"Haruskah ku ungkapkan perasaanku padanya? Pada gadis yang selama ini begitu tulus menyayangiku? Pada dia, adikku sendiri?" batin Alex berceloteh.
Malam semakin larut, namun dirinya masih belum bisa memejamkan mata. Kenyataan yang di dengarnya hari ini. Kenyataan yang ditutupi kedua orang tuanya selama ini.
Kenyataan bahwa dirinya hanya anak ADOPSI. Sebagai 'pancingan' bagi pasangan suami istri yang sudah sangat lama menantikan sang buah hati.
Aaah,,, biarlah. Mungkin memang sudah begitu garis takdirnya. Satu-satunya yang di syukuri Alex adalah kenyataan bahwa Dila bukanlah adiknya. Dan itu artinya, perasaannya selama ini pada gadis itu bukanlah sebuah dosa.
----------------
Hari pun berlalu, Erni dan Ajeng sudah tidak lagi tinggal dengan Alex dan Dila. Atas permintaan Dila, Alex sudah mencarikan apartemen yang layak untuk di tempati ibu dan anak tersebut.
"Kak, semalam tante kasih tahu Dila katanya Eyang mau kesini. Kak Alex udah tau belum?" tanya Dila di sela-sela suapannya.
"Hmm, iya. Katanya ada hal penting yang mau di sampaikan sama kakak," jawab Alex.
"Hal penting? kira-kira apa ya? kok cuma buat kak Alex?" tanya Dila heran.
"Kakak juga nggak tahu, Dila. Udah cepetan habiskan sarapannya! Kamu suka banget buat kakak telat ke kantor," Alex menggerutu.
"Lagian kakak juga sih. Dila minta mobil nggak di beliin. Pake ojol juga nggak boleh. Inilah, itulah, giliran kesiangan marah," ucap Dila kesal.
"Iya, iya maaf. Kakak cuma khawatir..."
"Aku udah gede kak Alex."
Alex hanya tersenyum melihat Dila yang sedang kesal. Memang selama ini dirinya selalu menyempatkan diri mengantar jemput Dila. Bila memang tidak bisa, Alex akan menyuruh asisten kepercayaannya untuk menjemput Dila di kampusnya.
Bahkan saat Dila ingin hangout dengan teman-temannya, ia bisa sangat cerewet menanyakan ini dan itu. Apalagi setelah malam kejadian di club saat itu, Alex semakin protektif terhadap segala hal tentang Dila.
---------
"Eyang....." seru Alex.
Ia menghampiri seorang pria yang sudah cukup sepuh dengan tongkat yang di pegangnya. Pria itu terlihat dingin tanpa ekspresi.
"Aku masih bisa berjalan sendiri, tidak usah membantuku," ucapnya.
Alex mengangguk, dan tersenyum kecut. Tangannya yang hendak memapah Eyang telah di tepis.
--------------
"Dila, kamu belum ada yang jemput? aku antar pulang yuk," tawar Hendra.
"Thanks, Hen. Aku mau nunggu sebentar lagi."
"Dila, ikut bareng kita aja, gimana?" tanya Ajeng yang datang dengan seorang temannya, Rani.
"Iya, Dil. Kalo pergi sama Ajeng, kak Alex pasti ngizinin. Iya kan, Jeng?" ucap Rani.
Ajeng mengangguk dengan ekspresi penuh harap.
"Boleh, deh. Aku chat kak Alexnya dulu, ya."
Setelah mendapat balasan dari Alex, Dila tersenyum.
"Boleh, asalkan jangan pulang malam," ucap Dila dengan senyum mengembang.
Ajeng dan Rani bersorak riang.
"Aku boleh ikut nggak?" tanya Rendi.
"Boleh,, boleh,, sekalian dapat tumpangan gratis, hehehe" sahut Rani antusias.
"Oke deh, anggap aja aku supir kalian. Ayo masuk!" ajak Hendra.
Mereka berempatpun menuju salah satu mall terbesar di kota tersebut.
--------------
Setelah puas 'cuci mata', nonton, dan makan. Hendra mengantar ketiga teman wanitanya pulang. Ajeng dan Rani sudah lebih dulu sampai. Kini tersisa Dila yang harus ia antar.
Hendra menepikan mobilnya di depan sebuah rumah yang cukup megah di sebuah kawasan perumahan elit.
"Thanks ya, Hen." Dila tersenyum pada Hendra yang juga turun dari mobilnya.
"Sama-sama," balas Hendra dengan senyuman.
Tiin.......
Dila dan Hendra menoleh bersamaan ke arah suara.
