Cit…Cit…Cit….Suara decitan sepeda tua mengalun perlahan memecah teriknya siang. Jalanan tak terlalu ramai kala itu. Hanya ada beberapa kendaraan yang berlalu lalang. Hidup dipinggiran kota memang tidak sehingar bingar di perkotaan. Di kota begitu bising, hingga telinga sering berdengung karena suara keras kendaraan berpadu menjadi satu. Polusipun tak lagi terelakkan. Paru-paru harus rela dikorbankan menjadi tempat berkumpulnya asap sisa pembuangan. Kehidupan perkotaan yang bebas. Budaya yang tanpa aturan terus berputar di tengah masyarakat yang hedonis.
Siang itu, di kala sang mentari bersinar terik. Seorang pria paruh baya tengah mengayuh sepedanya. Keringat bercucuran tak diindahkannya. Pria itu berusaha melawan ganasnya matahari
begitu gagah perkasa. Berdiri tegap bersama langit menjadi cahaya di bumi ini. Sinarnya berpendar menerobos sela-sela pepohonan dipinggir jalan. Membentuk bayangan yang berkelip.
Pria itu berumur sekitar 50-an, tangannya terlihat kasar dan berotot. Kulitnya berwarna hitam gelap terbakar raja surya. Telapak tangannya terlihat penuh goresan. Pria yang seumur hidupnya di habiskan dengan bekerja kasar. Kadangkala bekerja di ladang bahkan menjadi kuli bangunan atau kuli pasar. Tubuhnya kekar dan berotot karena ditempa dengan pekerjaan berat. Namun, di sisi lain pria itu juga penggiat seni budaya. Bahkan memiliki sanggar sebagai tempat belajar. Meskipun tidaklah besar. Wibisana adalah namanya. Nama yang sama seperti tokoh pewayangan. Wibisana adalah adik dari Rahwana, yang memiliki watak ksatria, membela kebenaran, dan bersikap adil.
Bapak Wibi, biasa beliau dipanggil. Hidupnya begitu berat sejak kematian anak semata wayangnya. Anak yang digadang sebagai penerusnya kelak. Mengurus sanggar seninya. Tetapi apa daya sebelum semua mimpinya terlaksana Tuhan menakdirkan kata lain. Kini beliau hanya hidup berdua bersama istrinya yang sedang sakit-sakitan. Beliau bekerja dengan keras. Apapun dikerjakan agar menghasilkan sesuap nasi untuk makan sehari-hari. Bahkan ladang yang sedang dikerjakan pun adalah milik orang lain. Bapak Wibi hanya ditugaskan mengerjakannya saja.
Kini sepeda tua itu berhenti di depan sanggar bertuliskan Sekartaji. Sanggar berbentuk joglo itu terlihat tua. Kondisi bangunannya terlihat rapuh. Meskipun begitu, tetapi kelihatan bersih. Bagaimanapun juga Bapak Wibi menjaga sanggarnya agar tetap terawat. Sanggar itu memiliki kenangan yang tidak akan habis meskipun hari telah berganti bulan, bahkan bulan telah berganti tahun. Beliau berdiri di depan sanggarnya. Melihat dengan tatapan penuh kesedihan. Matanya menerawang jauh menembus ingatannya di masa lalu. Di saat semua belum seperti sekarang.
“Ayo adik-adik kita latihan sekali lagi ya. Semangat semuanya.” Kata seorang gadis belia berusia 17 tahun.
Dia terlihat manis dan penuh kesabaran mengajarkan tari pada anak-anak kecil. Sanggar bertuliskan Sekartaji itu dipenuhi suara tawa dan keceriaan. Anak-anak perempuan berlatih tari. Di sisi lain sanggar, terdengar dentingan merdu yang dihasilkan seperangkat gamelan yang dimainkan anak laki-laki. Semua belajar dengan penuh keceriaan juga gelak tawa. Meskipun bapak Wibi terkadang berteriak keras ketika ada yang melakukan kesalahan. Itu semua dilakukan agar anak didiknya yang berlatih tetap serius dan disiplin dalam belajar. Berbeda dengan putri semata wayangnya itu. Anak gadisnya mengajar dengan sangat sabar dan wajahnya dipenuhi keceriaan.
