Aku akhirnya mendorong pintu kafe itu setelah menimang-nimang cukup lama, ada rasa enggan untuk bertemu dengannya kembali.
Di kafe yang sederhana itu, bernuansa lampion yang mengantung dari langit-langit, berkelap-kelip sangat indah, aku bisa melihat pria itu, pria yang seharusnya aku tak pernah menemuinya lagi.
Pria itu tengah duduk di salah satu meja kafe, menatap secangkir kopi yang ada di depannya. Pandangannya kosong, tidak bercahaya, tersirat bayangan kesedihan yang mendalam.
Merasa ada yang melangkah menuju mejanya, pria itu mengalihkan pandangannya. Seketika itu juga dia tersenyum, karena yang menghampirinya adalah diriku.
“Lama tidak bertemu, Rinai.” Senyuman itu kian merekah, seolah rasa sedih tadi telah menguap begitu saja saat melihatku.
Aku membalasnya dengan anggukan dan senyuman tipis, tipis setipis mungkin.
“Kau mau aku pesenkan minuman?” dia menawarkan.
Aku menggeleng, aku tidak butuh itu, yang aku inginkan dia segera cepat untuk menyampaikan inti dari pertemuan ini.
Pria itu menghela nafas panjang, terasa berat. Wajahnya yang tersenyum tadi telah menghilang kembali. Setelah beberapa waktu, dia berkata.
“Kau tau, Nai. Aku telah gagal lagi…” ucapnya parau.
Hatiku seketika iba, aku tahu dengan kalimat singkatnya, tahu persis tentang perasaanya.
“Kupikir dia telah sukses membuatku jatuh cinta, memindahkan hatiku yang saat ini berada padamu. Kupikir semua itu sudah berhasil, aku telah melupakanmu. Namun aku menyadarinya, Rinai, itu semua adalah ilusi hatiku, pada kebenarannya aku masih jatuh cinta padamu.”
Pandangan kami bertemu sejenak lantas aku memalingkan wajah ke arah jendela, tersenyum getir.
Ini sudah ketiga kalinya ia menyatakan cinta padaku, saat itu juga aku selalu menggeleng kepala, menolaknya.
“Apakah kau masih tidak mencintaiku?”dia bertanya pelan, merasa putus asa.
Aku menggeleng. “Maaf.”
“Kenapa? kenapa kau tidak pernah membukakan hati untukku…?” suaranya parau penuh kesedihan.
“Karena aku tidak pernah mencintaimu, Agam.”
Seketika itu juga dia menunduk, menahan air mata yang hampir jatuh.
“Aku tidak cukup munafik mengatakan kalau kau hanya sebatas teman. Aku tidak cukup munafik mengatakan kalau kau terlalu baik. Pada dasarnya, di hatiku yang paling dalam, aku tidak pernah mencintaimu, Agam. Tidak pernah…” Aku menarik tas di meja, bengkit dari kursi.
“Ini adalah pertemuan terakhir kita.” Aku tersenyum berdiri di dekat pintu keluar. “Jika kita bertemu nanti di masa depan, entah itu dimana, di negara apa, kupastikan saat itu, hatiku telah terbuka untukmu.”
Pria itu masih menunduk, entah apakah suaraku terdengar olehnya atau tidak, yang pasti setelah itu aku pergi meninggalkannya.
*10 tahun berlalu…*
Aku tengah pergi ke suatu tempat yang mengundangiku untuk datang kesana. Mobil merah yang aku kendarai segera kuparkirkan di tempat yang telah disediakan.
Saat itu, baru saja aku keluar dan menutup pintu mobil, terdengar suara seseorang memanggil namaku.
“Halo Rinai, lama tidak bertemu.”
Aku tersenyum, aku hafal betul suara siapa itu, suara sahabatku dulu, Agam.
Saat aku membalikan badan, terlihat Agam datang menghampiriku bersama seorang wanita di sampingnya, wanita berperut buncit besar.
“Kupikir kamu tidak akan datang ke reunian sekolah?” Agam bertanya.
“Aku hanya ingin melihat-lihat temanku di sekolah, termasuk kamu juga.” Aku tersenyum, menatap Agam dan wanita itu secara bergantian.
“Mas… aku pengen yang pedes-pedes.” Istrinya Agam tiba-tiba merajuk manja.
“Mm, iya sayang kita kesana ya, tadi Mas lihat ada pedagang rujak.” Agam kemudian menoleh ke arahku. “Rinai, aku pamit sebentar, istriku ini sepertinya lagi ngidam.”
Aku mengangguk.
Agam dan istrinya kemudian pergi dari pandanganku. Saat melihat kebersamaan meraka berdua, hatiku tiba-tiba terasa sesak. Perkataanku dulu benar, ketika aku bertemu dengannya kembali, aku telah membukakan hati padanya, Aku telah mencintainya.
~~~~~