Di malam pernikahan mantan pacar, aku hamil. Tanganku gemetar memegang alat tes kehamilan yang bergaris dua. Tak bisa kupercaya! Setelah tiga bulan hubunganku dengannya berakhir menyakitkan dengan goresan luka yang ia tinggalkan, aku malah mengandung darah dagingnya.
Saat itu juga, aku merasakan duniaku berotasi tidak normal. Aku terisak di sudut ruangan yang temaram. Menyalahkan diri sendiri atas semua yang terjadi. Di usia dua puluh dua tahun, haruskah aku menjadi orangtua tunggal?
**
Kisah pahit ini dimulai saat aku baru menjadi mahasiswa di salah satu Universitas Negeri Jakarta. Aku yang kebingungan, memberanikan diri menghampiri sosok pria tinggi tegap yang telinganya disumbat earphone.
"Kak, mau nanya. Ruang dekan kedokteran di sebelah mana, ya?"
"Iya, kenapa?" Dia membuka earphone-nya sambil memajukan wajahnya ke arahku.
Pada saat itu, aku terkesima melihat bulu matanya yang lentik mengalahkan bulu mata palsu tiga dimensi.
"E ... mau nanya, Kak. Ruang dekan kedokteran sebelah mana?" ulangku sekali lagi tanpa mengalihkan pandanganku dari wajahnya yang menyejukkan mata.
"Oh, sebelah sana! Terus aja, nanti belok kiri sebelum tangga, ada tulisan penanda kok!" tunjuknya sambil memutar badan.
"Makasih, ya, Kak!" ucapku melebarkan senyum, kemudian segera melangkah ke arah yang ditunjuknya.
"Eh, mau diantar, enggak?"
"Hah?"
"Mau kutemani ke sana, enggak?" ulangnya sambil menyimpan ponselnya dalam saku. Lalu berjalan mendahuluiku. "Ayo, ikut aku!" ajaknya tanpa menunggu balasanku.
Aku segera menyeimbangkan langkahnya sambil menunduk.
"By the way, mahasiswa baru, ya?"
"Iya, Kak."
"Dari mana?"
"Dari Sulawesi, Kak!"
"Oh, pantes logatnya beda," ucapnya menyengir.
Evan namanya. Kala itu, dia adalah kakak seniorku di jurusan kedokteran semester akhir. Tampan rupawan, cerdas, dan juga berasal dari golongan kelas atas. Ayahnya masuk dalam daftar seratus orang terkaya di Indonesia.
"Boleh minta nomor HP-nya, enggak?" pintanya tiba-tiba begitu kami berhenti tepat di ruang dekan fakultas kedokteran.
"Hah?" Aku terkejut dan salah tingkah.
"Hehe ... bercanda, kok! Tapi, kalau mau dianggap serius juga boleh," ucapnya sambil menatap lembut padaku.
"Nomorku ...."
Dia tersentak saat aku hendak memberitahu nomor ponselku. Ia segera mengambil ponselnya dan mencatat nomor ponselku.
"Disimpan atas nama siapa, Nih?" tanyanya.
"Ita," jawabku singkat. Tak lama kemudian, ponselku berdering, aku mengernyit melihat nomor tanpa nama di layar.
"Itu nomorku. Save, ya!" ucapnya sambil berjalan mundur dengan cepat.
"Eh, mau di-save atas nama siapa?" tanyaku setengah berteriak.
"Tulis aja 'sayang' di situ."
"Hah?!" Aku tercungap sembari menatap punggungnya.
Itulah awal pertemuanku dengannya hingga membuat kami merajut kasih. Memilikinya adalah suatu kebanggaan bagiku. Dia adalah kakak senior yang dielu-elukan banyak perempuan. Sementara, aku hanyalah gadis biasa-biasa saja yang datang dari pulau seberang untuk menimba ilmu berbekal beasiswa di kota Metropolitan.
Tahun silih berganti dan kami masih bersama. Dia telah menjadi dokter di salah satu Rumah Sakit, Jakarta pusat. Sejak itu, komunikasi kami berkurang. Dia jarang menghubungiku. Kalau ada waktu, langsung mampir di kosku hanya untuk melepas hasratnya. Bagiku tak masalah, asalkan dia tetap di sisiku.
