"Pak, saya minta kunci jawaban untuk ujian besok ya?" Ucap seorang mahasiswi kepada dosennya dengan suara menggoda.
"Saya bersedia kok jadi pacar bapak, lagian sebenarnya bapak ga jelek-jelek amat, cuma sedikit botak aja." Kata mahasiswi itu lagi.
Dosen itu bernama Reza. Usianya sudah memasuki 35 tahun, tetapi tak kunjung menikah. Bukan karena ia tak mau, melainkan banyak wanita yang menolaknya setelah bertemu. Tampilan Reza memang culun, ia selalu memakai kemeja dengan lengan panjang yang terkancing hingga leher. Kepalanya pun agak sedikit botak. Sejak lahir, bagian kepala depannya tidak tumbuh rambut, membuatnya agak berbeda dan sering mendapat bully-an dari teman, bahkan mahasiswanya. Kini Reza sedang di manfaatkan oleh salah seorang mahasiswinya.
"Baiklah, saya akan berikan kunci jawaban untuk ujian besok." Reza berkata dengan gugup karena sedari tadi, mahasiswinya itu sangat agresif di hadapannya.
****
Hari ini, Reza menjadi pengawas ujian akhir semester. Kebetulan gadis yang kemarin menggodanya itu, ada di kelas ini. Reza memperhatikannya. Ia mencoba mendekati kursi yang di dudukinya. Saat Reza berada di sebelah gadis itu, tiba-tiba sebuah kertas terjatuh.
"Maaf pak, ini kertas contekan saya." Ucap gadis itu polos sambil memungut kertasnya. Sontak membuat heboh semua mahasiswa yang berada di kelas itu.
Kejadian itu membuat buruk citra Reza di kampus, bahkan ketika Reza berjalan di lorong kelas, banyak mahasiswa yang membicarakannya. Reza menjadi trending topik.
Hari demi hari terlewati, akhirnya gosip itu pun mereda. Reza juga tak pernah melihat mahasiswi itu lagi.
Lelah dengan pertanyaan orangtua, belum lagi tetangga dan kerabatnya yang menanyakan 'kapan nikah?' Reza pun berinisiatif untuk mendaftarkan diri ke biro jodoh online.
Reza nyaman berbincang dengan salah satu gadis di biro jodoh itu. Mereka sering chat dan bertukar pendapat tentang pekerjaan. Akhirnya, mereka memutuskan untuk kopi darat alias bertemu langsung.
Kepala Reza terus berputar, mencari keberadaan gadis yang ingin ia temui, sambil berbicara padanya ditelepon.
"Aku di sini, di meja dekat tangga. Aku memakai baju hijau." Kata gadis itu.
Reza menutup telepon setelah mendapati gadis yang tengah duduk di samping tangga sebuah cafe. Gadis dengan postur tubuh besar, tidak sesuai imajinasinya.
"Hai, aku Renata. Panggil saja Rena." Tangan Rena di ulurkan untuk bersalaman pada Reza, tetapi Reza enggan untuk membalas uluran tangan itu.
"Oh, aku Reza." Ucap Reza malas dan ingin sekali pergi dari tempat itu.
Gadis itu tetap bersikap ramah.
"Kamu kerja di mana?" Tanya Rena.
"Aku pengajar di sebuah universitas swasta."
"Oh.. Dosen." Kata Rena sambil membulatkan bibirnya.
Setelah perbincangan yang membosankan menurut Reza, akhirnya mereka pulang.
"Oke.. kalau begitu, sampai jumpa." Kata Rena.
"Kita tidak akan bertemu lagi." Batin Reza.
"Kamu pulang naik apa?" Tanya Rena lagi, setelah mereka sama-sama bangkit dari kursi.
"Aku bawa motor, kalau kamu?"
"Hmm.. aku naik ojol. Bye.." ucap Rena melambaikan tangan.
Rena masih belum menaiki kendaraan apapun. Ojol yang ia pesan, tiba-tiba di cancel sepihak, membuat Rena harus berdiri lama di depan cafe itu.
Saat Reza keluar parkir, sudah terlihat dari kejauhan bahwa gadis yang tadi ia temui berdiri disana.
"Jangan liat ke sini, jangan liat ke sini." Gumam Reza.
Dan klik.. Rena menoleh ke arah Reza. Dengan terpaksa, Reza memajukan motornya.
"Butuh tumpangan?" Tanya Reza ramah walaupun raut wajahnya tertekuk.
"Boleh." Rena tersenyum dan hendak menaiki skuter matic milik Reza.
