Tema: Hanya dapat memeluk dalam mimpi
-oOo-
“Pemenang kompetisi judo tingkat SMA, dimenangkan oleh Zara dari SMA Nusa.”
Ucapan MC yang mengumumkan pemenang diakhiri dengan suara tepuk tangan riu dan gempita. Seantero aula gedung balai Judo, dipenuhi sorak sorai penonton. Zara yang memakai pakaian khas judo dengan sabuk hitamnya, melangkah memasuki gelanggang. Rambutnya dipotong pendek seperti lelaki, tubuhnya cukup berisi namun tinggi semampai. Kulitnya sedikit cokelat karena banyak melakukan olahraga di luar ruangan. Wajahnya penuh lebam dan sedikit darah di ujung bibirnya, bekas pertarungan sengit di babak final. Meski terlihat acak-acakan, tapi aura kecantikannya tak putar dan bahkan terlihat berkilau bersama keringat yang masih menetes di wajahnya.
Ia menjadi pemenang tapi ekspresinya datar. Tidak ada raut kebahagiaan atau kebanggaan, dia hanya menatap datar ke seluruh area. Nyaris tanpa minat. Dia bisa melihat teman-teman sekolah serta guru dan pelatihnya nampak gembira dan bangga. Tapi, Zara tidak terlalu memperdulikannya. Dia menyukai olahraga judo. Sangat. Olahraga yang diturunkan dari sang mama. Tapi, olahraga ini sangat ditentang oleh papanya. Sepanjang hidupnya, papa tidak pernah memperdulikan Zara. Tapi, untuk judo, tiba-tiba dia bersuara lantang menentang. Belum lagi, Zara tahu semua keburukan papanya yang memiliki selingkuhan.
Seorang juri mengalungkan medali emas di leher Zara. Zara dan dua pemenang lain berfoto sejenak sebut kemudian Zara melangkah pergi begitu saja. Pelatih menghadangnya sambil tertawa bangga. Zara menatapnya dalam diam, menyodorkan medali emas padanya dan melangkah begitu saja meninggalkan arena menuju ruang ganti. Dia mengabaikan panggilan dari pelatih maupun rekan sedihnya. Sudahlah, dia tidak terlalu peduli.
Setelah berganti pakaian, Zara memakai hoodie hitamnya seraya meneteng tas. Saat ia berdiri di luar, jalanan nampak lembab. Genangan air terlihat di beberapa sudut dan langit masih menyisakan mendung setelah hujan. Ia menarik tudung hoodie dan menutupi kepalanya lalu melangkah sambil tertunduk meninggalkan gedung. Suara riuh masih samar terdengar namun orang-orang mulai semburat keluar begitu acara selesai.
Keluarga Zara adalah keluarga terpandang. Papanya seorang pengusaha sukses yang rencananya akan ikut terjun ke politik. Zara ragu jika papanya bisa jadi politikus yang baik sementara baginya, Papa hanya seseorang yang... yah, cukup tidak baik. Tukang selingkuh. Mamanya yang sakit keras hingga meninggal, sama sekali tidak dipedulikannya. Hari ini, tepat tujuh hari mamanya meninggal.
“Zara menepati janji, ma... Zara sudah menang.” Lirihnya sembari memandang hambatan langit di atas sana. Aroma tanah serta rintik hujan yang masih tersisa menemaninya berdiri di halte bus.
“Sean, kenapa lo gak dateng? Asliii... Zara tuh keren banget. Sekolah kita menang!” ujar seorang gadis dengan celana jeans dan memakai kaos polos warna hijau. Zara melirik gadis yang nampak menelepon itu dan menduga jika dia adalah teman sekolahnya karena terlihat jaket sekolahnya, terselip diantaratali tas ransel ungunya. Serius... kaos hijau dan tas ungu? Kriminal banget.
“Oh... Zara?” pekiknya setelah mengakhiri panggilan. Dia mengenali Zara dan menghampiri Zara dengan wajah excited. “Lo ngapain di sini? Bukannya tim judo lagi makan-makan? Oh, ya... Omong-omong lo keren banget. Mau dong diajarin... .” seru gadis itu sambil melakukan gerakan meninju-ninju.
“Ogah.”
Gadis itu memberengut, “Karena gue pendek, ya? Tenang aja... kecil-kecil cabe rawit... ,” ujarnya lagi sambil menepuk dadanya bangga yang entah apa yang membuatnya begitu percaya diri, “ Oh, ya.. gue Marry. Kita sama-sama kelas sepuluh. Kita seangkatan. Malah, waktu MOS, kita sempat satu tim. Sama Sean juga.”
