Malam telah beranjak pergi, mentaripun sudah mulai menampakkan diri, tetapi cahaya kuning sang surya itu tak mampu menembus kamar sepasang laki-laki dan perempuan yang masih terbaring di ranjang mereka.
Skala Prawira dan Bianca Nataniasunny baru sebulan menikah jadi bisa dibilang mereka adalah pasangan pengantin baru.
Ska begitu panggilannya, laki-laki itu terbangun ldan mengerjapkan matanya, ia merasakan sesuatu menindih dadanya, saat menegakkan sedikit lehernya alangkah terkejutnya Ska mendapati kaki Bianca sang istri sudah bertengger di sana, bahkan ujung telapak kaki gadis itu hampir saja menendang wajahnya.
Laki-laki itu menegakkan tubuhnya untuk bergeser lalu duduk bersandar pada ranjang, menatap posisi tidur istrinya yang sudah berubah seratus delapan puluh derajat, dimana kepala gadis itu sudah berada di ujung ranjang dan kakinya berada di atas.
Skala tertawa geli melihat pemandangan aneh yang satu bulan ini selalu ia dapati saat bangun pagi. Istri pilihan kakeknya itu ternyata tak seanggun yang kakeknya pikirkan.
Ada satu hal yang masih tidak Skala mengerti kenapa sang kakek bersikeras menjodohkannya dengan Bianca, bahkan kakeknya sampai mengancam tidak akan memberikan sepeserpun warisan kepadanya jika ia menolak menikahi gadis itu, dan jelas saja ancaman itu membuat Skala takut, bukannya mata duitan tapi ini tahun 2020 apa iya masih ada orang yang bisa memunafikkan harta yang didapat secara cuma-cuma?
Sama halnya dengan Bianca, gadis manis itu bersedia menikahi Skala juga karena iming-iming sang kakak yang berkata akan dengan sukarela memberikan perusahaan fashion sang papa kepadanya jika Bianca mau menikahi laki-laki pilihannya.
Dengan alasan pribadi mereka masing-masing berakhirlah Bianca dan Skala dalam sebuah ikatan pernikahan yang awalnya tanpa cinta. Namun, satu bulan bersama mereka sebenarnya sudah sama-sama merasakan sesuatu yang berbeda, mungkin bisa jadi gelora asmara.
Ska secara perlahan bangun kemudian berjalan menuju ke kamar mandi, tanpa sengaja kakinya menginjak sebuah buku harian bersampul biru yang sudah terlihat sangat tua.
Rasa penasarannya bercampur menjadi satu melihat buku itu, perlahan ia membuka dan mulai membaca salah satu halaman disana, Ska sadar ternyata buku harian itu bukan milik sang istri melainkan milik almarhumah sang mertua, Kiran ibunda Bianca.
Bian tiba-tiba membelalakkan matanya, terbangun. Ia melonjak dan langsung duduk dari posisi tidurannya, melihat Skala yang sedang berdiri sambil memegang buku harian almarhum sang mama, gadis itu langsung meloncat dan menyambar buku itu dari tangan sang suami.
"Heleh, gue ga penasaran sama isi diary loe paling juga curhatan labil isinya," ejek Ska.
"Enak aja loe ngomong, pernah sekolah ga sih tuh mulut?"
"Loe tu emang oon ya, emangnya ada sekolah mulut? kalau ada kasih tau gue dimana biar gue beli tu sekolahan."
Ska berucap dengan santainya, ia lalu kembali berjalan menuju kamar mandi, raut mukanya sedikit berubah setelah membaca satu halaman buku harian tadi.
Bianca memang selalu membaca buku harian sang mama sebelum tidur, hal itu dia lakukan semenjak kepergian sang mama untuk selama-lamanya, dua tahun yang lalu tanpa sengaja Bianca menemukan satu kotak kardus yang berisi barang pribadi sang mama saat membereskan kamar wanita yang melahirkannya.
Seolah menjadi buku dongeng untuknya, ia mulai membaca dan mengenang sosok sang mama dari coretan-coretan tinta di sana, bahkan gadis itu bisa berulang-ulang membaca satu buah buku harian sang mama. Seperti buku yang sempat dipegang suaminya tadi, itu kali keempat Bian membacanya.
***
Lima hari kemudian,
"Jadi kita mau kemana nih abang Ska?" ucap Bianca yang sudah duduk manis di samping Skala yang sedang memasang sabuk pengaman ke badannya, suaminya pagi tadi berkata ingin mengajaknya pergi ke suatu tempat.
"Idih ngapain loe manggil gue abang?"
