Saat Cinta tak perlu diucapkan.
"Yuta ..." lirih Sherin. Saat bertemu pria yang memiliki garis wajah yang begitu persis dengan teman masa kecilnya yang juga menjadi cinta pertamanya.
°°°
Saat itu Sherin dan Yuta sama-sama duduk di kelas 12. Mereka sedang berlatih untuk tampil diacara perpisahan sekolah.
Yuta yang memang mahir bermain musik sedari kecil, membuat Sherin mati-matian mengikuti les vokal agar bisa memantaskan diri menjadi calon pendamping bagi pria itu. Padahal Yuta tak pernah memberi standar.
"Makin lama suara kamu terdengar enak, aku jadi nggak sabar"
Puji Yuta antusias, sambil berpindah duduk di atas meja kemudian memeluk gitar akustiknya.
°°°
Hari-hari yang dinantikan akhirnya datang, Sherin begitu cantik memakai gaun putih selutut dengan potongan sabrina.
Gadis itu sengaja tidak berangkat bersama Yuta ke gedung pentas untuk menghadiri acara pelepasan mereka, karena Sherin ingin memberi kejutan dengan penampilan barunya saat mereka bertemu di gedung pentas.
Dan Sherin yakin ... kali ini Yuta akan terikat oleh pesonanya.
10 menit lagi saatnya mereka tampil. Namun batang hidung Yuta belum terlihat, Sherin sudah khawatir setengah mati, ia takut make up minimalis yang ia tata di salon akan luntur sebelum pria itu melihatnya.
"Sherin!"
Salah seorang guru yang juga menjadi panitia memanggil namanya.
"Emm ... Miss Ella, penampilan Sherin bisa di undur nggak? soalnya Yuta belum datang" pinta Sherin setengah panik.
"Keluarga kamu ada di lobi, mereka mau jemput kamu" kata guru itu.
Sherin hanya mengerutkan keningnya tidak mengerti apa yang diucapkan gurunya.
"Sekarang kamu pulang saja" lanjut Miss Ella sambil meraih lengan Sherin.
"Tapi Sherin mau tampil Miss, nanti kalo Yuta datang gimana?"
"Yuta nggak akan pernah datang," ungkap Miss Ella dengan mata sayu.
•••
Sherin berlari di sepanjang lorong Rumah Sakit. Gadis itu berlari secepat yang ia bisa, air mata tak henti-hentinya mengalir dari mata bulatnya, rasa tak percaya saat ia mendengar kabar tentang kecelakaan yang menimpa Yuta membuat gadis itu hampir hilang akal.
"Sherin ...?!" Suara lirih dari wanita paruh baya yang dikenal sebagai ibu kandung Yuta langsung memeluk tubuh gadis yang hampir tersungkur.
•••
"Dulu ... kamu pernah bilang, kalo orang yang sudah pergi meninggalkan jasadnya, ia akan di lahirkan kembali dan ia juga dapat bertemu dengan orang-orang di masalalunya, asalkan dibawakan barang kenangan yang paling berarti sebagai jalan kembali agar tak tersesat. Buktikan ucapanmu Yuta!" desis Sherin dengan air mata yang tertahan. "Aku akan menunggumu!" bisiknya lagi tepat ditelinga Yuta yang tubuhnya sudah membeku didalam peti mati.
Acara pemakaman pun berlangsung dengan histeris.
Kecelakaan tragis yang menimpa seorang putra semata wayang dari pemusik ternama membuat gempar media.
Tak terkecuali satu sekolah yang harusnya melakuan acara pentas pelepasan dengan gembira, kini harus berduka melepas Yuta, salah seorang murid berbakat ... untuk selamanya.
•••
Sepuluh tahun berlalu, setiap detik begitu berarti bagi seorang gadis yang kini sudah menjelma menjadi wanita dewasa.
Sherin mendedikasikan dirinya menjadi pelatih vokal di Akademi Musik milik keluarga Yuta.
Wanita itu dikenal sebagai tutor yang begitu ambisius untuk membuat anak didiknya sukses mencapai cita-cita.
Dia dikenal sebagai wanita ceria, ramah dan optimis. Walaupun tidak banyak yang tahu sisi dari dalam Sherin yang semakin rapuh.
•••
Hari ini tepat Sepuluh tahun kepergian Yuta. Dan Sherin selalu mengunjugi makam pria itu setiap hari.
"Hey pria bodoh, apa kamu tersesat, kenapa begitu lama menemuiku? apa kamu tertahan oleh penjaga pintu akhirat?! Atau cincin yang kusematkan di jarimu saat itu, hilang?! Cepatlah datang sebelum aku jadi nenek tua renta yang mati menyedihkan karena percaya dengan kata-kata sesorang!"
tuturnya nyeleneh.
Kini senja menunjukan rupa, Sherin sudah terduduk di halte penumpang berjam-jam lamanya, sambil meratapi langit yang kini jauh terlihat lebih jingga, hawa dingin pun semakin menusuk ke dalam tubuhnya yang kurus.
"Boleh saya duduk di sini?" tanya seorang pria dengan suara berat yang berdiri tak jauh darinya.
"Ini tempat umum, jadi tak perlu meminta ijin" sahutnya yang masih fokus menatap lalu lalang kendaraan di hadapannya sambil menyadarkan kepala pada tiang Halte.
"Sedang menunggu seseorang?" tanya orang yang sama, dan kini sudah duduk di samping Sherin.
Sherin tampak tak peduli. Dia masih menatap jalanan yang semakin ramai.
"Saya perhatikan anda melewatkan semua kendaraan yang berhenti di Halte ini," ujar orang itu.
Sherin menggigit keras bibir bawahnya, lalu dia mengembuskan nafasnya kasar, kemudian dia melirik sedikit ke arah pria yang duduk disampingnya, sebuah cincin yang tersemat dijari manis orang itu membuat Sherin makin penasaran.
Saat mata Sherin bertemu pandang dengan pria yang sedari tadi bicara dengannya, sontak tubuh Sherin gemetar dengan mulut yang menganga.
"E-enggak mung-kin ...," gumam Sherin.
Garis wajah yang terlihat lebih tegas dari seseorang yang pernah ia kenal di masa lalu, tatapan mata sayu serta senyum yang tercetak dibibir tipis pria itu, begitu Sherin kenal.
"Sherin," sapa pria itu menyebut namanya dengan fasih.
Regards IF ⚘
TAMAT
------------