Sebuah rahasia besar terbongkar saat kami merayakan anniversary yang keempat tahun di puncak, tepatnya di vila pribadi miliknya. Aku yang berbahagia, benar-benar tidak tahu bahwa hari itu adalah perayaan terakhir kami. Selepas melewati satu malam di atas ranjang, dia mengeluarkan kalimat yang membuat hatiku seakan mengalami longsor.
"Ta, kita akhiri sampai di sini aja, ya," ucapnya pelan.
Aku terkesiap dengan mata membesar. "Maksud kamu apa?"
Dia tak menjawab. Malah memejamkan matanya dalam-dalam.
"Kamu bercanda, kan? Ih, gak lucu!" ketusku.
"Ta, aku beneran pingin putus," ucapnya lirih.
Aku menatapnya tak percaya.
"Sebenarnya, setahun terakhir ini aku punya pacar. Dia anak rekan bokapku. Jujur, aku enggak bisa milih antara kamu ma dia. Aku sayang kamu, tapi aku juga enggak bisa lepasin dia. Aku enggak bisa bohongi kamu terus, duain kamu kayak gini," ucapnya penuh kejujuran.
Aku terpaku. Ada beberapa detik kosong begitu saja hingga akhirnya suaraku meledak. "Kamu jahat! Kamu tega! Kamu bilang kamu cinta banget sama aku, kamu bilang kamu enggak akan ninggalin aku, kamu bilang kamu enggak bisa jatuh cinta ke wanita lain selain aku! Dasar Laki-laki Buaya! Jahat kamu!" erangku sambil memukul-mukul badannya. Menumpahkan seluruh emosiku.
"Maafin aku, Ta. Maafin aku ...." Dia berusaha memelukku.
Aku tak terima permintaan maafnya. Tanganku terus memukul dan menamparnya. Raunganku semakin menggila dan tak terkendali. Empat tahun bukan waktu sebentar, tapi dengan mudahnya dia mencampakkanku demi orang lain.
Dia menangkap kedua tanganku. Memaksa dua pasang mata kami bersirobok. "Ta, aku emang cinta sama kamu. Tapi, maaf ... kamu enggak ada di rencana masa depanku."
Pada saat itu, tubuhku membeku seketika. Hanya ada air kesedihan yang tak mau berhenti mengalir dari pelupuk mata. Setiap kata yang terucap di mulutnya, serasa seperti terselip pisau. Tajam. Tak hanya melukai pendengaranku, tapi juga hati ini. Dia bukan hanya menampar anganku, tapi juga membantai perasaanku.
Dengan segala kelebihan yang ia miliki, merupakan kebodohanku memercayai pria seperti dirinya benar-benar mencintaiku. Merupakan kesalahan terbesarku menyerahkan mahkota paling berharga yang kumiliki. Juga, merupakan kenaifanku berpikir kalau dia akan terus di sisiku.
Berhari-hari aku mengurung diri di kamar kos. Merutuki diri menghabiskan hari-hariku dengan menangis. Menghapus air mata yang mengalir di pipi adalah pekerjaan sia-sia. Empat tahun bersama bukanlah waktu yang singkat untuk mengubur kenangan.
Tepat setelah tiga bulan kami berpisah, dia menikahi perempuan pilihannya. Mirisnya lagi, aku malah mengetahui kehamilanku di malam pernikahannya. Tak bisa kujelaskan bagaimana hancurnya aku. Betapa makin terpuruknya diriku, bahkan sempat berpikir untuk mengakhiri hidup. Kuterima amarah dan kekecewaan orangtuaku yang melarang pulang jika hanya mempermalukan mereka. Duniaku sudah runtuh, masa depanku hancur berantakan.
Puluhan malam sudah kujalani dengan air mata dan kepahitan. Perut ini semakin membesar hingga untuk pertama kalinya aku merasakan tendangan kecil. Tendangan itu membuatku sadar bahwa aku tidak hidup sendiri. Ada sosok yang menanti untuk dilahirkan ke dunia. Sebagai anak, mungkin aku telah gagal karena mengecewakan orangtuaku, tapi sebagai ibu aku tidak boleh gagal merawat dan menjaga anakku kelak.
