NYARIS TERGODA
“Rossa,” ujarnya memperkenalkan diri. Sepasang mata jeli berbinar dengan begitu indahnya, rambut tergerai indah sebahu, dengan bentuk tubuh proporsional begitu indah dipandang mata.
“Amran,” ucap pria yang tak berkedip memandang wanita di hadapannya, hingga sang pemilik wajah merona malu.
“Aduh ... duh,” Amran meringis, pikirannya buyar ketika Mira, istrinya mencubit kecil pinggangnya.
“Itu mata, jelalatan,” bisik Mira sambil senyum dipaksakan. Sedangkan Rossa hanya tersenyum salah tingkah. Perbincangan berlanjut hanya lima menit, sedikit menyesal Amran menatap sendu tubuh sintal sang wanita yang mengguggah kejantanannya saat itu.
Plak!
“Aduh!” pekik Amran kesakitan ketika sebuah buku cukup tepal mendarat di pipinya.
“Masih mikirin Rossa?” tanya Mira dengan suara kencang dengan mata membeliak.
“Nggak kok, Mah,” sanggah Amran sambil mengelus pipinya yang memerah, diambilnya buku yang tadi digunakan sang istri untuk menampar pipinya.
“Emosi berjilid?’ Amran membaca judul buku yang dipegangnya. Pikirannya melayang dengan isi cerita yang memilukan tersebut. Namun ia kembali bergidik ngeri, ketika teringat tokoh pria yang mencampakkan istrinya itu meninggal dengan cara yang cukup menyedihkan. Iapun merasa belum siap jika harus mendua sekarang, namun bayangan wajah cantik yang tadi baru dikenalnya sangat membangkitkan gairah kelelakiannya.
“Mikirin apa lagi, kamu?’ sentak Mira bertanya, dan membuyarkan lamunan mesumnya.
“Dasar ya, laki-laki, nggak bisa lihat jidat licin. Lelaki kurang iman!” lanjut Mira merendahkan diri Amran. Amran tak terima, namun apa yang diucapkan istrinya memang benar. Karena baru saja ia memang telah lemah iman.
“Sembarangan, kamu ngomong,” Amran menyanggah perkataan Mira.
Amran menatap tubuh berisi istrinya yang berlalu, bau minyak angin bercampur keringat menusuk penciuman Amran, gairah yang tadi sempat bangkit, layu mendadak setelah mencium bau yang kurang mengenakkan hidung itu. Amran, menatap tubuh istrinya dari kejauhan, sedikit lebih berisi, walau tidak mengubah bentuk seksi aslinya. Wajah Mira juga masih cantik, jika saja sering dirawat. Amran kembali menghela napas panjang, perubahan Mira adalah kesalahannya sebagai suami yang tak bisa memberi uang lebih untuk perawatan sang istri. Bahkan perekonomiannya dibantu oleh gaji Mira yang lumayan.
Amran Sulaiman adalah seorang karyawan biasa, menikah dengan Mira Asmara yang menjabat staf akunting diperusahaan swasta. Secara financial, Mira jauh lebih sukses, di masa lajangnya saja, Mira bisa membeli kendaraan beroda empat walau second. Sedangkan Amran masih mengendarai motor butut peninggalan almarhum Ayahnya.
Tampang Amran yang memang mirip dengan aktor Amar Joni ini bisa memikat gadis manapun termasuk Mira. Modal tampang inilah yang menguntungkan Amran, namun gerak Mira tak kalah cerdik dan memutuskan petualangan Amran, yakni menikah. Amran ingat, Mira siap meninggalkannya bahkan bisa berpaling kelain hati, yang membuat ego Amran tak terima. Sebagai pria, ia pun langsung melamar saat itu juga di hadapan kedua orang tua Mira.
‘sepertinya, aku kena jebak,’ guman Amran tiba-tiba pikirannya meracau. Namun ia langsung menghalau pikiran buruknya, seorang putri cantik telah hadir dikehidupan mereka berdua sekarang.
“Abi ... !” sebuah teriakan ceria mengembangkan senyum Amran, Amira Cantika, putrinya berlari memanggilnya.
“Hei, ucap salam dulu,” ujar Amran mengingatkan putrinya yang berusia 5 tahun ini.
“Assalamu’alaikum,” Amira langsung memberi salam sambil tersenyum manis.
Amran mencium pipi cabi putrinya, dan bibir mungil gadis kecil itu tak berhenti mengoceh bercerita apa yang baru saja ia alami ketika sekolah agama tadi.
“Assalamu’alaikum,” sebuah suara merdu menghentikan ocehan Putri cantik dipangkuan Amran. Jantung Amran seketika berdetak dengan cepat, ia sangat mengenal suara merdu itu. Ia menoleh keasal suara, benar saja, Rossa berdiri dengan siluet paling sempurna dalam penglihatan Amran. Gadis itu berdiri dengan wajah yang merona, sesekali, merapikan rambut yang dipermainkan oleh angin. Deretan gigi yang putih dan bibir tipir diolesi lipstick merah muda itu benar-benar memesona Amran.
