Selembar foto terjatuh di dekat kakiku. Aku memungutnya dan melihat foto apa itu. Sebuah foto yang diambil beberapa tahun silam. Ternyata aku masih memilikinya. Berkat bersih- bersih gudang apartemen, aku kembali teringat kenangan itu. Kenangan yang ingin aku lupakan, tetapi tidak mau terhapus dari ingatan. Aku memutuskan untuk duduk, rehat sejenak setelah beberapa jam berkutat dengan barang- barang di gudang ini.
Mataku beralih pada sebuah kardus mie instan didekatku. Tanganku terulur untuk membuka kardus itu, penasaran juga apa isinya. Setelah terbuka, terjawab sudah rasa penasaranku. Ada sebuah album kenangan SMA di dalam sana. Aku membuka- buka album itu dan melihat beberapa potret di sana. Wajah- wajah itu yang tidak akan terlupakan seumur hidup. Bukan aku tidak ikhlas dan belum memaafkan mereka. Namun, membutuhkan waktu lama bagiku untuk mencapai kata ikhlas baik lisan maupun batin.
Sungguh, aku sudah tidak menyimpan dendam untuk mereka. Walau jika teringat bagaimana mereka memperlakukanku dahulu. Terkadang aku masih tidak mengerti dimana letak salahku. Ataukah menjadi seorang introvert memang sebuah kesalahan? Hei, menjadi seperti itu juga bukan kemauanku. Entah bagaimana bisa aku menjadi seorang yang benar- benar diam.
Sulit bergaul dan sulit beradaptasi dengan lingkungan baru. Mungkin berawal dari sana hingga mereka merundung dan memanfaatkanku. Awalnya aku tidak menyadari jika ternyata aku sedang dirundung dan dimanfaatkan. Ah, betapa bodohnya aku kala itu.
“Er, disuruh Pak Budi ambil bola basket di gudang,” ucap salah seorang di antara mereka.
Memang saat itu sedang pelajaran olahraga dan materi adalah permainan bola basket. Sudah biasa bagiku mengambil peralatan yang diperlukan. Seorang diri tanpa ada seorang pun yang menawarkan bantuan. Aku segera bergegas menuju gudang sekolah yang berada di belakang gedung. Memang gudang biasanya tidak di kunci di saat jam pembelajaran. Tanpa rasa curiga, aku masuk ke dalam untuk mengambil bola basket.
Namun saat hendak keluar dari gudang, tiba- tiba saja pintu tertutup dan terkunci. Aku sudah berusaha menggedor untuk meminta bantuan. Nihil, tidak ada siapapun yang datang. Entah siapa yang mengunciku kala itu. Lalu bagaimana aku bisa keluar? Tentu aku sendiri yang berusaha untuk menolong diriku sendiri. Terpaksa aku memecahkan kaca jendela agar bisa keluar dari gudang itu.
Namun, diriku sendiri berakhir di ruang BK. Seseorang melaporkanku jika aku merusak jendela gudang. Lagi- lagi aku hanya diam tanpa ada niatan untuk membela diri. Diamku bukan tanpa emosi, sungguh aku sedang mengendalikan emosiku agar tidak meledak kala itu.
“Silahkan membersihkan kamar mandi yang ada di lantai dua setelah sepulang sekolah untuk mepertanggungjawabkan perbuatanmu,” kata guru itu.
Aku menurut, sesuai perintah aku membersihkan kamar mandi yang dimaksud. Sedang mengepel kamar mandi, tiba- tiba ada yang mengguyurku. Seragam serta seluruh badanku basah kuyup.
“Oh? Sorry, gue nggak tau kalo ternyata ada orang,” ucap seorang anak di kelasku.
Aku tahu permintaan maafnya tidak sungguh- sungguh, semua itu jelas terlihat di ekspresinya. Dia keluar dari kamar mandi dengan tawa terbahak, mentertawakan penampilanku saat ini.
Aku benar- benar lelah mendapat perlakuan seperti ini setiap hari. Sampai pernah ingin pindah sekolah, karena di sini tidak ada yang menerimaku. Namun, orang tuaku menolak. Mereka tidak mengizinkan aku pindah, mereka menganggap aku yang belum terbiasa dengan lingkungan di sekolah.
