Pukul 12 berarti akhir hari, tetapi juga awal hari. Pada pukul 12 tengah malam, berbagai peristiwa juga terjadi dan inilah yang terjadi padaku...
Dor !!! Dor !!! Dor !!!
Terdengar suara desingan memekakkan telinga. Terasa sangat dekat…begitu dekat…diiringi teriakan keras, dari berbagai sudut. Entah dari mana semua itu berasal. Aku terbaring tak berdaya. Mataku terus saja mengerjap tanpa henti ingin melihat ada apa gerangan. Pandanganku terasa kabur, tetapi aku berusaha membuka mata lebar-lebar. Tak berapa lama mataku mulai bersahabat dan aku melihat di sekitar banyak tubuh bergelimpangan tak berdaya. Tiba-tiba hidungku pun bereaksi mencium bau anyir menusuk ke dalam lubang hidung.
Aku berusaha kuat dan berdiri meskipun terhuyung. Aku tak tahu ada apa ini. Sebelum kesadaranku pulih dan bisa berdiri tegap, mataku terbelalak melihat pemandangan di sekelilingku. Banyak tubuh terbaring di jalanan bersimbah darah. Ada anak kecil menangis di sudut jalan memanggil orang tuanya. Suara berisik dan desingan sesuatu begitu memekakkan telinga. Beberapa orang berseragam seperti tentara tengah berlarian di sekitarku. Membawa senapan laras panjang. Mereka berteriak-teriak keras dan menembakkan peluru. Suara desingan peluru membuat telingaku berdenging keras.
Otakku masih terus berputar-putar mencerna ada apa ini sebenarnya. Berusaha mencari jawabannya dalam pikiranku. Tetapi sebelum semua bisa diketahui jawabnya, satu persatu orang yang memakai seragam tentara itu berguguran berlumuran darah. Aku yang belum pernah menyaksikan kejadian itu begitu terkejut. Jantungku berpacu dengan cepat. Kedua tanganku hanya bisa memegangi kepalaku yang terasa makin berat. Tak berselang lama terdengar suara teriakan.
“Schieten!!!”
Disaat bersamaan sesuatu mengenai tubuhku. Beberapa detik kemudian lengan kiriku terasa panas dan perih. Mataku refleks mencoba melihat ke lengan kiri. Aku begitu terkejut mendapati lenganku mengucurkan darah. Jantungku berdetak makin cepat. Pandanganku mulai kabur dan kedua kakiku tak dapat lagi menyangga tubuh. Hingga sekelilingku terasa berputar. Banyak orang memakai seragam asing berlalu lalang di dekatku. Membawa senapan di tangannya.
Mereka seolah-olah berbicara tetapi telingaku tak lagi dapat mendengar apapun. Mataku mulai nanar memandangi tempat ini. Ada banyak bangunan tua disana. Waktu seolah berhenti. Mataku pun hanya melihat papan jalan bertuliskan Malioboro. Kini semuanya makin gelap…gelap…gelap…hingga aku mendapati diriku roboh ke tanah dengan keras. Ada apa ini sebenarnya???
***
Tet….Tet….Tet….
Suara bel berakhirnya jam pelajaran berbunyi.
“Sungguh membosankan semua hal yang ada di sekolah ini.” Gerutuku dalam hati.
“Apalagi pelajaran soal sejarah lebih membosankan.” Sambil aku banting buku pelajaran di meja. Tiba-tiba ada yang menepuk bahuku dengan keras.
“E.. Melamun saja kamu.” Tegur sebuah sumber suara.
Pandangan mataku langsung tertuju pada sesosok yang duduk di depanku. Badannya gempal meski usianya baru 17 tahun. Ototnya mulai di tempa dan lebih berisi. Agar kuat ketika kita nanti akan “bertempur”
Suara tadi berasal dari Lucio yang hobbinya 11-12 denganku. Suka bertempur dengan otot daripada dengan otak.
“Ah… bosan. Setiap hari ke sekolah dikasih pelajaran yang bikin
pusing. Apalagi sejarah, buat apa susah-susah belajar sejarah toh kita nanti
juga akan berjalan maju bukan mundur.” Jawabku kesal.
“Hahaha… benar itu buat apa capek-capek belajar matematika toh nanti yang penting bisa hitung duit, beres.” Balas Lucio.
“Ya kamu benar Lucio, kita ini hidup yang penting kan bisa senang-senang. Hidup cuma sekali kenapa harus dibikin susah? Ya kan?” Tanyaku padanya.
