Rani membanting handuknya ke atas kasur. Matanya melotot dengan geraham menggeretak dan bibir mengerut. Tatapan murka dengan wajah marah ia arahkan ke seorang gadis kecil yang berdiri menunduk dengan tangan yang sudah gemetar.
"Sudah Kakak bilang jangan pernah masuk ke sini! Ini bukan tempatmu main!" teriak Rani dengan sangat kasar.
"Maafin Ina, Kak. Ina gak sengaja ...," ucapnya ketakutan. Ina menahan tangis yang sudah akan keluar, ia tahu Rani akan semakin marah bila ia menangis.
"Pergi sana! Bersihin tu kaca! Awas kalo masih ada sisa!"
Ina mengangguk. Segera berjongkok untuk membersihkan kaca dari cermin bedak yang tadi jatuh dari tangannya. Gadis kecil itu sangat penasaran dengan kosmetik yang ada di kamar sang kakak. Ia diam-diam masuk ketika kakaknya sedang mandi, lalu mulai membedaki pipinya sambil tersenyum ketika Rani tiba-tiba datang dan memergokinya. Kotak bedak tersebut langsung ia lempar. Bermaksud melemparnya ke atas kasur, malah terlempar jauh melewati ranjang dan membentur dinding.
Rani masih melotot marah ketika mengawasi Ina mengumpulkan pecahan cermin. Kebenciannya makin menjadi. Melihat Ina mengingatkannya pada sang ayah yang sangat ia benci. Ayahnya yang berselingkuh hingga memiliki anak perempuan, lalu ketika mengalami kecelakaan mobil bersama selingkuhannya tersebut, dan sudah diambang kematian, hal terakhir yang diwariskan ayahnya adalah anak itu.
"Aduh!" Ina berteriak menahan sakit, ketika satu pecahan kaca menggores jarinya yang mungil. Darah mengucur. Gadis kecil itu segera menutupnya dengan tangan satunya.
Pintu terbuka dan Rani melihat ibunya masuk. Menatap Ina dan langsung menjerit melihat jari-jari ina yang merah karena luka.
"Ina! Ya Allah ... sini!"
Bu Wirda segera mengangkat Ina ke atas kasur dan beranjak mengambil kotak p3k yang memang tersimpan di kamar Rani.
"Ina gak papa kok, Bu. Ina memang salah mainin bedak Kak Rani. Ina memecahkan cermin bedak Kak Rani," ucap gadis kecil itu.
Bu Wirda tidak bicara apapun. Hanya terus membalut luka Ina hingga selesai.
"Sekarang, Ina nonton TV aja dulu ya. Tom Jerry udah mulai tuh. Ibu juga barusan buat pisang goreng. Dimakan ya," ucap Bu Wirda.
Ina menggangguk, lalu melorotkan tubuh dari kasur. Namun, sebelum keluar, ia mendekat ke arah Rani.
"Ina minta maaf, Kak. Ina cuma ingin lihat ... soalnya Kakak setiap hari makin terlihat cantik. Ina jadi ingin cantik juga seperti Kakak."
Karena tidak ada respon dari Rani, Ina akhirnya melangkah keluar dengan wajah tertunduk sedih.
"Ran ... bukalah hati kamu untuk adikmu, Sayang." Bu Wirda menatap Rani dengan pandangan memohon.
"Dia bukan adik Rani!" Rani menghempaskan bokongnya ke atas kasur di sebelah ibunya.
Bu Wirda tersenyum. "Ran ... Ibu ngerti perasaan kamu. Jika kamu bertanya bagaimana sebenarnya perasaan Ibu, Ibu lebih sakit, Ran. Tapi itu bukan kesalahan Ina. Ina udah gak punya siapa-siapa selain kita. Hanya ibu, Kamu dan kakakmu Wira. Hanya kita keluarganya. Ibu gak yakin kamu bakal tega nitipin Ina di panti asuhan. Kamu sama dengan Wira, anak-anak ibu yang ibu asuh dengan penuh kasih sayang, yang ibu yakin hatinya lapang dan jiwanya juga besar. Ina adikmu Ran. Kandung. Meski ia lahir dari rahim berbeda. Kamu sudah kelas dua SMU. Udah besar, tahu bagaimana bersikap baik ... udah hampir tiga bulan Rani ... Ina sudah berulang kali mendekati kamu. Dia baru enam tahun. Dia sayang sama kamu Rani ...."
