"Mas... Semuanya sudah dibawa? Coba dicek lagi..." ujar Bu Yanti pada anaknya.
"Ibu yang ngecek. Mas juga khawatir ada yang ketinggalan." Bara selalu mempercayai setiap hal yang dilakukan ibunya yang teliti itu.
"Sebentar," ujar Bu Yanti kembali membuka-buka map yang sejak tadi dipegangnya. "Sudah--sudah. Ayo berangkat. Inget pesan-pesan ibu, kalau nggak tau jawaban soalnya, jangan berkutat di satu soal itu. Langsung pindah ke soal berikutnya. Denger?" tanya Bu Yanti pada anaknya.
"Iya, dari kemarin itu-itu aja." Bara cemberut.
"Kalau orang tua ngomong itu maksudnya baik," sergah Bu Yanti menepuk bahu anaknya.
"Memangnya Mas harus masuk SMA itu ya Bu? Sebenarnya Mas nggak suka. Jauh..." keluh Bara saat mereka beriringan menuju mobil yang sudah dinyalakan mesinnya sejak tadi.
"Ini sekolah bagus. Kesempatan masuk ke sana juga kecil Mas, percaya ibu. Ini untuk Mas juga. Ibu nggak sembarangan milihin sekolah untuk Mas Bara." Bu Yanti meletakkan map-nya di jok belakang dan memasang seatbelt.
"Iya--iya, jangan ngomel." Bara mencolek pipi ibunya.
"Ck, tangannya bersih nggak?" Bu Yanti melirik sinis pada puteranya.
"Bersih dong," sahut Bara kembali cemberut.
"Kita berangkat sekarang," ujar Bu Yanti memasukkan persneling dan meninggalkan garasi rumahnya.
Hari itu adalah tes masuk ke sebuah SMA Swasta ternama yang jumlah muridnya sangat terbatas. Bu Yanti ngotot ingin Bara bersekolah di sana meski letaknya cukup jauh dari rumah. Wanita itu mengatakan pergaulan di sekolah itu akan menuntun Bara masuk ke universitas favoritnya nanti.
Pak Wirya suaminya relatif santai soal pendidikan. Meski sama-sama seorang psikolog yang harusnya menerapkan pendidikan lebih naluriah memakai perasaan, Bu Yanti tetaplah seorang ibu yang menginginkan hal terbaik untuk anak-anaknya.
"Ya sudah, masuk sana. Kartu ujiannya jangan tercecer. Ibu duduk di situ ya..." Bu Yanti menunjuk sebuah warung kopi kecil yang terletak di seberang SMA Swasta itu.
Bara mengangguk kemudian melambai dan bergegas masuk ke ruangan yang nomornya tertera di kartu.
Bu Yanti memesan sebotol minuman dan duduk melipat kakinya dengan anggun di warung kopi itu. Beberapa orang tua calon siswa tampak saling bertegur sapa dan menceritakan sepotong dua potong cerita soal anak mereka.
Bu Yanti bukannya sombong atau enggan bergabung. Tapi memang waktunya sedikit padat dibanding orang tua murid lain.
Saat itu Bu Yanti baru mengajar di dua universitas swasta sekaligus. Dan saat itu para mahasiswa sedang sibuk dengan skripsinya. Waktu yang dimiliki terbagi mengurusi mahasiswa di dua tempat sekaligus anak-anaknya di rumah.
Lewat tengah hari, Bara keluar dari ruangan tes dan berjalan menuju warung kopi menemui ibunya.
"Sudah selesai? Gimana? Bisa? Soalnya sulit?" cecar Bu Yanti pada puteranya.
"Soalnya mudah. Jawabannya yang sulit," sahut Bara tertawa.
PLAKK
Bu Yanti menepuk bahu anaknya. "Ibu serius," ucapnya.
"Bisa kok... Udah ah. Mas laper. Ibu mau ngajak makan di luar kan?" tanya Bara berharap. Ibunya jarang memiliki waktu bersamanya lebih dari dua jam di hari-hari kerja.
"Ibu anter pulang, Mas makan di rumah aja ya..." bujuk Bu Yanti. Bara melemparkan tatapan kecewa.
Bu Yanti berdiri dan menarik nafas panjang.
"Ibu pasti bakal terlambat masuk ke kelas. Ibu nggak suka ditunggu. Tapi ya sudah, ayo kita makan dulu." Bu Yanti meringis silau karena cahaya matahari tengah hari.
Bara yang tubuhnya sudah lebih tinggi dari sang ibu, merangkul bahu wanita yang melahirkannya itu menuju mobil yang diparkir di tepi jalan.
Ibu dan anak itu menghabiskan waktu sejam lebih menikmati makan siang di sebuah restoran masakan Sunda. Topik pembicaraan siang itu tak jauh-jauh dari soal tes masuk SMA favorit tadi.
"Kalau Mas keterima di SMA itu, Mas beli motor gede boleh nggak?" tanya Bara.
"Beli motor gede gimana? Jangan macem-macem. Umur Mas belum cukup," tukas Bu Yanti bangkit dari duduknya.
"Motor gede Bu, biar keren. Mas suka," ujar Bara.
"Mas Bara baru 15 tahun, nanti aja kalau udah cukup umur dan ada SIM. Ayo ibu anter pulang. Ibu ada kelas." Bu Yanti menyeret lengan Bara agar cepat-cepat bangkit dari duduknya.
Dan seperti dugaannya selama ini, Bara adalah anak yang pintar meski harus sering-sering diingatkan. Bara mudah lalai dan sering anggap sepele dengan hal-hal yang dianggapnya mudah.
Hasil tes masuk SMA itu keluar seminggu berikutnya dan Bara dinyatakan lulus. Bu Yanti yang melihat hasil pengumumannya melalui website, mengibas-ibaskan selembar kertas yang sudah diprintnya di kantor.