“Benarlah itu. Tidak perlu kita harus capek-capek mikir ke sekolah ujung-ujungnya juga harus pandai cari duit.” Timpalnya.
Tak lama berselang, dering smartphone melantun keras di telinga. Buru-buru Lucio mengangkatnya. Aku tak tahu siapa yang sedang menelepon Lucio. Lucio adalah sahabat yang sedari dulu sudah bersama dan memenangkan beberapa “pertempuran”
Aku terus memperhatikan Lucio yang terlihat serius.
“Hemmm.. Ya.. Ya.. Aku paham.. Itu perkara mudah, jika satu teman dalam masalah. Kita kerahkan seluruh anggota. Kita beri pelajaran agar jangan berani macam-macam dengan temanku.”
Hanya itu yang bisa aku dengar dari Lucio. Bersamaan dengan kalimat terakhir Lucio, telp pun di matikan. Seulas senyum terpancar dari wajahnya. Sedetik kemudian memandang ke arahku. Kemudian berdiri, dan berjalan mendekatiku. Menepuk bahuku perlahan.
“Yah hidup tidak harus membosankan seperti ini kan. Besok malam kita tidak perlu mendengarkan hal-hal tidak berguna.” Kata Lucio sambil melenggangkan kakinya ke arah pintu keluar kelas.
Aku tersenyum dengan perasaan bahagia.
“Pertempuran” batinku.
***
“Rendra!!! Mau kemana kamu?” tegur seorang wanita paruh baya.
“Halah sudahlah bu, jangan mengurus urusanku. Aku hanya membantu temanku.” Jawabku gusar.
“Mau jadi apa kamu nak? Ini sudah malam. Kamu perlu belajar dan menuntut ilmu. Bukan malah melakukan perbuatan yang tidak baik.” Balas wanita paruh baya yang tak lain adalah ibuku. Tangannya terus menggenggam tanganku. Mencegahku untuk pergi.
“Aku tidak mau mendengarkan ceramah tiap hari. Telingaku ini tidak akan menerimanya. Aku juga disini membantu teman. Menolong teman apa salahnya bu?”
“Rendra, apa menolong teman dengan cara seperti itu?”
“Bu, sudahlah tidak ada yang salah dengan menolong teman kan? Apa ibu mau anakmu ini mencuri? merampok? membunuh orang? Hah?” Tanyaku dengan nada keras.
“Nak, itu semua perbuatan yang tidak baik. Tapi bukan berarti perbuatan yang mau kamu lakukan itu juga sesuatu yang baik.” Terdengar suara si ibu makin parau.
“Sudah cukup. Jangan ikut campur lagi!!!” bentakku keras sambil menghempaskan tangan ibuku.
Akupun keluar rumah dengan tergesa-gesa. Hanya mendengar suara ibuku yang memanggil namaku.
“Rendra… Rendra… Rendra… jangan pergi nak..” suara tangisan mulai terdengar.
Aku tak menggubris itu semua dan terus melangkah pergi. Bagiku sekarang yang terpenting adalah “pertempuran”
Akupun melangkah pergi meninggalkan rumah yang sedari kecil aku diami. Di dinding ruang tamu tergantung sebuah foto usang. Foto almarhum ayahku dan juga kakekku sedang mengenakan seragam tentara. Terlihat gagah dan berwibawa. Aku terus berjalan, seolah tak memperdulikan itu semua.
***
“Woi sini kalau berani. Jangan sembunyi kalian!!!” Teriakku keras.
Pakaian putih yang aku kenakan malam itu telah bercampur dengan keringat yang terus mengucur. Pakaian putih itu telah ternoda dengan kotoran juga debu. Terlihat lusuh tak sebersih ketika pertama kali memakainya. Ada beberapa luka di bagian tubuhku. Tetapi aku tidak menggubrisnya. Tanganku pun sudah basah oleh keringat. Sejak 15 menit yang lalu, aku terus memegang tongkat baseball.
Banyak remaja seusiaku berlalu lalang. Berteriak membahana memecah malam yang gelap dan pekat. Kita semua berkumpul untuk membela teman satu sekolah. Teman satu sekolah yang pacarnya direbut anak sekolah lain. Masalah sepele kelihatannya. Tetapi yang jadi masalah adalah mereka menantang berkelahi anak dari sekolah kita. Itu artinya mereka menantang anak satu sekolah bukan hanya salah satunya.