"Kak Alex? Itu?? Eyang..." seru Dila saat menyadari orang yang duduk di mobil adalah eyangnya.
"Eyang tunggu di dalam, ya Ndhuk" ucapnya dengan senyuman lembut.
Dila mengangguk. Dan mobilpun memasuki halaman rumah.
"Sore, Kak" sapa Hendra pada Alex.
Alex hanya mengangguk pelan. Tatapannya yang tajam membuat Hendra merasa tidak nyaman. Dan akhirnya berpamitan.
Alex dan Dila berjalan memasuki halaman rumah dengan perasaan canggung tanpa seorangpun yang bersuara.
------------
Selama dua hari Eyang berada di rumah Alex dan Dila. Selama dua hari pula tante Erni dan Ajeng menginap disana. Dan selama dua hari ini Alex juga menghindari Dila.
"Kak Alex kenapa sih? apa dia sedang ada masalah?" gumam Dila.
Selama Eyangnya ada disini, ia sering melihat Eyangnya dan Alex masuk ke ruangan kerja kakaknya itu seperti ada sesuatu yang penting yang harus dibicarakan. Awalnya Dila bersikap acuh, mungkin itu masalah pekerjaan.
"Kak...." Dila masuk ke kamar Alex.
"Ada apa Dila?" sahut Alex malas.
Dila menghampiri Alex yang berbaring di atas sofa sambil memijat-mijat pelipisnya.
"Kakak kenapa sih? marah ya sama Dila?"
"Enggak. Itu cuma perasaan kamu aja. Kakak lagi pusing Dila, lagi banyak masalah di perusahaan. Jangan ganggu kakak ya!" pinta Alex.
Dila mencoba mengerti. Dengan perasaan kecewa, ia meninggalkan kamar Alex.
Esok paginya...
"Kak Alex belum bangun, Bi?" tanya Dila pada bi Irah.
"Pagi-pagi sekali Den Alex sudah pergi, Non."
"Pergi pagi-pagi? kemana?"
"Ya bibi nggak tau, Non. Tapi den Alex menyuruh bibi menyiapkan kamar tamu. Mungkin mau ada tamu," jawab bibi.
"Tamu, siapa ya? tadi malam kak Alex nggak bilang," gumam Dila.
Ceklek....
Pintu terbuka, Alex berjalan memasuki ruangan.
"Kakak dari ma....na?" ucapan Dila terputus, saat melihat seorang wanita cantik berjalan mengikuti Alex dari belakang.
"Kakak dari bandara. Dila, kenalkan ini Natasya! dia akan tinggal bersama kita untuk beberapa hari kedepan," ucap Alex dingin.
"Hai, panggil aja aku Tasya. Aku tunangannya Alex. Kamu Dila adiknya kan?" ucap wanita itu.
"I,,iya, aku adiknya kak Alex. Tunangan? eee sejak kapan?" Dila merasa sangat bingung.
"Bi, antarkan Tasya ke kamarnya!" seru Alex, ia mengacuhkan pertanyaan Dila. Ia berlalu ke kamarnya.
Bi Irah dan Tasya berjalan menuju kamar tamu meninggalkan Dila yang masih terdiam seolah terpaku.
"Kak,,, kak Alex, jelaskan siapa dia? siapa wanita itu?" tanya Dila.
Saat ini ia sudah berada di kamar Alex.
"Kamu sudah dengar tadi yang dia ucapkan. Kenapa masih bertanya?" sahut Alex dingin.
"Maksud Dila, Tasya itu... Dia bilang tunangan kakak, masa iya sih Dila nggak tahu? Kak Alex nggak lagi ngeprank kan?"
Dila semakin bingung dengan sikap Alex. Kakaknya itu seperti menulikan pendengarannya.
Dengan cueknya Alex membuka satu persatu kancing baju yang di pakainya. Menanggalkannya, sehingga memperlihatkan tubuh atletisnya yang terpampang jelas di depan Dila.
Tanpa sadar, Dila menelan salivanya.
"Untuk apa kakak ngeprank kamu, nggak ada kerjaan. Kalau dia bilang begitu, ya itulah kebenarannya."
Alex mengambil kaos putih polos di lemari pakaiannya lalu memakainya.
"Tapi, Kak. Sejak kapan? Kok Dila nggak di kasih tahu?" Dila mulai terlihat kesal.
"Sejak kapan? heeh," sesaat Alex telihat menyeringai.
"Sejak kapan kamu belajar bohong sama kakak? Bagaimana bisa kakak tidak tahu kamu sudah punya pacar, haaah?" ucap Alex dengan tatapan mengintimidasi.
