Aku memiliki suatu impian yang sampai sekarang belum terwujud. Satu hal yang kuinginkan selama aku hidup. Keinginan sederhana yang oleh beberapa alasan selalu saja membuatku kesulitan tiap kali mencoba meraihnya. Padahal aku ini tidak naif dengan hal-hal yang mustahil. Banyak cara yang bisa kulakukan, tapi karena beberapa sebab, aku selalu gagal.
Aku ingin mati, aku ingin bunuh diri.
Untuk mengatakan hal yang kuinginkan hanya butuh beberapa kata saja yang merangkai dua klausa. Tidak ada majas metafora yang terselip. Cukup dengan melihat kalimat itu secara transparan tanpa memikirkan hal yang terlalu rumit. Aku memang berkeinginan untuk membunuh diriku sendiri.
Aku ingin mati, aku ingin bunuh diri.
Kalimat itu selalu saja terngiang dalam pikiranku. Setiap kali pikiranku tidak dipenuhi oleh masalah dunia, hal itu selalu saja memenuhi otakku. Hasratku terlalu besar. Kalau dipikir-pikir aku sudah gila, titik psikologiku tidak berada di tempat yang benar. Tidak ada siapa pun yang sadar akan hal itu.
Dalam menjalani aktivitas sehari-hari, aku tetap melakukan seperti yang seharusnya. Masih juga berbaur dengan teman-teman. Aku tidak ingin tahu bahwa di antara kami ada seseorang yang memiliki sebuah kegilaan. Benang-benang kehidupan yang terjerat dalam diriku kebanyakan hanyalah hijau, netral. Tidak ada kaitan keinginan ini dengan kehidupan luar.
Alasannya adalah satu benang merah yang menyala. Menghubungkanku pada dia. Sesuatu di masa lalu yang membuatku muak sehingga aku sungguh membencinya. Tidak ada rasa penyesalan, tidak ada kesedihan dalam diriku yang menyeretku pada keinginan untuk mati. Semuanya hanyalah kebencian.
=o=
Seorang gadis dengan seragam hitam berlari sekuat tenaga. Wajahnya merah karena kelelahan. Sesekali ia menggelengkan kepalanya, menyingkirkan pemikiran negatif yang melintas dalam kepalanya. “Jangan sampai guru sudah menutup gerbangnya!” ia menjerit.
Pandangan semua orang tertoleh padanya yang tergesa-gesa berlari dari stasiun kereta. Apalagi karena jeritannya yang di luar kendali anak itu. Rambutnya yang tidak diikat justru berantakan dan dengan berlari tanpa berpikir membuat kondisinya akan acak-acakan.
“Ahh … kereta sialan!” gadis itu terus berceloteh. Merutuki dirinya sendiri atau lain-lainnya. “Shee, kau bodoh!” tidak sedikit pun terpikirkan untuknya untuk berhenti sebentar, setidaknya untuk mengambil napas. Shee yang terdesak tidak akan sempat memikirkan hal itu.
Perempuan itu hanya bisa tercengang ketika melihat gadis yang panik itu. Dia menghela napas seraya menopang dagunya dengan telapak tangan. “Kalau tidak salah … Shee, ya.” Ia mengulas senyum yang penuh arti. “Sudah lama sekali ….”
=o=
Lari gadis itu terhenti. Shee melihat bahwa sisa-siswi dengan baju seragam yang sama masih berjalan santai. Di ujung sana gerbang sebuah bangunan masih terbuka. “Syukurlah.” Rasa kepuasan tercecap olehnya dan perasaannya yang panik sudah lega.
“Shee!”
Gadis itu berbalik, mendapati seorang perempuan di belakangnya. Tanpa basa-basi, perempuan itu mendekat hingga jaraknya dengan Shee menjadi begitu sempit. Perlahan ia menyisiri rambut panjang gadis itu yang telah acak-acakan.
Semburat merah terlihat di pipi Shee. “A-apa-apaan ini?” ia berusaha mengambil jarak dengan perempuan itu. Namun, menyadari bahwa ia mamang sangat berantakan membuat gadis itu membenahi dirinya sendiri.
“Santailah sedikit. Kamu tidak terlambat.” Perempuan itu mendekat lagi, mempersempit jarak antara mereka berdua.