Banyak batu melayang di depan mataku. Siap setiap saat menghantam kepala kita. Tetapi lagi-lagi aku tak menggubrisnya dan terus berjalan maju menantang siapapun yang menghalangi jalanku. Disampingku ada Lucio yang berkoar-koar menantang musuh kita. Saat kita merengsek ke depan, tanpa sadar banyak remaja seusia kita langsung keluar ke jalanan. Jumlahnya jelas sangat banyak berbanding terbalik dengan jumlah kita.
Aku hanya bisa berpandangan dengan Lucio yang berdiri di sampingku. Sekarang situasinya terbalik. Kelihatannya dari pihak mereka banyak membawa sekutu. Sebelum aku bisa melawan atau meloloskan diri. Tiba-tiba….
“Brak…..”
Sebuah hantaman keras mengenai kepalaku. Rasanya seperti tertimpa sesuatu. Begitu sakit, mataku mulai berkunang-kunang. Aku melihat sekelilingku mulai berputar-putar. Suara teriakan membahana yang sedari tadi terdengar sangat kencang sedikit demi sedikit mulai membisu. Kepalaku makin berdenyut sakit. Aku memeganginya dengan kedua tanganku berusaha menahan rasa sakitnya. Tetapi seolah itu percuma dan tubuhku tak lagi mampu menahan. Hingga semuanya terasa gelap dan akupun jatuh terjerembab ke tanah yang begitu dingin.
Meskipun aku sudah jatuh seperti itu tetapi kesadaranku belum sepenuhnya hilang. Sebelum mataku mulai tertutup rapat. Perlahan telingaku yang tadinya tak bisa mendengar apapun samar-samar mendengar suara lonceng. Begitu keras hingga memekakkan telinga. Suara lonceng itu tepat berdentang saat tengah malam.
Angin berhembus perlahan mengenai tubuhku. Aku merasakan hembusan yang sangat aneh. Sampai mataku benar-benar terpejam dan kehilangan kesadaran sepenuhnya.
“Byuurr….”
“Arrrrghhhtttt!!!” Teriakku keras.
Seperti terbangun dari mimpi tengah malam. Sesuatu yang dingin mengenai sekujur tubuhku. Tiba-tiba aku merasakan perih di lengan kiriku. Refleks tanganku pun memeganginya. Kepalaku juga masih terasa sangat berat.
“Hei kamu orang cepat bangun!!!” Teriaknya sambil menginjak bagian lenganku yang terasa perih.
“Arrghhhhhtttt!!!” Aku menjerit sekeras mungkin.
Semua rasa sakit bercampur. Antara perih, ngilu, menjadi satu. Kesadaranku pun belum sepenuhnya pulih. Tetapi ku paksakan mataku untuk melihat sekeliling. Aku melihat seseorang tengah berdiri di depanku. Menatapku dengan pandangan ganas.
Mataku terbelalak dan hendak mundur. Tetapi punggungku sudah mengenai tembok di belakang. Posisiku duduk dengan bersandar pada tembok. Sambil meringis kesakitan dan memegangi lenganku. Aku memperhatikan siapa orang yang berani-beraninya melakukan ini pada ku. Pada Rendra Kusuma yang sudah terkenal karena sering memenangkan pertempuran.
Tanpa dinyana, di depanku tengah berdiri seorang prajurit berseragam asing. Wajahnya seperti orang bule. Kulitnya putih pucat. Mataku pun melotot lebar. Sebelum aku bisa menyadari apa yang terjadi, di sekelilingku terdengar suara rintihan keras. Aku mengedarkan pandangan keseliling.
Aku begitu kaget melihat pemandangan di sekitarku. Banyak orang berseragam tentara seperti jaman dulu. Disaat menonton film jaman perjuangan. Ruangan di sekelilingku pun tampak semacam bangunan tua. Mataku terus aku kerjap-kerjapkan. Tak memperdulikan rasa sakit di lenganku. Aku benar-benar tidak tahu ada apa ini. Sampai sebuah suara dengan keras meneriakiku.
“Kamu orang siapa hah?!!” Tanya prajurit berkulit putih.
Mataku terus saja menatap prajurit itu dari atas ke bawah. Ini mimpi atau semacamnya? Orang yang berdiri di depanku itu seperti tentara bule. Berkulit putih pucat dan berperawakan tinggi. Dia terus menatapku dengan pandangan tajam. Tenggorokanku seperti tercekat.