"Tuh bener... Lulus kan? Apa ibu bilang, Mas pasti bisa."
"Tapi sekolah di sana jauh," sahut Bara dengan mimik tak tertarik. Dan nyatanya ia memang tak tertarik. Ia biasa saja.
"Ibu yang antar setiap pagi. Searah kok dengan sekolahnya Sukma." Bu Yanti mencubit pipi Bara yang tengah sibuk menatap layar televisi memainkan satu game di PlayStation-nya.
"Tapi harus bangun lebih pagi," keluh Bara lagi. Sebenarnya ia memiliki satu sekolah favoritnya sendiri. Di sana ada Disya. Teman wanita yang disukainya saat berada di bangku SMP.
Tiga bulan terakhir masa SMP-nya, Bara berhasil membujuk Pak Wirya untuk menjemput Disya untuk berangkat sekolah bersama. Masa-masa itu adalah masa paling indah dalam awal kehidupan remajanya.
"Sukma aja nggak pernah ngeluh, masa Mas-nya lebih kayak anak kecil. Heran, ngikutin kemauan ibu sekali-kali tanpa protes Mas..." sungut Bu Yanti.
"Iya--iya, Mas nggak protes lagi." Bara tersenyum mengedipkan matanya pada sang ibu. Ia takut ibunya kecewa dan ngambek. Wanita itu bahkan belum meletakkan tasnya sejak pulang kerja barusan.
Dan Disya kemudian berubah menjadi kenangan nama seorang anak perempuan yang telah mengiriminya sebuah CD kompilasi yang direkam sendiri.
Bara selalu menuruti apa kemauan ibunya. Ia sangat menyayangi wanita itu. Lagi pula anak mana yang tak menyayangi ibunya terlebih jika diberikan berbagai hal baik dan tercukupi.
Masa SMA adalah masa Bara mengekspresikan dirinya. Ia terpilih menjadi ketua OSIS karena predikat ketenaran. Kepintaran Bara sebenarnya hanya sedikit di atas rata-rata saja. Tapi tampilannya yang cuek dan jomblo semasa SMA membuat polling suara para siswi banyak berpihak padanya.
Bara tak memiliki pacar tetap jaman itu. Ia hanya beberapa kali keluar untuk menonton ke bioskop dan duduk di cafe bersama tiga siswi adik kelasnya dan seorang siswi seangkatan.
Ciuman pertamanya terjadi di masa SMA. Saat itu Bara yang sudah menjabat sebagai ketua OSIS merasa tak enak badan dan menyeret langkahnya ke ruang UKS. Pagi menuju siang itu, ia hanya ingin berbaring sebentar setelah menelan sebutir obat demam. Meminta orangtuanya menjemput di jam-jam kerja dirasanya sedikit merepotkan. Jadi Bara memutuskan menunggu jam sekolah berakhir untuk pulang seperti biasa.
Namanya Afni. Adik kelas Bara. Murid manis memakai kacamata minus dan rambut yang panjang lurus. Afni memang pengurus organisasi UKS di sekolah mereka. Jam istirahat kedua siang itu, Afni membawa dua lembar sarung bantal pengganti.
Afni mendekati Bara yang meletakkan tangannya di atas kepala. Siswi itu sepertinya sedang berpuas-puas memandang kakak kelasnya yang tampan dan selalu memproklamirkan dirinya sebagai seorang cowok tanpa pacar.
Bara yang setengah terlelap segera menyadari ada orang lain di ruangan itu. Sejak dulu telinganya selalu tajam. Ia tak bisa tidur atau segera terbangun jika ada suara berisik sedikit saja.
Bara membuka matanya dan langsung bersitatap dengan Afni.
"Ngeliat apa?" tanya Bara. Afni yang tertangkap basah seketika gelagapan.
"Nggak kok Kak, Maaf..." sahut Afni otomatis bergerak menjauh. Bara menangkap tangan adik kelasnya itu.
"Aku cuma tanya, kamu liat apa? Kalo mau ngeliat deket-deket juga nggak apa-apa." Bara semakin menarik lengan Afni untuk mendekatinya.
Dengan tubuhnya yang masih berbaring, Bara menarik Afni dan mencium bibir adik kelasnya itu. Afni tak menolak dan ciuman mereka cukup lama. Bara memanfaatkan aji mumpung itu. Afni bukan gadis tenar. Siswi itu tergolong cukup kalem dan tenang. Meski berwajah manis, pergaulannya tidak luar biasa. Gadis itu hanya memiliki dua teman dekat. Dan dua orang teman dekat Afni itulah yang mengetahui kalau Bara memacari sahabat mereka.
Setelah mengenal Afni, Bara kemudian mengetahui kalau pacarnya itu tumbuh besar tanpa seorang ayah. Ibunya adalah seorang single mother yang saat itu kurang diamati penyebabnya oleh Bara. Hubungan masa remaja tak membuat Bara sibuk mencari tahu soal latar belakang itu. Yang ia tahu hanyalah bisa berduaan dengan Afni setiap saat setiap waktu.
Ibu Afni memiliki usaha berjualan kosmetik di sebuah steling kaca yang menyewa sebuah sudut di depan minimarket. Setiap pulang sekolah, Afni selalu mampir ke sana. Dan Bara yang ingin bertemu Afni tak sungkan-sungkan meminta ayah atau ibunya menyinggahi gadis itu dengan membawa sebungkus dua bungkus makanan.
"Bu, Mas kuliah di kota ini aja ya... Jangan jauh-jauh. Mas nggak mau jadi anak kos." Itu sebenarnya hanyalah sebuah alasan belaka. Bara berniat melanjutkan hubungannya dengan Afni hingga tamat SMA.
"Mas harus coba semuanya sampai titik akhir kemampuan. Jangan belum apa-apa udah ngomong nggak mau kuliah di sana, di sini. Bener nggak Yah?" tanya Bu Yanti pada Pak Wirya yang menunduk di atas korannya.