Reza terlihat tidak seimbang. Bobot tubuh Rena jauh lebih besar dari Reza.
"Aku keberatan ya? Kamu bisa?" Tanya Rena dengan nada khawatir, pasalnya Reza mengendarai motor bergoyang ke kanan dan ke kiri.
"Bisa.. bisa.." Jawab Reza ragu.
Sampai akhirnya motor Reza benar-benar oleng.
Gubrak... Mereka berdua terjatuh.
Reza dan Rena berada di rumah sakit. Mereka pun di tempatkan di ruangan yang sama. Tempat tidur pasien yang mereka gunakan juga bersebelahan. Untungnya, mereka hanya mengalami luka ringan, tetapi masih harus berada di rumah sakit hingga esok.
"Sayang, mengapa bisa begini?" Ucap Amira, ibu dari Reza. Orang tua Reza sudah sampai lebih dulu dari orang tua Rena.
"Ini siapa nak?" Tanya Hasan, ayah dari Reza.
"Oh.. ini pacarmu za? Kalian habis jalan berdua ya?" Tanya riang Amira.
Reza hanya terdiam, melihat kehebohan sang ibu. Tidak berkata 'tidak' juga tidak berkata 'ya'. Tidak ada anggukan dan gelengan juga dari kepalanya. Ekspresi Rena pun sama. Ia hanya tersenyum menanggapi keramahan ibu dan ayah Reza.
"Namamu siapa nak?" Tanya Hasan.
Amira pun langsung menghampiri Rena.
"Saya Renata pak, panggil saja Rena bu." Ucap Rena membalas tatapan ramah Hasan dan Amira.
"Rena.." Teriak Meisya, ibu dari Rena.
Meisya langsung memeluk erat sang putri. Aksi Meisya juga di ikuti oleh Rusdi, ayah dari Rena.
"Kamu tidak apa-apa nak?" Tanya Rusdi sambil mengecek tangan dan kaki putrinya.
"Ngga apa-apa yah, hanya luka sedikit." Rena memperlihatkan siku lengan dan lututnya yang terluka.
"Oh syukurlah.." kata Meisya sambil mengelus rambut putrinya.
"Pasti anda orang tua Rena ya? Perkenalkan kami orang tuanya Reza." Ucap Hasan ramah kepada Rusdi.
"Anak kita berpacaran jeng." Disambung dengan perkataan Amira riang.
"Benarkah?" Tanya Rusdi, yang juga terlihat senang karena akhirnya sang putri ada yang menyukai.
"Anak kita kecelakaan saat sedang jalan-jalan berdua." Kata Amira yang tak henti-hentinya tersenyum. Akhirnya harapan untuk mempunyai menantu menjadi kenyataan.
"Ooo... begitu," ucap Meisya bingung.
"Reza anak yang penurut, baik dan bertanggung jawab. Sejak kecil ia tidak pernah menyusahkan kami." Kata Amira lagi.
"Iya dan Reza tidak pernah membawa perempuan di skuternya. Baru kali ini ia membawa perempuan, pasti Reza sangat menyukai anak anda," ucap Hasan.
"Ooo begitu.. Rena tidak pernah cerita." Jawab Meisya yang melihat ke arah Rena, mencoba mencari kebenaran pada bola mata putrinya.
Rena pun hanya tersenyum senang.
Di kasir rumah sakit, Hasan dan Rusdi sedang ribut untuk membayar tagihan rumah sakit.
"Saya saja pak yang bayar, karena putra saya yang menyebabkan putri anda kecelakaan." Kata Hasan.
"Saya saja pak, karena putri saya yang membuat Reza oleng mengendarai motornya." Kata Hasan.
"Tidak saya saja, ini saya sudah mengeluarkan kartu kredit." Hasan menahan tangan Rusdi.
"Tidak, saya saja pak. Ini saya juga sudah bawa uang tunai." Rusdi tak mau kalah.
"Saya saja." Hasan mengulurkan kartu kreditnya pada kasir.
"Saya.." Rusdi menyerahkan uang tunainya pada kasir.
Petugas kasir itu terlihat bingung.
"Haduh, pak. Cepetan donk.. Antre nih!" Kata orang yang berada di belakang Hasan dan Rusdi.
Di tengah malam, Rena berusaha bangkit dari tempat tidurnya. Ia ingin buang air kecil.
"Kamu mau kemana?" Tanya Reza yang langsung berdiri dan menghampiri Rena. Ia membantu Rena berdiri dan mendudukkannya di kursi roda.
Setelah selesai Reza mengantarkan Rena. Rena mengajaknya untuk keluar dan membeli makanan di pinggir jalan rumah sakit.