Tidak tahu harus berkata apa. Sedangkan di sekitarku banyak orang berpakain tentara jaman dulu. Berkulit sama denganku seperti orang pribumi. Ditendang, disiksa, dipukul berkali-kali hingga babak belur tanpa ampun. Luka ditubuh mereka sangat parah. Darah segar terus mengucur. Tapi tentara asing itu tidak pernah berhenti melakukan penyiksaan. Aku memperhatikan tanpa berkedip. Hingga seseorang lagi-lagi menendang tubuhku.
“Arrrghhht!!!” Lagi-lagi aku hanya bisa teriak kesakitan.
Aku seperti berada dalam dimensi lain. Jika ini dalam posisi seperti biasanya aku bertempur, sudah pasti orang ini sudah aku hajar. Berani satu lawan satu.
“Hei!!! Apa kamu orang tidak bisa bicara hah??!!!” Teriaknya lagi.
Rasa sakit di lengan dan juga tubuhku begitu perih dan nyeri. Akupun tidak tahu harus bicara apa. Tetapi aku mencoba untuk bicara. Aku menelan ludah perlahan membasahi tenggorokanku yang hampir mengering. Ku coba sedikit demi sedikit mengeluarkan sebuah kata meskipun terbata.
“Si…si..siapa..kalian?” Tanyaku terbata.
Si tentara asing yang berdiri di depanku mengernyitkan dahinya. Menatapku dengan pandangan aneh. Namun tatapan itu tak berlangsung lama.
“Hahahahaha….” Terdengar suara gelak tawa keras. Sampai semua yang ada di tempat itu langsung melihat ke arahku.
“Hei kalian semua. Anak ini tidak tahu siapa kita orang hahahahaha.” Kata tentara yang berdiri di depanku itu sembari tertawa sumbang.
“Apa kamu orang baru saja bangun dari tidurmu? Baiklah karena kamu
kelihatan bodoh. Akan aku beri tahu siapa kita orang. Kita ini adalah tentara
Belanda yang gagah perkasa.” Kalimat itu terucap penuh kesombongan diiringi tertawa lebar.
Tak berselang lama semua tentara yang baru ku ketahui adalah tentara Belanda terdengar tertawa keras. Tidak hanya satu tetapi semua yang ada di ruangan itu.
Aku berusaha mencerna. Ada apa ini sebenarnya? Apa yang terjadi. Aku mencoba menampar pipiku.
Plak
Terasa sangat sakit. Luka-luka di sekujur tubuhku memberikan rasa perih dan nyeri. Jika aku bisa merasakan semua rasa sakit ini, artinya semua yang ada di hadapanku bukanlah mimpi. Tidak mungkin ini kenyataan. Tetapi bagaimana bisa semua ini terjadi sedangkan hal yang aku ingat terakhir adalah aku sedang bertempur.
Sebelum aku dapatkan jawaban atas semua hal ini, tiba-tiba terdengar suara teriakan keras.
“Saya tidak akan berkhianat pada tanah air ini. Tidak mau menuruti mau
kalian. Kami ingin hidup merdeka tanpa adanya penjajahan yang kejam dan
menyengsarakan rakyat. Hidup atau mati, berjuang untuk anak cucu kami.
Merdeka!!!” Teriak orang pribumi itu lantang.
Orang itupun berdiri dan berusaha merebut pistol dari tangan tentara Belanda. Tetapi sia-sia, hanya hitungan detik saja terdengar suara yang memekakkan telinga.
Dor!!!
Orang itupun jatuh bersimbah darah. Ditembak mati tanpa ampun ataupun peringatan. Suasana jadi memanas. Entah bagaimana tentara pribumi yang awalnya tidak berdaya dan sudah dipenuhi luka. Mulai bangkit berdiri dan suasana memanas.
“Merdeka!!! Merdeka!!! Merdeka Indonesia!!! Hidup atau mati!!!” Mulai terdengar keras teriakan mereka. Sampai terjadi gesekan antara tentara pribumi dan Belanda. Tetapi perlawanan kecil itupun lagi-lagi berakhir dengan sia-sia karena kalah jumlah dan kondisi yang tidak memungkinkan.
Dor!!! Dor!!!
Terdengan suara timah panas mengenai setiap tubuh yang tidak berdaya.