Bu Wirda mengembuskan napas panjang. Melihat Rani yang membuang muka dan hanya diam saja. Ia akhirnya bangkit.
"Ayo kita makan pisang goreng bareng. Ibu buatin teh anget ya." Lalu Bu Wirda berlalu dari kamar itu.
(Dua belas tahun kemudian)
Rani berderap menyusuri lorong rumah sakit. Suaminya setengah berlari mengejar.
"Ma, pelan-pelan dong Ma."
Rani tidak menggubris ucapan suaminya. Ia malah makin mempercepat langkah. Tiba di depan kamar perawatan Bu Wirda, Rani melihat kakaknya Wira sedang duduk di kursi panjang. Wira segera berdiri menyambut Rani.
"Bang, Ibu ...." Rani tidak sanggup melanjutkan kalimatnya, ia menghambur ke pelukan Wira.
"Shhhh ... ibu sudah stabil sekarang, Ran. Bersyukur Ina cepat bertindak dan membawa Ibu ke rumah sakit. Ayo, kita lihat Ibu. Jangan nangis tapi ...."
Rani mengangguk, mengelap air matanya dan mengikuti Wira. Pintu terbuka, Rani melihat Ina duduk di ujung kaki ibunya dan tengah memijit betis ibunya itu.
"Kakak! Bu, Kakak pulang!" Ina bangkit, lalu menyambut Ina. Memeluk Rani dengan wajah gembira. Rani balas memeluk.
Bu Wirda tersenyum bahagia melihat anak-anaknya.
Setelah bercakap-cakap tentang keadaan ibunya, Ina dengan tidak sabar memburu Rani dengan berbagai macam pertanyaan tentang Malaysia, Negara dimana Rani tinggal karena mengikuti tugas suaminya.
Sekarang, ia menjawab pertanyaan Ina satu demi satu. Meneliti wajah gadis itu yang sudah beranjak dewasa. Ada sedikit kemiripan dengan wajahnya. Rani bersyukur, dulu ia cepat mengubah sikap ... gadis kecil itu kini benar-benar menganggap Ibunya seperti ibu kandung. Menyayangi Wira dan Rani layaknya saudara. Ina menjaga ibunya dengan sangat hati-hati, caranya mencintai wanita itu boleh dikatakan bahkan lebih daripada Rani dan Wira.
Pandangan mata Rani tiba-tiba berkaca-kaca.
"Kakak ... kok ... kakak nangis?" Ina berhenti berceloteh. "Maaf, Ina bawel ya ...."
Rani menggeleng. Menghapus airmatanya sebelum jatuh ke pipi.
"Gak, kok, Na. Kakak berterimakasih pada kamu ... kamu udah jaga ibu dengan baik."
"Ina kan anak Ibu, pasti dong Ina jagain Ibu," ucap gadis itu polos.
Rani tersenyum, lalu mengelap hidungnya dengan tisu.
"Kakak kangen sama kamu dan ibu, Bang Wira juga."
Ina mengangguk. "Ina juga kangen. Tapi paling kangen sama Kak Rani. Kalo Bang Wira kan kadang pulang tiap bulan. Kalo Kak Rani jauh banget. Mau ke sana juga gak bisa."
"Kamu mah cuma kangen oleh-oleh Mbakmu aja," sela Wira. Ina terkekeh, mengangkat jempolnya ke arah Wira.
"Mbak Laras masak apa aja jempol, Bang."
Rani ikut tertawa ketika semua orang tertawa melihat Wira yang tersenyum bangga mendengar pujian Ina pada masakan istrinya.
Memandang Ina, sekali lagi Rani ingat kata-kata ibunya dulu.
'Itu bukan kesalahannya. Dia adikmu'
Sebuah senyum terlukis sempurna di wajah Rani. Membenarkan ucapan ibunya itu sekali lagi.
TAMAT
Inspirasi dari seorang ibu hebat yang membesarkan seorang putri dari wanita lain dengan suaminya. Mengambil sudut cerita dari sikap putri kandungnya diawal-awal kedatangan seorang adik asing. Makasih sudah mampir ya.