Di malam pernikahan mantan pacar, aku hamil anaknya. Berita mengejutkan ini baru aku tahu saat terbangun dari pingsan setelah tidak sadarkan diri selama 8 jam.
Ayah dan Ibu terlihat meneteskan air mata begitu padangan kami beradu. Ada rasa sakit yang amat sangat aku rasakan saat ini. Pertama, penghianatan Alvin, kekasihku yang menikah dengan sahabat kecilku, Morena. Padahal kemarin kami pergi berkencan ke taman hiburan dan bersenang-senang sampai malam hari. Namun, tadi siang saat menghadiri pesta pernikahan sahabat dari kecil, aku tidak menyangka kalau mempelai laki-lakinya adalah kekasihku, yang telah menjalin hubungan selama 12 tahun, sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Kedua, aku hamil dari laki-laki yang kini sudah menjadi suami orang lain. Ketiga, melihat air mata kesedihan milik Ayah dan Ibu yang jarang mereka perlihatkan.
Hubungan aku dan Alvin sudah diketahui oleh orang tua masing-masing. Bahkan rencananya tahun depan kita akan menikah. Alasan kami menunda pernikahan karena Alvin punya adik perempuan yang masih mengenyam pendidikan di universitas. Alvin 'lah yang bertanggung jawab atas biasa kuliah adiknya, dan tahun ini dia akan di wisuda. Jadi, aku harus mengalah dan bersabar dengan rencana pernikahanku.
Hal bodoh yang aku lakukan adalah mengizinkan Alvin untuk menjamah tubuhku. Mahkota kehormatan yang seharusnya aku berikan untuk suamiku kelas, telah diberikan kepadanya. Rasa cintaku kepada Alvin begitu besar, begitu juga sebaliknya. Aku merasa sangat dicintai oleh Alvin. Banyak hal yang membahagiakan kita lalui bersama. Sehingga, rasanya diri ini tidak percaya saat kekasihku melakukan penghianatan. Rasanya ingin aku ganyang mereka berdua, kekasihku dan sahabatku yang kini status keduanya berubah jadi mantan. Ya mantan pacar dan mantan sahabat.
"Kamu melakukan itu dengan siapa, Zoy?" Ayah bertanya sambil terisak.
Dada ini begitu terasa berat serasa di tindih sama batu yang besar, saat melihat laki-laki yang selalu menjaga aku, menangis dengan pilu.
"Maafkan Zoya, Yah. Tidak bisa menjaga diri sendiri. Zoya melakukannya dengan Alvin," jawabku pelan karena malu dan menyesal.
"Kenapa kamu lakukan hal itu! Kalian belum menikah!" Teriak ibu sambil mencengkram kedua lenganku.
"Maaf—kan a—aku Ibu," balasku dengan tergagap karena menahan tangis yang sejak tadi tidak mau berhenti.
"Ayo, kita datangi rumah Alvin! Minta dia untuk bertanggung jawab atas anak yang kamu kandung." Ayah membalikan badannya dan beranjak pergi.
"Tunggu, Yah!" cegah aku.
"Ada apa, Zoy? Kita harus bicarakan hal ini dengan Alvin dan kedua orang tuanya." Ayah membalikan badannya menghadap aku kembali.
"Tapi Alvin kini telah menjadi suami Morena!" ucapku dan itu membuat Ayah dan Ibu membelalakkan mata.
Aku yakin mereka pasti terkejut dengan informasi yang baru mereka ketahui ini. Ayah terlihat mengepalkan tangan dan giginya bergeletuk menahan amarah. Berbeda dengan Ibu yang langsung memeluk tubuhku.
"Kenapa kamu dihianati oleh dua orang yang kamu anggap berharga?" Ibu menangis tergugu dan pelukannya semakin erat.
"Pantas saja sejak tadi siang dia tidak bisa dihubungi!" Suara Ayah terdengar begitu kesal.
Setelah mendapatkan informasi kalau Alvin berada di hotel tempat tadi mengadakan resepsi pernikahannya. Aku, Ibu dan Ayah pergi ke sana untuk memberitahu tentang kehamilan ini.
***
Kami pun telah sampai di depan kamar hotel tempat Alvin menginap. Ayah mengetuk pintu dengan sangat keras, terlihat dia sangat marah saat ini. Tak lama kemudian pintu itu pun dibuka oleh seseorang. Ternyata Morena 'lah orang yang membukakan pintu.