Nyaris Amran menjatuhkan purtinya karena buru-buru berdiri, teriakan protesdari gadis kecilnya membuyarkan fokusnya.
“Amira, masuk dulu gih ke kamar,” perintah Amran.
“Kenapa Bi, siapa, tante itu?” tanya Amira penuh selidik.
Amran memukul pelan keningnya, ia lupa jika Amira adalah anak yang sangat cerdas, serta keingin tahuannya tinggi dan tak mungkin jika disuruh berbohong. Amran keluar keringat dingin, menatap benda bulat yang menempel di dinding. Mira sebentar lagi pulang. Namun ada hasrat lain yang menginginkan berduaan saja dengan wanita cantik yang masih berdiri di depan pintu.
“Miranya sudah pulang?” tanyanya dengan suara lembut. Amran mengacak rambutnya, sedangkan gadis kecil yang berdiri di sebelahnya tak berhenti bertanya.
“Amira, dengerin Abi dulu ya, sekarang masuk dulu,” perintah Amran lembut.
“Terus, ninggalin Abi bedua gitu?” ujar Amira polos, “Nggak boleh, Abi, nanti ada pihak ketiga, yakni, setan.”
Perkataan gadis kecil itu menohok hati keduanya, wajah Rossa berubah pias, dengan senyum dipaksakan, iapun mundur teratur untuk pulang. Amran tak mampu berkutik, bahkan bisa mencegah wanita yang menyulut kelelakiannya itu. Amran menghela napas panjang, sedangkan Amira, telah masuk ke kamar untuk mengganti pakaiannya.
‘Sial!’ gumannya memaki diri.
******
Di minggu sore, Amran tengah duduk di teras menikmati secangkir kopi dan pisang goreng buatan istrinya. Sedang Mira sedang asik di ruang tengah bermain dengan putri mereka. Hati Amran seketika terlonjak ketika melihat wanita yang akhir-akhir ini menggugah kelelakiannya tengah berjoging ria. Dengan menggunakan baju ketat tanpa lengan dan celana olah raga yang pendek, mempertontonkan keindahan kaki mulus pemiliknya. Amran memutar otak, ia berdiri, namun sadar ia hanya mengenakan kaos biasa dan sarung tanpa mengenakan apapun di dalamnya.
Untuk pergi ke kamar akan membutuhkan waktu, belum lagi serentetan pertanyaan dari dua wanita yang berada di ruang tengah. Sedangkan jika ia menyusul Rossa, akan sangat tidak elegan. Amranpun hanya menatap sendu wanita yang tadi melintas dari hadapannya.
‘Gagal lagi!’ gumannya menyesali kesialannya.
Semenjak hari itu setiap minggu, Amran selalu berpakaian olah raga, berlaga pemanasan di halaman rumahnya. Mira tak mencurigai apa yang tengah merasuki suaminya. Namun harapan untuk bertemu dengan wanita penggugah kelelakiannya itu tak kunjung terlaksana. Hingga, Amran stress dibuatnya.
Hingga suatu hari ketika Amran tengah membeli perlengkapan cukurnya disebuah mini market. Kelelakiannya kembali diusik dengan sapaan lembut wanita impiannya.
“Halo Mas.”
Wanita itu tepat di hadapan Amran, dan membuat jakunnya naik turun. Pakaian berwarna jingga membungkus tubuhnya ketat, dengan lingkaran dada yang rendah hingga menyembulkan anggota tubuh yang mestinya ditutupi itu.
“Rossa, hai, apa kabar?” tanya Amran berusaha memalingkan penglihatannya kearah lain. Rossa tertawa centil.
“Baik, Mas, beruntung sekali aku bisa bertemu denganmu hari ini,” jawab Rossa, yang membuat Amran sedikit tercengang.
‘Beruntung ... maksudnya?’ guman Amran dalam hati mulai bersorak.
“Apa bisa kita bicara?” tanya Rossa dengan mimik muka sedih.
Amran ragu, namun ia juga sangat ingin berdua dengan wanita yang membuatnya panas dingin ini. Amran menjawab dengan mengangguk saja, lalu mereka berdua pergi meninggalkan mini market tersebut kesebuah cafe yang sedikit jauh dari rumah Amran. Dengan menaiki motor butut milik Amran, Rossa memeluk erat pinggang pria yang semakin panas dingin. Terlebih dada Rossa yang menempel erat di punggung Amran, sungguh membuat seluruh tubuhnya merinding.
Sampai di tempat, Amran langsung duduk, mengeluarkan ponsel dari kantong dan mematikannya. Rossa memilih duduk di sebelah Amran, menempelkan tubuhnya rapat pada pria itu. Desahan Rossa membuat Amran mabuk kepayang, bau harum shampoo yang wangi menenangkan pikiran Amran.
“Aku, kangen,” ujar Rossa membuat dada Amran bergetar.
