Keluarga Welvarend adalah pemilik villa Rahajoe yang ada di sebuah kota kecil. Villa tersebut dibangun sejak tahun 1925. Keluarga Belanda itu hanya datang sesekali sebagai tempat singgah. Setelah Sriwening yang merupakan gundik Tuan Walvarend dibunuh, keluarga ini tidak pernah datang lagi ke villa Rahajoe. Sriwening dihukum karena dianggap meracuni Nyonya Welvarend hingga meninggal. Sriwening dibunuh secara keji tanpa pengadilan, bahkan mayatnya diarak hingga seluruh kota. Dianggap sebagai peringatan bagi para penduduk pribumi kala itu, agar tidak melawan Belanda. Sriwening hanyalah korban fitnah atas kematian mendadak Nyonya Welvarend. Konon kabarnya arwah Sriwening tidak terima atas kematiannya dan mengutuk para penghuni villa Rahajoe. Tuan Walvarend sakit keras, anak bungsunya mendadak gila, sejak saat itu mereka kembali ke Belanda dan tidak pernah kembali ke villa Rahajoe.
***
Sepasang kekasih Ratih Mahesa dan Gery sedang terlilit hutang kepada seorang rentenir. Gaya hidup mereka yang serba mewah namun malas bekerja, membuat keduanya terjerat hutang. Ratih Mahesa masih memiliki garis keturunan dari Sriwening, gundik keluarga Welvarend.
"Berarti kamu punya hak dong! atas villa besar itu?" bagai mendapat durian runtuh, terlintas ide gila di benak Gery saat mendengar cerita dari kekasihnya perihal keluarga Welvarend.
"Ya.. tapi aku gak mungkin kan jual rumah itu? gak ada surat-suratnya!" sahut Ratih seolah bisa membaca niat Gery.
"Ya gak dijual juga, kita kesana aja! Siapa tahu masih ada barang-barang antik yang bisa dijual, peninggalan keluarga Belanda itu. Kalau dijual ke kolektor kan mahal, Sayang! Apalagi sudah puluhan tahun, makin mahal tuh!"
"Tapi dulu buyutku pernah bilang, bahwa keturunannya jangan ada yang menginjakkan kaki di villa Rahajoe. Itu villa terkutuk! Gak mau ah, ngeri! Itu juga udah kosong puluhan tahun, Sayang! Kalaupun masih ada barang juga pasti sudah rusak" Ratih menolak ide Gery memasuki villa itu.
"Sayang, kan kita bisa kesana siang hari. Cuma lihat-lihat dulu. Kalau emang gak ada ya udah kita pergi. Yang penting usaha dulu! Uang dua puluh juta mau dapat darimana, Yang?" Gery berusaha meyakinkan kekasihnya.
Ratih yang masih bimbang teringat akan hutangnya kepada rentenir Darso. Hidupnya tidak tenang karena setiap hari harus kucing-kucingan dengan bodyguard juragan Darso yang menagih hutang. Ratih menatap Gery dengan keragu-raguan.
"Aku takut, Ger! Cerita villa itu serem"
"Itu kan cerita kuno, Sayang! Lagian di sekitar tempat itu sekarang juga sudah banyak toko. Millenial masih aja percaya cerita hantu. Percaya sama aku, besok kita kesana ya?" tanya Gery sambil memegang pundak Ratih untuk menghadap ke arahnya. Ratih mengangguk perlahan. Ya.. tidak ada salahnya berusaha, pikir Ratih.
***
Pukul sebelas siang, sepasang kekasih itu berangkat menuju villa Rahajoe. Meskipun terletak di kawasan pertokoan, tak mengurangi hawa mistis yang ditampakkan dari villa tersebut. Pagarnya sudah berkarat, halaman yang luas dikelilingi oleh tanaman liar, kelihatan sekali bahwa bangunan ini tak pernah dijamah manusia selama puluhan tahun.
"Mau kemana, Mas, Mbak?" tanya tukang becak yang parkir di depan toko sebelah villa. Ia heran karena sejak lama ia ngetem disitu, tak ada seorang pun yang berani memasuki bangunan besar itu.
"Mau foto-foto, Pak!" jawab Gery asal-asalan.
"Hati-hati Mas, jangan cari penyakit! Sudah izin sama yang punya?" Tukang becak itu memperingatkan.
"Pacar saya ini ahli warisnya kok, Pak! Pasti diizinkan lah!" Ratih mencubit pinggang Gery yang menjawab seenaknya.
Mereka berdua memanjat pagar usang yang memang tidak terlalu tinggi. Sreeettt...