"Aku mau nasi goreng," ucap Rena manja.
"Memangnya boleh kalau kita keluar?" Kata Reza.
"Gak apa-apa kalau ga ada suster yang melihat."
Reza mendorong Rena keluar tanpa berkata lagi.
"Udah, ayo cepetan balik!" ucap Reza dengan nada sedikit marah, padahal Rena baru saja mencicipi nasi goreng yang ia pesan.
"Ini, sayang nasi gorengnya belum habis." Kata Rena cemberut sambil menaruh piring yg masih berisi separuh porsi nasi goreng.
Reza bangkit dan segera mendorong kursi roda yang di duduki Rena. Sepanjang jalan menuju ruang rawat inap, Reza terus menggerutu dan Rena hanya tersenyum mendengarnya.
Orang tua Reza dan orang tua Rena semakin salah faham. Mereka masih mengira, kedua anak mereka menjalin hubungan. Hal itu terlihat jelas, saat kedua orang tua itu bertemu untuk menjemput anak-anak mereka yang akan pulang dari ruang perawatan rumah sakit.
"Setelah ini, kami akan berkunjung ke rumah anda pak." Kata Hasan, di sela-sela perjalanan menuju tempat parkir.
"Ah.. panggil saja saya Rusdi." Kata Rusdi.
"Iya jeng, minggu depan, kami akan datang ke rumah jeng Meisya." Amira menambahkan percakapan itu.
Meisya dan Rusdi hanya mengangguk dengan wajah sumringah.
Rena pun hanya mengikuti alur saja. Ia tak masalah jika bersanding dengan Reza, karena pada dasarnya Reza memang pria baik. Walaupun agak sedikit botak, buat Rena fisik tidak jadi masalah. Karena Rena pun sadar diri. Ia juga jauh dari sempurna.
Tapi tidak untuk Reza. Ia masih menginginkan wanita yang cantik dan langsing. Ia juga lelaki normal. Ia merasa Rena bukan wanita idamannya. Ingin rasanya ia berteriak dan berkata 'tidak' pada ayah dan ibunya. Namun, melihat kebahagiaan orang tuanya, ia merasa tak tega untuk menolak. Akhirnya, Reza pun hanya bisa terdiam dan mengikuti alur juga.
"Apa bu? Mengapa tiba-tiba ayah dan ibu akan melamar Rena?" Tanya Reza terkejut.
"Loh, usiamu sudah tidak muda lagi sayang. Buat apa lama-lama pacaran. Ibu juga sudah sangat cocok dengan Rena, dia anak baik." Ucap Amira.
"Betul nak, ayah juga suka dengan orang tua Rena. Walaupun mereka dari keluarga berada, tapi tetap santun." Kata Hasan.
"Tapi ini terlalu terburu-buru bu, saya juga baru kenal Rena."
"Tidak masalah, kalian bisa saling kenal lebih dalam setelah menikah," jawab Amira.
"Betul, kata ibumu nak." Hasan menyambung perkataan istrinya.
"Kami tidak berpacaran yah, lagian Rena itu gendut bu, Reza ga akan cocok," ucap Reza dengan sedikit marah dan dengan cepat berjalan menuju kamar. Ia malas berdebat dengan kedua orangtuanya.
Hasan dan Amira mengikuti Reza. Ingin sekali mereka memukul putranya.
"Kamu pikir kamu siapa? Tom Cruise?" Kata Hasan geram.
Amira mencolek suaminya, "Tom Cruise mah udah tua yah, sekarang yang ganteng itu Lee Min hoo."
"Ah si ibu, siapa kek itu terserah. Kamu lupa berapa banyak wanita yang kamu sukai yang akhirnya malah menolakmu hanya karena kepalamu botak. Sekarang ada wanita baik, dari keluarga baik-baik seperti Rena yang mau padamu, terus kamu tolak? Hah..." Hasan sudah sangat geram melihat putra sulungnya itu.
"Lagi, mengapa sih saya botak? Ini turunan siapa? Mengapa rambut saya tidak tumbuh sempurna sejak kecil."
"Mana ayah tau, ayah tidak botak. Adikmu pun tidak, dia tumbuh rambut dengan sempurna. Entah kamu menuruni siapa?"
Sebenarnya paras Reza tidak jelek. Alisnya tebal sempurna, kulitnya putih bersih, hidungnya mancung dan mempunyai bola mata yang indah. Kekurangan fisik hanya pada rambutnya saja.
