Aku berlari membawa kumpulan buku yang berisi foto-foto Danendra Alvaro, seorang penyanyi yang begitu terkenal dan digilai banyak orang. Aku berusaha mendapatkan tanda tangannya untuk melengkapi buku kesayanganku ini. Aku melihatnya menuju mobil dengan pengawalan yang ketat. Aku berusaha menerobos tapi aku tersungkur hingga jatuh, untung saja jalanan tidak basah, apa jadinya nanti kalau pakaianku kotor. Mama akan marah besar padaku.
“Ra …..Naura …” Panggil Yunna sambil berlari padaku. Aku menoleh dan melihatku mengambil nafas setelah berlari jauh sepertinya. Namaku Naura Renata Fikri, anak tunggal dari pasangan Erna Setyani Fikri dan Roni Awaluddin Fikri.
“Lu tuh ya ….ahhh” Kata Yunna dengan masih berusaha mengambil nafas dengan tenang.
“Ayo pulang.” Kataku hingga membuat Yunna melotot.
“Tunggu, …gila Lu ya, gue udah capek-capek sampai sini Lu malah ngajak pulang? Lain kali gue nggak mau nemenin Lu lagi liat konsernya Danendra.” Yunna mengancam.
“Jangan gitu dong Na …habisnya gue kesel, ngapain sih mereka nggak ngasih jalan buat gue Cuma mau minta tanda tangan Danendra doang.” Kataku kesel.
“Emang Lu siapa?” Orang aneh …” Kata Yunna meledek.
“Gue Nara Renata Fikri penggemar berat Denandra Alvaro, kenapa emang?” Kataku sebal pada Yunna.
“Yaelah Cuma penggemar doang minta dispesialkan … jangan ngimpi Lu.” Katanya membuatku kesal.
Aku pun langsung jalan gitu aja tanpa menghiraukan Yunna. Dia pun dengan terbata-bata memanggilku tapi aku tak mau menoleh. Yunna berlari mengejarku, dan aku malah berlari menjauh darinya. Hingga akhirnya aku pun lupa dengan kekecewaanku tidak mendapatkan tanda tangan dari Denandra. Lupa dengan tragedi aku terjatuh dan hampir diinjak-injak orang.
Hingga akhirnya, Yellow Cafee menjadi tempat kami untuk mengisi perut yang keroncongan. Aku memesan spagheti bolognese dan segelas orange juice, sedangkan Yunna memesan spagheti carbonarra dan segelas orange juice. Kami memang gampang sekali ngambek dan secepat mungkin baikan. Aku dan Yunna sudah dari bayi bersahabat, rumah kami pun berdekatan. Tak heran jika orang tua kami sangat percaya kalau kami pergi bersama. Meski kami saat ini sudah menjadi mahasiswa semester 5 di sebuah kampus swasta, tak menghentikan kebiasaan kami untuk tetap menggunakan angkutan umum untuk pergi kemanapun.
Saat aku menoleh, betapa terkejutnya aku. Aku mengusap mataku yang tak gatal, aku melihat Danendra Alvaro sedang makan di sudut cafe. Tapi dia tak sendiri, dia bersama seorang perempuan yang aku kenal sepertinya. Ohhh …. Tidak, cewek itu Vanessa Laura, apa mereka berdua pacaran, tapi kenapa tidak pernah terendus oleh media. Tapi sepertinya saat ini mereka sedang bertengkar, aku melihat betapa Denandra begitu sedih dengan raut wajahnya. Tiba-tiba Vanessa meninggalkannya begitu saja. Setelah itu, aku melihat Dicky, asisten pribadinya menghampirinya. Dia berusaha menenangkan Danendra. Ya Tuhan, ternyata Danendra selama ini pacaran sama Vanessa. Kenapa mereka tidak terbuka pada fans mereka.
Saat Danendra akan keluar, aku menghampirinya.
“Hallo Danendra, aku Naura … aku penggemarmu. Boleh aku minta tanda tanganmu di buku ini? Buku ini berisi foto-fotomu.” Aku tersenyum sambil menyerahkan buku itu. Rasanya senang sekali bisa bertemu dengan Danendra tanpa pengawalan yang ketat.