"Terus loe mau dipanggil apa? sekarang loe pilih aja, mau gue panggil say dari kata barongsai, atau yang dari kata peyang?"
"Kalau abang loe pasti lagi nyamain gue kayak tukang siomay ya kan? bilang aja iya."
Bianca terbahak mendengar tebakan Skala.
"Kok loe tau sih Ska? ya ampun jangan bilang baru satu bulan nikah kita udah satu hati," goda Bian.
"Diem loe ah, bawel," Ska bersungut kesal meskipun dalam hatinya sedikit berbunga.
Mereka berdua memang seperti itu layaknya anjing dan kucing, seolah tak bisa akur dan tak ada yang mau memulai untuk mengakui perasaan yang sudah muncul didalam hati.
"Terus kita mau kemana sekarang, gue udah nanya ga loe jawab dari tadi," Bian mencebikkan bibirnya kesal.
"Ke suatu tempat, elo ntar juga bisa lihat sendiri," ketus Skala.
Bian mengernyitkan dahi saat mobil sang suami berhenti di depan sebuah tempat pemakaman umum, gadis itu heran sampai jelas terbentuk lipatan-lipatan halus di keningnya.
Bian melepaskan sabuk pengaman yang melekat di tubuhnya agar bisa segera mengikuti Skala yang sudah berjalan masuk ke dalam area pemakaman itu.
Langkah kaki Bian terhenti, bagaimanapun ia takut memasuki makam, sang suami yang melihat ia mematung lantas berbalik untuk meraih tangannya, Skala menautkan jemarinya ke jemari Bianca, sambil saling menggenggam mereka berjalan masuk ke tempat pemakaman itu.
Keduanya lantas berhenti tepat didepan makam ibunda Bian, gadis itu semakin tak mengerti dengan apa yang akan dilakukan suaminya.
Tangan Skala tiba-tiba mengeluarkan satu buah jepit rambut, mengusapnya dengan penuh perasaan seolah benda itu adalah benda paling berharga bagi dirinya.
"Apa elo ingat jepit rambut ini?" tanya Skala.
Bian menatap jepit rambut hitam berhiaskan mutiara berwarna silver di tangan suaminya.
"Itu jepit rambut jadul, dulu semua anak perempuan seumuranku saat masih berumur enam atau tujuh tahun pasti punya."
Jawaban Bian sedikit ketus karena dia merasa bingung, untuk apa tiba-tiba suaminya itu mengajak ke makam sang mama dan lagi menanyakan jepit rambut lawas yang sudah ketinggalan zaman.
"Tapi tunggu, darimana kamu bisa tahu dengan tepat letak makam mama aku?" tanya Bian.
Skala masih terdiam, pikirannya kembali mengenang ke dua puluh tahun yang lalu saat usianya baru delapan tahun, kenangan yang membuat dia harus kehilangan kedua orang tuanya untuk selama-lamanya.
Di dalam sebuah mobil Ska kecil terlihat duduk di kursi penumpang, sementara papa dan mamanya berada di depan. Mereka terlihat bahagia menuju peresmian pabrik baru milik sang kakek.
Namun, tiba-tiba dari arah berlawanan sebuah mobil melaju kencang menyalip truk di depannya mengambil jalur dimana mobil yang dikemudikan papanya tengah melaju, tabrakanpun tak dapat dihindari, bahkan mobil yang ditumpangi keluarganya sampai membentur pembatas jalan dan terbalik.
Ska merasakan sakit disekujur badannya, ia hanya bisa menangis mendapati kedua orang tuanya bersimbah darah dan diam tak bergerak, tangan kecilnya membuka kunci pintu di sampingnya untuk berusaha merangkak keluar.
Seorang wanita terlihat membantu menarik tubuh Skala dari dalam mobil sesaat sebelum mobil yang mengalami kecelakaan itu terbakar, wanita itu lantas membaringkan tubuh Ska di tepi jalan, dengan panik menelpon polisi dan ambulance, tanpa sengaja jepit rambut yang berada dikepala wanita itu merosot jatuh, Skala meraihnya sebelum pingsan.
"Mamamu pernah menyelamatkan hidupku, jika tidak ada beliau waktu itu mungkin aku sudah mati," lirih Ska.
Laki-laki itu lantas menceritakan peristiwa kecelakaan yang dialaminya kepada sang istri. Bianca terlihat begitu terkejut, ia tak menyangka kecelakaan yang pernah dia lihat saat masih berumur enam tahun ternyata melibatkan laki-laki yang sekarang menjadi suaminya.