Aku hanya bisa menutup telingaku rapat-rapat sambil tiarap. Aku bahkan tidak berfikir bisa lari. Ada rasa ketakutan yang mulai menyeruak. Padahal saat bertempur seperti biasa aku tidak merasakan takut semacam ini. Hanya ada keberanian yang meluap-luap. Memukul, menendang atau berteriak kasarpun tidak pernah setakut ini.
“Stop!!! Stop!!!” Teriak tentara Belanda itu.
Ku beranikan diri melihat sekitarku. Ada banyak tubuh bermandikan darah. Di seret keluar dengan paksa melewatiku satu persatu. Aku memperhatikan tentara pribumi yang masih selamat hanya ada tiga orang. Jadi semua ada empat orang yang bisa dibilang masih hidup.
Tiba-tiba rasa mual mulai ku rasakan. Melihat darah juga kekejaman yang tepat ada di depan mataku. Ini sangat berbeda dengan pertempuran yang biasa ku lakukan. Aku hanya berfikir itu adalah kesenangan saat kita menang. Berkelahi bersama teman. Tetapi situasi di depanku ini sangat berbeda. Aku hanya ingin lari dan selamat dari tempat ini. Kembali ke tempatku semula. Tiba-tiba pikiranku mulai tidak terkendali.
“Aku mohon keluarkan aku dari sini. Biarkan aku hidup.” Kataku ketakutan. Sembari memegang kaki salah satu tentara Belanda itu.
Tentara itu tersenyum dan berbisik dengan salah satu temannya. Mereka berdua tersenyum dan membantuku berdiri. Menepuk bahuku dan membersihkan pakaian putih yang aku kenakan.
“Jadi kamu orang tidak ingin mati bukan?” Tanya salah satu tentara itu.
“Be..benar a..aku ingin hidup dan keluar dari tempat ini. Biarkan aku pergi.” Kataku memohon.
“Baiklah kamu orang akan selamat asalkan memenuhi permintaan kami.
Bagaimana?”
Tanpa berfikir panjang aku menganggukkan kepala dan bersedia asal bisa selamat dari tempat terkutuk itu. Lalu salah satu tentara tadi membisikkan sesuatu di telingaku. Aku mendengarkan baik-baik. Inilah caraku agar bisa selamat dari sini. Apapun akan aku lakukan.
Setelah berbisik di telingaku, kedua tentara itu tersenyum dan menepuk-nepuk bahuku.
“Sekarang kamu orang adalah bagian dari kita hahahahaha.” Kata salah satu tentara itu yang pakaiannya sedikit berbeda. Sepertinya dia adalah pemimpin tentara Belanda.
“Kita obati lukamu dulu anak muda.” Kata tentara Belanda itu dengan logat bahasa Indonesia bercampur Bahasa Belanda.
“Nak, jangan jual bangsamu hanya untuk keselamatanmu sendiri.” Tiba-tiba terdengar suara seseorang berbicara.
Aku langsung menoleh, ke arah sumber suara. Ternyata suara itu berasal dari seorang paruh baya yang sepertinya sedang sekarat.
“Diam kamu orang!!!” Teriak salah satu tentara sambil menendang tubuh tak berdaya itu. Aku hanya bisa menyaksikan dengan perasaan ngeri dan takut. Hingga pemimpin tentara mengajakku keluar.
Aku berjalan tertatih keluar dari gedung yang dijadikan markas Belanda. Banyak tentara Belanda berjaga-jaga dan bersiap membawa senapan laras panjang. Ada yang mondar-mandir dan berlarian. Aku terus berjalan sembari memegang lenganku yang tergores kena luka tembak.
Aku terus berjalan, melihat sekelilingku. Tempat yang sangat aku kenal. Tempat yang sangat popular di Jawa Tengah. Semua orang tahu tentang tempat ini. Aku lahir disini dan juga dibesarkan di tempat ini. Semua jalanan disini tidak ada yang berubah kecuali bangunannya terlihat tua seperti jaman dahulu.
Malioboro
Ya, tempat ini sangat terkenal. Menjadi salah satu tempat wisata sejarah dan wisata belanja yang sangat terjangkau. Aku bisa mengingat dengan baik, biasanya disini sangat ramai dipenuhi para pelancong. Baik luar maupun dalam negeri. Tetapi apa yang aku lihat sekarang. Hanya ada tentara dan mobil untuk perang tengah bersiap siaga. Banyak rakyat jadi korban di jalanan. Suasana sangat mencekam. Sesekali terdengar suara desingan peluru.