Dia tersenyum,”Kamu Naura?” tanyanya. Aku mengangguk, kemudian dia mengambil buku yang aku berikan padanya dan menandatangani buku yang kuserahkan tadi. Betapa bahagainya aku, mimpi apa aku semalam. Aku pun akhirnya meminta foto padanya, dan dia juga mau. Aku tahu suasana hatinya saat ini lagi kacau, tapi dia berusaha menyembunyikannya. Dia harus tetap ramah pada penggemar sepertiku ini.
“Ini nomor teleponku, kalau kamu pengen curhat, kamu bisa kok curhat sama aku.”Kataku yang dengan PD-nya memberikan nomor telepon pada artis ternama. Dia pun tersenyum lalu pamit untuk pergi.
“Lu ngapain ngasih nomor telpon sama Danendra, berharap dia bakal ngubungin Lu?” Tanya Yunna.
“Ya … bgitulah.” Jawabku singkat seraya tersenyum dan memandangin Danendra pergi.
“Ngimpi Lu kejauhan bosss …” kata Yunna lalu dia pergi.
Aku pun ngedumel sendiri, merasa apa yang aku lakukan adalah hal yang wajar. Siapa tahu aja, Danendra beneran mau telpon aku. Kemudian aku dan Yunna kembali duduk di kursi kami, aku menatap jendela kaca melihat Danendra masuk ke dalam mobil. Sepertinya dia memang sedang sedih, patah hati. Aku ingin menghiburnya, tapi siapalah aku. Hanya seorang penggemar biasa.
***
“Assalamualaikum….” Kemudian aku masuk rumah. Saat mau naik ke atas, aku melihat mama sedang sibuk membuat kue. Aku pun menghampiri mama sebelum naik ke kamar.
“Mau dikirim kemana ma?” tanyaku sambil menyomot cemilan di meja.
“Temen mama, katanya anaknya ulang tahun. Nanti temenin mama nganter ya Ra?” pinta mama dan aku pun mengangguk. Aku selalu senang ketika mengantar mama menemui kliennya, aku jadi tahu bagaimana bertemu orang baru.
“Ya udah… Naura mandi dulu ya ma.” Kataku dan mama tersenyum mengangguk.
Setelah selesai mandi, aku bersiap turun untuk mengantarkan mama. Mengambil kunci mobil kemudian manasin mesin dulu sebelum berangkat. Sebenarnya mama punta toko kue, tapi kadang ada temennya yang pengen dibuatin langsung sama mama. Mama pun tak keberatan, dia bahkan seneng apalagi bisa ketemu temen-temennya.
Sebelum berangkat aku melihat ke rumah Yunna, sepertinya di rumahnya lagi ada tamu. Tapi hanya sebatas melihat tak ingin menanyakan. Mama pun masuk ke mobil dan aku yang menyetir.
“Oya, Ra…. tadi pagi tante Ella (mama Yunna) pesen kue sama mama lumayan banyak, ternyata bener ada tamu.” Kata mama sambil melihat ke arah rumah Yunna.
“Yunna nggak cerita tuh mah tadi …” kataku.
“Mungkin Yunna nggak tau, orang juga dadakan pesennya setelah kamu berangkat tadi.” Kata mama.
“Mungkin keluarga mereka dari luar kota dateng ma.” Jawabku santai.
“Iya mungkin aja…” jawab mama.
Kami pun akhirnya berangkat dengan santai, menyusuri jalan untuk mengantarkan kue.
Saat kami pergi, ada sebuah mobil mewah berhenti di rumah Yunna. Beberapa orang turun kemudian, dan satu orang yang sangat terkenal pun turun dengan melepas kacamata hitam yang bertengger di matanya.
“Assalamualaikum …” Seorang laki-laki baya memencet bel rumah Yunna.
“Walaikumsalam …” jawab tante Ella.
Tante Ella tersenyum bahagia menyambut kedatangan teman masa kecilnya itu. “Rina, apa kabar? Akhirnya bisa ke sini juga. Ya Allah mas Bram, apa kabar (sambil menyalami) ada nak Denandra juga… masyaAllah ganteng sekali sekarang. Tante Cuma bisa liat dari tv …. Ayo masuk-masuk.”