“Kenapa harus pindah? Tidak perlu sampai pindah sekolah. Lama- kelamaan kamu juga akan terbiasa sekolah di sana. Sekolahmu itu sekolah elit, jangan kamu sia- siakan.”
Aku merasa sendiri, tidak ada yang sependapat denganku. Entah itu di rumah atau di sekolah. Mereka semua sama, itu anggapanku kala itu. Di rumah pun aku juga sering di rundung. Di sekolah memang aku bukan anak yang pandai. Aku hanya seorang siswa biasa saja dan tidak mencolok. Paling mencolok di kelas karena aku yang paling mudah dimintai ‘tolong’.
“Kalau sudah lulus nanti, cari sekolah yang gratis. Agar orang tua tidak terbebani,” ucap salah seorang keluargaku.
“Sekolah Mbak Eri mahal, ya?” tanya seorang sepupuku.
“Lumayan, Van,” jawabku lirih.
“Jelas mahal, lihat aja uang bulanannya berapa, belum lagi seragamnya juga banyak. Tiap hari ganti seragam yang berbeda,” balas yang lain.
“Beli buku juga?” tanya salah satu Tanteku. “Terus kalo di total habis berapa tuh? Kasihan Mbak Ririn. Tante juga denger kamu mau pindah sekolah? Kenapa mau pindah? Padahal udah disekolahin di sekolah yang bagus gitu,” lanjutnya.
Aku hanya bisa menunduk, ada air mata mengumpul di pelupuk mataku. Saat ini keluargaku sedang berkumpul, tapi kedua orang tuaku tidak dapat ikut serta.
“Sudah, nanti kalo Eri nangis ngadu ke Mbak Ririn kalian yang dimarahi,” kata Pamanku dengan kekehannya.
🕊🕊🕊
Hanya ada kenangan pahit di masa remajaku kala itu. Sempat ingin menyerah karena sudah benar- benar lelah. Namun, kala lelah melanda seseorang hadir dalam hidupku. Seseorang yang entah datang darimana saat itu.
“Tidak perlu berkecil hati. Kamu bisa membalas mereka semua,” ucapnya dengan senyum di bibir.
Aku mengernyit. “Membalas mereka? Balas dendam maksudmu?”
“Iya, kamu bisa balas dendam pada mereka. Buat mereka menyesal telah memperlakukanmu dengan buruk.”
Aku kira balas dendam yang dia maksud adalah membalas semua perbuatan mereka dengan hal yang sama. Namun, ternyata aku salah. Ada cara lain agar bisa membalas dendam. Seperti saat ini, aku sudah dapat membalas dendam mereka semua. Membungkam mereka yang dulu pernah menyakitiku. Kini aku seorang penulis novel yang beberapa karyaku sudah terbit dan berhasil menjadi best seller. Bahkan, dalam waktu dekat ada satu novelku yang akan difilmkan. Namun, menjadi seorang yang dikenal oleh masyarakat luas tidak membuatku terbang jauh. Aku masih ingat dimana aku menapak.
“Jangan membalas keburukan seseorang dengan keburukan. Balaslah keburukan mereka dengan kebaikan.” Kata- kata itu selalu menjadi peganganku hingga saat ini.
Kini pun aku sudah tidak pernah membahas masa lalu jika bertemu dengan teman- teman SMA dulu. Aku sudah benar- benar memaafkan mereka. Aku anggap hal itu adalah kesalahan masa remaja yang tentunya jangan sampai berlanjut hingga dewasa. Para keluargaku juga berhasil kubungkam dengan prestasi yang kupersembahkan untuk mereka. Mereka semua yang dahulu memperlakukanku dengan buruk kujadikan pecutan agar aku bertambah kuat dan dapat membangun hati yang besar.
“Sayang? Beres- beresnya masih belum selesai?”
Aku menoleh saat mendengar pertanyaan itu. Seseorang yang juga sangat berarti dalam perjalananku menyembuhkan luka berdiri di ambang pintu.
“Sebentar lagi selesai,” jawabku tersenyum.
“Ayo, makan siang dulu.”
Aku mengangguk, meletakkan album kenangan semasa SMA dulu. Di sana terpampang potret tampan seseorang yang kini menjadi suamiku.
🕊🕊🕊
End.