Aku hanya bisa terdiam setelah melihat berita di layar laptop. Untuk beberapa saat keadaan kamar ku menjadi hening, sangat berbeda dengan diluar yang mulai menggila.
Mencoba untuk tetap tenang, aku menghela nafas panjang, menyandarkan punggung pada kursi, aku menatap keatas dan perlahan menutup mata.
Perlahan aku dapat mengingat perasaan itu, perasaan yang aku rasakan saat pertama kali melihat video yang menunjukkan perbedaan antara benda-benda terbesar di jagat raya.
Melihat bumi yang begitu kecil dari bintang, seketika aku merasa seolah telah kehilangan tempat berpijak, seolah tanah yang menopang tubuhku telah jatuh dengan begitu cepat.
‘Mungkinkah bumi telah kehilangan daya angkat sehingga jatuh ke dasar tata Surya?.’ sebuah pemikiran singkat di benakku. Tapi sungguh hanya dalam waktu sepersekian detik aku benar-benar merasa begitu ketakutan jika apa yang aku pikirkan benar terjadi.
Door!
Suara tembakkan senjata membuatku terkejut, hingga mataku terbuka.
“Begitu keras, mungkin itu dekat dengan rumahku.” aku menatap dunia luar dari jendela, tempat itu menjadi lebih mengerikan dengan api di segala tempat dan orang-orang yang berteriak-teriak dengan gila.
“Lebih baik aku segera tidur agar tidak telat berangkat sekolah.” setelah menutup gorden jendela aku segera naik ke tempat tidur dan berharap malam terakhir ini aku mendapatkan mimpi yang indah.
Di pagi hari aku bangun dengan perasaan yang luar biasa, tubuhku terasa begitu baik hingga tidak terasa pegal sedikitpun. Membuka gorden jendela aku melihat hari ini begitu cerah dan akan terus bertambah cerah seiring waktu, seperti yang diberitakan oleh media di seluruh dunia.
“Hari yang bagus untuk berangkat ke sekolah.”
Mandi, sikat gigi lalu mengenakan seragam sekolah, kegiatan pagi yang biasa aku lakukan. Turun ke lantai bawah aku berharap jika hari ini ibu memasak aku nasi goreng untuk ku, namun sangat disayangkan saat ini ruangan itu sepi.
Biasanya setiap pagi aku menemukan kehidupan di ruangan ini, dimana ayah duduk di depan meja makan sambil membaca koran dan menikmati kopi hitam kesukaannya, lalu ibu yang sibuk dengan masakannya, semtara adik perempuan ku duduk di depan televisi menonton acara kartun favoritnya.
Namun di hari yang begi cerah ini, ruang keluarga ini begitu sepi.
“Apa ibu dan ayah telat bangun hari ini?.” aku kembali menaiki tangga menuju lantai dua dan segera menuju kamar orang tuaku. Aku mendapati pintu tidak di kunci dan terbuka begitu saja, saat aku mengintip, dengan jelas terlihat kedua orangtuaku dan adikku masih tertidur di tempat yang sama. Tubuhku bergetar hebat melihat mereka bersama ditempat yang sama untuk selamanya.
“Slamat beristirahat ayah, ibu dan adek. Semoga mimpi kalian indah.” tidak ingin mengganggu istirahat keluargaku, perlahan aku menutup pintu dan berjalan pelan kembali ke lantai dasar. Air mataku mulai mengalir tapi aku segera menghapusnya karena hari ini begitu cerah hingga tidak ada waktu untuk bersedih.
Pada akhirnya aku hanya mengambil roti tawar yang berada di lemari pendingin untuk mengganjal perut, setelah itu aku mengambil sepeda di garasi dan segera berangkat ke sekolah.
Aku dapat melihat para warga yang merayakan hari cerah ini. Banyak orang yang berbondong-bondong berdoa secara berjamaah, ada yang tidur di aspal jalan untuk berjemur dan ada pula yang mengikat tali di tiang lampu untuk dibuat ayunan yang dililitkan ke leher.
Beberapa kali orang baik datang menghampiriku dan mengajakku ikut berpesta dengan mereka, aku menatap orang-orang yang begitu ramah dan mendengar musik yang begitu keras dari rumah mereka yang dipenuhi oleh orang yang menyanyi dan menari merayakan kedatangan hari ini.
“Terlihat menyenangkan, tapi maaf aku harus pergi ke sekolah.” mendengar jawaban dariku membuat orang-orang baik itu saling memandang satu sama lain, hingga beberapa saat kemudian semuanya tiba-tiba tertawa terbahak-bahak lalu meninggalkanku.
“Sekolah? dia pasti gila. apa dia ingin menjadi sarjana di akhirat.”
“Biarkan saja itu hak dia akan menghabiskan hari ini seperti apa.”
Aku dapat mendengar pembicaraan orang-orang baik itu tentangku, namun aku tidak memperdulikan. Sungguh aku tidak pernah melihat orang-orang di kompleks ini begitu aktif merayakan hari yang begitu cerah.