Yuppp …. Benar sekali yang datang ke rumah Yunna adalah keluarga Denandra. Aku tak tahu kenapa tiba-tiba keluarga Denandra datang ke rumah Yunna, Yunna pun tidak cerita apa pun padaku. Apa dia menutupinya atau bagaimana aku tak tahu.
Keluarga besar mereka berkumpul di rumah Yunna saat ini. Mama Yunna menyuruh Yunna untuk turun. Yunna kaget melihat Denandra, sang penyanyi terkenal datang ke rumahnya. Dalam hatinya kalau aku tahu pasti aku sangat senang sekali, tapi sayang aku tak bisa mengambil hp-ku di kamar. Hp-ku juga lagi lowbat.
“Ya Allah nak Yunna cantik sekali… pantas saja mamamu selalu membanggakanmu nak.” Kata mama Danendra.
Tante Ella memperkenalkan Yunna pada Danendra. Begitupun sebaliknya, kemudian mereka membicarakan masalah masa depan anak-anak mereka.
“Oya … mas Bayu, kedatangan kami ke sini selain untuk silaturahmi kami punya niatan baik. Karena Rina dan Ella sudah berteman sejak kecil, dan mereka masing-masing punya janji jikalau mereka punya anak yang satu laki-laki dan yang satu perempuan, mereka ingin menjodohkan. Jadi, karena waktunya yang saya rasa sudah cukup tepat Danendra sudah cukup dewasa dan mandiri, saya lihat nan Yunna juga sudah dewasa, kami ingin melamar putri mas Bayu untuk anak kami Danendra.” Ucap papa Danendra.
Danendra tak terkejut, karena dia sudah mengetahuinya dari orang tuanya. Sedangkan Yunna sangat terkejut. Dia tak mengira akan dijodohkan dengan seorang penyanyi dan yang baru dia kenal. Seorang penyanyi yang disukai oleh sahabatnya sendiri, yaitu aku.
Yunna melihat ke arah mamanya, mamanya tersenyum dan mengangguk. Yunna tak bisa mengelak saat lamaran ini, dia tidak ingin membuat sakit hati orang tuanya. Tapi Yunna juga memikirkan aku, bagaimana Yunna harus bilang padaku nanti.
Denandra dan Yunna diberi waktu untuk mengobrol di halaman belakang oleh orang tua mereka.
“Sepertinya kemarin aku melihatmu sama temenmu …” Kata Denandra
“Iya … dia Naura, sahabatku sejak kecil, rumahnya juga di sebelah. Dia penggemarmu .” kata Yunna datar.
“Ohhh yang minta tanda tangan kemarin …lucu.” Kata Denandra.
“Kamu tahu, perjodohan ini?” tanya Yunna tanpa basa-basi.
“Tahu.” Jawab Denandra singkat.
“Kamu setuju?” tanya Yunna.
“Aku nggak bisa nolak permintaan mama, karena aku tahu kalau aku nolak permintaannya dia bakal sedih. Dan aku nggak suka itu.” Jawab Denandra.
“Apa itu yang membuat kamu putus sama Vanessa?” tanya Yunna.
Denandra menatap Yunna kaget, tapi tak menjawab apapun. Kemudian orang tua mereka memanggil mereka untuk masuk. Waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 wib, keluarga Danendra pun pamit untuk pulang. Yunna langsung masuk ke kamar dan membuka hp-nya, dia bingung harus bagaimana bicara denganku.
Heh ..Yuyun … kemane aje sih, ditelpon nggak bisa, di wa nggak bales. Lu lagi nggak lagi ngumpet di dalem lemari kan? – isi wa-ku pada Yunna.
Sorry Ra, hp gue tadi low, gue tinggal di kamar, gue di bawah sama keluarga. – balas Yunna
Oh makanya tadi tante Ella pesan kue banyak sama nyokap, keluarga Lu dateng ya rupanya. Oya, gue telpon ya. – balasku
Sorry Ra, jangan telpon sekarang dulu gue mau bantuin mama beberes, soalnya Bi Wati masih di kampung, jadi nggak ada yang bantuin mama. – balas Yunna.
Ya udah kalau gitu, besok aja deh gue cerita sama Lu. – Balasku.