"Soal itu Ayah setuju dengan ibu ya Mas... Mas Bara harus jadi contoh untuk Sukma. Masih usia belasan, semua kesempatan harus dicoba."
"Tapi aku khawatir kalau kuliah di luar kota bakalan jauh dengan Afni..." tukas Bara dengan polosnya.
"Ni anak yang dipikirin pacaran terus. Masih SMA ya Gusti..." kesal Bu Yanti. Pak Wirya tertawa terbahak-bahak. Bara melemparkan tatapan kesal pada Sukma yang ikut-ikutan terkikik geli.
Bara selalu merasa ibunya selalu menjauhkannya dari sesuatu hal yang sangat disukainya. Meski sedikit berat, Bara mengisi berbagai formulir yang disodorkan ibunya. Ia mencoba semua jenis kampus yang diminta ibunya.
Dan akhirnya, di usia 18 tahun Bara dan Bu Yanti sedang termangu-mangu menatap layar komputer yang menampilkan nama calon mahasiswa yang lulus seleksi.
Mata wanita itu berbinar, dan melirik anaknya. Nama Bara tertera dalam daftar calon mahasiswa di sebuah universitas negeri nomor satu yang terkenal salah satunya dengan fakultas ilmu komunikasi.
Bara memang bercita-cita menjadi seperti eyangnya. Wartawan senior yang merintis usaha membuka sebuah kantor berita. Ia sering diajak memotret dan akrab dengan berbagai alat fotografi sejak kecil.
"Bener kan? Apa yang ibu bilang, Mas itu kalau yang begini-begini harus terus menerus diingatkan. Mas harus konsentrasi dengan cita-cita dulu. Cinta itu bisa menyusul belakangan. Lagian anak Ibu banyak yang suka. Nanti gampang, Mas tinggal milih aja." Bu Yanti merangkul pundak Bara dan memijat-mijat bahu puteranya itu.
"Mas beli motor gede ya Bu..." rayu Bara pada ibunya.
"Motor gede lagi," gumam Bu Yanti bangkit dari kursinya.
"Mas udah punya SIM, masak gak boleh naik motor ke kampus."
Bu Yanti mengabaikan hal yang diminta anaknya. Ia tak ingin membahas hal itu lebih lanjut untuk mencegah harus memberi jawaban. Jika ditanya, ia tetap tak setuju. Masih mending ia mengeluarkan uang untuk membelikan Bara sebuah mobil terbaru ketimbang harus membeli sebuah motor dengan CC besar. Anak muda doyannya ngebut. Bu Yanti tak siap menghadapi akibat dari permintaan Bara itu.
Setahun berkuliah di kampusnya, hubungan Bara dan Afni semakin renggang. Gadis itu memilih tak melanjutkan pendidikannya sampai ke jenjang kuliah. Alih-alih mendukung pendidikan Bara, Afni malah menantangnya untuk menikah muda.
Untuk hal itu, Bara tak perlu menanyakannya pada ayah ibunya. Ide itu terdengar konyol dan tak masuk akal dalam keluarganya. Bara bukan hanya khawatir ditolak mentah-mentah. Ia juga khawatir dicemooh jika melontarkan ide itu.
Bu Yanti yang mengamati bahwa Bara akhir-akhir ini lebih sering berada di rumah menerima kenyataan itu dengan hati gembira. Bara akhirnya putus dari Afni tanpa intervensinya. Dia memang tak pernah setuju atas hubungan yang dianggapnya cinta monyet sesaat itu.
Suatu pagi di hari Minggu, Bu Yanti sedang meracik bumbu untuk masakan yang spesial dimasaknya sendiri untuk suami dan anak-anaknya di akhir pekan.
Tiba-tiba Bara yang duduk di bangku kuliah tingkat dua mendekati dan memeluknya dari belakang.
"Bu, aku boleh beli motor nggak? Aku udah 20 tahun lho Bu, masak udah gede gini tetep nggak dibolehin naik motor." Bara membuat kegiatan Bu Yanti berhenti seketika. Putera sulungnya itu menunduk dan meletakkan dagu di bahunya.
"Berat ah, ibu mau masak..." ujar Bu Yanti mengedikkan bahunya pelan.
"Boleh ya Bu... Aku kan udah jadi anak baik dan menuhin semua yang ibu bilang. Boleh ya Bu..." rayu Bara. Ibunya masih diam bergeming.
"Kan udah ada mobil," sahut Bu Yanti agar Bara melupakan ide konyolnya.
"Tapi Mas pengen motor gede. Mas udah ada brosurnya, tiap malem Mas liatin. Pengen Bu..." Bara kembali membebani bahu ibunya dengan dagu.
Dan Bu Yanti yang mendengar Bara kembali menyebut dirinya dengan 'Mas' mulai terusik. Hampir dua tahun putera sulungnya itu tak menamai dirinya dengan sebutan 'Mas' saat berbicara dengan orangtuanya. Padahal dulunya, Bara bisa mengambek jika ada yang lupa dengan sebutan itu.
"Memangnya mau beli warna apa?" tanya Bu Yanti akhirnya.
"Lagi naksir yang warna hijau. Boleh kan? Mas ada tabungan dari hasil magang di kantor Eyang. Gak pake uang ayah-ibu semua. Tambahin aja. Boleh kan?" tanya Bara lagi.
Bu Yanti mengangguk. Ia tak sepenuhnya setuju, tapi bujukan Bara harus mendapat jawaban. Sedangkan untuk langsung mengiyakan dengan kata-kata, ia masih sedikit berat.
"Makasih Ibu... Mas sayang ibu pokoknya!" Bara memeluk Bu Yanti dan mengecup pipi wanita itu.