Terlihat jelas wajah keterkejutan dia begitu tahu orang yang sudah menggedor pintu kamar hotel adalah orang yang dia kenal. Morena langsung menundukkan kepalanya, entah karena malu, marah, kesal atau apa? yang jelas kedatangan kami sudah mengganggunya. Mengganggu acara malam pertama mereka.
"Kami ingin bertemu dan bicara dengan Alvin." Suara Ayah yang biasanya lembut dan tenang kini terdengar ketus dan lebih nyaring.
"Sayang, siapa yang datang?" Terdengar suara Alvin dari dalam kamar.
"Ini aku, Jose Alberto." Teriak Ayah agar terdengar oleh Alvin.
Alvin pun datang menemui kami dengan penampilan yang tidak pantas untuk menerima tamu. Terlihat jelas keterkejutan di wajah Alvin. Dia menghampiri kami dan saat berdiri di depanku. Ayah memberikan satu pukulan di wajah Alvin, sampai dia tersungkur ke lantai.
"Sayang! Kamu tidak apa-apa?" Morena langsung membantu Alvin berdiri.
'Sayang? Aku merasa geli sekali saat mendengar kata itu keluar dari mulut si penghianat' gumamku dalam hati.
"Kenapa Om, menonjok wajah Alvin?" tanya Morena.
Kegaduhan yang terjadi di sini mengundang orang-orang untuk berdatangan. Bahkan kedua keluarga pengantin pun ada ikut berkerumun.
"Ada apa ini?" tanya Alan, Papanya Alvin.
Kulihat mantan calon mertua aku menatap kami dengan perasaan bersalah dan tidak enak hati kepadaku. Padahal mereka sering bilang kalau aku ini menantu idaman.
"Iya, Pak Jose. Kenapa Anda menonjok Alvin?" tanya Papanya Alvin
"Apa kaluan tahu kalau Alvin telah menghamili Zoya!" Ayah berbicara kepada orang tua Alvin.
Aku melihat orang-orang yang berkumpul di sana terkejut. Begitu juga dengan Alvin dan Morena. Wajah mereka langsung pucat dan membelalakkan matanya. Aku rasanya ingin tertawa saat melihat Morena meneteskan air mata. Entah sedih atau kecewa, yang jelas dia menggelengkan kepalanya.
"Aku ingin Alvin mempertanggungjawabkan perbuatannya." Ayah masih menatap orang tua Alvin.
"Tapi Alvin sudah menikah dengan Morena. Apa Zoya mau menjadi istri kedua Alvin?" tanya Mamanya Alvin.
Mendengar ucapan ibu mertuanya Morena itu, aku ingin balik bertanya. Apa dia mau anak perempuannya dijadikan istri muda. Aku tidak mau kalau harus berbagi suami dengan wanita lain.
"Tidak mau!" Aku dan Morena bersamaan.
Aku palingkan wajah ke arah Morena dan tatapan kami saling beradu. Dia langsung memeluk tubuh Alvin. Sungguh pemandangan yang membuatku ingin melemparkan sepatu yang sedang kupakai saat ini.
"Alvin adalah suamiku, miliki dan aku tidak mau membaginya dengan Zoya!" teriaknya.
"Benar, aku tidak mau anak aku di madu." Seorang wanita paruh baya tiba-tiba bicara.
"Gugurkan saja janinnya!" Kali ini laki-laki yang berkepala botak bicara dengan tegas.
"Kamu seenaknya bicara seperti itu! Semoga Tuhan tidak pernah memberikan izin putri kalian untuk punya anak!" teriak Ibu dengan penuh emosi, sampai-sampai Ayah memeluk tubuhnya agar lebih tenang.
"Alvin apa benar kamu yang menghamili Zoya?" tanya Mamanya Alvin.
Aku lihat Alvin masih diam saja. Jika dia bicara kalau anak yang dalam perut aku bukan anaknya. Maka, aku berjanji tidak akan pernah memaafkan dan bertemu dengannya lagi.
"Zoya, apa kamu yakin itu anak aku? Mungkin saja itu anak laki-laki lain." Alvin bicara seolah-olah aku tidur dengan banyak laki-laki.
Aku mendengar Ayah memanggil-manggil nama Ibu. Ternyata penyakit jantung Ibu kambuh.
