ASTRA JINGGA
Astra Jingga... nama gadis cantik berkulit kuning langsat khas Asia itu, Astra Jingga. Rambutnya hitam lurus dan berkilau. Alisnya melengkung cantik dan bulu matanya lentik.
Dia adalah anak tunggal ibu kostku. Aku mengambil kuliah di salah satu universitas swasta terkemuka di Kota Solo. Ini adalah semester pertamaku di Fakultas Kedokteran Gigi. Mau bagaimana lagi, aku lolos di FKG, bukan di FK. Padahal aku sangat berharap bisa menjadi seorang dokter umum. Bukan dokter gigi!
Kampusku berlokasi di belakang salah satu mall di Kota Solo. Sedang kampus pusat berada di daerah Pabelan, Kartasura. FK-nya berdiri megah di sana. Dan rasanya aku ingin mengundurkan diri saja, ikut tes masuk tahun depan, namun orangtuaku menolak, dan mendukungku di FKG.
Aku masih ingat, ketika pertama kali tiba di kost ini, dan pertama kali pula melihat Astra Jingga. Ia tengah duduk di teras samping kamarnya. Duduk sendiri dan menatap jauh ke depan. Ia sendiri, tanpa ada yang menemani.
Aku sempat tidak suka padanya, menurutku dia agak angkuh! Apa karena dia cantik? Karena anak satu-satunya? Karena tidak ada anak kost di tempat ibunya yang lebih cantik darinya? Yang jelas, sejak saat itu, saat aku lewat, menyapa, dan dia hanya tersenyum tanpa menoleh dan melihatku sama sekali, aku sudah membencinya.
“Itu siapa, Tam?” tanya Iris ketika ia main ke kostku.
“Siapa?” aku keluar, dan melihat siapa yang dimaksud Iris.
“Itu, yang duduk di kursi itu!”
Aku langsung masuk kembali ke kamarku.
“Itu anak emasnya ibu kostku,” jawabku agak tak suka lalu kembali berbaring di kasurku.
“Gila cantik banget, Tam!”
“Kamu masih normal, khan? Orientasimu belum berubah, khan?”
Iris melemparku dengan boneka Rilakkuma yang sejak tadi ia peluk.
“Sialan, aku masih normal! Enak aja!”
Aku terkikik, habis baru kali ini ia memuji seseorang, baru kali ini ia mengatakan bahwa ada gadis yang lebih cantik darinya. Biasanya ia tidak pernah mau mengakui kecantikan seseorang, meskipun kenyataannya gadis itu lebih cantik, tapi bagi Iris di dunia ini dialah yang tercantik!
“Kuliah dimana?”
Aku mendelik.
“Kamu naksir beneran, tho?”
“Gue cuma kepo kale...!”
Aku ngakak, keluar juga logat asli Betawinya. Berkali-kali ia menimpukku dengan bantal. Ya... Iris memang benar, Astra Jingga memang bukan hanya cantik, tapi sangat cantik. Jadi jangan salahkan siapa pun kalau ada orang yang langsung menaruh simpati kepadanya meski baru pertama kali bertemu, entah laki-laki atau perempuan.
Tapi bagiku tidak! Aku tidak suka pada Astra Jingga! Iri karena kecantikannya? Iya memang aku iri dengannya! Namun bukan itu yang membuatku membencinya, karena sikapnya yang menurutku sangat angkuh. Buat apa punya paras mempesona kalau dia angkuh dan sombong?
Siang itu, sepulang dari kampus aku kelabakan mencari kunci kamar kostku. Kemana kunci yang sudah aku beri gantungan Teddy Bear itu? Aku terus mengaduk isi tasku. Mengeluarkan diktat-diktat tentang kesehatan mulut dan gigi yang memenuhi tasku.
Meski telah aku keluarkan semua isinya, tetap saja tidak ketemu. Mampus! Bagaimana caraku masuk kalau begini? Tak sengaja, ujung mataku menangkap sosok Astra Jingga, seperti biasa ia duduk di kursinya. Tatapannya jauh ke depan. Tak memperdulikan apapun! Termasuk aku yang sibuk menumpahkan seluruh isi tasku guna mencari kunci kamarku.
Dia tak bertanya, tak mencoba membantu. Ahh jangankan membantu, melirik kearahku untuk sekedar simpati pun tidak! Aku menyerah, bagaimana pun juga aku harus terpaksa bertanya padanya, apakah ibunya di rumah dan masih menyimpan kunci cadangannya.
Dengan malas aku berjalan mendekatinya, meninggalkan tasku dan isi-isinya yang berceceran di depan pintu kamarku. Ia masih tak memperdulikanku. Hanya menyunggingkan senyum tipis.
“Mbak, Ibu ada tidak?” tanyaku sedikit malas.
“Oh... ada apa ya, Mbak?”
Aku mengerutkan kening. Ada yang tidak beres dengannya.
“Kunci kamar saya hilang. Ibu masih punya cadangannya?”
“Tentu, sebentar ya!” ia bangkit dan mulai berjalan masuk. Sesaat kemudian aku baru menyadari sesuatu.