Bara tak pernah macam-macam. Ia adalah sosok anak yang mudah dikontrol meski terkadang kemauannya sangat keras dan naif.
Dan hal itu terjadi pada saat Bara telah selesai menamatkan studi S1-nya. Bu Yanti bersikukuh Bara sebaiknya langsung melanjutkan ke jenjang magister. Tapi puteranya itu berhasil menolak keinginan ibunya dengan beralasan ingin memperdalam ilmunya dengan berpraktek langsung.
Bara melamar pekerjaan sebagai reporter kriminal di kantor Eyangnya sendiri. Dengan gigih ia berpanas-panasan mengejar berita kriminal pertamanya. Meski awalnya itu ditentang oleh ibunya, Bara berhasil menunjukkan kemampuannya di bidang itu. Bara dengan cepat menjelma menjadi seorang pria dewasa dan wartawan yang tangkas. Bara juga supel di kantornya.
Di masa awal bekerjanya di kantor itu, tak ada satupun yang mengetahui bahwa ia adalah cucu pemilik perusahaan. Namun bukan gosip namanya jika tak mudah menyebar dari mulut ke mulut. Suatu hari di masa bekerjanya yang kedua tahun, pegawai kantor itu mulai terlihat lebih sungkan memerintahnya. Perlahan beberapa pegawai mulai menjaga jarak aman untuk tidak menggunjingkan soal manajemen kantor bersama Bara.
Dan memegang prinsip sudah kepalang basah, Bara menikmati semua hal itu dan melakukan hal yang sebelumnya tak pernah ia lakukan. Ikut memerintah pegawai tertentu yang dulunya bersikap sangat bossy padanya. Kapan lagi ia bisa membalas, pikirnya.
Di usia 25 tahun, Bara kembali didesak Bu Yanti untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang magister.
"Kalau nggak selesai S2, nggak boleh nikah. Entar bakalan nggak selesai karena males. Udah leyeh-leyeh aja di rumah sama anak-isteri. Denger ya Ra... Ibu serius." Bu Yanti menatap tajam puteranya yang mengedikkan bahu dengan santainya.
"Iya--iya, ibu santai. Aku belom ada keinginan buat cepet-cepet kawin," ujar Bara terkekeh.
"Awas aja pokoknya," sambung Bu Yanti.
Pak Wirya yang menyimak percakapan di meja makan itu hanya tertawa mendengar perseteruan isteri dan putera sulungnya yang memang sering terjadi.
Meski dengan malas-malasan, Bara kembali mendaftarkan dirinya ke sebuah universitas swasta ternama. Bukan universitas tempat di mana ada ayah dan ibunya. Bara tak mau. Ia tak ingin terkenal dan dipermudah hanya karena ayah dan ibunya adalah seorang tenaga pengajar di tempatnya menuntut ilmu.
Di usia 27 tahun, kelas Bara dihebohkan dengan seorang dosen muda cantik bernama Joana. Banyak yang mengatakan Joana cantik dan anggun. Bara yang belum pernah bertemu dengan dosen wanita muda itu, belum bisa memberikan pendapat. Ia masih jarang masuk kelas karena sering meliput berita ke luar kota. Hal itu yang membuat studi magisternya tersendat-sendat.
Dan suatu sore, Bara yang tiba terlambat di kelas dosen muda itu mengetuk pintu kelas dan masuk seperti biasa. Tapi mungkin dosen bernama Joana itu tak terbiasa diabaikan. Ia memanggil Bara dan mulai menanyainya macam-macam. Pertanyaan itu seputar dari mana asal kampusnya dulu, kenapa terlambat dan jarang mengikuti kelasnya, sampai ke soal pekerjaan Bara. Meski sedikit mendongkol, Bara menjawab semua pertanyaan itu dengan santai.
Ketidakpedulian Bara soal makhluk-makhluk di kampusnya kembali membuat kaum hawa penasaran. Fisik Bara yang menonjol dan motor gede berwarna merah mentereng membuatnya mudah dikenali.
Dan dari mulut ke mulut pun mulai tersebar soal pekerjaan dan latar belakangnya. Ia adalah putera sulung Dr. Wirya Satyadarma S.Psi, MS/AT, MFCC, DCH., Psikolog. Seorang psikolog klinis yang saat itu menjabat sebagai seorang rektor universitas swasta bergengsi lainnya di kota mereka.
Joana mulai lebih ramah pada Bara dengan mulai memintanya melakukan hal-hal sepele seperti membawakan ini-itu ke ruang dosen agar bisa bertemu dan mengobrol.
Saat itu, Bara tak tertarik. Sore sebelumnya Bara baru saja masuk ke sebuah mobil Mini Cooper berkaca gelap milik seorang wanita cantik mahasiswi S1 yang sudah pontang-panting mengejar cintanya. Namanya Mega.
Wanita berusia 22 tahun anak orang kaya yang manja. Tapi cantik dan sangat terawat. Mega sedikit merong-rong Bara untuk kejelasan status hubungan mereka setelah pertama kali mereka berciuman.
Bagi Bara, berciuman itu tak berarti pacaran. Ia menyukai Mega karena wanita itu cantik. Tapi menghadapi sikap manja yang terkadang dinilai Bara terlalu berlebihan itu adalah hal yang berbeda. Mega terlalu biasa pikir Bara. Apalagi tangan wanita itu sangat ramah menggerayanginya tiap mereka berciuman.
Bara menikmati ciuman-ciumannya bersama Mega. Sambil menajamkan ilmu dan kepiawaiannya soal wanita, Bara bahkan beberapa kali memijat lembut dada wanita itu saat mereka bermesraan di dalam mobil. Dan Mega selalu berhasil membuat kelelakian Bara tegak seketika dengan membelai bagian luar celana jeansnya.
