku menyesal mengenalmu Yoga Aditya. Aku membencimu Susi Anastasya. Kalian berdua tak akan pernah aku maafkan. Sampai kapanpun.
Andai aku boleh memilih, aku tak ingin dikenalkan dengan cinta. Jika cinta itu sendiri yang membuatku hancur saat ini.
Sesalku hanya satu, andai aku tahu, mawar yang kamu berikan padaku malam itu bermakna lain, mungkin aku tak akan sehancur ini. Seberantakan ini. Sekali lagi aku kalah. Kalah mengenali mana yang nyata dan mana yang fatamorgana.
End