Aku mengayuh sepeda menuju sekolah, waktu masih sangat pagi, butuh setengah jam hingga gerbang sekolah di tutup. Walaupun demikian aku tidak ingin membuang waktu dan berharap agar cepat sampai di sekolah. Tapi yang aku dapati pintu gerbang masih belum terbuka, mungkin saja penjaga sekolah sedang ikut menikmati hari yang cerah ini.
Di depan gerbang aku melihat sebuah sepeda yang begitu familiar, itu membuatku penasaran bagaimana pemilik sepeda bisa masuk kedalam halaman sekolah dan meninggalkan sepedanya begitu saja di depan gerbang sekolah.
“Mungkinkah dia memanjat dinding?.” aku menatap dinding sekolah setinggi 2 meter dan meyakinkan diri untuk memanjatnya. Butuh usaha yang melelahkan untuk melakukannya, tapi pada akhirnya aku berhasil memasuki halaman sekolah.
Itu masih begitu sepi tidak ada satupun murid yang terlihat di lobi gedung sekolah, tempat yang biasanya ramai di pagi hari. sementara Di ruang guru pun tidak ada satupun tanda kehidupan di sana.
“Mungkin karena terlalu mahal, sementara sekarang banyak yang gratis.”
Melewati lorong sekolah yang sepi akhirnya aku sampai di depan ruang kelas, aku memasuki ruangan itu tanpa berharap ada seseorang di dalamnya, tapi aku lupa dengan sepeda yang aku lihat di depan gerbang sekolah. Pemilik sepeda itu saat ini tengah duduk di salah satu kursi, menatap dengan ekspresi terkejut padaku yang masih berdiri membeku di depan pintu kelas.
“Em… pagi.” aku mencobanya untuk menyapanya, tapi gadis itu hanya terdiam seolah memikirkan sesuatu. Mendapati reaksi itu aku hanya menghela nafas pasrah.
Dea Puspita, nama dari sebuh bunga, bunga sekolah kami. selama 2 tahun kami menempati kelas yang sama, kami sangat jarang berkomunikasi, mungkin aku bisa menghitung dengan jari berapa kali kami berbicara. Itu disebabkan oleh ‘perlindungan’ yang diberikan untuk melindungi bunga secang Dea. perlindungan itu begitu kuat hingga aku yang bukanlah siapa-siapa tidak mungkin mendekatinya.
Tapi hari ini perlindungan itu menghilang, tidak ada teman gadis yang mengelilinginya, tidak ada pemuda idola kelas dan berprestasi yang selalu mengancam setiap lelaki mencoba mendekati Dea kurang dari 5 meter.
Hari ini tidak ada perlindungan itu, mungkin aku bisa mendekati dia sekarang. Tapi bagaimana jika dia tidak menyukaiku? Tidak…. Aku tidak akan tahu jika tingkat mencoba. Aku terus berpikir untuk segera mendatangi gadis itu, tapi kenyataannya aku justru duduk terpaku di tempat dimana seharusnya aku berada.
Jarak bangku tempatku dengan Dea begitu jauh, dia ada di pojok kanan atas sementara aku di pojok kiri bawah. Melihat jarak itu membuatku berpikir jika takdir pun tidak ingin kami saling berhubungan.
“Haha… takdir, kah? Sangat konyol.” berpikir jika hari ini adalah hari cerah yang luar biasa, aku memberanikan diri untuk mendekati Dea.
Berdiri di sampingnya membuat jantungku berdegup kencang, gadis itu masih terdiam di tempat duduknya, dapat dengan jelas aku melihat tubuhnya bergetar karena takut. Kami saling mematung untuk waktu yang cukup lama, hingga Dea akhirnya angkat bicara.
“Emm… Samuel bukan? Apa yang kau inginkan?.”
Ah aku samasekali tidak mengira jika sang bunga sekolah bahkan mengingat nama seorang yang bukan siapa-siapa sepertiku.
“Um… tidak ada.”
“Benarkah? Lalu kenapa kau berdiri di sampingku dan terus menatapku?.”
“Yah, kau tahu ini adalah hari yang luar biasa jadi kupikir betapa baik jika aku habiskan hari ini untuk menatap bunga yang begitu cantik seperti mu”
Mendengar itu Dea menatapku dengan tatapan jijik, tapi gadis itu tidak menyuruhku untuk segera pergi.
“Terserah kau saja.” ucapnya dengan nada bosan dan kembali memusatkan perhatian pada buku yang dia baca.
Mendapati izin aku segera mengambil kursi dari bangku sebelah dan duduk di depan Dea. Beberapa kali aku mengajaknya berbicara, tapi balasan dari Dea begitu ketus, namun seiring berjalannya waktu gadis itu mulai bersikap lembut selayaknya kami telah saling memahami.
“Pffft… candaan seperti apa itu, kau bisa membunuh seseorang karena stroke dengan lelucon ini.” Dea menyemburkan jus kaleng yang aku berikan padanya.