"Aku ingat saat kecelakaan itu terjadi aku berada di dalam mobil, mama memintaku untuk tidak ikut turun," kenang Bianca.
"Bagaimana tidak aku ingat, mobil yang mengalami kecelakaan itu terbakar hebat di depan mataku dan hari itu mama gagal mengikuti wawancara demi mendapat beasiswa ke Itali karena memilih menolong korban kecelakaan itu," bisik Bian dalam hati.
Skala bercerita bahwa ia sempat membaca satu lembar tulisan ibunda Bianca, dimana wanita itu menulis tentang peristiwa kecelakaan yang dialami satu orang keluarga yang kemudian dia ketahui bahwa satu keluarga itu adalah anak dari pengusaha bernama Prawira, kakeknya.
"Laki-laki yang seumuran dengan ayahku itu terlihat masih menangis meratapi kepergian anak dan menantunya, ia menghampiriku kemudian menggenggam tanganku erat-erat, ia mengucapkan terima kasih karena aku telah menyelamatkan cucunya yang bernama Skala, Tuan Prawira lantas menatap Bianca yang memegang erat ujung dress hitam yang aku kenakan, meskipun aku gagal untuk wawancara beasiswa yang bisa merubah jalan hidupku, tapi aku bahagia bisa menyelamatkan satu nyawa hari itu."
Membaca sepenggal tulisan ibunda Bianca, Skala kemudian mengkonfirmasi hal itu kepada sang kakek, betapa terkejutnya ia mengetahui kenyataan bahwa sang penyelamat hidupnya adalah benar-benar ibunda sang istri.
"Mama Kiran," lirih Ska sambil menatap ke batu nisan ibunda Bianca, " Terima kasih sudah menyelamatkan hidupku, aku berjanji akan menjaga Bianca dengan segenap jiwa dan ragaku."
Bian tertawa mendengar ucapan sang suami, ia kemudian menyenggol lengan Skala yang masih terlihat menatap pusara sang mama.
"Apa sekarang kamu sedang menyatakan perasaanmu secara eksplisit?" candanya.
"Aku akan mencintainya, aku akan membuat dia bahagia." Skala menoleh menatap Bian yang langsung terdiam mengatupkan kedua bibirnya, mata mereka bersitatap dan seketika desiran lembut menggelitik jantung Bianca.
"Bi, izinkan aku mencintaimu!" lirih Skala.
Seulas senyum terbit dari bibir Bianca, ada perasaan ragu bercampur bahagia di dalam hatinya, "bukankah aku istrimu? untuk apa meminta izin mencintaiku? bukankah sudah seharusnya kamu mencintaiku?" godanya.
Mereka tersenyum, Skala memasangkan jepit rambut di tangannya ke Bianca, setelah berdoa untuk ketenangan arwah sang mama, keduanya berjalan meninggalkan makam sambil bergandengan tangan.
"Bagaimana bisa mama Kiran memakai jepit rambut milikmu?" bisik Skala.
"Aku selalu ingin memakai sesuatu yang sama dengan mama, jadi sebelum wawancara aku meminta mama memakai jepit rambut milikku di rambutnya," kenang Bianca.
Mereka terus berjalan sambil bercerita tentang kenangan masing-masing, saling berjanji untuk membuka diri agar kebih saling mengenal satu sama lain. Saat sampai di dekat mobilnya Skala masih enggan melepaskan tangan Bianca dari genggamannya, Laki-laki itu malah menundukkan sedikit kepalanya untuk mencium bibir istrinya. Bianca tertawa menyadari bahwa ia baru saja mendapat ciuman pertama dari sang suami setelah satu bulan lamanya menikah.
"Ska, ini pemakaman umum dasar loe ya," ucap Bian setelah tautan bibir suaminya terlepas dari bibirnya.
"Memang kenapa?" Skala merangkum kedua pipi Bian dengan kedua tangannya.
"Dasar anaconda ga ada ahklak," ucapnya sambil berlalu dan tertawa masuk ke dalam mobil.
"Kalau gue anaconda elo piranha Amazon." Skala masuk ke dalam mobil kemudian membantu gadis di sebelahnya untuk memakai sabuk pengaman.
"Oke bukan masalah, gue seneng kok bisa sehabitat sama loe." Bianca menyambar bibir Skala seolah lupa dengan kalimat tak ada ahklak yang baru saja dia ucapkan tadi.
Begitulah Bian dan Skala, pasangan sedikit somplak yang sama-sama menemukan cinta dalam serpihan kenangan masa lalu mereka.
---- THE END -----