Wajah Shee memerah lagi, ia tidak akan terbiasa dengan hal semacam itu. Bahkan ketika dengan sesama perempuan. Namun apa yang dilakukan oleh perempuan itu hanya merapikan rambutnya yang memang acak-acakan.
Shee telah berlari lebih dari tiga kilometer ditambah berdiri berdesak-desakan dengan penumpang kereta. Tanpa henti. Di dekat perempuan itu, barulah Shee sadar bahwa ia memang kelelahan. Padahal saat berlari tadi rasanya tidak ada masalah.
Netra cokelat tua perempuan itu menatapnya dengan penuh arti, membuat Shee refleks ingin menjauh darinya. Gadis itu kemudian melihat betapa banyak perban yang melilit perempuan yang mendekatinya secara tiba-tiba. Pipi kanannya, lehernya, lengan juga kaki kirinya. Belum ditambah dengan luka lecet di mana-mana dan bekas-bekas yang lainnya yang tidak tertutup. Ia terkesiap melihatnya.
Dari kejauhan bel berbunyi.
“Sial! Aku benar-benar terlambat!”
Gadis itu kembali berlari lagi. Dari kejauhan gerbang hampir tertutup. Shee berusaha memperkuat larinya. Berlari sekuat yang ia bisa. Tidak ada lagi yang bisa gadis itu dengar karena kepanikannya. Tidak ada juga yang gadis itu lihat karena ia telah memejamkan matanya.
Matanya baru terbuka saat ia menabrak sesuatu.
Gadis itu menyadari ia sudah berada di lingkungan sekolah. Ia memandang ke belakangnya. Gerbang berhenti ditutup karena guru yang menutupnya tercengang dengan aksi Shee. Akan tetapi itu hanya untuk beberapa momentum karena guru tersebut harus menutup dan mengunci gerbang sekolah.
“Aku … tidak telat?” Shee tidak sepenuhnya percaya dengan peruntungannya.
“Shee, kau tidak telat, tetapi kau menindihku.”
Benar. Shee menabrak seorang dan kini lututnya memang menindih perut laki-laki yang ditabraknya. “M-maaf, Rain!” ia langsung berdiri membungkuk, membantu Rain berdiri. “Aku benar-benar minta maaf ….”
“Tidak apa-apa.” Laki-laki itu justru hanya tersenyum. “Rumahmu ‘kan jauh. Kenapa kamu seterlambat ini? Terlambat bangun?” ia tertawa kecil, sengaja menggoda Shee hingga pipi gadis itu memerah.
“A-aku sudah berlari sekuat tenaga!” gadis itu tidak terima dengan godaan Rain. “Aku memang terlambat bangun sehingga aku ketinggalan kereta. T-tapi aku langsung lari begitu turun. Aku harusnya tidak telat jika bukan karena perempuan itu!”
Mereka berdua berjalan menyusuri bangunan sekolah. Shee menceritakan pertemuannya dengan perempuan itu. Bagaimana perempuan itu selalu saja mencoba mempersempit jarak antara mereka berdua, perempuan yang kira-kira memang sebaya dengannya tapi tidak berseragam sekolah. Ia juga menceritakan bahwa ada banyak perban yang dipakainya.
“Perban, ya ….” Saat itu mereka sudah memasuki kelas dan mengahampiri meja masing-masing yang bersebelahan. “Kalau memang sebaya, mungkin dia dari sekolah yang katanya terbakar lima hari lalu. Proses pembelajaran mereka pasti terhenti.” Rain menarik kursinya dan duduk.
“Ah, aku tahu itu.” Shee hanya menaruh tasnya di atas meja. Ia lebih memilih untuk berdiri di dekat meja Rain. Lagipula guru belum datang. Untuk beberapa waktu, mereka berdua bercakap-cakap di antara murid-murid lain yang juga masih asyik juga bercengkerama satu sama lain.
“Lalu bagaimana dia tahu mengenai namamu?”
Pertanyaan itu hanya dibalas gelengan. “Aku sama sekali tidak tahu.” Wajahnya tertunduk. Ada banyak hal yang seolah menjadi pemicu dengan perempuan itu. “Apa aku pernah mengenalnya dulu? Aku tidak begitu ingat. Jika dia adalah orang yang sama-sama kita kenal, apa Rain tahu dia siapa?”