"Sudahlah, jangan pada ribut." Kata Amira mencoba melerai perdebatan ayah dan anak itu.
"Nak.." Amira duduk di samping Reza dan mengelus pundak putranya, agar lebih tenang.
Kemudian Amira berkata lagi, "Rena itu anak yang baik, dia bukan gendut tapi hanya lebih sehat."
Sungguh, Reza sudah tidak bisa lagi mengelak.
Sebulan kemudian, acara lamaran itu terjadi. Reza tampak tak bahagia.
"Ayo dong senyum ka!" Kata Fatih, adik Reza satu-satunya.
Reza melangkahkan kakinya dengan lunglai ke arah mobil yang hendak membawanya menuju kediaman Rusdi.
Sesampainya di kediaman Rusdi, kekuarga Reza di sambut dengan sangat meriah. Orang tua Rena cukup berada dan terpandang. Namun, Rusdi dan Meisya bukan orang yang sombong. Anak-anaknya pun di ajarkan untuk seperti itu. Rena memiliki adik perempuan, tetapi postur tubuhnya tidak sebesar Rena.
Prosesi lamaran berjalan dengan lancar. Kedua orang tua Reza dan Rena begitu bahagia. Terlihat dari kehebohan masing-masing. Gemaan tawa juga menghiasi ruangan yang luas dan terdapat beberapa pintu di beberapa sisi, sehingga tampak kesejukan di dalamnya.
"Kak, foto berdua donk!" Ucap Riani, adik Rena.
"Liat sini kak!" Kata Fatih, yang sudah siap memegang ponsel untuk di arahkan kepada kakaknya.
"Senyum donk kak!" Kata Fatih lagi.
Ceklek..
"Cheers.." Rena tersenyum menampilkan dua jarinya.
Sedangkan Reza, tidak menampilkan ekspresi apapun. Ia terlihat datar dan tidak menikmati acara itu.
"Fatih, nanti foto-fotonya kirim ke kak Rena ya," teriak Rena tersenyum pada Fatih.
"Siap kak." Jawab Fatih sambil mengangkat satu ibu jarinya.
Akhirnya acara itu selesai. Di kamar yang tidak terlalu besar, Reza duduk di bibir tempat tidur untuk merenungi nasibnya dan sesekali ia menghembuskan nafasnya kasar. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya sejak acara lamaran itu di mulai.
Berbeda dengan Rena, yang saat ini tengah mengulas senyum. Tak henti-hentinya bibir itu tertarik, melihat foto-foto yang di kirimkan Fatih. Kemudian Rena meng-upload foto dirinya di instagram, foto yang menampilkan senyum manis persis di samping Reza.
Reza yang ingin memejamkan mata, tiba-tiba terdengar bunyi notifikasi dari ponselnya. Ternyata Rena meng-tag nama Reza di instagram.
****
Selesai mengajar di kelas, Reza bergegas menuju ke ruang dosen. Ia duduk dan menikmati makan siang yang sudah berada di hadapannya. Sambil menikmati makan siang, ia membuka akun instagram. Sudah ada ratusan komentar di sana. Banyak juga komentar yang datang dari para mahasiswanya.
"Wah cocok banget, yang satu botak dan yang satu gendut."
"Serasi." Dengan emot tawa terbahak-bahak.
"Pak Reza, emang cocoknya dapet cewe kek gini."
"Wah, pak Reza, selamat ya.. serasi banget."
"Couple of the year."
"Mr.Bean vs cek gu besar, hahahahaha."
Begitulah bunyi komentar-komentar di dalamnya, membuat Reza kian geram. Ia tak lagi berselera menikmati makan siangnya. Segera ia men-dial nomor Rena.
"Halo." Jawab Rena di telepon.
"Rena, siapa yang suruh men-tag namaku di instagram?" Suara marah Reza.
"Oh, maaf. Aku kira itu foto terbaik kita."
"Kamu tidak baca komentar-komentar mereka?"
"Apa masalahnya dengan komentar orang-orang itu. Aku tidak perduli."
"Tapi aku perduli." Nada Reza mulai meninggi.
"Segera kamu hapus!" Kata Reza lagi.
"Baiklah, jika kau tidak suka. Aku akan menghapusnya." Jawab Rena dengan nada lembut.
"Aku tunggu, aku tidak mau lagi kamu posting dengan men-tag namaku. Mengerti!"
"Baiklah." Jawab Rena, yang kemudian sudah tidak terdengar lagi suara di teleponnya.
Rena langsung menghapus postingan yang membuat Reza marah.
Di kampus, Reza sedang duduk di sebuah kursi taman.