"Awhhh... f**k" umpat Gery. Betisnya tersangkut pagar berkarat itu, celananya robek hingga menembus kulit ari nya. Darah segar menetes dari lukanya.
"Sayang, gak papa? Balik aja yuk!" pinta Ratih mulai panik.
"Tanggung, Sayang. Sudah sampai sini, cuma luka kecil, gak papa!" Gery meyakinkan kekasihnya agar tidak goyah.
Sedikit terpincang ia merangkul Ratih menuju pintu utama villa. Gery mencari batu besar untuk membuka gembok pintu. Sekali hantaman, gembok pintu yang sudah berkarat itu hancur. Hawa dingin menyeruak keluar, menerpa wajah mereka berdua. Seperti ada sesuatu yang sudah lama terpenjara disitu dan menunggu untuk dibebaskan. Chandelier tua di ruang tamu bergemerincing diterpa angin. Ratih menggenggam erat lengan Gery yang sedang mengamati ruangan dengan beberapa furniture yang masih lengkap.
"Wah...keluarga kamu kaya lho ternyata! Lihat barang-barang ini, mewah! Ini kalau dijual, kita gak cuma bisa bayar utang, tapi bisa foya-foya tanpa kerja! Ha.. ha.. ha..." Gery tertawa puas seperti menemukan bongkahan emas.
Mereka menelusuri ruangan demi ruangan di villa itu, mencoba membuka beberapa jendela agar bisa mendapatkan cahaya. Namun jendela-jendela itu sudah tidak bisa dibuka, sehingga membuat ruangan menjadi gelap. Semakin mereka masuk, semakin gelap, semakin dingin, semakin membuat merinding.
"Sayang, gelap disini pulang aja yuk!" kata Ratih mulai merasakan hawa mencekam.
"Tenang, bisa pakai senter hp" Gery mengeluarkan HP dari sakunya, menyorotkan ke beberapa sudut ruangan. Furniture-furniture tua yang sudah berdebu masih terjajar rapi.
"Sayang.. ini tu barangnya besar-besar. Besok aja kita balik lagi bawa tukang buat angkutin ini. Sekarang balik aja yuk!" Ratih merengek dan terus menggamit kuat lengan Gery.
"Pasti ada lah yang bisa kita bawa sekarang. Siapa tahu masih ada simpenan perhiasan dari leluhur kamu yang tertinggal. Makanya kamu bantuin cari, jangan nempel aja kayak cicak gini!" Gery mengibaskan lengannya agar Ratih sedikit menjauh.
Mereka menaiki lantai dua, menelusuri kamar-kamar disana. Villa ini memiliki banyak kamar dan banyak ruangan yang bisa dijelajahi. Tiba di sebuah kamar besar yang sepertinya merupakan kamar utama. Tempat itu sedikit lebih terang, cahaya matahari menelusup diantara lubang ventilasi. Terdapat tempat tidur antik lengkap dengan kelambunya, sebuah meja rias, lemari, dan kursi malas.
"Whoahhh... ini namanya harta karun!" Gery membelalak senang. Ia mencoba duduk di kursi malas yang ternyata masih berfungsi dengan baik.
"Sayang, gimana kalau kita tinggal disini aja? Lumayan kan, gak perlu bayar kontrakan. Tinggal jual-jual aja itu barang yang gak perlu. Bisa kaya kita!" kata Gery sembari menggoyang-goyangkan kursi malasnya.
'Boleh' tiba-tiba terdengar suara berbisik lirih, hembusan nafasnya tepat di telinga Gery. Ia terperanjat kaget, dilihatnya Ratih sedang berdiri mematung memandangi cermin meja rias.
"Sayang! jangan bercanda deh!" teriak Gery membangunkan lamunan Ratih.
"Eh... apa? gimana? kamu udah ketemu barang yang bisa dibawa?" tanya Ratih seolah baru saja tersadar.
"Kamu ngapain disitu?" tanya Gery heran mendapati Ratih yang ternyata berada jauh dari dia.
"Lagi nyari barang, siapa tahu ada yang bisa dibawa kan katamu" jawab Ratih.
Gery menepis pikiran buruknya, mengingat kembali tujuannya datang ke rumah ini.
"Kita ke kamar sebelah yuk!" Gery menggandeng tangan Ratih, menyusuri kamar lain.
"Tangan kamu dingin banget, takut ya?" kata Gery merasakan telapak tangan kekasihnya yang seperti es.