“Mungkin. Mungkin aku tahu mengingatnya jika mendengar suaranya.” Laki-laki itu kemudian menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. Matanya terlihat kosong. “Wajah seseorang bisa berubah dengan cepat, tetapi suara tidak mudah diubah. Walau ada perbedaan intonasi, suara seseorang pun masih bisa dikatakan sama.”
=o=
Waktu aku berangkat sekolah, aku bertemu dengan Dia tanpa sengaja. Dia berbicara kepadaku seolah hal-hal yang dulu terjadi tidak pernah ada. Dia memanggilku dan berbicara beberapa saat denganku. Saat itu aku benar-benar tidak merasa nyaman karena kehadirannya. Hatiku sudah terlanjur muak dengan Dia sehingga aku selalu mengambil jarak sebelum aku melakukan sesuatu padanya di luar kendali.
Lebih baik aku mati daripada bertemu dengannya.
Aku tidak menyukainya. Aku tidak menyadari kenapa Dia memakai banyak perban. Tak kusangka ternyata dia juga salah satu korban dari kebakaran sekolah lima hari lalu. Sebenarnya aku berbohong ketika bercakap-cakap dengan temanku bahwa aku tidak mengenalnya. Bahwa hanya kemungkinan kami berdua mengenalnya.
Tentu dia juga mengenalnya. Hanya saja ia tidak menyadarinya. Aku yang benar-benar terikat dengan benang merah dengannya yang menyadari hal itu. Benang merah bukanlah tanda cinta, atau apa pun. Bagiku hubungan dengan benang merah adalah kebencian. Benang itu hanya satu saja, begitu menyala hingga cahaya merahnya menerangi benang-benang lainnya. Seperti itulah rasa kebencianku pada Dia.
Aku ingin bunuh diri.
Saat aku bertemu dengannya. Aku sudah mulai berpikir. Pasti ke depannya akan menjadi sesuatu yang saling berkaitan dengan masa lalu. Aku membencinya. Sangat benci. Aku masih ingat saat ia merenggut semua yang aku miliki. Hingga aku sempat kehilangan impianku yang lalu. Namun, berkatnya juga aku memiliki impian yang sekarang ini kumiliki.
Aku ingin mati, aku ingin bunuh diri.
Sejak sesuatu terjadi di masa lampau. Itulah alasan aku ingin bunuh diri. Semua itu karena dirinya.
=o=
Matahari hampir tenggelam ketika mereka pulang dari sekolah. Shee pulang bersama Rain. Sebenarnya tidak ada hubungan khusus di antara mereka berdua. Keduanya sempat diasuh panti asuhan karena alasan masing-masing. Dan mereka sudah saling mengenal.
Sejak memasuki sekolah menengah, mereka keluar dari panti asuhan. Memutuskan untuk tinggal di rumah orangtua mereka dan hidup mandiri. Baik Rain maupun Shee terus saja memilih sekolah yang sama, kadang sekelas dan lebih sering tidak.
Rain berhenti. Membuka kunci gerbang kecil di samping kanannya. Rumah keluarga Rain. “Sampai jumpa besok,” ucap gadis itu sambil menepuk pundak Rain. Shee meninggalkan laki-laki itu.
“Ceritakanlah hal-hal lain yang membuatmu terusik. Jangan disimpan sendiri.”
=o=
Shee memasuki rumahnya tanpa suara. Semuanya terlihat begitu lengang dan kosong. Ekspresi dan suasana hatinya selalu berubah menjadi tidak enak ketika memasuki rumahnya sendiri, mengingat masa lalunya. Ayahnya sudah tidak ada begitu ia menyadarinya dan ibunya terlalu serius bekerja hingga tidak pernah memerhatikannya. Bahkan tega meninggalkannya di panti asuhan.
Gadis itu menghela napas berat. Ia mematut diri di depan cermin yang terpajang di ruangan depan. Shee hanya tinggal sendirian, jadi tidak ada masalah untuk hidup sebebas apa pun. “Jangan memikirkannya.” Shee menghibur diri sendiri.