Zara melirik sekilas gadis itu dengan tanpa minat. Ia bahkan mengabaikan uluran tangan Marry dan melangkah pergi meninggalkan halte. Dia tidak tahu seperi apa ekspresi Marry setelah ia abaikan. Tapi, gadis itu terlalu polos dan naif.
“Sampai jumpa di kelas! Kita satu kelas! Dadah... selamat istirahat!” pekik Marry yang samar mengiringi langkah kepergian Zara.
See? Polos dan Naif. Atau... bego.
-oOo-
Sinting! Papanya sudah gila! Bisa-bisanya papa menikah lagi bahkan saat mama baru meninggal sebulan yang lalu! Zara mencengkeram besi pembatas jembatan sambil berusaha air mata. Tangannya penuh luka akibat terlalu sering meninju dinding atau pohon demi melampiaskan emosinya. Dia mengalami gangguan tidur semenjak mamanya meninggal. Dia juga semakin terpuruk seiring keputusan papanya untuk menikah lagi dengan selingkuhannya. Sial!
“Aaaaaaarrghhhh!”
Zara berteriak sekuat tenaga ke arah sungai yang terbentang di depannya. Dia menangis dan merasakan sakit yang amat menyesakkan. Dia mengabaikan lalu lalang kendaraan di jalanan belakangnya. Dia terus terisak ditemani cahaya mentari yang mulai tenggelam di depan sana, menyajikan warna Orange di atas permukaan sungai. Dia melirik ke arah bawah jembatan. Kerinduan akan mama membuatnya berpikir, menyusul mama... akankah lebih baik?
“Kamu suka makanan Indonesia atau barat?”
Zara menoleh dan menemukan seorang wanita berambut disanggul sambil memakai pakaian dress batik selutut dan membawa tas belanja, tengah berdiri tak jauh darinya. Wanita itu tersenyum tipis.
“Nak... tante mai masak steak daging ala Indonesia alias rendang. Kamu suka?”
Zara mengangkat sebelah alisnya bingung. Wanita itu perlahan menghampiri Zara, menyentuh tangan Zara. Reflek, Zara menepis tangan wanita itu sambil berjalan mundur.
“Dicoba dulu... .” ujar wanita itu sambil tersenyum hangat.
Apa-apaan wanita ini? Dia terus berkata aneh. Dan bahkan, dia masih nekat menyentuh Zara. Zara hendak pergi, namun wanita itu menggenggam tangan Zara dengan erat. Dan hangat. Zara melotot dan hendak menepisnya lagi, namun warna jingga yang memapar wajah wanita ini, membuat wajahnya berseri hangat. Sejenak, Zara seperti melihat mamanya. Yah, mungkin, mereka memang seumuran. Air mata Zara meleleh merasakan kehangatan tangan wanita itu. Tangannya kasar tapi begitu hangat.
Wanita itu tersenyum, “Masakan tante itu enak, lho... anak tante aja sampe tergila-gila.”
Wanita itu mengandung tangan Zara yang mulai pasrah. Zara yang terhipnotis dengan kehangatan tangan wanita itu, hanya pasrah mengikuti langkah wanita itu yang membawanya ke sebuah rumah dua lantai yang nampak cukup luas. Tidak semudah rumahnya tapi nampak apik. Wanita itu mengandung Zara memasuki rumahnya. Aroma pingsan tercium begitu Zara memasuki rumah itu.
“Mama... jadi masak rendang, khaaan?”teriak seorang gadis dari lantai dua, “Lhoo... Zara?”
Zara mendongak dan menemukan seorang gadis yang tampak berlarian kecil turun. Dia memakai kaos besar dan celana pendek sambil menghampiri Zara. Tunggu... Zara pernah menemui ya. Gadis halte!
“Lo—.”
“Kalian saling kenal?” tanya wanita tadi.
“Dia teman sekelasku. Yang kemarin Marry ceritain. Atlet judo!”
“Wah... pantas tangannya penuh luka gini. Pasti sering latihan! Bagus... jangan seperti Marry... hanya tahu tidur dan gambar melulu.”
“Melukis, mama! Marry ini picasso yang brilian!”
Zara hanya terdiam melihat ibu dan anak itu saling berdebat kecil. Namun, Zara merasakan kehangatan dari hubungan keduanya. Hal yang dirindukan Zara dari sosok mamanya. Kini, Zara hanya bisa memeluknya dalam mimpi. Merindukannya dalam mimpi. Dia hampir menangis saat Marry tiba-tiba menariknya.
“Lukisan gue keren, khan? Zara... cepet bela gue!” pekik Marry.
“Heh... dia tamu mama!”