Setelah itu, Yunna tidak membalas lagi pesanku. Aku menangkap ada yang aneh sama Yunna, nggak biasanya dia kayak gitu, jangan-jangan dia dijodohin sama orang yang nggak dia suka. Ahhh… pikirannya kayak gini karena kebanyakan baca novel nih, ngayal mulu sukanya.
Keesokan harinya, aku nungguin Yunna, tapi tak kunjung keluar. Aku pun mutusin untuk datang ke rumah Yunna. Ternyata yang bukain pintu adalah tante Ella.
“Ehhh nak Naura, cari Yunna… Yunna udah pergi dari pagi.” Kata tante Ella.
“Kemana tante? Kok nggak bilang sama saya.” Tanyaku heran.
“Ohhh… tadi pagi-pagi udah dijemput sama calonnya Yunna.” Kata tante Ella membuatku semakin penasaran.
“Calon? Calon apa tante? …” tanya penasaran.
“Yunna belum cerita sama kamu?” Tanya tante Ella dan aku menggelengkan kepala tanda aku benar-benar nggak ngerti apa yang dimaksud tante Ella.
“Jadi, tadi malem itu temennya tante dateng, kami dari kecil udah punya janji bakal jodohin anak kita, Yunna pun nggak tau, dia taunya juga tadi malam.” Tante Ella bercerita dengan semangat.
“Tapi sepertinya mereka menerima perjodohan ini, ganteng lho Ra calonnya Yunna, nanti tante minta ngenalin kamu sama temennya siapa tahu ada yang cocok, gimana?” tanya tante Ella.
“Hah … nggak usah tante. Kalau gitu selamat ya tante, bentar lagi punya mantu. Tapi, nanti Naura bakal marah sama Yunna karena Yunna nggak cerita sama Naura.” Jawabku sedikit melucu.
“Mungkin Yunna masih kaget, tiba-tiba dia dijodohin, masih malu-malu. Kamu pasti tau siapa calon Yunna, dia….. iya pa, bentar ya nak Naura.” Pamit tante Ella.
“Kalau gitu Naura pamit ya tante, nanti Naura telpon Yunna.” Kataku, dan aku berpamitan lalu pergi.
Aku sempat berpikir tante Ella tadi bilang aku tahu siapa calon Yunna, aku penasaran. Apa mungkin dia teman masa kecil kami berarti antara Rangga, Niko, sama Omar. Tapi mereka semua kan ada di luar kota. Awas aja ya Yunna, kamu nggak cerita sama aku tentang semua ini.
Malam harinya, sepertinya Yunna masih sibuk dengan calon suaminya. Aku pun akhirnya di kamar hanya nonton konser-konser Danendra. Dia sangat tampan dan berkarisma. Tiba-tiba ada nomor masuk, nomor yang nggak aku kenal.
Hai Naura … - Denandra
Iya, siapa ini? -aku
Aku Danendra - Denandra
Hah? Serius? - Aku
Iya - Denandra
Demi apa? - Aku
Iya aku beneran Danendra, Naura. Kamu kan yang ngasih nomor telponmu itu. - Denandra
Bentar deh … - aku
(Aku terdiam memegang dadaku yang deg-degan luar biasa, lalu jingkrak-jingkrak di atas kasur saking senengnya ditelpon sama Danendra)
Hallo Naura …. - Denandra
Iya … - Aku
Dulu kamu pernah bilang kalau kamu siap dengerin aku cerita - Denandra
Iya … - aku
Aku yakin kamu bakal silent, nggak bakal nyebarin semua ini ke media, aku percaya kamu. Kapan-kapan kalau kamu ada waktu dan jadwalku ada yang kosong kita bisa ketemu? - Denandra
Ohhh bisa - aku
Kamu pasti kemarin bertanya-tanya, kenapa aku bisa jadian sama Vanessa. Aku udah 6 bulan jadian sama dia, tapi aku terpaksa memutuskan hubungan kami. - Denandra
Kenapa? - Akuy
Orang tuaku menjodohkanku dengan anak temannya. - Denandra
Kamu mau? - Aku
Aku nggak mau nyakitin hati orang tuaku Ra, mereka udah berjasa banget buat aku. Meskipun saat ini aku belum tumbuh rasa untuknya. -Denandra
Yahhh nggak ada harapan buat aku … -Aku