Ia tertegun ketika mendengar bunyi yang seharusnya tidak ia dengar. Gadis itu akhirnya melihat sesosok wanita berambut pirang yang akhirnya menampakkan diri di ruang depan. Wanita itu jauh lebih tua dan lebih terlihat dewasa.
“Kak Naoi ….”
Wanita itu tersenyum saat namanya disebut. “Aku akan pergi. Kali ini gantian bermalam di rumah Rain.”
Naoi telah menjadi kakak yang sempurna bagi Shee. Di panti asuhan, selama ini yang telah menjaganya adalah Naoi. Sekarang dia adalah seorang mahasiswi. Dia adalah sosok yang penyayang dan sudah menganggap Rain dan Shee sebagai adik-adiknya, meskipun tidak memiliki hubungan darah.
Sejak Rain dan Shee memutuskan keluar dari panti asuhan dan hidup di rumah sendiri, Naoi ikut keluar dan memutuskan untuk bermalam berganti-gantian seraya mengurus mereka berdua. Siang dan malamnya bertukar-tukar.
“Kakak padahal bisa membiarkan kami. Kami sudah bisa mandiri. Lagipula Kakak pasti masih punya kegiatan penting lainnya.” Hanya itu yang bisa Shee katakann, tetapi dia sudah tahu tanggapan Naoi.
“Aku lebih menyayangi kalian, lebih daripada apa pun. Lagipula, akan banyak hal yang mungkin terjadi bila aku tidak mengunjungi kalian.”
=o=
Aku ingin mati, aku ingin bunuh diri.
Saat aku sedang sendirian di rumah, terbesitlah ide untuk mencoba bunuh diri untuk kesekian kali. Aku mengambil pistol yang selama ini kusimpan tanpa membiarkan siapa pun tahu. Pistol yang terisi peluru terasa agak berat. Tipe yang kupakai hanya memiliki enam butir peluru.
Aku berdiri di depan cermin yang memantulkan gambar diriku. Memejamkan mataku. Ujung laras telah menyentuh kepalaku. Hanya tinggal menarik pelatuknya dan selesai.
Meskipun begitu, tanganku kembali turun begitu melihat dirinya muncul dan memasang ekspresi seolah tidak ada hal bersar yang terjadi. Hanya ada satu orang yang datang ke rumahku dan tidak mungkin yang lainnya. Dia juga satu-satunya yang tahu bahwa aku memiliki keinginan untuk bunuh diri.
Padahal baru saja aku yakin tidak ada orang selain aku di rumah.
“Aku mengerti. Sejak awal aku memang tidak bisa mencegahmu melakukannya. Meskipun begitu, berjanjilah satu hal padaku. Jangan bunuh diri ketika aku ada, ketika aku mengetahuinya.”
Dia terlihat biasa saja. Aku dan Kakak Naoi sudah membuat kesepakatan, jangan sampai aku bunuh diri saat dia ada. Seringnya kegagalanku untuk mencoba bunuh diri adalah kehadirannya. Kak Naoi memang sangat ramah, terlihat santai dan tidak pernah terlihat menghalang-halangi. Dia membiarkanku dengan impian gilaku. Namun dia seolah selalu tahu kapan aku berniat bunuh diri dan selalu hadir sehingga membatalkan rencanaku.
Alasannya: “Aku menyayangi kalian, lebih dari apa pun. Lagipula akan ada banyak hal yang mungkin terjadi jika aku tidak ada.”
Aku yakin bahwa itu termasuk dengan pasal bunuh diriku. Untuk kesekian kali aku mengurungkan rencanaku dan menyimpan kembali pistol yang kupegang.
=o=
Shee teringat perempuan itu lagi saat tertidur. Seorang perempuan yang terluka tiba-tiba datang dan memanggilnya. Perempuan itu dua kali mempersempit jarak antara mereka berdua. Matanya yang juga memandangnya dengan tajam juga senyumannya yang penuh arti.
Gadis itu mengingat sesuatu yang tidak sempat membuatnya berpikir pada waktu itu. Aroma yang diciumnya waktu jarak mereka menjadi dekat. Aroma yang manis.