Aku pun mencoba memahami kemungkinan terburuk jika masih bersamanya. Aku terlalu bodoh jika terus bersedih, sementara dia berbahagia dengan pilihannya. Dari sini, aku mulai berjuang menghempaskan sakit hati yang ia tinggalkan. Berdiri sekuat tenaga untuk menyongsong masa depanku dengan calon bayi di perut ini.
Aku melahirkan bayi ini tanpa ada keluarga yang mendampingi. Dalam kesakitan dan bertahan hidup, aku sempat menyebut namanya dengan lirih. Dia yang meninggalkanku demi perempuan lain.
Ternyata benar, hidup itu ... bukan pelarian, melainkan harus dihadapi. Aku menjalani hari-hari bahagia sebagai orangtua tunggal. Bahkan sampai lupa dengan rasa sakit yang sempat menetap berbulan-bulan lamanya di hati ini. Aku tak mengenal lagi cinta pada lawan jenis karena semuanya telah kuberikan untuk anakku seorang.
Hingga hal tak terduga itu datang saat buah hatiku demam dan aku harus melarikannya ke Rumah Sakit. Aku bergegas ke ruang anak ketika perawat menyebutkan nomor antrianku. Namun, baru saja masuk, aku lantas terperanjat melihat sosok berjas putih yang berada di ruangan tersebut. Dia pun tak kalah terkejut melihatku menggendong seorang bayi berusia enam bulan.
Detik-detik kebisuan menguasai kami, sebelum akhirnya perawat menegurnya.
"Dokter Evan ...."
Ia tersentak dalam suasana yang canggung. "Apa keluhan anaknya, Bu?" tanyanya formal seolah kami tak saling mengenal.
"Demam," jawabku singkat.
"Saya periksa dulu anaknya, Bu," ucapnya sambil memasang stetoskop.
Singkatnya, setelah pertemuan itu, malamnya aku mendapat sebuah panggilan dari nomor asing. Tanpa ragu, aku pun menjawab panggilan itu.
"Halo ...."
"Ini aku."
Aku terhenyak seketika. Tentu aku sangat mengenal pemilik suara ini. Suara lelaki berjas putih tadi, lelaki yang pernah kucintai dan ayah dari anakku.
"Ada apa?"
"Gimana keadaannya? Masih demam, enggak?" tanyanya penuh kehati-hatian.
"Sudah turun."
"Syukurlah! Aku ... aku benar-benar enggak tahu kamu dan bayi itu. Sumpah! Aku benar-benar kaget, harusnya kamu kasih tahu aku kalau dulu—"
Segera kupotong ucapannya, "Gak ada urusannya ma kamu."
Dia terdiam beberapa saat, sebelum kembali berkata, "Aku ... aku ayahnya, kan?"
"Bukan. Aku ibu sekaligus ayahnya!" tegasku.
"Ta, aku minta maaf dah bikin rusak kamu. Aku tulus minta maaf," ujarnya memelas.
"Rusak? Maaf, jangan samakan aku seperti barang. Tidak ada satu pun yang rusak dariku. Aku dan kehidupanku tetap berharga," balasku lagi. Aku mengakhiri telepon itu sekaligus memblokir nomornya.
Sungguh, aku tidak dendam. Hanya saja, aku tidak mau menjadi pengganggu di kehidupannya sekarang. Sebagaimana dia pernah berkata bahwa aku tak ada dalam rencana masa depannya, begitu pula dirinya yang hanya ada di masa laluku.
Teruntuk dirimu yang pernah memberi luka dan meninggalkan pelajaran berharga, aku sudah memaafkanmu. Kamu telah memilih dia, tolong jangan datang kembali. Aku sudah menutup lukaku, jadi jangan membukanya lagi. Cukup! Cukup! Darimu aku belajar bahwa yang bertanggung jawab atas hidup kita adalah diri kita sendiri.
catatan author: cerpen ini aku tulis ketika sedang dalam masa isolasi coovid oomicron dan terpilih menjadi cerpen top 1. Sudah ada versi novelnya dengan judul yang sama, silakan klik profilku. Versi novel tentu ceritanya lebih detail dan berbeda dari versi cerpen. Ada banyak hal yang menarik dan mengejutkan dari kisah mereka yang terjalin selama empat tahun. Oleh karena itu disarankan untuk membaca novelnya juga. Dijamin baper, sebaper-bapernya :v