Dia menawan saat sedang diam, bagaikan boneka yang dibuat hanya untuk dilihat. Namun saat dia tertawa dia terlihat begitu cantik, seolah seluruh dunia akan memaafkan semu kesalahannya karena kecantikan yang dia miliki.
Hari yang begitu cerah ini terasa begitu panas, entah karena saat ini sudah tengah hari atau karena tanpa sadar kami sudah semakin dekat. Aku duduk di samping Dea yang wajahnya merona merah karena beberapa hal baru yang kami coba lakukan beberapa saat lalu.
“Seharusnya hari ini aku melakukannya dengan Rehan. Tapi entah kenapa aku merasa tidak nyaman dengan dia.” Dea menceritakan hubungannya dengan Rehan si idola kelas, “Yang lelaki itu pikirkan hanyalah bagaimana caranya agar bisa mengajakku berkencan. Itu membuatku muak.”
“Begitu? Tapi aku juga berpikir hal yang sama seperti lelaki itu.”
“Hahaha... ya itu terlihat jelas di wajahmu. Tapi mungkin karena hari ini begitu panas sehingga otak ku meleleh hingga membuatku kehilangan akal...”
Kami terdiam saat menatap satu sama lain, wajah kami berdekatan hingga aku memberanikan diri untuk mengecup bibirnya. Aku melihat air mata Dea menetes membuatku sontak mencoba menjauh, tapi gadis itu menarik kepalaku dengan keras membuatku tidak bisa bergerak. Kami tetap dalam posisi yang sama selama beberapa saat, hingga akhir Dea melepaskan kepalaku.
“Aku pikir bisa melakukannya dengan mu.” ucap Dea dengan wajah yang begitu merah.
Ini adalah hari yang cerah dan panas, mungkin aku bisa menggoreng telur di jalan. Sementara sekolah begitu sepi saat seluruh orang sedang menikmati hari yang begitu luar biasa. Hanya kelas kami saja yang masih terdengar kesibukan.
“Aku melakukan yang terbaik sebisaku, tapi ini adalah pertama kalinya bagiku jadi jangan berharap banyak.”
“Ugh… apa yang kau katakan, kau melakukannya lebih baik dari pecundang itu.” Dea dengan ganas melumat bibirku.
Gadis itu semakin tidak terkendali, seolah dia merasa telah dibebaskan dari rantai yang menahannya selama hidupnya. Saat ini dia telah menjadi dirinya sendiri yang selalu dia kubur untuk menjadi Dea yang ingin dilihat oleh semua orang.
“Hahaha… bagaimana jika kita melakukannya di tempat yang dipenuhi orang, agar mereka bisa melihatku yang seperti ini.”
“Kau gila.”
“Apa kau bermasalah dengan itu?.”
“Tidak, kau sangat menawan jika seperti ini.”
“Hahaha…. Ini sangat buruk, kenapa kita tidak berkencan dari dulu saja. Mungkin hidupku akan jauh lebih baik.”
“Ya itu sebuah penyesalan, tapi setidaknya kita akan menghabiskan hari ini bersama.”
“Kau benar, setidaknya di hari terakhir ini aku akhirnya menemukan kebahagiaan saat menjadi diriku yang sebenarnya.”
Hari yang luar biasa, begitu cerah, begitu panas dan begitu cepat berlalu, hingga tidak terasa sudah sore. Langit sore perlahan menghitam, kami berdua yang begitu kelelahan hanya duduk di dinding tepat dibawah papan tulis. Tatapanku tertuju pada smartphone yang menunjukkan waktu hitungan mundur.
“Tersisa 2 menit lagi, apa kau ingin melihat hujan meteor?.” aku bertanya pada Dea yang masih begitu lemas tidur menempatkan kepalanya di pundak ku.
“Hemm… ya mari kita saksikan hujan meteor bersama.” balasnya dengan suara lemas.
Aku mengangkat Dea yang masih begitu lelah menuju atap gedung sekolah, sementara dengan wajah merah merona Dea melingkarkan tangannya ke leherku, dia tersenyum dengan sangat menawan. Dari atap Kami melihat begitu banyak orang dibawah sedang menyalakan lilin karena listrik telah dipadamkan. Mereka terlihat begitu tenang, sangat berbeda dengan pagi tadi, mungkin mereka telah memahami dan menerima hari yang luar biasa ini.
Perlahan langit yang gelap di terangi oleh cahaya bintang berjatuhan, begitu banyak hingga langit seolah kembali ke waktu siang. Aku dapat merasakan Dea semakin mempererat pelukannya, dia terlihat begitu takut, aku mencoba menenangkannya dengan membalas pelukan itu.
“Aku bersyukur menghadapi hari ini bersamamu.” aku berbisik ke telinga Dea yang mulai menangis.
Hingga alarm berbunyi dari smartphone yang menandakan hitung mundur berakhir. Selanjutnya cahaya terang lebih dari apapun menyinari seluruh tempat.… Dan inilah akhirnya.