Kategori: Cerpen Kehidupan, Cerpen Mengharukan
"Kek, Aisyah lapar..” Rintih gadis kecil berbaju hello kitty yang sudah mulai pudar warnanya.
“Sabar ya Aisyah, dagangan kakek belum ada yang laku” ucap kakek sambil sekali-kali mengusap kepala cucunya.
Hari ini matahari bersinar lebih terik dari biasanya. Karung goni kakek belum terjual sama sekali. Di pasar, tepatnya di dekat ruko alat-alat listrik kakek menggelar dagangannya. Beralaskan karung goni yang dijahit menjadi lebih lebar. Karung goni kakek hari ini belum laku sama sekali. Biasanya ada satu atau dua orang yang membeli karung goni kakek untuk mengangkut barang belanjaan mereka. Dari karung yang terjual itulah kakek dan Aisyah mendapat sebungkus makanan.
“Kek… laper…” untuk kedua kalinya gadis berambut buntut kuda lengkap dengan jepitan rambut bunga sakura itu merintih. Kali ini lebih terisak sambil memegangi perutnya.
“Aisyah sabar ya sayang, Aisyah tidur dulu sini. Nanti kalau sudah dapat uang kita beli makan ya.” jawab kakek dengan suaranya yang lembut. Tepatnya bukan lembut, melainkan lemas. Seminggu ini kakek hanya makan makanan sisa dari Aisyah. Itu pun sehari hanya sekali.
Aisyah menyenderkan kepalanya ke paha kakek. Berusaha dengan kuat tertidur agar tidak merasakan perutnya melilit karena lapar. Setiap Aisyah mencoba memejamkan mata, setiap itu pula perutnya bersuara “Krrrtthhh”
“Kek, kenapa ya perut bunyi? Apa di dalam ada spikernya ya kek?” Tanya gadis kecil yang masih berumur 5 tahun itu.
“Haha… Itu artinya perut Aisyah lagi ngobrol sama Aisyah”
“Serius kek? waaaahhh hebaaaat Aisyah bisa ngobrol sama peruttt!!” Mata gadis itu berbinar.
“Hahaha…” Kakek hanya menanggapinya dengan tertawa.
“Kek kira-kira perutnya ngomong apa ya? Pasti perutnya juga lagi lapar seperti Aisyah. Perut yang sabar ya, dagangan kakek belum laku. Nanti kita beli makanan yang enak-enak, iya kan kek?” ucapnya sambil mengelus perut dan menatap kakek dengan tatapannya yang polos.
“Iya dong, nah, makanya sekarang Aisyah dan perut Aisyah yang mungil ini tidur dulu. Nanti kakek belikan makanan yang enak-enak” jawab kakek sambil mengelus rambut Aisyah.
“Oke perut, kita tidur dulu ya, nanti dibeliin makan sama kakek, hihihi”
Perlahan Aisyah pun tertidur. Keadaan kakek dan Aisyah sudah setahun lebih seperti ini. Semenjak keluar dari rumah anak terakhir kakek, Aisyah dan kakek hidup di jalanan. Tidur beralas dan berselimut karung. Bagi kakek dan Aisyah berteduh di depan ruko orang lebih nyaman daripada tidur di kasur empuk paman Aisyah.
Aisyah adalah cucu dari anak pertama kakek. Ibu Aisyah meninggal saat melahirkan Aisyah, sedangkan ayah Aisyah pergi tiada kabar. Aisyah yang masih mungil harus tinggal bersama kakek dan neneknya.
Tiga tahun yang lalu nenek Aisyah sakit keras sehingga membuat kakek menjual seluruh aset berharganya. Namun Tuhan berkehendak lain. Nenek Aisyah dipanggil Tuhan dan membuat kakek harus tinggal di rumah anak terakhirnya. Malang nasib kakek dan Aisyah. Bibi Aisyah merasa repot mengurus Aisyah dan kakek, terlebih kakek dan Aisyah tidak bekerja. Alhasil setiap kali kakek dan Aisyah makan hanya diberi nasi sedikit dengan kuah yang banyak. Tanpa lauk ataupun sayur.
Malam itu langit menangis menitikkan rintik hujan melihat kisah kakek dan Aisyah. Dingin malam memeluk mereka secara brutal. Kakek dan Aisyah diusir dari rumah paman Aisyah. Menelusuri trotoar sambil sesekali duduk karena lelah. Ah, semoga tidak ada orang sebegitu tega seperti paman dan bibi Aisyah.
“Aisyah, bangun nak, ayo makan dulu” perlahan kakek membangunkan Aisyah.
“Kakek….” gumam Aisyah perlahan sambil mengucek matanya, sepertinya debu dari jalan raya tidak sengaja masuk ke mata Aisyah.
“Makan dulu yuk” kakek menyiapkan sebungkus nasi pecel dengan lauk tempe untuk Aisyah.
“Kakek nggak makan?” tanya Aisyah sambil menyuapi mulutnya.
“Aisyah makan dulu, nanti baru kakek makan” ucapnya sambil tersenyum.
“Bohong, ayo makan bareng kek, Aisyah suapin ya?” tangan kecil itu mengepal nasi menuju mulut kakek.
Mereka pun makan berdua, manis sekali. Meski hanya sebungkus nasi pecel dengan lauk tempe, mereka sangat bersyukur.