Sanggar Sekartaji sangat ramai siang itu. Banyak anak belajar dengan giat dan bahagia. Tidak mengenal namanya arus globalisasi maupun budayanya. Hanya tahu budaya mereka adalah yang sedang mereka pelajari. Budaya yang memiliki nilai-nilai adi luhung, nilai yang sangat tinggi untuk menanamkan karakter luhur. Cerminan bangsa timur yang memiliki kearifan lokal. Identitas bangsa sebagai busana yang akan menjaga dan melindungi penerus negeri ini dari penjajahan budaya asing.
Anak gadis Pak Wibi tersenyum ke arah ayahnya. Ada binar-binar keceriaan terpancar dari mata gadis bernama Srikandi. Nama salah satu tokoh pewayangan yang sangat terkenal sebagai panglima perang wanita yang gagah berani.
Pak Wibi ingin anaknya suatu saat nanti menjadi seperti Srikandi yang gagah berani meneruskan warisan luhur nenek moyangnya. Maju ke garis depan untuk berperang. Bukan hanya sekedar perang menghabisi lawan. Tetapi berperang melawan derasnya budaya arus globalisasi yang tidak sesuai dengan budaya kita.
Sri biasa gadis itu dipanggil. Memiliki banyak deretan prestasi dalam hal kesenian terutama bidang seni tari. Dia memiliki bakat yang luar biasa dalam menari tradisional. Siapapun yang melihatnya menari, akan terhanyut dalam tariannya. Gerak tubuhnya sangat luwes. Di rumahnya dipajang deretan piala ketika mengikuti lomba tari. Semua karena hasil kerja kerasnya.
“Pak, ayo kita coba satukan tarian dengan iringan musik gamelannya.” Kata Sri mengajak ayahnya berkolaborasi.
Pak Wibi tersenyum dan mengangguk. Lalu meminta anak-anak untuk berlatih serius. Tak berselang lama. Tarian dan musik gamelan berpadu. Semua melakukannya dengan gembira dan penuh senyuman seperti tidak ada beban. Meskipun masih anak-anak dan belum sempurna dengan baik hasilnya. Tetapi mereka terlihat ceria dan semangat melakukannya. Sesekali Pak Wibi bersikap keras membetulkan mana saja yang perlu diperbaiki. Sedangkan Sri dengan sabar dan telaten memperbaiki tarian anak-anak yang masih kurang sesuai.
Kemudian Sri memberikan contoh dengan menari. Semua anak yang masih berusia belasan itu terkagum melihatnya. Pak Wibi mengangguk dan tersenyum bangga melihat anaknya menari dengan sepenuh hati.
"Anakku Sri, kamulah penerus bapak nantinya. Menjaga warisan luhur ini." Batinnya penuh kebanggaan.
Suara riuh tepuk tangan mengiringi berakhirnya Sri menarikan tariannya. Sri tersenyum ke arah ayahnya. Pak Wibi membalas senyuman Sri penuh rasa bangga. Sesaat kemudian senja kala mulai terpancar dari ufuk barat. Langit sore terlihat kekuningan. Sang raja surya mulai kembali keperaduannya. Beristirahat dan kembali keesokan harinya memberikan kehidupan bagi setiap makhluk di bumi. Begitu juga anak-anak yang berlatih juga pulang, menyisakan Pak Wibi dan anak gadisnya. Mereka berdua duduk berdampingan. Pak Wibi memberikan segelas air minum untuk anak kesayangannya ini.
“Bapak bangga padamu nak.” Kata Pak Wibi sambil mengelus lembut kepala anaknya.