Jantungnya berdegup dengan cepat walau mereka berdua tidak bertemu. Gadis itu merasakan sebuah emosi khusus pada perempuan itu. “Perempuan itu ….” rasa penasaran bangkit dari dalam dirinya. Pagi saat ia baru saja bangun dari tidurnya dihabiskan untuk memikirkan perempuan itu.
Seseorang yang mungkin ia kenal di masa lalu ….
Gadis itu menelungkupkan wajahnya pada bantal. Mencoba untuk mengingat banyak hal yang sudah dilupakan karena masalah-masalah yang terjadi. Segalanya yang telah terjadi terlalu abstrak hingga tidak banyak detail yang bisa diingat oleh Shee. Semuanya seperti tertutup kabut.
“Aku ingin mati saja! Aku ingin bunuh diri, Shee!”
Kata-kata yang dulu pernah didengarnya. Dari seorang gadis yang mengatakan hal itu sambil terisak-isak. “Yo ….” Samar-samar, ia melihat kembali apa yang telah terjadi di masa lalu dengan gadis itu. “… u?”
Shee ingat. Gadis itu mengingat kembali apa yang telah terjadi. Begitu pun dengan nama dari perempuan yang ia temui itu. Aroma manis yang sama kembali dirasakannya dari perempuan itu. Benar, perempuan itu.
“You?”
=o=
Gadis itu berlari lagi. Bukan karena terlambat ke sekolah lagi. Hari libur sekolah. Shee berlari karena tergesa-gesa untuk menemui seseorang. Ia langsung membuka gerbang rumah yang tidak dikunci dan menutupnya dengan cepat. Gadis itu kemudian membuka pintu rumah tersebut tanpa membunyikan bel.
“Rain! Rain!” Shee berseru memasuki ruang depan.
Ruang itu kosong. Tidak ada siapa pun. Gadis itu menenangkan dirinya sendiri. Ia melangkah dengan lebih perlahan. Melihat ruang demi ruang, mencari sosok Rain. “Rain ….” Gadis itu memanggil lagi, tapi tidak sekeras sebelumnya.
Sayangnya Shee tidak menemukan yang ia cari. Ia menjelajah rumah yang besar dan membuka tiap ruang bercahaya remang-remang. Seisi rumah hanya mendapatkan cahaya apa adanya hingga Shee agak sedikit risih dengan penglihatannya.
“Tidak perlu berseru-seru. Aku dengar.”
Shee berbalik, mendapati Rain di belakangnya. “Ternyata ada.” Gadis itu langsung menggenggam tangan Rain. “Aku ingin menceritakan sesuatu padamu. Ke depan, yuk!” ajak gadis itu menarik tangan Rain. “Cahayanya lebih cocok untukku di sana.”
Tepat seperti kata-kata Shee. Hanya cahaya di ruang depan yang benar-benar terang. Seluruh ruangan di rumah Rain hanya remang saja. Laki-laki itu memang tidak memedulikan masalah penerangan. Sebagian besar mungkin disebabkan karena ia tidak pernah melakukan kegiatan yang membutuhkan cahaya terang.
“Kenapa kamu tidak pasang lampu yang lebih terang untukku, sih?” protes Shee setengah bercanda. Ia merebahkan diri di salah satu kursi di ruang depan. “Aku ingin cerita sekaligus bertanya padamu. Tidak apa-apa ‘kan?”
“Tidak penting untukku,” jawab laki-laki itu asal-asalan. “Silakan bercerita sepuasnya.” Rain sendiri duduk di hadapannya. Siap untuk mendengarkan gadis itu. “Tenang saja, aku ini pendengar terbaikmu untuk masalah apa pun.”
“Ingat tentang perempuan itu? Tadi pagi aku ingat namanya. You. Dia pernah saku sekolah dasar dengan kita.” Shee memulai orientasi dari ceritanya. “Aku sempat mencari artikel tentang kebakaran seminggu lalu, memang benar You salah satu korbannya.”
Rain termangut-mangut, mengiyakan gadis itu.
“Mungkin saja. Hanya kemungkinan. Entah kenapa aku yakin You sendiri yang membakar sekolah. Sama seperti tahun-tahun yang lalu, saat You hanyut di sungai. Waktu itu dia selamat. Aku ingat, gadis itu pernah mengatakan sesuatu yang menjadi alasannya untuk sengaja melompat ke sungai berarus deras.”