“Dia sahabatku!”
Marry menarik tangan Zara dan mengajaknya naik ke lantai dua, menuju sebuah kamar. Zara sempat melihat mama Marry yang tertawa kecil sambil memasuki dapur. Marry menutup pintu dan melepas tangan Zara. Dia menuju laci dan mencari sesuatu. Zara melihat kamar Marry yang cukup berantakan. Ada beberapa percikan cat minyak di lantai dan beberapa kanvas yang terpasang. Ada kanvas yang sudah terluka dengan apik dan indah. Ada juga kanvas yang putih bersih. Zara tertarik pada kanvas berisi lukisan yang berbentuk seperti wajah berbentuk aneh. Tapi, Zara justru melihat hal tersembunyi di sana, ada goresan siluet ibu menggandeng anaknya. Belum sempat Zara menelisik lebih jauh lukisan itu, Marru sudah menariknya duduk di atas ranjang.
“Itu adalah lukisan yang mau gue ikutin lomba. Jadi, jangan bocoran info ini, ya... .” Ujar Marry sembari membuka sebuah kotak P3K dan merawat luka Zara.
Sejak memasuki rumah Marry, dia seperti terhipnotis. Dia pasrah diperlakukan seperti apapun oleh mama Marry maupun Marry. Yah, dia terhipnotis oleh kehangatan yang ditawarkan mereka tanpa memandangnya aneh. Marry mulai mengobati luka-luka yang dialami Zara secara perlahan dan teladan. Ia kembali melihat lukisan-lukisan yang dibuat oleh Marry. Marry benar, lukisannya keren. Walau agak berlebihan jika mengatakan dia adalah picasso. Tapi, ini bagus.
“Gue bukan orang bermulut ember.” Sahut Zara.
“Gue tahu.” Ujar Marry. “Selesai. Oi, lo emang atlet... tapi, bukan berarti lo nyakitin tangan lo kayak gini juga. Tangan lo cantik gini... jadi burik.” Omel Marry.
Zara tersenyum tipis, “Burik juga gak masalah.”
“Gila! Lo cantik banget... kalau gak jadi atlet judo, udah jadi model kali lo... .”
Zara terkekeh geli, “Bukan tipe gue banget kalo jadi model.”
“Gak ada yang tahu akan masa depan. Siapa tahu, lo beneran bakal jadi model. Wah, gue punya sahabat model!” ujar Marry dengan bangga.
Zara terdiam sejenak. Kata sahabat yang dilontarkan Marry membuat hatinya tenang, “Lo juga... kalau gak jadi picasso, lo bakal jadi dokter. Rapi banget perawatan lo,” ujar Zara mengangkat tangannya yang telah diobati Marry.
Marry tertawa kecil, “Itu juga yang dibilang ama nenek Mila.”
“Ha?”
Marry menatap sebuah rumah di seberang jalan sana dengan wajah sedikit muram, “Nenek Mila adalah nenek yang baik. Dia selalu bilang kalau gue bakal bisa jadi dokter. Dia bilang kalau gue cowoknya jadi dokter.”
Zara ikut menatap rumah yang nampak kosong itu, “Nenek Mila?” tanya Zara menunjuk rumah di depan sana.
Marry mengangguk kecil, “Nenek Mila adalah Nenek dari Gara, sahabat gue waktu masih SD sampai SMP. Tapi begitu masuk kelas dua SMP, Nenek Mila meninggal dan Gara dibawa orang tuanya. Padahal mereka baik banget. Tapi, Nenek Mila selalu makasi gue buat belajar soal kedokteran!”
“Gue pikir, ada bagusnya. Jadi picasso gak akan menjamin masa depan lo... .”
Marry menyipitkan mata, “Picik sekali pikiran anda.”
“Realistis, darling... .”
Marry terkekeh kecil dan mulai membereskan kotak obatnya lalu menyimpannya ke dalam laci. Dia kemudian menyodorkan tangannya ke arah Zara.
“Mama bener. Lo tamu mama... jadi, ayo kuantar ke dapur. Orang yang realistis, cocok di dapur!”
“Ngawur!” Zara menerima uluran tangan itu dan melangkah menuju dapur.
Sejak saat itulah, Zara dan Marry bersahabat baik. Tak hanya Marry, mama Marry juga sama berarti ya dengan Zara. Bersama keluarga itu, membuat Zara tenang. Setenang saat ia yang hanya dapat memeluk mamanya dalam mimpi.
-Fin-
Cerpen kali ini, juga merupakan bagian dari movel Marry to Me yang bisa kalian baca di lapakku ya gaes...
Selamat membaca
Regards Me
Far Choinice