"Ibu!" Aku pun mendekati Ayah yang masih memeluk tubuh Ibu.
"Kamu tidak tidur dengan laki-laki lain lagi 'kan Zoya?" tanya Ibu sambil meringis menahan rasa sakit, terlihat tangan kanan meremat dada.
"Tidak Ibu, Zoya hanya melakukannya dengan Alvin saja. Tidak pernah dengan yang lain." Aku menggelengkan kepala tidak terima dengan tuduhan yang dilayangkan oleh Alvin.
Aku pun meminta Ayah untuk membawa Ibu ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan secepatnya. Aku mendatangi Alvin dan memberikan tamparan pada kedua pipinya.
"Apa selama ini kamu melihat aku jalan dengan laki-laki lain!" teriakku.
"Kamu sudah menghancurkan masa depanku. Tidak mengakui perbuatannya dan anak yang sedang aku kandung." Aku menunjuk-nunjuk wajah Alvin.
"Zoya! Jaga sikapmu!" Morena menepis tanganku.
"Selamanya aku tidak akan menyerahkan Alvin kepadamu. Dia milikku, aku mencintainya dari dulu."
Bagai terkena sambaran petir aku baru tahu perasaan Morena kepada Alvin. Padahal selama ini aku selalu bercerita tentang hubunganku dengan Alvin. Ternyata benar kata orang, kalau kita tidak boleh banyak bercerita atau memuji pasangan kita kepada orang lain. Bisa saja dia menjadi simpati, kagum, suka dan akhirnya jatuh cinta.
Aku selalu memuji Alvin di depan Morena. Sebab, bagiku Alvin adalah sosok lelaki sempurna. Baik dari fisik maupun sikap, dan sifat kepribadiannya.
"Alvin, apa kamu akan bertanggung jawab atas kehamilanku ini?" tanyaku.
"Berapa usia kandungan itu?" tanya Alvin dengan suaranya yang pelan.
"Dua bulan menurut hitungan dokter tadi," jawabku.
"Bagaimana mungkin? Sedangkan kita melakukannya sekitar sebulan yang lalu." Alvin menatapku dengan sorot mata yang tajam.
"Kamu tahu sendiri 'kan saat pertama kali kita melakukannya aku masih perawan. Dan kamu 'lah satu-satunya yang pernah menyentuhku!" Aku benar-benar kecewa kepada mantan kekasihku ini.
Kita berdua bukan hanya sekali melakukan hal terlarang itu. Setelah pertama kali melakukan itu di pertengahan bulan lalu, kami melakukannya lagi beberapa kali. Dan aku sangat menyesal sekarang, kenapa dulu tidak pernah terpikirkan kalau kami ada kemungkinan tidak berjodoh.
"Kalau begitu sudah jelas, anak dalam kandungan kamu bukan milik Alvin." Morena tersenyum sinis.
"Jadi, Alvin kamu akan bertanggung jawab pada bayi ini!" Aku tatap Alvin dengan lekat.
"Maaf Zoya, aku rasa anak itu bukan milikku."
Mendengar kata-kata Alvin membuat aku kecewa, marah dan tidak percaya. Ternyata dia tidak mengakui anaknya sendiri. Ditengah-tengah kekacauan perasaan dan pikiranku. Handphone milikku berdering, dan tertera nama Ayah di sana.
"Halo, Yah. Ada apa?"
"Zoya, Ibu—Ibumu tidak bisa ditolong."
Mendengar berita barusan membuat aku terasa dihantam godam dengan keras. Kakiku terasa lemas. Cobaan yang aku alami dalam satu hari ini benar-benar memporak-porandakan hidupku. Gara-gara terperdaya oleh bujuk rayu dari laki-laki yang aku cintai. Kini aku memiliki titik noda dalam kehidupan.
"Baiklah jika kamu tidak mau mengakui ini anakmu. Jangan pernah kalian muncul lagi di hapanku!"
Aku memutuskan untuk membesarkan anak ini sendiri. Bayi ini tidak bersalah, aku dan Alvin 'lah yang punya dosa. Anak ini punya hak untuk hidup dan melihat dunia ini. Aku akan menjadi Ibu sekaligus Ayah baginya.
Biar Tuhan saja yang membalas perbuatan mereka. Sekarang mereka berkata seolah tidak peduli dengan anak. Masa depan siapa yang tahu.