Mata Rossa memejam, bibirnya terbuka menggoda, Amran menelan ludah. Sungguh ia sangat ingin mengulum bibir wanita itu dalam-dalam. Wajah Amran mendekat, tinggal sesenti lagi kedua bibir itu bertaut. Hingga terlintas dibenak Amran wajah gadis kecilnya yang tengah tertawa bahagia. Amran mendadak berdiri, lalu dengan langkah tergesa pria itu meninggalkan seraut wajah kesal dan kecewa teramat sangat.
Sepanjang perjalanan Amran menangis, entah mengapa, hatinya begitu sedih. Seluruh indranya merasa begitu sangat menyesal ketika hampir saja ia mereguk dosa yang ia inginkan sebelumnya selama ini.
Sampai rumah, ia langsung pergi ke ruang tidur gadis kecilnya, secara perlahan ia mendekati gadis kecil itu dan ikut berbaring di sebelahnya. Amran menatap wajah manis Amira, putrinya, diusapnya lembut pipi chabi itu, sesaat Amira menggeliat, Amran langsung menepuk pundak putrinya pelan sambil menidurkannya kembali.
Perlahan air matanya meleleh di pipi. Perbuatannya hari ini hampir saja akan melukai gadis kecil di hadapannya suatu hari.
“Maafkan, Abi, Putriku,” ujar Amran berbisik, sambil perlahan diciumnya kening sang putri lama.
‘Pria macam apa aku ini, mengapa hampir saja terjerumus perbuatan dosa?’ guman Amran mulai meruntuki dirinya sendiri.
“Bi ...,” suara lembut berbisik di telinganya. Amran menoleh asal suara, wajah sang istri menjadi begitu sangat cantik di matanya saat ini.
Perlahan, Amran bangkit dari tempat tidur Amira, lalu mengamit mesra tangan istrinya. Malam ini menjadi malam yang begitu indah yang pernah dialami oleh keduanya. Betapa Amran memuaskan dirinya dengan mencumbu bidadari syurganya.
Dalam hati Amran meminta maaf. ‘semoga Allah menutup aibku hingga nanti di hari pembalasan.’
Sejak hari itu, Amran selalu menjauh dari Rossa, bahkan ketika Rossa dengan sengaja meminta bantuannya, Amran menyuruh Mang Dimin, petugas ronda dekat rumahnya. Segala macam upaya Rossa menggoda lelaki yang telah dijadikan khayalan mesumnya. Namun selalu berakhir dengan kekecewaan yang sangat. Namun, Rossa tak patah arang, sebisa mungkin ia akan merayu pria tampan, suami temannya itu jatuh kedalam dekapannya.
Hingga hari yang ditunggu Rossa datang, Rossa meyakini hari itu akan menjadi hari keberuntungannya. Amran datang memenuhi permintaannya untuk membetulkan atap yang bocor.
Mang Dimin tak bisa menyanggupi perintah Amran, karena ia sedang ditugaskan oleh ketua RT setempat. Mira mendesak Amran untuk segera menolong temannya yang janda tanpa anak itu.
“Di mana, yang bocor?” tanya Amran sambil menatap langit-langit rumah.
“Itu di sudut kamarku,” jawab Rossa menunjuk langit-langit yang sedikit menghitam karena rembesan air hujan.
Amran melihatnya, lalu menanyakan tangga, Rossa menunjukkah sebuah ruangan yang berfungsi sebagai gudang. Amran mengambil tangga, hendak dibawanya keluar, hingga tiba-tiba dengan berani Rossa mencium bibir Amran. Sedikit mendorong Amran mengelak ciuman Rossa, namun wanita itu seperti kerasukan, hingga berusaha melumat bibir pria itu.
Amran terkisap sedikit menikmati bibir manis wanita itu. “Cukup, Rossa!” Amran mendorong kuat tubuh wanita itu hingga nyaris terjengkang. Amran kemudian melarikan diri dari rumah wanita itu, sedangkan Rossa menangis histeris.
Sampai rumah, Amran menangis tersedu, hal itu membuat Mira terheran-heran. Amran menceritakan kejadian yang baru saja dialaminya. Mira terdiam, seluruh darahnya mendidih, ia tak menyangka temannya berbuat serendah itu. Mira lebih mempercayai perkataan sang suami apabila Rossalah yang berusah merayunya.
Walau berulang kali Rossa meneror mereka berdua dengan pesan singkat yang dikirim ke ponsel Mira. Satu hal yang menguntungkan Amran, bahwa ia tak memiliki nomor ponsel wanita itu. Hingga tak ada satu bukti yang menyudutkan Amran.
Mira tak meladeni terror Rossa, hingga wanita bekas temannya itu mulai menyerah dan berhenti meneror mereka. Satu hal yang sangat disyukuri Amran, bahwa ia mulai berhenti menggilai wanita yang bisa saja menghancurkan masa depannya jauh lebih awal.
T a m a t