"Hai pak, anda baik-baik saja?" Tanya salah seorang teman sejawatnya yang bernama Doni.
"Oh iya, eh tidak. Saya sedang pusing." Jawab Reza.
"Kenapa pak?" Tanya lagi Doni.
"Kamu sudah menikah Don?" Reza malah balik bertanya.
"Iya pak." Jawab Doni
"Pasti istrimu cantik ya? Saya lihat kamu sering sekali meneleponnya."
"Oh, iya. Kami memang selalu saling tukar cerita kegiatan setiap harinya."
"Kamu mencintainya?"
"Tentu saja pak, karena menikah memang harus berdasarkan cinta."
Setelah mendengar perkataan Doni, Reza langsung membeku. Ia merasa pernikahan ini tidak seharusnya di teruskan, karena akan banyak yang tersakiti setelahnya. Tak ada cinta di hati Reza untuk Rena. Namun, bagaimana caranya untuk terlepas dari ini semua? Reza terus berpikir.
"Memang bapak tidak mencintai calon istri bapak?" Tanya Doni.
Reza langsung menggeleng. "Sama sekali tidak Don."
"Lalu, bagaimana bisa anda melamarnya pak?"
"Orang tua saya yang begitu menyukainya."
"Berarti, dia perempuan yang spesial pak, hingga bisa menaklukkan hati orang tua bapak." Kata-kata Doni menjadi percakapan terakhir.
Doni meninggalkan taman, karena ada seorang mahasiswa yang menghampirinya untuk berkonsultasi mengenai skripsi.
Reza masih merenungi perkataan Doni. Memang tidak di pungkiri, Rena adalah gadis yang baik, santun dan lembut. Ia juga tidak jelek, sebenarnya Rena berparas cantik, hanya saja berpostur besar. Hal itu yang membuat kecantikannya tertutupi.
Beberapa kali keluarga Reza dan keluarga Rena bertemu. Mempererat hubungan keduanya. Hari pernikahan Reza dan Rena pun semakin dekat. Fiting baju pengantin sedang mereka lakukan saat ini.
"Hai jeng.." sapa seorang wanita paruh baya kepada Amira, saat Amira menemani Rena dan Reza fitting baju pengantin.
"Ooo haii..." jawab Rena sumringah pada teman yang menyapanya.
"Sedang apa?" Tanya wanita paruh baya itu.
"Ooo ini, saya sedang mengantarkan anak dan calon menantu saya." Amira langsung menggandeng Rena.
"Kenalkan, ini calon menantu saya." Kata Amira senang.
"Ooo.. ini calon mantunya jeng, besar ya?" Ledek wanita paruh baya itu. Lagi-lagi membuat Reza malu.
"Ah tidak jeng, bukan besar. Hanya lebih sehat. Tapi calon mantu saya ini gadis baik loh." Amira masih terus memuji Rena, membuat hati Rena berbunga.
Wanita paruh baya itu hanya tersenyum.
"Jangan lupa datang ya jeng." Ucap Amira di sela-sela perpisahan antara dirinya dan teman paruh bayanya itu.
"Baik jeng." Wanita paruh baya itu pun meninggalkan Reza, Amira dan Rena yang masih berada di sana.
"Merepotkan." Gumam Amira, setelah teman sebayanya itu pergi.
Pernikahan Reza dan Rena tinggal tiga hari lagi. Reza terus mengurung diri di kamar. Tampilannya sudah tak berbentuk. Ia langsung bangkit dari tempat tidur dan menghampiri ponselnya yang tergeletak di meja belajar. Akhirnya ia memutuskan untuk menelepon Rena.
"Halo.." ucap Rena ketika nada sambung sudah tak terdengar.
"Ha.. lo.." suara Reza penuh dengan kehati-hatian.
"Iya Za, ada apa?" Tanya Rena penuh senyum. Pasalnya tidak pernah sekalipun Reza menelepon Rena terlebih dahulu.
"Ini tidak benar Ren," ucap Reza menggantung.
"Maksudmu?" Tanya Rena bingung.
"Aku tidak mau meneruskan pernikahan ini. Aku sama sekali tidak menyukaimu Rena." Kata Reza singkat, tetapi seperti pisau belati untuk Rena. Kena, tepat di hati Rena.
Sesaat ponsel itu tak bersuara, Rena dan Reza sama-sama terdiam.
"Baiklah." Hanya itu jawaban yang keluar dari mulut Rena. Kemudian tak ada lagi suara, telinga Reza kini tak mendengar suara Rena.