Bercumbu bersama Mega adalah hal mengasyikkan. Bara merasa pengalamannya bertambah soal keinginan wanita. Namun untuk melanjutkan hubungan itu sampai ke jenjang pacaran yang lebih serius, sepertinya Bara tak berniat. Ia masih terlalu sibuk.
Di sela-sela kesibukan Bara menjadi seorang wartawan kriminal yang setahun belakangan berkeliling dan nongkrong dari satu Polsek ke Polsek lain, ia menjadi lebih dekat dengan ayahnya.
Sejak pensiun menjadi seorang rektor, Pak Wirya aktif mengurus beberapa LSM yang mengurusi soal mental illness. Penyakit mental yang sering menimpa kaum urban tanpa disadari.
Berawal dari keprihatinan Pak Wirya terhadap kasus kekerasan pada wanita dan anak yang kian terus meningkat, mantan rektor itu gencar terlibat pada kasus-kasus spesial yang membutuhkan perhatian lebih. Kasus terberat yang pernah dihadapinya adalah mendampingi seorang bocah perempuan berusia 12 tahun yang menjadi korban nafsu bejad ayah kandungnya.
Dan saat hal itu sedang berlangsung, Pekerjaan Pak Wirya hanyalah seorang dosen di satu universitas swasta saja. Ayah Bara itu mengatakan ingin meluangkan waktu lebih banyak pada anak cucunya di masa tua. Jadilah setiap malam jika tak ada pekerjaan di luar, Bara menemani ayahnya menonton televisi atau bermain catur santai di ruang makan.
Sukma, adik perempuan Bara yang telah menikah saat itu telah tinggal di rumah berbeda karena diboyong suaminya. Bara seketika menjadi anak tunggal. Anak tunggal dengan beban menyelesaikan magister secepatnya.
Suatu malam yang santai, Bara tengah asyik menonton discovery channel tentang bagaimana kapal penangkap ikan luar negeri sedang memanen hasil laut di lepas pantai. Bel pintu depan berbunyi dan Mbak Ami tergopoh-gopoh membuka pintu ruang tamu yang jarang dinyalakan lampunya.
"Hei... Jadi datang juga rupanya. Ayo masuk, kita ngobrol di mana?" tanya Bu Yanti pada seseorang yang masuk ke ruang tamu.
"Santai aja nggak apa-apa. Nggak mesti di ruang tamu juga," jawab suara seorang wanita.
"Ayo di sini aja, di ruang televisi. Sekalian ketemu Bara," ujar Bu Yanti. Mendengar namanya disebut, Bara berjengit dan menoleh. Ia ingin melihat siapa yang menjadi teman bicara ibunya.
Dan setelah menoleh, ia sedikit terperangah. Itu adalah Joana. Dosennya di kampus. Ada urusan apa pula wanita itu tiba-tiba datang ke rumahnya. Oh, mungkin hanya sekedar berurusan dengan ibunya. Itu hanya kebetulan, pikir Bara.
Tapi ternyata itulah awal Joana mendekati Bara. Melalui wanita yang melahirkan pria yang disukainya. Bekerja dalam bidang yang sama membuat Joana dengan mudah mencari alasan untuk menyambangi rumah Bara.
Bu Yanti tentu saja senang. Bara berusia 27 tahun dan belum menikah. Pacar pun tak dimiliki oleh puteranya itu. Kehadiran Joana yang awalnya ingin bertukar pikiran sebagai seorang tenaga pengajar wanita dengan cepat berubah menjadi ingin bercengkrama dengan Bara.
Sebagai seorang wanita, Bu Yanti menghargai usaha Joana. Wanita itu gigih meski seringnya Bara tak peduli. Jika Bu Yanti menanyakan alasan Bara mengabaikan kehadiran Joana, puteranya itu hanya mengangkat bahu. Tak ada rasa apa-apa katanya.
Beberapa kali Joana hilang timbul kabarnya. Terkadang dalam satu waktu wanita itu sering menghubungi Bu Yanti untuk menanyakan kabar. Namun di lain waktu, Joana seperti lenyap.
Bu Yanti membayangkan bahwa sosok Joana sangatlah pas mendampingi puteranya. Joana cantik dengan bentuk tubuh yang pasti disukai tiap laki-laki. Berulangkali Bu Yanti berusaha mengajak Bara melakukan sesi curhat hati ke hati untuk memotivasi anaknya itu soal mencari pendamping hidup, tapi Bara selalu berkilah. Katanya ia sibuk dan belum ada waktu.
Menggantikan rasa kesalnya diabaikan, Bu Yanti merongrong Bara untuk segera menyelesaikan magisternya. Sejak dulu, Bara selalu santai jika tidak diuber-uber. Bu Yanti bukan mempermasalahkan penghasilan Bara. Putera sulungnya itu sudah cukup berduit meski bukan kaya yang melimpah ruah.
Bara memperoleh hasil dari pembagian saham kantor berita milik eyangnya. Ia juga bekerja dan memiliki gaji cukup lumayan. Dan lagi... warisan yang diberikan ayahnya lebih dari kata lumayan.
Bu Yanti hanya ingin Bara memenuhi standar yang telah ditetapkannya jauh sebelum menikah. Ia ingin anak-anaknya kelak memiliki pendidikan minimal magister. Ia akan lebih tenang melepas anak-anaknya menjalani kehidupan sendiri.
Kehadiran Joana muncul di rumah mereka tak menggerakkan hati Bara. Hal itu mulai membuat Bu Yanti berpikir mungkin anaknya memang belum ingin menikah. Ia mulai menerima hal itu, sampai suatu malam Bara pulang dengan wajah cemas.
Bara adalah seorang anak dan laki-laki yang tak pernah pintar menyembunyikan sesuatu. Rautnya selalu mudah ditebak. Ia kecewa, marah, sedih ataupun bahagia, seisi rumah pasti mengerti. Terlebih kedua orangtuanya adalah akademisi di bidang ilmu pengetahuan yang sama, psikologi.