"Bohong? pacar? Dila nggak pernah bohong. Dila juga nggak punya pacar..." Dila merasa semakin bingung.
"Nggak pernah bohong? Terus kalau kamu izin pergi sama Ajeng, pulangnya diantar sama pacar kamu. Kalau bukan bohong apa namanya?" suara Alex terdengar meninggi.
"Yang kakak maksud pacar aku itu, Hendra? Dia bukan pacar Dila, Kak. Dan Dila juga nggak bohong, Dila memang pergi sama Ajeng, sama Rani. Kalau kakak nggak percaya tanya aja sama Ajeng."
"Tapi sama laki-laki itu juga kan?"
"Iya sih, tapi..."
"Kakak banyak kerjaan Dila. Jangan ganggu kakak ya!"
---------
Malam hari...
"Harumnya,,, bibi masak apa? Dila lapar," ucap Dila manja.
"Bibi masak kesukaan Non Dila. Cumi saus asam manis ada, cah kangkung juga ada. Non Dila makan yang banyak ya!" ucap bi Irah dengan senyumnya.
"Pasti dong. Kak Alex sama Tasya belum di panggil?"
"Belum, Non."
"Biar Dila aja yang panggil. Kak Alex di ruang kerjanya ya kan?"
Dila berjalan ke arah ruang kerja Alex. Dengan sangat pelan ia memutar gagang pintu, takut kalau Alex merasa terganggu.
"Lex,,, aku pengen..." ucap seseorang di dalam ruangan itu dengan nada menggoda.
Suara wanita? suara siapa? Deg...
Alex sedang bersama siapa?
Perlahan pintu mulai terbuka. Dila terperangah.
"Tasya!" tanpa sadar bibirnya berucap, mengagetkan dua orang yang sedang terduduk di kursi putar itu.
"Dila!" dengan gerakan cepat Alex menurunkan Tasya dari pangkuannya.
"Iih, ganggu aja," decih Tasya kesal.
Alex dengan langkah besarnya megejar Dila yang berlari ke kamarnya.
"Dila, Dila. Buka dulu pintunya! Kakak bisa jelaskan," seru Alex.
"Kak Alex sedang sibuk kan. Jadi jangan perdulikan Dila," sahutnya dari balik pontu.
"Dila..." suara Alex melembut.
"Dila ingin sendiri."
Alex pun berlalu.
--------------
"Hiks.. Hiks.." terdengar isakan dari balik bantal.
Ya, Dila menangis. Entah mengapa dadanya terasa sesak. Melihat Tasya yang melingkarkan tangannya di leher Alex, di tambah lagi sambil duduk di pangkuannya membuat hati Dila terasa sakit.
"Kak Alex jahat. Kakak sudah mendapatkan ciuman pertama Dila, sekarang kakak seenaknya nyium orang lain. Jahat, jahat, jahat, hiks...."
Dila memukul-mukulkan kepalan tangannya ke kasur. Bayangan adegan ciumannya dengan Alex di hotel itu kembali terlintas.
Saat itu, dirinya memang dalam pengaruh obat perangsang. Tidak bisa mengendalikan keinginannya. Sikap liarnya membuatnya merasa sangat malu pada Alex. Namun tidak bisa di pungkiri debaran jantungnya juga membuatnya tersipu.
------
Brakk...
"Aaarrghhh, SIAL." Alex mengumpat.
Di usapnya dengan kasar wajahnya berulang-ulang.
Saat itu...
**"Aku sudah menjodohkanmu dengan cucu salah satu sahabat baikku," ucap Eyang.
"Apa? tapi Eyang, Alex belum mau menikah."
"Jangan menolak keinginanku. Kamu bukanlah cucuku, kamu hanya anak yang di adopsi oleh Pras, putraku. Erni sudah mengatakannya padamu, kan?" ucapan Eyang bagaikan bilah pedang yang menyayat hati Alex.
"Anggap saja ini wujud balas budimu pada keluarga kami. Tiga hari lagi ia akan datang dari Londong. Jemput dia! biarkan beberpa hari tinggal disini, setelah itu antarkan dia ke Surabaya. Kita akan adakan pernikahan disana."**
Alex memgacak kasar rambutnya.
Beberapa saat yang lalu ia sedang membujuk Tasya untuk membatalkan rencana pernikahan mereka. Namun Tasya menolaknya.
Saat Alex memutar kursi untuk membelakanginya, tanpa diduga Tasya menghampiri bahkan mendudukkan diri di pangkuan Alex. Berusaha menggoda Alex.
"Sial. Sial. Sial" umpatnya sambil memukulkan kepalan tangannya ke dinding.