Ke esokan harinya, Rusdi menelepon Hasan. Menyatakan pembatalan pernikahan Reza dan Rena.
"Apa yang terjadi? Besan kita membatalkan pernikahan bu," ucap Hasan dengan suara yang meninggi.
"Kok bisa yah?" Tanya Amira.
"Reza, ada apa dengan Rena? Mengapa ia membatalkan pernikahan kalian," ucap Hasan panik kepada putra sulungnya.
"Reza tidak tahu yah." Jawab Reza.
Amira langsung menghampiri Reza yang sedang duduk lesu di tempat tidurnya.
"Pantas kamu terlihat lesu nak." Kata Amira sambip menelus kepala putranya.
"Aku tidak menyangka bu, Rena membatalkan pernikahan yang tinggal 3 hari ini, dengan alasan tidak cocok dengan putra kita." Suara Hasan lebih melemah. Ia pun terduduk lesu di samping Reza dan Amira.
"Nak, kalian bertengkar?" Tanya Amira pada Reza.
Reza hanya menggeleng. Reza masih tidak mengerti mengapa Rena masih menutupi kesalahannya? Rena tidak mengatakan alasan sebenarnya, malah ia rela di jadikan tumbal karena keegoisannya.
"Ibu akan menelepon Rena." Amira merampas ponsel yang tengah di pegang Reza.
"Tidak aktif yah." Ucap Amira lesu.
"Ayah juga sudah menelepon Hasan berkali-kali, tapi tidak aktif bu." Kata Hasan sambil meremas ponselnya.
"Ayah juga sudah menelepon Rena, juga tidak aktif." Kata Hasan lagi.
"Nak, sabar ya! Kami akan terus menyanyakan hal ini pada keluarga Rena." Ucap Amira menenangkan Reza.
Padahal Reza tahu persis, apa yang sedang terjadi. Kekacauan ini karena ulahnya.
Tiga hari berlalu, hari yang di jadwalkan sebagai hari pernikahan Reza dan Rena berlalu begitu saja. Keluarga Rena pun tak ada kabar, hanya dari tetangga yang memberitahu bahwa keluarga Rena sedang mengunjungi kerabatnya di Singapura.
Semakin hari, Reza sering menyendiri. Ia merenungi keputusannya yang terlalu cepat. Antara bersalah atau memang seharusnya ini terjadi. Entahlah, ia belum menyadarinya.
"Melamun aja pak," Doni mengagetkan Reza yang sedang duduk di kursi ruangan para dosen.
"Eh.. Don." Sapa Reza yang masih terlihat lesu.
Gagalnya pernikahan Reza dan Rena seolah seperti Reza yang menjadi korban, padahal sebaliknya. Di sini, Renalah yang sakit hati. Namun, sikap Reza yang lesu, pendiam dan lebih menyendiri, membuat orang-orang di sekitarnya berasumsi ia sedang patah hati. Padahal ia sedang merasa bersalah.
"Akhirnya tidak jadi menikah pak?" Tanya Doni, yang hanya di jawab dengan gelengan kepala Reza.
"Belum jodoh pak, sabar ya!" Kata Doni menenangkan hati Reza.
Tiba-tiba Shania datang dan duduk di kursinya. Shania adalah teman sesama dosen di kampus itu, yang duduk di posisi sebelah kanan Reza, hanya di seling oleh kursi Doni. Shania dosen wanita yang modis, langsing, dan berparas cantik karena polesan make-upnya.
"Sabar pak Reza, saya juga abis patah hati. Tapi saya bisa langsung move on." Celetuk Shania, saat Reza dan Doni sedang berbincang.
"Anda putus dari tunangan anda juga bu?" Tanya Doni. Kini perbincangan menjadi tiga orang, dengan satu meja panjang, tetapi duduk pada kursi masing-masing.
Shania mengangguk. Kemudian ia berkata lagi, "di jadikan pelajaran saja pak, saya juga begitu. Sekarang saya mah udah ga mau lagi nyari yang ganteng tapi hatinya ga baik mending seperti pak Reza aja, tampang biasa tapi baik."
Reza terkejut, pasalnya sebelum bertemu dengan Rena, Reza pernah mendekati Shania dan beberapa kali memberikan hadiah kecil untuknya. Mengutarakan perasaannya. Namun, Shania menolak Reza mentah-mentah. Shania beralasan Reza bukan tipe lelaki idamannya. Sekarang, ia menjilat ludahnya sendiri. OMG!