"Kenapa? Kok kamu cemberut? Mikirin apa?" tanya Bu Yanti pada Bara di meja makan.
"Aku ketemu subjek untuk penelitian tesisku. Perempuan, janda anak satu. Korban kekerasan mantan suaminya. Tadi aku baru nyampe, abis parkirin motor trus ngeliat laki-laki nyeret perempuan gitu. Dari pagar samping keliatan jelas. Jadi aku ikutin sampe ke depan. Awalnya aku kira itu keributan antar saudara kandung. Abis perempuannya masih muda banget. Eh taunya, mantan isteri." Bara menghempaskan tubuhnya di salah satu kursi meja makan. Dahinya mengernyit dan wajahnya terlihat sangat serius.
"Memangnya kenapa?" tanya Bu Yanti penuh selidik. Bara tak pernah terlihat seprihatin itu sebelumnya. Sikapnya yang tidak pedulian terkesan cuek memang wajar membuat ibunya bertanya-tanya.
"Kasian Bu, perempuan itu masih muda banget. Badannya terlalu mungil untuk nerima perlakuan kayak gitu. Pelipis dan hidungnya berdarah tadi. Saking penasarannya, aku uber untuk tau namanya. Aku mau jadiin dia subjek penelitian."
"Emang nggak ada orang lain? Jangan berani-beraninya kamu nyampurin urusan orang. Nanti salah-salah kamu bisa ikutan dihajar mantan suaminya," tukas Bu Yanti.
"Ah enggak, aman pokoknya. Ibu tenang aja," sahut Bara.
Firasat tak enak Bu Yanti semakin diperjelas dengan Bara yang didengarnya semakin lama semakin sering menceritakan soal janda satu anak bernama Dijah.
Tanpa Bara sadari, ia terlalu sering menceritakan soal Dijah. Bu Yanti yang merasakan soal itu tak mau menanggapi omongan putera sulungnya. Ia berharap seiring waktu dan tak ditanggapi ketika berbicara membuat Bara kehilangan antusiasnya.
Namun kenyataan berkata sebaliknya. Bara terlihat semakin riang dan bertingkah seperti layaknya ABG yang sedang jatuh cinta. Sering pulang larut malam dan keluar rumah dengan tampilan gaya paling memukau. Meski senang dengan keceriaan Bara, Bu Yanti juga semakin khawatir.
Diam-diam dalam hatinya Bu Yanti berdoa agar Bara tak berbuat macam-macam dengan janda beranak satu yang sedang dekat dengannya itu. Ia merasa tak bisa melarang Bara secara gamblang karena puteranya itu sudah dewasa.
Yang bisa dilakukan Bu Yanti hanyalah mengamati Bara dan menanggapi setiap ucapan puteranya tanpa angin segar tapi berusaha netral di satu waktu. Bu Yanti tak ingin Pak Wirya yang menerapkan sisi demokratis dalam keluarga menjadi dikhianati. Juga ia tak ingin Bara kecewa padanya karena terlalu mendikte.
Bu Yanti memang belum mengenal wanita bernama Dijah itu. Ia hanya mengenal wanita itu secara garis besarnya saja. Bukan tak mau mencoba untuk kenal. Tapi lagi-lagi ia tak ingin memberi angin segar pada Bara. Ia ingin Bara menyadari keinginannya sebagai seorang ibu.
Setelah beberapa lama berpura-pura tuli dan buta dengan kelakuan Bara, suatu malam ia mendengar percakapan puteranya itu dengan kakak sepupunya. Bara yang awalnya ia kira mendapat kecelakaan motor biasa ternyata korban pengeroyokan oleh sejumlah oknum preman suruhan mantan suami wanita bernama Dijah itu.
Hati Bu Yanti sakit bukan kepalang. Malam itu juga ia menyatakan ketidaksetujuannya akan hubungan Bara dengan wanita itu. Ia tak rela Bara yang bahkan tak pernah lecet karena naik sepeda kini harus babak belur dipukuli orang lain. Ibu mana yang terima. Apalagi hal itu hanya karena seorang janda. Sebutan yang sudah telanjur salah stigmanya di masyarakat.
Dengan wajah penuh kepiluan dan permohonan, malam itu Bara mengatakan serentetan kalimat yang tak bisa dijawab Bu Yanti.
"Bulan depan aku sidang Bu, akhir bulan depan aku magister. Aku udah penuhi janjiku. Tapi aku juga minta, jangan mengadili Dijah sebelum ibu kenal dia. Dia udah cukup menderita dengan penghakiman orang-orang. Dijah gak tau kalo aku luka karena mantan suaminya. Dijah gak salah Bu. Kasi aku waktu untuk buktiin ke Ayah, buktiin ke Ibu, kalo pilihanku gak salah." Bara mencondongkan tubuh untuk menggenggam tangannya.
"Aku sayang Ibu. Aku juga pasti mau ngasi ibu menantu yang baik. Bukan yang asal-asalan. Jadi Ibu percaya aku ya..." sambung Bara lagi.
Bu Yanti tak tahu harus menjawab apa. Perkataan Bara terlalu manis dan mampu menenangkan hatinya.
Sekali lagi, Bu Yanti berharap bahwa Bara hanya memiliki perasaan kasihan pada wanita itu. Tak seserius itu pikirnya. Bara pasti memiliki selera yang lebih baik lagi. Yang menyukai puteranya itu tak sedikit pastinya. Bara tampan. Pembawaan sikapnya sebagai seorang pria dewasa sangat memesona. Bu Yanti sadar akan hal itu.
Jadi ia merasa bahwa Bara pantas mendapat seorang wanita yang memiliki modal lebih dari sekedar manis dan perlu dikasihani.