“Alasan?”
“You pernah mengatakan bahwa dia ingin mati, dia ingin bunuh diri.”
Untuk hampir satu menit ke depan, ruangan itu menjadi terlalu lengang. Baik Shee maupun Rain sedang dalam pikirannya sendiri-sendiri. Shee merasa agak tidak enak dengan kalimat terakhirnya yang sengaja ia tekankan itu. Perempuan itu, You ingin bunuh diri. Itu bukanlah sesuatu yang manusiawi untuk dibicarakan.
Pandangan laki-laki itu terlihat kosong. Sesaat Rain menunduk, kemudian ia mengarahkan pandangannya kembali ke gadis itu. “Shee,” ia mengangkat kepalanya, menyandarkan tubuhnya ke sandaran. “Shee, boleh aku menanyakan sesuatu? Aku tidak tahu kamu masih ingat atau tidak. Tapi, dengarlah.”
Bola mata Shee membulat. Penasaran. “Ada apa? Kamu tahu sesuatu?”
“Bisa jadi. Tapi ini tergantung pada ingatanmu, Shee.” Ia tertawa hambar. “Apa You ….” Lelaki itu menggantungkan ucapannya, tersenyum pahit. “Apa You melakukan bunuh diri setelah aku buta?”
Shee terkesiap, menggigit bibirnya. “Rain!” gadis itu bangkit berdiri. Seluruh emosi seolah tercampur aduk dalam batinnya. “Kamu tidak pernah membahas masalah tunanetra selama ini! Kau sendiri yang melarangku untuk mengungkitnya karena hal itu!” ia nyaris berteriak.
“Aku berhak mengungkitnya, Shee,” bantah Rain tetap dengan intonasi yang sama. “Kamu tahu sendiri, You yang membuatku buta.” Ia menyibakkan rambutnya yang selalu menutupi matanya. Sepasang mata yang tidak akan pernah berekspresi. “Dia yang membuatku menjadi seperti ini."
“Aku tidak datang untuk mengungkit masalah yang itu!”
Rain tidak bergeming. Tidak terpengaruh oleh Shee yang benar-benar terkejut. “Shee, jawab pertanyaanku. Kapan You menghanyutkan dirinya sendiri? Kapan You mengatakan padamu ingin bunuh diri? Apa sebelum aku buta, atau setelah aku buta?”
Gadis itu tidak bisa melawan. Rain terlalu tenang, tidak seperti dirinya yang selalu panik. Laki-laki itu menunjukkan kesungguhan dalam pertanyaannya. Rain jauh lebih tahu daripada Shee. “Setelah kejadian itu.”
=o=
Sejak awal, aku sudah tahu perempuan itu. Sejak awal aku tahu itu Dia. Aku hanya berpura-pura tidak tahu. You adalah penyebab keinginan gilaku. Semenjak hal itu terjadi, aku sangat membenci perempuan itu. Bukan karena hal itu, tapi kejadian setelahnya. Setelah aku kehilangan penglihatanku.
Kecelakaan waktu itu merenggut mataku. Aku tidak bisa melihat lagi. Penyebabnya tentu saja Dia. Aku tidak bisa menangkap refleksi cahaya lagi sejak hari itu, menjadi frustasi karena kehilangan impianku. Saat itulah kegilaan ini muncul. Saat itulah terbesit sebuah impian gila.
Aku ingin mati, aku ingin bunuh diri.
Dulu, aku pernah bermimpi menjadi seorang penembak. Akan tetapi, You merenggut semuanya. Aku tidak bisa melihat lagi. Bagaimana aku menembak target jika aku tidak bisa melihatnya? Aku frustasi, mencoba menembak diriku sendiri. Aku menyalahkan diriku sendiri, bukan Dia. Tentu saja Dia tahu.