Sebelum melangkah keluar ruangan, Shania melewati kursi yang di duduki Reza. Ia berkata pada Reza, "kita bisa mulai lagi dari awal pak. Hmm.. kebetulan weekend besok saya tidak ada acara, kita bisa jalan-jalan ke mall, nonton atau makan malam." Senyum Shania, kemudian pergi meninggalkan Reza dan Doni.
"Tuh di tantangin bu Shania! Coba penjajakan saja dulu pak, siapa tahu cocok." Kata Doni pada Reza dengan nada semangat, lalu ikut pergi meninggalkan Reza sendiri di ruangan itu.
Sebelum meninggalkan kampus, Shania menghampiri Reza yang sedang memakai helmnya di parkiran.
"Kita jadi jalan-jalan besok pak?" Tanya Shania.
"Boleh." Jawab Reza sambil memasangkan helm pada kepalanya.
"Okeh." Senyum Shania. Namun, ketika kakinya baru melangkahkan dua kali, ia menoleh ke arah Reza lagi.
"Oiya, nanti pas jalan sama saya, jangan lupa pakai wig ya pak. Terus satu lagi, jemput saya tepat waktu. Oke!" Shania berkata dengan tegas.
Reza hanya menelan ludahnya kasar dan mengangguk.
Di perjalanan saat mengemudikan motor, ia teringat pada Rena. Selama bersama Rena, ia menjadi dirinya sendiri. Rena tidak pernah menuntut Reza harus memakai wig untuk menutupi kekurangan pada rambutnya, ia juga tidak pernah meminta Reza untuk bersikap manis padanya, ia juga tidak pernah menuntut Reza untuk memberikan perhatian.
****
Malam ini Reza menjemput Shania tepat waktu. Ia sangat risih dengan wig yang di pakainya. Beberapa kali wig itu selalu bergeser pada tempatnya. Belum lagi, saat membuka helm, wig itu sempat tertinggal di dalam helm. Sungguh merepotkan.
"Kita langsung nonton aja ya, Za?" Pinta Shania yang sudah bergelayut manja pada lengan Reza.
Kini mereka sudah berada di sebuah mall besar, sesuai rekomendasi Shania. Selesai nonton, Shania minta di belikan tas, yang harganya tidak kecil. Belum satu hari Reza jalam-jalan dengan Shania, tetapi uang Reza sudah terkuras 30% dari gajinya. Apalagi, jika jadi istri dan tinggal lebih dari sehari. Tidak bisa di bayangkan.
Kegiatan jalan-jalan mereka berakhir pada sebuah Resto. Resto yang terbilang cukup mahal, sesuai rekomendasi Shania juga pastinya.
Ketika mereka duduk, terdengar suara riuh di seberang sana. Ternyata ada sekelompok orang yang sedang merayakan ulang tahun.
"Selamat ulang tahun.. selamat ulang tahun.. selamat ulang tahun.. semoga panjang umur.." lantunan kata itu di nyanyikan oleh beberapa orang di sana, sehingga suaranya terdengar beberapa pengunjung yang lain dan mengundang perhatian.
Ting.. ting.. ting.. seorang gadis membenturkan sebuah gelas dengan sendok.
"Attantion please!" Kata gadis itu.
"Untuk semua pengunjung Resto ini, kebetulan teman kami sedang berulang tahun, jadi kalian bebas pesan apa saja, gratis!" Gadis itu menekankan kata terakhirnya sambil menunjukkan siapa orang yang sedang berulang tahun itu.
Reza menoleh dan mendapati Rena yang sedang berdiri di sana. Ternyata gadis yang tengah berulang tahun itu adalah Rena, gadis yang sudah ia sakiti. Tatapan Reza sesekali beralih pada Rena yang berada di seberang tempat duduknya. Teman Rena banyak, senyum Rena pun selalu mengembang tatkala ia berbincang pada teman-temannya. Ternyata begitu banyak yang menyayangi gadis yang ia sakiti itu. Memang banyak kelebihan di diri Rena, tetapi entah mengapa Reza hanya melihat satu kekurangannya, yaitu postur tubuh yang agak subur.
Rena tersenyum, ketika mendapati Reza yang tengah memandang dari tempat duduknya. Rena masih saja bersikap ramah pada Reza, seperti sebelumnya. Padahal, Reza sudah sangat menyakiti hatinya.
"Wah sering-sering aja di Resto ini ada yang ulang tahun. Jadi bisa makan gratis," ucap Shania dengan tawa renyahnya.
Reza mengeryitkan dahinya, ia merasa tidak ada yang lucu. Tak lama kemudian, Rena menghampiri tempat duduk Reza dan Shania.
"Hai, apa kabar, Za? Tanya Rena dengan senyum manisnya.