Beberapa Minggu diam seraya mencoba mengabaikan, Bu Yanti harus menyerah pada tembok pertahanannya. Suaminya sudah ikut campur tangan mengambil alih urusan Bara dan wanita yang bernama Dijah itu.
Wanita sederhana dan bisa dibilang bukan apa-apa tapi mampu memporak-porandakan kehidupan siang-malam puteranya.
Bara terlihat murung. Pergi dan pulang kerja dengan waktu yang tak tentu. Dan puteranya itu sering melamun dan tak fokus tiap diajak berbicara. Bara tak pernah begitu sebelumnya.
Bara baik pada semua orang. Bisa dibilang di usianya yang sudah 28 tahun, Bara masih naif menilai pribadi orang lain. Bu Yanti hanya tak ingin Bara menyesal telah menambatkan hatinya pada seorang wanita dengan terburu-buru. Tak usah pacaran sekarang pun tak apa-apa. Bara hanya fokus pada kuliah dan pekerjaannya itu sudah lebih dari cukup.
Suatu malam setelah berpura-pura tuli beberapa hari, Bu Yanti dibikin berdebar dengan raut serius suaminya yang masuk ke kamar dan mengajaknya berbicara.
Mirip seperti cara Bara mengajak berbicara, suami yang telah menikahinya lebih dari seperempat abad itu duduk sambil memegang tangannya.
“Bu... Bara serius dengan pacarnya. Ayah sudah izinkan. Sekarang ayah mau minta izin ke ibu, untuk beri restu sepenuhnya ke Bara. Biarkan dia mengambil keputusan sendiri. Sebagai seorang ibu, ayah ngerti... Mimpi dan harapan ibu untuk Bara pasti tinggi sekali. Apalagi dia adalah putera sulung. Anak pertama yang hadir dalam keluarga kita. Dia tempat pertama kali ibu mencurahkan kasih sayang seorang ibu. Tapi pada akhirnya nanti, kita tetap akan meninggalkan mereka untuk hidup sendiri-sendiri. Kita bakal meninggalkan dunia ini. Dan harapan terbesar kita pasti cuma mau liat anak-anak kita bahagia bersama keluarganya. Begitu kan Bu?” Suami Bu Yanti itu menunduk untuk memandang wajahnya.
“Jangan pernah merasa gagal menjadi orang tua. Kamu sudah membesarkan dan mendidik anak-anak kita dengan sebaik-baiknya. Kualitas manusia itu nggak bisa dinilai hanya dari jenjang pendidikannya. Itu hanya pendukung Bu... Sejauh ini kamu sudah berhasil mendidik Bara menjadi sosok laki-laki yang baik. Ayah tau apa yang ada di dalam pikiran ibu. Ayah tau... Mari kita liat bagaimana Bara bertanggungjawab atas pilihannya. Dia sudah dewasa. Dia tau kapan harus berhenti atau tetap lanjut. Tetap sayangi Bara.”
Perkataan santun panjang lebar penuh arti mendalam itu serasa mengoyak jantungnya. Bara tak main-main kali ini. Puteranya itu benar-benar berniat menikahi seorang wanita mantan isteri orang lain. Yang tubuhnya berkali-kali dihajar oleh pria lain. Bara ingin menikahinya.
Jantungnya serasa diremas-remas. Bu Yanti tak sanggup lagi menahan air mata kekecewaannya. Seorang ayah yang dikira Bu Yanti bisa menyadarkan anaknya kini malah bertindak seperti pahlawan kesiangan.
Bu Yanti meluapkan amarahnya dengan bentuk raungan. Bagaimana bisa Bara-nya yang tampan dan tak pernah macam-macam itu jatuh cinta dengan begitu naifnya. Ini pasti mimpi pikirnya.
Apa yang dikatakan oleh rekan-rekan sejawatnya kelak. Anggota keluarga dengan serentetan gelar malah bermenantukan wanita yang notabene tak memiliki sesuatu yang bisa dibanggakannya.
Hati Bu Yanti sakit bukan kepalang. Mau mengamuk sejadi-jadinya kepada Bara tapi ia tahu itu percuma. Bara hanya akan semakin terpuruk dan menganggapnya ibu yang jahat kepada anaknya. Ingin mencerca janda yang diinginkan anaknya tapi di waktu yang bersamaan ia juga sadar bahwa Dijah adalah seorang wanita, sama sepertinya.
Siapa yang harus disalahkan? Bara yang terlalu ngotot itu atau wanita yang berhasil mencuri hati puteranya?
Dengan berlinang air mata, Bu Yanti mengangkat wajahnya. Perkataan suaminya itu lebih dari sekedar meminta izin. Itu merupakan permohonan kepadanya. Jadi meski dengan berat hati, ia mengangguk mengiyakan.
Dan hari-hari berikutnya ternyata membawa keriangan dan kemuraman di waktu yang bersamaan bagi Bu Yanti.
Ia senang Bara kembali ceria dan berkasak-kusuk dengan ayahnya ke sana kemari. Tapi di sisi lain, Bu Yanti juga muram. Wanita itu akan dibawa suaminya untuk datang ke acara wisuda magister Bara.
Terima atau tidak terima, Bu Yanti sudah merasa bahwa ia bukan satu-satunya wanita terpenting dalam hidup Bara. Puteranya itu sudah sangat menginginkan sosok wanita lain, selain peran ibu di sisinya.
Dan di hari wisuda magister Bara yang telah dinanti Bu Yanti beberapa tahun terakhir ini, dengan mata kepalanya sendiri ia menyaksikan bagaimana Bara begitu terpukau dengan sosok wanita sederhana yang dibawa ayahnya.
Bu Yanti tak pernah melihat Bara sebahagia itu. Anaknya kembali bersikap seperti remaja yang sedang jatuh cinta. Ia sudah mulai melepas harapannya untuk melihat Bara bersanding dengan Joana atau wanita hebat lainnya.