Maksudnya? - Denandra
Ehhhhh …enggak…enggak, lanjutin. - Aku
Setelah ketemu cewek itu, aku liat dia anak baik-baik. Tapi nggak tau kenapa aku kebayang-bayang wajah kamu terus ya Ra. - Denandra
Lah gimana sih, habis muji tunangannya malah nggombalin cewek lain. - Aku
Bukan gitu Ra, saat ini aku masih tahap pendekatan sama dia. Aku juga butuh temen buat cerita, kalau di manajement aku nggak bisa cerita sebebas ini. - Denandra
Terus kalau kalian nggak bisa deket, kamu lari ke aku gitu? Aku sih nggak mau jadi ban serep ya -Aku
Kamu lucu ya, hahaha … nggak gitu juga Ra. Rumah kamu mana sih? Kapan-kapan aku main ke rumah boleh? -Denandra
Hah serius? Eh tapi kenapa kamu malah mau main ke rumahku, sumpah ya aku jadi nggak enak lho sama tunanganmu itu. Oya ngomong-ngomong tunangan kamu artis juga? Atau orang biasa? -Aku
Dia orang biasa Ra, aku harap dia bisa tahan dengan lingkunganku seperti ini. -Denandra
Aku doain ya, moga kalian langgeng, bisa bersatu bisa membuat orang tua kalian bahagia. -Aku
Makasih ya Ra, udah mau dengerin curhatanku. -Denandra
Iya sama-sama -Aku
Rasanya seneng banget ditelpon Denandra, tapi rasanya juga sakit mendengar dia dijodohin sama orang yang belum dia suka. Tapi aku tak berhak melarangnya, aku hanyalah penggemar biasa yang menaruh hati padanya. Mau cerita sama Yunna, tapi dia sampai sekarang nggak ngehubungin aku sama sekali. Awas aja kalau besok minta di anterin ke toko buku, ogah banget gue.
Pagi ini rasanya aku ingin datang ke rumah Yunna, ada apa dengan anak itu. Tumben-tumbenan banget dia dua hari betah nggak hubungin aku. Dengan memakai pakaian babydoll aku keluar dan menuju rumah Yunna. Sebelum sampai rumahnya, betapa kagetnya aku. Di depan mataku, aku melihat Yunna keluar rumah bersama Denandra. Kenapa Denandra bisa ke rumah Yunna? Kenapa Yunna nggak bilang sama aku kalau ada Denandra.
Yunna kaget melihatku, begitu juga Denandra. Yunna langsung menghampiriku, dan tiba-tiba memelukku. Aku bingung dengan situasi ini. Aku jadi teringat cerita tante Ella tentang anak temannya yang melamar Yunna seorang yang kukenal. Apakah Denandra orang tersebut?
“Maafin gue Ra …” katanya sambil beruraian air mata.
Aku tetap terdiam tak bisa berkata apa-apa, melihat keadaan yang membingungkan untukku.
“Maafin gue belum cerita sama kamu tentang Denandra, gue nggak bisa nyeritain semuanya sama Lu. Gue nunggu waktu yang tepat Ra, nyiapin hati gue, nyiapin semua agar semua baik-baik saja meskipun gue tau Lu bakal terluka, gue minta maaf Ra.” Dia tetap memelukku dengan tangisnya yang semakin menjadi. Danendra tetap diam di sana, menatap Yunna memelukku dan menangis.
Yunna kemudian melepaskan pelukannya dan mengusap air matanya. Menatapku dengan peluhnya, seperti perasaan bersalah yang amat besar.
“Jadi Denandra ….” Kataku seperti tertahan, Yunna pun kembali memelukku dan manangis. Aku pun meneteskan air mataku yang berusaha kutahan sebelumnya kemudian melepaskan pelukan Yunna dan memilih untuk berjalan perlahan kembali ke rumah dengan air mata.
Yunna, sahabatku sendiri yang tahu aku penggemar berat Denandra, dengan diam mencintainya, mengejar-ngejarnya dengan penuh harap, dia yang mendapatkannya. Aku tahu ini tak adil bagiku, tapi aku butuh waktu untuk memahami semua ini. Aku butuh waktu untuk sendiri.