Aku terus berjalan dengan hati-hati melewati sebuah gang di Malioboro. Untuk satu tujuan saja, menyampaikan pesan ke tentara Indonesia. Siapapun itu dan aku akan selamat. Pergi dari tempat terkutuk ini yang akupun tidak tahu kenapa berada disini.
Tiba-tiba seseorang membekap mulutku di sebuah gang dan menarikku ke dalam sebuah gedung. Aku berusaha melawan dan meronta. Tetapi sepertinya sia-sia. Hingga aku dibawa ke sebuah ruangan dalam gedung. Disana banyak tentara pribumi tengah bersiap siaga. Ada yang melihat semacam peta dan bercakap-cakap. Saat aku datang semua mata tertuju padaku.
Dari arah dalam seorang pria paruh baya berjalan mendekatiku. Aku memperhatikannya dengan seksama. Jantungku berdegup kencang. Keringat bercucuran membasahi pakaianku. Pakaian yang sudah lusuh dan terkena beberapa cipratan noda darah.
Pria itu memperhatikanku dengan seksama dari ujung kepala hingga ujung kaki. Aku juga memperhatikannya seperti orang yang tidak asing.
“Kamu ini siapa nak? Kenapa bisa ada disini?” Tanyanya perlahan. Tidak seperti tentara Belanda yang sangat kasar.
“A…aku disini karena ingin melarikan diri dari tentara Belanda.” Jawabku sedikit takut.
“Tenanglah, sekarang kamu selamat. Berikan dia minum.” Perintah pria paruh baya pada anak buahnya. Dia terlihat berwibawa. Aku seperti mengenalnya. Tapi tidak tahu dimana aku pernah melihatnya.
“Coba ceritakan bagaimana bisa kamu selamat dari markas Belanda?” Tanya Pria itu.
Aku menceritakan segala sesuatunya dari awal hingga aku bisa lolos dari markas Belanda dengan melarikan diri. Tentu saja aku tidak akan menceritakan apapun soal apa yang dibicarakan pemimpin Belanda itu. Kalau tidak nyawaku akan terancam. Hanya perlu menyampaikan pesan.
Pria paruh baya itu memandangiku entah apa yang dipikirkannya. Keringatku mulai bercucuran karena ada rasa takut.
“Aku hanya perlu menyampaikan hal itu. Tidak ada masalah dengan itu.” Dalam hati menenangkan diri sendiri.
“Hemmm…Begitu rupanya. Siapa namamu?” Tanya pria paruh baya itu.
“Re..Rendra Kusuma.” Jawabku sedikit terbata karena menahan rasa takut.
“Jangan takut nak.”
“Se..sebenarnya aku melihat banyak tentara Belanda ada di markas gedung
sebelah utara bahkan di tiap ruas jalan aku melihatnya. Terutama di
Malioboro.” Kataku berusaha menguatkan diri. Berusaha terlihat biasa saja.
Pria itu hanya menatapku. Kemudian melihat jam yang tergantung di dinding. Tepat pukul 11.00 malam. Di luar semakin ramai dengan suara desingan pelurunya. Banyak teriakan terdengar.
“Apa benar begitu?” Tanya pria paruh baya itu lagi.
Aku seperti tak berani menatap matanya dan hanya mengangguk. Ada sesuatu dari tatapannya yang sulit diartikan dan entah dimana aku pernah melihatnya.
Pria paruh baya itu kemudian membisikkan sesuatu kepada seseorang yang sepertinya adalah bawahannya. Kemudian pria paruh baya itu memberikan perintah untuk ke utara. Aku terkaget apakah aku dipercaya soal itu. Aku mulai gelisah dan duduk tidak tenang. Tanganku terus mengepal. Pria itu hanya menepuk bahuku.
“Terimakasih nak. Kamu aman sekarang. Negeri ini akan berterimakasih
padamu nantinya.” Kata pria itu sambil tersenyum.
Aku terkaget dan hanya menatapnya. Ada banyak perasaan aneh bercampur. Seharusnya aku lega bisa selamat. Sekarang hanya menunggu waktu untuk kembali pulang ke tempatku. Tidak berselang lama gedung itu kosong dan hanya terdengar suara langkah derap kaki penuh semangat mengobarkan kemenangan untuk negeri ini. Aku hanya berdiri terpaku menyaksikan itu semua. Ada banyak perasaan bersalah berkecamuk.