“Pak, jangan bangga dan puas dulu dengan hasil yang sekarang. Sri
memiliki mimpi yang besar. Sri ingin meraih bintang di langit. Meskipun
harus bekerja keras, Sri tidak ingin menyerah. Ingin menunjukkan pada
dunia luar bahwa kita memiliki budaya yang tak kalah hebatnya dengan
budaya mereka. Sri sangat ingin menggugah generasi muda negeri ini untuk pada budaya kita sendiri. Menjaganya seperti nyawa kita sendiri
karena nenek moyang kita juga sudah bersusah payah menciptakan ini
semua. Sri ingin menari dengan sepenuh hati, menyampaikannya lewat
tarian agar siapapun yang melihat tarian Sri, akan menyadari betapa
berharganya apa yang kita miliki ini. Jadi sampai saat itu tiba, bapak jangan
mengatakan bangga dulu ya.” Jawabnya dengan mata dipenuhi semangat dan berbinar.
“Bapak akan tetap bangga padamu Sri.” Keduanya saling berpandangan dan tersenyum bersama menyambut masa depan kala senja sore itu.
Namun semua itu hanyalah khayalan indah yang tidak akan terwujud. Pak Wibi seperti terbangun dari mimpinya. Sri anak kebanggaannya telah dipanggil yang Kuasa. Sri meninggal tertabrak mobil setelah melarikan diri dari orang mabuk yang berusaha berbuat jahat padanya. Bahkan sampai akhir, saat jenasahnya di bawa ke rumah sakit, dia memeluk erat selendang tari miliknya. Sri mengalami kejadian naas sesaat setelah selesai berlatih tari. Dia berlatih keras hingga malam karena akan mengikuti lomba yang sangat penting. Demi masa depan dan harapan yang dia cita-citakan. Juga impiannya meraih bintang.
Saat mengetahui anaknya meninggal secara tragis. Dunia Pak Wibi seolah-olah gelap dan hancur. Semua harapannya hilang seketika. Semangat hidupnya, mimpinya seperti musnah tertelan Bathara Kala.
Sejak saat itu sanggar Sekartaji tidak pernah terurus. Seiring berjalannya waktu, arus budaya asing semakin mengikis budaya luhur yang sudah terbangun selama berabad-abad. Mengikis harapan Pak Wibi dan mimpinya. Tetapi Pak Wibi tetap mempertahankan sanggar itu. Meskipun istrinya sudah memintanya untuk menjual sanggarnya. Pak Wibi bersikeras untuk mempertahankannya karena sanggar itu penuh kenangan tentang anak kebanggaannya. Penuh kenangan nafas keceriaan dan tawa anak-anak saat berlatih tari dan musik gamelan. Tidak hanya itu, yang ingin dipertahankan Pak Wibi adalah budaya luhur di dalamnya yang tidak akan pernah hilang. Pak Wibi masih percaya akan ada anak-anak yang akan meneruskan warisan ini. Tiba-tiba sebuah sentuhan tangan membuyarkan lamunannya di masa lalu.
“Pak apa sanggarnya masih menerima murid?” Tanya sebuah sumber suara.
Pak Wibi menoleh ke arah sumber suara. Beliau melihat seorang anak gadis berusia sekitar 10 tahun. Sedang tersenyum ke arahnya. Pak Wibi terpaku sejenak.
“Ya, masih. Ingin belajar apa nak?”
“Menari.” Jawab gadis kecil itu dengan lantang.
Matanya berbinar seolah memancarkan semangat yang tidak akan ada habisnya. Sesaat kemudian Pak Wibi duduk dan melihat anak kecil itu menari dengan luwesnya. Ingatannya kembali melayang pada anak kesayangannya, Srikandi. Melihat anak kecil itu pikirannya kembali menerawang.
"Meskipun sudah sangat lama dan jaman telah berubah. Tetapi akan selalu ada bibit-bibit muda yang akan meneruskan warisan luhur ini. Menjaga dengan hatinya. Menjaga nilai-nilai luhur yang telah diwariskan nenek moyang seperti nafas budaya yang tidak akan pernah terputus. Satu bibit muda akan berkembang menjadi bunga, satu nafas budaya akan menjadi identitas bangsa.
Bersama-sama menjaga warisan budaya agar tidak pernah hilang ditelan jaman." Narasi Pak Wibi.
Pak Wibi tersenyum ke arah anak kecil itu. Si anak kecil juga tersenyum bahagia. Matanya mencerminkan semangat dan kebahagiaan. Mewujudkan mimpi luhurnya. Meraih asa menggenggam budaya.
∞∞∞