“Ra …. Maafin gue, Naura …..” Teriak Yunna dengan penuh air mata. Denandra menghampirinya, kemudian berusaha menenangkan Yunna. Yunna menepis tangan Denandra, dia berlari mengejarku yang berjalan dengan lemah.
“Ra … maafin gue, maafin gue belum cerita semua ini sama Lu. Maafin gue Ra ….” Katanya di depanku.
Aku pun terus berjalan tanpa menghiraukannya, aku butuh waktu sendiri untuk memahami semua ini. Inikah takdir perasaanku, takdir persahabatanku dengan Yunna sejak kecil.
“Ra …. Naura ….” Teriak Yunna, sampai dia tertunduk menangis di jalan.
Denandra kembali menenangkannya dan membawanya pulang.
Aku masuk kamar dan menguncinya, menangis sejadi-jadinya di kamar. Mama, papa mengetuk-ngetuk kamar tanpa kujawab. Aku pun terus berdiam diri di kamar hingga membuat orang tuaku khawatir. Naura dan Denandra pun menghampiriku mengetuk pintu kamarku, inginkan aku keluar dari kamar.
“Ra … ini gue Yunna. Ra … keluar, makan dulu. Aku bawa banyak makanan kesukaan Lu” Katanya dengan membawa beberapa makanan kesukaanku dan buah-buahan.
Aku tak menggubris kata-katanya, aku masih berdiam di bawah selimut. Meratapi nasib ini yang membuatku hampir gila.
“Ra … keluar Ra, gue nggak mau Lu sakit, gue sayang sama Lu Ra …. Maafin gue Ra. Ra … kalau memang karena Denandra Lu kayak gini, gue nggak akan mau dijodohin sama Denandra Ra, gue bakal ngebatalin perjodohan ini.” Kata Yunna hingga membuat orang tuaku dan Denandra kaget mendengarnya. Denandra ingin mencegah Yunna bilang seperti itu, tapi Yunna mencegahnya.
“Ra … gue nggak ingin persahabatan kita hancur cuma karena cowok Ra … gue kangen main barang Lu, gue kangen sama-sama terus sama Lu, gue kangen Ra…” kata Yunna hingga membuatku menangis.
Apa aku keterlaluan banget sama Yunna sampai dia ngomong kayak gitu, apa aku terlalu egosi mengedepankan egoku. Rasanya aku jahat banget kalau sampai Yunna melakukan semua itu. Aku memang mengagumi Denandra, aku memang mencintainya dalam diam, aku memang selalu merindukannya dalam diam, tapi sikapku ini bukan sikap ksatria yang harus menghukum mereka. Ini bukan mau mereka, ini sudah takdir yang kuasa. Biarlah aku melupakan Denandra, merindukannya tanpa ujung, merelakannya dengan Yunna, sahabatku dan melihat mereka bahagia. Aku akan bahagia dengan itu.
Aku bangkit dari tempat tidurku, berjalan lemah dan kemudian membuka pintu kamarku. Melihat Yunna menangis di depan pintu. Aku pun memeluknya, dan kami saling menangis. Kami tahu, kami saling menyayangi satu sama lain, bukan lagi sahabat, kami sudah seperti saudara, tak ingin ada yang bersedih, rela melakukan apapun agar kami bahagia.
“Maafin gue Ra …” Yunna terus meminta maaf, tapi aku menggelengkan kepala .
“Lu nggak salah Na, maafin gue …” kataku dengan wajah yang dipenuhi air mata.
Mama pun ikut menangis di pelukan papa, mama tahu bagaimana hatiku. Mama tahu bagaimana aku jika menghadapi situasi seperti ini. Denandra tersenyum padaku dan Yunna.
Aku ikhlas Tuhan melihat sahabatku menikah dengan orang yang kucintai, aku ingin dia bahagia bersama orang yang ia cintai. Orang tua kami pun juga ikut bahagia, mama memelukku, mencium keningku, “Anak mama hebat.” Katanya. Dan kata itu yang menguatkan aku sampai aku mendampingi Yunna menikah dengan Denandra. Melihatnya di pelaminan dengan senyum bahagia, memberikan buket bunga padaku agar aku segera menyusulnya lalu mereka memelukku.