Tanpa ku sadari aku berjalan mengikuti kemana mereka pergi. Suara di luar sangat memekakkan telinga. Di tiap ruas jalan terjadi baku tembak. Banyak korban berjatuhan. Banyak tentara negeri ini mengorbankan nyawanya demi mengokohkan negara ini. Rakyat pun tak terhitung jumlahnya, menjadi korban kekejaman tentara Belanda.
Tiba-tiba di sebuah ruas jalan, ada tentara Belanda yang hendak menembak seorang ibu dan anaknya. Sebenarnya aku sangat takut dan hanya ingin pulang. Tetapi tiba-tiba ada kilasan ingatan waktu kecil.
“Rendra Kusuma, cucu kakek. Nama itu memiliki arti agar suatu saat nanti
namamu akan harum seperti bunga sama halnya perjuangan para pahlawan.
Di masa perjuangan untuk menegakkan pondasi negeri ini.” Kata seseorang itu sambil menepuk bahuku waktu kecil.
Entah kenapa semua hal dan juga kejadian yang ku alami beberapa jam lalu. Menyaksikan rakyat tidak berdosa menjadi korban. Para tentara yang sudah berani mati. Ketakutanku pun sirna dan kakiku berlari menuju tentara Belanda yang hendak menembak ibu dan anaknya. Aku berlari sambil mengambil balok kayu di dekat situ. Kemudian setelah dekat aku memukulkan balok kayu ke tubuh tentara Belanda. Dia jatuh tersungkur namun laras panjangnya tak tinggal diam masih hendak menembak ke arah ibu itu. Tanpa berfikir panjang aku langsung memeluk ibu dan anaknya. Tidak perduli kalau tubuhku harus merasakan timah panas. Hanya menyelamatkan ibu dan anaknya itu yang aku pikirkan.
Dor!!!
Sebuah desingan peluru panas terdengar memekakkan telinga. Aku hanya memejamkan mata. Mungkin inilah akhir dari hidupku. Hanya bisa memejamkan mata. Hingga terdengar suara seseorang yang aku kenal.
“Kamu tidak apa-apa nak?”
Terdengar juga derap langkah kaki. Perlahan ku buka mata dan di sekitarku banyak tentara pribumi yang berkerumun. Ibu dan anak itu selamat. Aku melihat pria paruh baya itu melihatku dengan khawatir. Rupanya saat tentara Belanda tadi hendak menembakku. Ia tertembak lebih dulu. Ditembak pria paruh baya yang sekarang tepat berdiri dihadapanku. Tanpa berfikir panjang, aku langsung berbicara.
“Jangan ke arah utara. Disana banyak tentara Belanda hendak menyergap
Kalian.” Kataku lantang.
Pria paruh baya itu hanya melihatku dan sedetik kemudian seulas senyum mengembang.
“Saya sudah tahu soal itu. Terimakasih.” Jawabnya sambil menepuk bahuku.
Kemudian dia memberikan aba-aba dan para tentara pribumi kembali bersiap-siap bergerilya melawan tentara Belanda.
“Nak, setiap orang pasti memiliki kesalahan. Tetapi kamu sudah
memperbaikinya. Kamu sudah menyelamatkan Ibu dan anak itu. Artinya
kamu menyelamatkan penerus bangsa ini. Satu nyawa sangatlah berharga.
Sedangkan kamu sudah menyelamatkan dua nyawa, dengan begitu para
yang telah gugur disana akan bangga dan tenang karena telah
mengorbankan nyawanya tanpa sia-sia. Jika negeri ini memiliki anak muda
sepertimu maka negeri ini akan berdiri kokoh dan ditakuti juga dihormati
bangsa lainnya. Banggalah jadi bagian negara kita ini. Negara Indonesia
juga tentara Indonesia bukan tentara pribumi.” Kata pria paruh baya itu sambil tersenyum. Diiringi suara teriakan lantang dari para tentara lainnya.
“Merdeka!!! Hidup atau mati!!!”
Tidak terasa air mataku menetes perlahan. Apalagi mengingat semua hal tidak berguna yang telah ku lakukan selama ini. Rasanya hidupku tidak berguna. Tetapi ketika melihat sekelilingku sekarang yang tengah berjuang menegakkan rasa nasionalismenya. Membuat hatiku menemukan hal baru yang berbeda. Hatiku penuh semangat dan berkobar.