—
Malam ini mereka tidur di bawah halte bus (lagi). Kakek memberikan selimutnya untuk Aisyah karena malam ini sangat dingin. Hujan baru saja berhenti. Disela istirahatnya, kakek memandangi wajah polos Aisyah. Kakek takut akan masa depan Aisyah, siapa yang akan mengurusnya kalau kakek tak ada. Dipejamkanlah mata kakek, berdoa kepada Tuhan agar selalu menjaga Aisyah.
“Kek, bangun…” ucap Aisyah lemas. Namun tak ada pertanda kakek membuka mata.
“Kakek masih capek ya? Ayo bangun kek, kita harus jualan supaya bisa beli nasi padang udang, hehehe” tangan kecil nan ringkih itu menggoyangkan perlahan tubuh kakek. Namun tetap, tubuh yang hanya memiliki tulang dan kulit dengan sedikit lapisan daging itu tak bergerak.
“Kek, bangun kek, kakek!” diperkeras suara Aisyah.
“KAKEK BANGUN!” lebih diperkeras lagi sehingga mengundang beberapa orang yang sedang menunggu bus untuk mengerumuni kakek dan Aisyah.
“Kakeknya kenapa dek?” salah satu wanita dari mereka mulai mengecek tubuh kakek. Deg! Kakek denyut nadi tak ada, tubuhnya agak kaku dan dingin. Apa yang harus dikatakannya pada gadis kecil ini?
“Kakek nggak apa-apa kan kak?” tanyanya dengan polos.
“Eh, kakek… kakek lagi sakit dek, butuh istirahat.. eh.. kakak bawa ke rumah sakit ya?”
“Kakek sakit??? J-jangan dibawa. Aisyah mau beli bubur buat kakek. J-jangan dibawaaa…” ia sedikit terisak, sambil berlari mencari warung bubur untuk kakek, matanya mulai basah oleh airmata. Kakinya sakit kena kerikil kecil. Ah itu bukan seberapa, Aisyah harus segera mendapatkan bubur dan menyuapi kakek seperti saat Aisyah sakit.
Aisyah memasuki salah satu kedai bubur. Ia tak punya uang, bagaimana caranya membeli? Kakek tak pernah mengajari Aisyah mengemis ataupun mencuri.
“Buk.. A-aisyah boleh bantu cuci mangkok? Nan-nanti bayarannya bubur buat kakek” pintanya agak takut.
“Kakeknya dimana dek?” beruntungnya penjaga warung itu tidak mengusir Aisyah.
“Di halte.. ka-kakek sakit”
“Ya udah, ibu bungkusin saja ya, adek nggak usah cuci mangkok” ucapnya sambil tersenyum.
“Ng-nggak mau, kata kakek kita harus berusaha. Nggak boleh minta-minta”
“Ya sudah, itu 2 mangkok di meja depan adek cuci di sini ya?” ibu itu terharu.
Setelah mencuci 2 mangkok itu Aisyah diberi seporsi besar bubur Ayam lengkap dengan kerupuknya. Ibu itu sebenarnya tak tega melihat anak sekecil Aisyah ini jalan sendirian di jalan raya. Tapi Aisyah bersikeras menolak untuk diantar.
Setelah mengucapkan terimakasih, Aisyah segera menuju ke halte tempat kakek. Karena tergesa Aisyah jatuh dan membuat kakinya lecet kena kerikil. Aisyah tak peduli, dengan mimik muka meringis kesakitan, ia lanjut berlari ke arah halte. Banyak orang berkerumun disana dan ada satu mobil polisi parkir didekat halte.
“Kek, kakek.. Aisyah sudah dapat bubur, kakek makan dulu ya.. Aisyah suapin…” ucap Aisyah dengan nada yang dipaksakan ceria.
Orang-orang yang berkerumun pun berbisik-bisik. Ya, benar, kakek telah meninggal dunia. Menyusul nenek ke surga. Aisyah tetap menggoyang-nggoyang tubuh kakek agar kakek bangun. Tak ada respon, tak pernah ada respon dari kakek. Aisyah mulai menangis memanggil kakek. Aisyah takut banyak orang berkumpul disini. Terlebih, Aisyah takut kakek tidak bangun seperti kucingnya di rumah kakek dulu.
“Adek manis, kakek sudah tidur pulas jadi nggak bisa makan bubur. Adek makan bubur sama kakak aja yuk.” ucap salah satu wanita sambil menggenggam tangan Aisyah dan mengajakknya menjauh dari sana.
“Nggak mau, Aisyah mau sama kakek!”
Terpaksa Aisyah digendong oleh wanita itu. Dengan diiringi teriakan “kakek!” dari Aisyah, jenazah kakek dibopong menuju mobil polisi. Aisyah menangis, Aisyah takut, Aisyah kesal. Kenapa wanita ini membawanya jauh dari kakek? Kenapa polisi membawa kakek? Kakek salah apa? Aisyah mau ikut kakek.
Namun itu semua sia-sia, mobil polisi telah pergi. Aisyah pingsan karena badannya capek dan lemas. Sungguh malang nasib gadis kecil berambut buntut kuda itu. Itu dulu, dulu sekali, tepatnya dua puluh tahun yang lalu.
—
“Semoga tak ada Aisyah dan kakek yang lain ya” gumam seorang wanita berparas ayu dengan jepitan rambut bunga sakura bertengger di bros kerudungnya.
Tamat
Cerpen Karangan: Dzumrotul Hasanah