Gery menyalakan kembali senternya menuju kamar sebelah yang lebih gelap. Disitu ia menemukan sebuah kotak perhiasan tua, dan terdapat kalung berlian di dalamnya. Mata Gery berbinar.
"Sayang!!! akhirnya ketemu! Bener kan, leluhur kamu pasti meninggalkan sesuatu untuk menyelamatkan kita!!" Gery memekik keras. Tak ada jawaban. Gery menoleh kebelakang, tak ada orang.
"Sayang?"
sepi...
"Ratih? kamu dimana?" tak ada jawaban.
Gery mengedarkan cahaya senternya ke seluruh ruang. Sekelebat banyangan putih muncul di depannya. Gery tersentak, bulu kuduknya merinding!
Sementara di kamar utama, Ratih yang ternyata masih mematung di depan cermin tiba-tiba tersadar. Ia melihat ke sekeliling dan tak mendapati Gery disana.
"Gery!!! Kamu dimana??" Ratih berteriak ketakutan.
"Ger, Jangan bercanda, gak lucu deh!" Ratih mulai menangis, menyadari bahwa ia sendirian di kamar itu. Ratih melihat bayangan hitam di dalam kelambu, semakin besar..semakin besar...semakin besar. Ia beringsut dan berlari keluar kamar yang ternyata lebih gelap. Ratih menyalakan senter HP nya sambil terus mencari Gery.
"Gery...Gery!!" sunyi, tetap tak ada jawaban dari kekasihnya.
Ratih menangis tersedu-sedu dalam kegelapan mencari Gery. Di sela-sela tangisnya, ia justru mendengar suara lain yang menangis. Tangisan perempuan yang terdengar pilu dan menyayat, semakin kencang. Ratih menutup kedua telinganya dan berteriak sangat keras "Geryyyyyyy!!!!!"
***
Sementara di tempat lain Gery juga sedang mencari Ratih. Ia menyusuri ruang demi ruang dalam kegelapan. Gery melihat sesosok perempuan yang berjalan ke arahnya.
"Oh.. Ratih.. kamu darimana aja sih? Aku sudah dapat ini barangnya, ayo pulang!" kata Gery mendekati perempuan itu.
Semakin dekat, Gery justru terperanjat! Sesosok perempuan berambut panjang dengan wajah yang menyeramkan berdiri tepat dihadapannya! Menyeringai mengulurkan tangannya. Gery berlari ketakutan dengan terpincang-pincang. Ditahannya sakit di kakinya akibat luka yang bertambah lebar.
Di luar sudah mulai gelap, sepasang kekasih itu masih terjebak di dalam labirin villa Rahajoe. Mereka masih saling mencari, tetapi tetap tidak saling menemukan, tak juga bertemu jalan keluar. Tiba-tiba seseorang menarik tangan Gery menutunnya menemukan pintu keluar. Gery berhasil keluar dari villa tersebut, melalui semak-semak dan berhasil melompati pagar.
"Pak..pak..tolong Pak!" Ia meminta tolong kepada tukang becak yang sejak siang tadi masih disitu. Gery menaiki becak yang membawanya menjauh dari villa.
"Untung ketemu jalan keluar ya, Sayang!" kata Gery di sela nafasnya yang tersengal-sengal.
"Ngobrol sama siapa, Mas?" tanya tukang becak.
Gery menoleh kesamping. Ternyata perempuan disampingnya bukan Ratih, melainkan seorang berambut panjang berbaju Noni dengan wajah pucat pasi dan senyum menyeringai. Gery terhenyak dan semakin terkejut, ketika menoleh ke belakang, ia mendapati tukang becak itu tanpa kepala! Gery tidak bisa beranjak, kakinya kaku, lukanya semakin menganga lebar. Ia hanya berteriak sekuat tenaga, meskipun itu sia-sia.
Sementara di dalam villa, Ratih sudah putus asa. Ia duduk dipojok ruangan sambil meratap. Ia tidak tahu lagi harus berbuat apa, HP nya sudah padam. Hanya menyisakan kegelapan.
"Jangan takut, Sayang! Kamu bisa tinggal disini bersama Eyang"
Ratih menutup telinganya erat-erat! Berusaha mengusir suara-suara ghoib itu dengan menjerit sekuat tenaga. Suara itu tertawa semakin nyaring.. terkekeh... memenuhi seluruh ruangan. Diikuti sesosok nenek bungkuk dengan tongkat di tangannya semakin dekat.. mendekat.. mendekat.. ke arah Ratih.
******
Nantikan Prequel nya ya... cerita tentang Keluarga Welvarend dan Gundik Sriwening..😊 bagi like kakak...!!