-------------
Sinar matahari pagi, mulai mengintip dari balik jendela. Dengan malas Dila membuka matanya, menatap kosong ke sembarang arah.
"Non, ayo bangun! Nanti kesiangan lho. Itu mas Erwin sudah menunggu dari tadi."
"Kak Erwin? kenapa dia ada disini?" tanya Dila heran mengetahui asisten pribadi Alex ada di rumahnya.
"Ya mau anter Non Dila ke kampus. Kan den Alex pergi ke Surabaya sama non Tasya."
"Apa? ke Surabaya?" Dila terperanjak. Alex sama sekali tidak memberitahunya.
Setelah bi Irah meninggalkan kamarnya, Dila turun dari tempat tidurnya dengan malas. Tubuhnya terasa lemas.
"Kak Alex, apakah Dila sudah tidak berarti lagi untuk kak Alex? Apa karena Dila bukan adik kakak, kakakpun membuang Dila dari hati kakak. Apa kak Alex sudah tidak menyayangi Dila?" Dila mulai terisak lagi.
Membayangkan dirinya yang sudah kehilangan kedua orangtuanya, kini harus kehilangan sosok yang selalu ada untuknya membuat hati Dila semakin sakit.
-----------
Di Surabaya....
"Apa-apaan ini Alex? berani sekali kau menolak perjodohan ini. Dasar tidak tau diri, tidak tau balas budi," hardik Eyang.
"Maafkan Alex, Eyang." Alex tertunduk.
"Alex benar-benar tidak bisa."
"Keluar kau dari perusahaanku! Dasar tidak tau diuntung."
"Itu perusahaan ayah. Dan meskipun Alex bukan anak kandung ayah dan bunda, nama Alex masih tercatat sebagai anak mereka, Eyang."
"Kau!!!!"
"Eyang, izinkan Alex menikah dengan Dila. Alex sangat menyayangi Dila. Alex tidak tahu sejak kapan rasa sayang Alex pada Dila berubah jadi perasaan cinta. Dan itu jauh sebelum Alex tahu kalau Dila bukan adik kandung Alex."
"Apa??"
"Alex mohon!"
Eyang menatap Alex yang bersimpuh di hadapannya. Dia tahu benar bagaimana besarnya kasih sayang dan perhatian Alex pada Dila, cucunya.
"Apa Dila juga memiliki perasaan yang sama?"
"Alex belum tahu," sahut Alex jujur.
"Baiklah. Eyang akan izinkan kamu menikahi Dila, hanya jika Dila juga mencintaimu."
----------
Tiba di rumah, Alex segera menuju kamar Dila. Ini sudah hampir tengah malam, Dila mungkin sudah tidur.
Tok.. Tok...
"Dila..."
Tidak ada jawaban dari dalam, tapi Alex sudah tidak sabar ingin melihat wajah Dila.
Kejadian kemarin malam, sudah membuatnya tidak bisa tidur karena gelisah. Alex tidak ingin malam ini ia tidak bisa tidur lagi karena perasaannya yang terlalu bahagia.
Ceklek.
"Dila..." ucap Alex lembut. Cahaya kamar itu remang-ramang.
"Mau apa kak Alex mencari Dila?" tanya Dila pelan.
"Kamu belum tidur?" Alex menghampiri Dila.
"Ada yang ingin ku sampaikan," ucap Alex dengan senyum mengembang.
"Sebahagia itukah sampai kakak tidak sabar menunggu besok untuk mengatakannya?" tanya Dila ketus.
"Mmmm. Aku memang sudah tidak sabar. Dila, MENIKAHLAH DENGANKU!" Alex mengulurkan tangannya dengan gaya yang manis.
"Menikah? DENGAN KAKAK?" pekik Dila tak percaya.
Alex megangguk.
"Aku juga sudah dapat izin dari Eyang."
"Benarkah? Kak Alex tidak bohong?"
"Tidak. Aku di izinkan menikahimu jika kau juga memcintaiku."
"Cinta??" Dila terlihat bingung.
"Dila tidak tahu apakah Dila mencintai kakak. Dila hanya tahu, Dila takut kehilangan kak Alex, Dila sangat menyayangi kak Alex, Dila juga ingin selalu bersama kakak." Dila menatap lekat pada Alex.
"Jadi,,, WILL YOU MARRY ME?" tanya Alex penuh harap.
Dila tersenyum, lalu mengangguk.
"Yes??" tanya Alex meyakinkan.
"Yes, of course." Dila tersenyum riang.
Alex menarik Dila kedalam pelukannya.
"Terima kasih, aku akan lakukan apapun untuk membuatmu bahagia."
-End-