“Terimakasih Pak.” Kataku dalam hati. Kemudian berlari membantu para tentara Indonesia berjuang melawan tentara Belanda yang hendak menjajah lagi. Aku mungkin tidak bisa memegang senapan karena itulah aku memilih caraku sendiri untuk membantu perjuangan ini.
Disaat tentara Indonesia bertempur merebut Yogyakarta sebagai ibu kota Negara Indonesia. Aku berlari membantu sebisaku dengan menyelamatkan tentara yang terluka membawa ke tempat yang aman. Membantu rakyat di sekitar Malioboro untuk menyelamatkan diri. Meskipun banyak korban berjatuhan dan terluka. Tetapi semangat juang para tentara Indonesia tidak mengenal kata menyerah.
Disaat bersamaan aku memapah seorang tentara yang terluka. Terdengar teriakan membahana. Di setiap ruas jalan.
“Merdeka!!! Merdeka!!! Belanda sudah kalah!”
Semua orang dijalanan bersorak gembira. Mengumandangkan kemenangan pertempuran melawan Belanda. Aku terdiam, hanya bisa merasakan perasaan haru. Tidak jauh dari tempatku berdiri, pria paruh baya itu tersenyum ke arahku. Sembari berteriak dengan lantang.
“Merdeka!!!”
Aku tersenyum diiringi air mata yang mengalir deras. Ada perasaan haru juga bahagia bercampur menjadi satu.
“Itu Letkol Soejono.” Kata tentara yang sedang aku papah.
Aku seperti tersadar sesuatu. Ketika disebut nama itu. Tanpa sadar mulutku berbicara.
“Kakek….”
Ketika semua sedang bergembira berada di jalanan Malioboro. Tiba-tiba suasananya menjadi hening. Pemandangan di sekitarku menjadi samar-samar. Aku berusaha berteriak tetapi mulutku tercekat. Sampai sebuah cahaya terang menarik tubuhku melayang. Ketika itu, yang ada hanyalah cahaya terang menyilaukan mata. Kemudian, samar-samar terdengar suara lonceng kembali berdentang dengan keras. Suara lonceng tengah malam membawa tubuhku melayang-layang kembali ke asalku…
***
Beberapa tahun kemudian…
“Inilah monument serangan umum 1 maret 1949. Dimana kita mengingat di waktu itu tentara Indonesia tanpa mengenal kata menyerah dan takut. Mengorbankan nyawanya untuk membuktikan kedaulatan Negara Indonesia di mata dunia. Meskipun kota Yogyakarta sedang dikuasai Belanda, kita bisa membuktikan bahwa tentara Indonesia masih memiliki kekuatan untuk membuktikan dengan 6 jam kita bisa menduduki kota Yogyakarta. Kita patut berbangga karena saat ini kita hidup merdeka karena perjuangan para pahlawan di masa lalu.” Kataku menjelaskan kepada anak-anak yang masih berusia belasan. Kota Yogyakarta sebagai salah satu tempat pembuktian masih kokohnya tentara Negara Indonesia.
Mereka mengangguk dan bangga pada perjuangan para pahlawan di masa lalu.
“Baiklah, sekarang kita mengheningkan cipta sejenak. Berdoa kepada
Tuhan agar para pahlawan yang telah gugur diberikan tempat terindah di
sisi-Nya.”
“Baik Pak Guru.”
Di suatu malam… Suara lonceng midnight terdengar berdentang ditelingaku. Aku tersenyum dan memejamkan mata. Berdoa dalam hati.
Aku tidak tahu peristiwa yang aku alami itu adalah mimpi atau bukan.
Tetapi yang jelas aku sangat bersyukur karena diberikan kesempatan
menyaksikan secara langsung perjuangan para pahlawan dimasa itu. Ayah
dan kakekku juga menjadi bagian dari mereka. Menjadi tentara negara ini.
Mempertahankan negara agar tetap berdiri tegak. Berbeda dengan jalan
yang aku pilih. Aku tidak mengikuti jalan mereka tetapi memilih jalanku
sendiri. Meneruskan perjuangan mereka dengan jalan yang aku pilih. Aku
harap ayah dan kakek bangga padaku. Terimakasih untuk perjuangan
kalian yang tidak mengenal lelah, ayah, kakek juga para pahlawan di masa
lalu.
∞∞∞
Mohon dukungannya. Terimakasih...