***
Astra Jingga. Ternyata dia bukan hanya cantik, namun sangat berbakat. Ia sangat mahir memainkan gitar. Suaranya pun merdu. Sejak kejadian kunci hilang itu, aku menjadi akrab dengannya. Aku menyesal sempat membencinya. Karena faktanya, Astra Jingga bukan orang yang pantas untuk dibenci. Dia cantik dan berwawasan luas. Serta tidak angkuh seperti yang aku kira.
“Mbak Tammy, sudah pulang?” tanyanya ketika aku menyusulnya duduk di bangku sore itu.
“Baru saja, Ngga. Mbak baru selesai mandi.” Ingga nama panggilannya, ternyata dia tiga tahun lebih muda dariku.
“Senang belajar di FKG, Mbak?” tanyanya ingin tahu.
“Ya gimana ya, sebenarnya sih Mbak lebih cenderung ingin ke FK, jadi ya agak sedikit tidak terlalu suka sama materi kuliahnya,” jawabku jujur.
“Kenapa ingin ke FK?”
Aku menatap langit yang mulai berganti warna itu.
“Menurutku, dokter umum lebih banyak dibutuhkan. Dan lingkup penyakit yang dihadapi banyak, kalau belum ambil spesialisasi, sih. Aku cenderung suka sama profesi yang menuntut kita bukan hanya sekedar berkerja mencari uang, tapi juga bekerja dan belajar.”
“Tapi kan dokter gigi juga memegang peran penting, Mbak!” ujarnya tersenyum.
“Iya sih, tapi mungkin pasiennya tidak akan sebanyak dokter umum. Orang-orang Indonesia masih menganggap pergi ke dokter gigi bukan suatu kewajiban, meskipun giginya berlubang sampai lubangnya bisa buat terowongan nasi.”
Ingga tertawa, sangat renyah. Baru kali ini aku melihatnya tertawa. Dan memang dari dua puluh anak kost ibunya, hanya aku yang dekat dengannya. Sekilas aku meliriknya, ahh... seandainya aku secantik dia... tunggu, bagaimana pun juga, aku tak ingin menjadi seperti dia. Secantik apapun wajahku.
“Mbak...!” panggilnya membuyarkan lamunanku.
“Apa, Ngga?” tanyaku lalu bersandar pada kursi.
“Pernah jalan-jalan keluar negeri?”
Aku tertawa, jangankan keluar negeri, ke Bali saja aku baru sekali. Keluargaku bukan tipe pencinta traveling. Dari pada untuk traveling, mending ditabung, buat jaga-jaga kalau ada apa-apa, begitu kata bapak.
“Belum, belum pernah sekali pun. Memangnya kenapa, Ngga? Kamu ingin jalan-jalan keluar negeri?”
Ingga tertawa.
“Cuma tanya, Mbak. Katanya menara Eiffel itu indah sekali, siapa tahu Mbak pernah kesana.”
Aku tersenyum, memang sangat indah, dan aku sangat mengagumi ikon kota Paris itu.
“Memang, sangat indah. Meski belum pernah lihat secara langsung, tapi menara Eiffel memang sangat indah. Tinggi menjulang, dan penuh cahaya ketika malam.”
“Pasti sangat cantik!” ujar Ingga, masih dengan senyum manisnya.
Aku menatap langit yang sudah tidak biru lagi. Ingga pun sama, tengah menatap langgit luas yang mulai ditinggalkan mentari itu.
“Tapi ada yang lebih ingin aku lihat daripada menara Eiffel, Mbak.”
Aku menoleh, Ingga masih menatap langit, seolah-olah ada sesuatu di sana yang membuatnya terbius untuk terus menikmatinya.
“Apa itu, Ingga? Apakah The Great Wall di China? Atau Taj Mahal di India?”
Ingga menggeleng, ia masih tersenyum. Matanya masih menatap langit luas. Dipejamkannya kedua matanya, dihirupnya udara dalam-dalam.
“Sangat sederhana sebenarnya, Mbak.”
Aku menoleh, sedikit kepo dengan apa yang ingin Ingga lihat.
“Memang apa itu, Ngga? Kamu buat Mbak penasaran saja!”
Ingga tertawa, namun ia tak berpaling dari langit yang di tatapnya.
“Jika Tuhan mengizinkan, satu hal yang ingin Ingga lihat adalah langit senja yang berwarna jingga, Mbak!” ujarnya mantab. “Ingga ingin lihat, seberapa cantik langit senja yang berwarna jingga itu, yang membuat ibu dan almarhum ayah memberiku nama itu.”
Langit yang berwarna jingga di ujung senja, tidak ada apa-apanya, Ngga. Memang sangat cantik, namun kecantikan wajahmu mengalahkan langit keemasan yang memikat mata itu.
Ya.... Astra Jingga namanya, namun sampai kapanpun Ingga tidak akan pernah bisa melihat betapa indahnya langit senja berwarna jingga, karena Tuhan berbaik hati, membutakan kedua matanya, sejak ia lahir kedunia.