Hal yang membuatku sangat benci kepadanya adalah ketika dia melakukan usaha bunuh diri seperti yang selama ini kulakukan. Menganggap jika dirinya saja yang mati, maka aku akan melupakan impian gilaku karena penyebab dari segalanya sudah meninggalkan dunia ini. Dia benar-benar salah. Orang-orang prihatin padanya melihat usahanya bunuh diri. Merasa bahwa perasaan menyesal padaku membuatnya menjadi seperti itu. Mengatakan bahwa usahanya itu karena aku.
“Aku … aku menyesal …. Aku melakukan ini untuk Rain. Jika aku mati, Rain akan menjadi lebih baik.”
Pandangan waktu itu menjadi terbalik. Aku tidak pernah menyalahkan dia, tapi orang-orang menganggap bahwa aku sebegitu menyalahkannya sampai mendesaknya untuk mati. Aku tidak pernah membencinya, walaupun Dia yang menyebabkanku buta. Waktu itu, aku hanya merasa benci dengan diriku sendiri yang tidak akan pernah bisa menggapai apa yang aku cita-citakan. Hubunganku dengannya berubah menjadi benang merah.
Aku ingin mati, aku ingin bunuh diri.
Orang yang tahu semua kebenarannya hanyalah Shee. Kami bertiga berteman sampai waktu itu, Shee telah melihat semuanya. Menjaga rahasia yang sebenarnya di antara kami bertiga. Serta menutup benang merah antara aku dan You.
“Jangan ungkit-ungkit soal kebutaanku, jangan ungkit-ungkit masalah yang telah terjadi sampai kapan pun.” Aku mendesak Shee untuk tidak mengatakan apa-apa sewaktu You dan kami telah berpisah.
Ah … aku ingin mati, aku ingin bunuh diri.
Impian itu tidak lepas. Justru karena perbuatan anak itu, impian ini menjadi ganti mimpiku yang dulu dan ingin kuwujudkan.
=o=
Gadis itu hanya bisa menatap Rain setengah tidak percaya. Rain tidak menunjukkan gelagat perubahan. Terlalu tenang hingga Shee merasa takut. “Kamu mengerikan. Sejak hari itu kamu mengerikan. Aku kira dengan kamu menyuruhku untuk diam, semuanya sudah selesai.”
“Sejak aku buta, aku tidak pernah membenci You. Aku tidak pernah berniat untuk menyalahkan siapa pun. Aku hanya frustasi karena aku tidak lagi bisa menembak.” Rain tertunduk lagi. “Tapi You … menganggap semuanya akan selesai jika dia mati. Mengatakan alasan itu kepada orang lain yang hanya bisa memandang sebelah mata.”
“Rain ….” Gadis itu hampir menangis. “Aku tidak datang untuk mengungkit masalah itu ….”
“Waktu itu, karena frustasi, sebuah impian baru sebagai ganti kenyataan aku tidak bisa menjadi penembak lagi muncul. Saat itu aku ingin mati, aku ingin bunuh diri. You justru menafsirkan keinginanku karena kesalahannya. Jika ia mati, aku tidak akan bermimpi untuk bunuh diri. Sayangnya dia salah.”
“Rain!”
Laki-laki itu berdiri. Menggenggam kedua tangan Shee. Air mata gadis itu sudah turun. “Shee, katakan padaku. Jika bukan karena masalah ini, apa maksudmu menceritakannya.”
“Aku … aku ….” Gadis itu terisak. “Aku hanya ingin melihat apa kamu benar-benar melupakan masalah yang lampau. A-aku ha-nya ingin tahu apa yang kamu rasakan. Ji-jika-jika kamu melupakan masalah yang pernah terjadi di antara kita … pasti … pasti semuanya akan kembali seperti dulu.”
“Naif sekali.”
“Keti-ka a-ku sudah ingat … dia ada-lah You, maka aku men-coba memas-tikannya. Lalu, lalu aku teringat dulu.” Shee terisak. Gadis itu terbata-bata menjelaskannya. “A-aku hanya ingin tahu apa … apa kamu … sudah mema-afkannya. A-aku ingin dia ti-dak men-coba bunuh diri lagi.”
Rain melepas genggamannya dan menyentuh wajah Shee perlahan-lahan. Menghapus air mata gadis itu. “Kamu naif. Semua hubunganku dengan You tetap akan menjadi benang merah. Lagipula, kamu tahu, aku masih ingin bunuh diri.”