Dengan senyum pasrah dan penuh kesopanan, Bu Yanti mulai mengajak Dijah yang baru pertama kali ditemuinya untuk memulai obrolan.
Meski Dijah terlihat begitu sungkan dan tatapan mata penuh kekhawatiran, wanita itu bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan sederhananya dengan penuh kesopanan.
Wanita ini terlalu muda untuk jadi seorang janda pikir Bu Yanti. Mengingat cerita Bara soal pemukulan yang dilakukan mantan suami Dijah padanya, hal itu sangat tidak pantas. Hal itu memang sangat tidak pantas.
Ah, andai saja Dijah belum memiliki seorang anak, meski janda mungkin ia lebih bisa menerimanya tanpa sesak di dada seperti ini, batin Bu Yanti.
Di dalam hati, Bu Yanti mulai mencari-cari alasan dan berbagai pembenaran.
Seusai acara wisuda yang dirasa Bu Yanti begitu menyesakkan dadanya, ia merasa harus cepat-cepat pulang ke rumah. Suaminya sudah meminta izin soal Bara, tapi anaknya itu terlihat baik-baik saja tanpa mengatakan sepatah dua patah kata padanya.
Hati Bu Yanti merasa tak enak. Sepertinya Bara memang sudah kurang membutuhkannya lagi sebagai seseorang yang mendampinginya selama ini.
Bu Yanti pulang ke rumah dan berbaring di ranjangnya. Terserah Bara saja, mungkin putera sulungnya memang tak perlu pendapatnya lagi. Bu Yanti terus menerus mengomeli Bara di dalam pikirannya.
Dan ketika sedang kesal karena Bara yang langsung pergi bersama Dijah seusai acara wisuda itu, Pak Wirya kembali mengatakan pada Bu Yanti untuk mempersiapkan makan malam yang spesial.
Bara akan membawa Dijah ke rumah. Sedikit enggan Bu Yanti melangkah ke dapur dan memerintahkan ini-itu kepada dua asisten rumah tangganya. Ia sedang termangu-mangu di dekat sebuah kulkas besar saat sayup-sayup mendengar suara Bara yang datang dari pintu depan.
Ia merasa belum siap menyambut Bara dan calon isterinya. Bu Yanti mengambil sekotak brownies dan mulai memotongnya lambat-lambat agar tak cepat selesai. Ia merasa perlu sedikit lebih lama berada di dapur. Namun saat ia tengah asyik tenggelam dalam pikirannya, suara Bara terdengar masuk ke dapur menyapanya.
Bara menawarkan bantuan di dapur dan secepat kilat diusir Bu Yanti. Apa pula tiba-tiba ingin membantu di dapur. Selama ini puteranya itu adalah tipe pria yang dilayani. Bara biasanya hanya duduk di meja makan sambil berkata, "aku minta makan Bu." Apa karena membawa seorang wanita yang bakal mengecewakannya Bara sekarang bertingkah murah hati.
Saat sedang misuh-misuh di dalam hati, tiba-tiba Bara memeluk tubuh Bu Yanti.
“Aku boleh kan sama Dijah?” tanya Bara seraya melingkari kedua lengan di tubuhnya. Bara menunduk dan menaruh dagu di bahunya.
“Ayah udah ngomong kok ke Ibu." Bu Yanti menghentikan pekerjaannya. Ia tak bisa bergerak karena Bara memeluknya.
“Tapi aku pengen denger dari ibu langsung,” ucap Bara kemudian. “Mas boleh kan nikah sama Dijah?” tanya Bara dengan lembut.
Ucapan lembut Bara meruntuhkan kekesalan dan hatinya yang mendongkol. Bu Yanti merasa teramat sedih karena beberapa hari ini seperti membenci puteranya sendiri. Bara masih memeluknya dari belakang. Bu Yanti juga merasakan kalau Bara mengecup kepalanya.
Bu Yanti memejamkan matanya. Puteranya hanya ingin berbahagia dengan wanita pilihannya sendiri, batin Bu Yanti. Kenapa ia terlalu egois tak bisa berpikir dari sudut pandang Bara. Ia kembali menangis. Menangisi perasaan konyolnya yang sempat berpikir bahwa ia sudah ditepikan Bara.
Setelah menarik nafas panjang dan kalimat tercekat, akhirnya Bu Yanti menjawab, “boleh Mas, boleh... Yang penting Mas bahagia. Ibu ikut bahagia."
Bu Yanti merasa kembali ke puluhan tahun lalu. Saat Bara merayunya untuk dibelikan sebuah motor besar. Bertahun-tahun Bara mencoba meyakinkan orangtuanya bahwa ia pantas dan layak menaiki motor besar itu. Dan Bara tak pernah goyah dengan keinginannya. Ia terus menerus meyakinkan orangtuanya. Hingga akhirnya, meski berat, namun ia selalu memberi izin kepada Bara.
“Makasih Ibu,” ucap Bara masih dengan dagu berada di bahu Bu Yanti. “Sayang Mas ke ibu selalu nomor satu.” Bara kembali mengecup kepalanya.
Meski hanya diam meresapi ucapan Bara, Bu Yanti ingin mengatakan pada puteranya itu. Bahwa meski Bara sulit mendapatkan izin menikahi Dijah, tapi kasih sayangnya juga tak berkurang sedikitpun.
Bu Yanti sekarang hanya berharap, semoga Bara selalu konsisten menyayangi dan merawat sesuatu yang begitu diidam-idamkan dan sangat sulit diperolehnya.
Cerpen selesai.
Total 5528 kata
secarik cerita tentang Bara dan Ibunya.
07.06.2021
05.29
Ini cerpen pertamaku di Noveltoon. Secarik cerita demi menggambarkan perasaan seorang ibu pada anaknya.
Jangan lupa ramaikan kolom komentarnya ya :*