“Jangan bermimpi seperti itu!” gadis itu berteriak, menepis tangan Rain. Ia mengusap air matanya sendiri. “Tidak ada siapa pun yang boleh bunuh diri! Kau tidak boleh bunuh diri! Hilangkan pikiranmu itu!” gadis itu mencengkram kerah baju Rain dengan kuat. “Hilangkan pikiran itu. Aku ingin kamu, juga You mau menghilangkan keinginan bunuh diri itu.”
“Kamu naif. Itu adalah mimpiku. Jangan kamu rusak lagi seperti yang You lakukan.” Nada suara Rain tidak ikut meninggi. Tidak pernah. Dia tetap pada intonasinya, ketenangannya sendiri. “Katakan itu pada You. Anak itu akan mengubah pikirannya. Tapi aku tidak.”
Gadis itu hampir kehilangan akalnya lagi menghadapi Rain. Apa yang bisa ia lakukan hanyalah hal-hal yang pastinya tidak akan pernah bisa mempengaruhi pemikiran laki-laki itu. “Masih berniat untuk bunuh diri?” nada suaranya merendah begitu mengetahui segalanya yang ia lakukan tidak akan membantu banyak.
“Ya.”
Shee melepaskan cengkramannya. Semua yang ia lakukan hanyalah sebuah kesia-siaan. Gadis itu menyerah.
=o=
Aku tahu, jika dia mengatakan hal yang sama, pasti You akan menghilangkan pikiran bodohnya itu. Mimpiku tidak akan berubah, dorongan dalam diriku yang telah membuatku merasa yakin akan hal itu. Aku tidak ingin mimpi ini dihancurkan oleh orang lain seperti di masa lalu. Kecuali jika aku yang menghancurkannya sendiri.
Sejak masalahku dengan You terjadi, barulah aku mulai merasakan kebencian padanya. Aku akhirnya meyakini bahwa yang merusak mimpiku adalah You. Namun itu hanya kata-kata yang aku ucapkan. Di hari yang sama saat You juga menemui Shee, dia juga menemuiku sebelumnya. Aku sengaja berpura-pura tidak tahu. You masih tetap sama seperti saat dulu. Salah paham dengan penyesalannya.
Aku tidak yakin apakah aku menyalahkannya atau tidak. Aku hanya membenci sifatnya yang salah paham. Sampai sekarang, hatiku tidak yakin menyalahkannya untuk apa pun. Selama ini yang terpikirkan adalah aku sendiri yang menghancurkan mimpiku dulu.
Aku ingin mati, aku ingin bunuh diri.
Yang aku yakini pada mimpiku yang gila ini adalah pikiran bahwa suatu saat aku pasti akan menghancurkan mimpiku sendiri. Karena aku tidak pernah membuat orang lain tahu mengenai impianku. Karena aku tidak menunjukkan diriku sebagai sosok yang mungkin berbuat seperti itu. Aku menyembunyikannya dari orang lain, mempersulit diriku sendiri untuk menggapai mimpiku sendiri.
Juga dengan janjiku dengan Kak Naoi. Aku tidak menyukai pengingkaran dengan janji yang dibuat. Kehadiran Kak Naoi yang selalu menggagalkanku seolah memang sengaja kupersiapkan untuk menghancurkan mimpiku sendiri. Aku tidak akan menyalahkan orang lain, aku tidak ingin menyalahkan orang lain. Aku sendiri yang merusak mimpiku sendiri.
Sesuatu yang sangat manusiawi muncul dalam pikiranku. Titik psikologiku yang sudah tidak berada di tempat yang benar seolah kembali ke tempatnya. Rasionalitas muncul dalam jiwaku yang sudah gila ini. Semua orang akan mati, bahkan ketika orang tersebut sangat tidak menginginkan kematian. Suatu saat aku akan mati, tidak perlu bunuh diri pun pada akhirnya aku mati.
Apa benar ini yang disebut dengan pemikiran rasional? Bukankah justru sangat irasional untuk menginginkan mati? Bagaimana pun bentuknya, keinginan untuk mati memang tidak manusiawi. Mimpiku ini gila. Aku sendiri pun gila.
Aku ingin mati. Aku ingin bunuh diri.