"Baik," jawab Reza dengan suara datar.
"Hai, saya Rena," ucap Rena pada Shania sambil mengulurkan tangannya untuk berkenalan.
"Hai, saya Shania." Uluran tangan Rena langsung di sambut Shania.
"Kalian kenal?" Tanya Shania dengan tatapan bergantian ke arah Reza dan Rena.
"Iya, kami hanya pernah kenal di medsos." Rena yang langsung menjawab pertanyaan Shania.
Reza hanya terdiam, ia tak berani bersuara. Bertemu dengan Rena membuatnya semakin dipenuhi rasa bersalah. Ini adalah kali pertama, ia bertemu dengan Rena lagi. Setelah sebelumnya, ia membatalkan pernikahan sepihak melalui telepon, di sertai kata-kata yang begitu menyakitkan.
"Oh ya, selamat ulang tahun." Kata Shania pada Rena.
"Terima kasih." Jawab Rena dengan penuh senyum.
"Baiklah, selamat menikmati hidangannya. Saya permisi." Rena meninggalkan pasangan tersebut.
Reza berpamitan pada Shania untuk pergi ke toilet. Sejujurnya, Reza tengah mengejar Rena yang sedang berjalan ke toilet. Reza berdiri di depan toilet wanita, menunggu Rena keluar.
Di dalam toilet, Rena tidak benar-benar sedang buang air kecil. Ia hanya sedang menata hati dan menata penampilannya. Di hadapan Reza, ia ingin terlihat baik-baik saja. Ketika Rena keluar dari toilet, langkahnya terhalang oleh tubuh Reza. Kakinya terhenti.
"Mengapa kamu masih bersikap baik padaku?" Tanya Reza dengan menatap mata Rena.
"Mengapa harus bersikap tidak baik?" Rena balik bertanya dengan sedikit mengangkat bahunya.
"Harusnya kamu marah, benci, menamparku atau memukulku." Ucap Reza dengan menampar sendiri pipinya.
"Apa itu semua akan mengubah keadaan?" Tanya Rena dengan senyum kecut.
"Maaf. Hanya saja, jika kita menikah akan semakin banyak orang yang mencemooh kita. Aku sudah lelah dengan cemoohan orang-orang terhadap kekuranganku, di tambah denganmu.." Kata Reza dengan nada lirih dan tertahan.
"Masalahnya bukan pada mereka Za, masalahnya ada pada dirimu sendiri. Kita tidak hidup dengan komentar mereka, kita hidup dengan hidup kita sendiri. Justru yang membuat lelah adalah ketika kita harus bersikap sempurna di hadapan orang lain." ucap Rena dengan lembut, tetapi kata-katanya seperti pisau yang tepat menusuk di hati Reza.
Sejenak Reza terdiam, ia tak lagi membalas ucapan Rena. Hingga Rena pergi meninggalkannya.
"Kamu lama sekali di toilet?" Tanya Shania, setelah mendapati Reza yang duduk kembali di hadapannya.
"Maaf, perutku sakit." Ucap Reza beralasan.
Kemudian Reza dan Shania meninggalkan Resto itu. Reza mengantarkan Shania pulang.
"Za? Hei?" Tangan Shania di jentikkan tepat di wajah Reza. Selama di perjalanan, Reza hanya diam. Ketika sampai di depan rumah Shania pun tatapan Reza masih kosong, hingga tidak mendengar sapaan Shania tadi.
"Oh iya, bagaimana?" Reza mulai tersadar dari lamunannya. Sebenarnya dari tadi Reza mencoba untuk mencerna perkataan Rena. Benar adanya, bahwa selama ini ia begitu ingin terlihat sempurna di mata orang lain. Hingga tidak menyadari bahwa kekurangan fisik itu bukanlah aib.
"Ya sudahlah, sepertinya kamu sedang tidak fokus. Sampai ketemu nanti di kampus. Bye.." ucap Shania meninggalkan Reza yang masih mematung di motornya.
Satu hari, dua hari, Reza mulai menata lagi hidupnya. Ia terus merenungi perkataan Rena. Ia mulai bertanya pada dirinya, apa yang ia inginkan? Dan Apa yang ia cari? Sejujurnya Rena sosok gadis yang baik dan menyenangkan. Sejak awal berkenalan dengan Rena, ia gadis yang periang dan banyak bicara. Hal itu mampu mengimbangi Reza yang pendiam dan kaku.
"Za, makan dulu." Amira mengetuk pintu kamar anak sulungnya itu.
Sudah satu minggu Reza berdiam diri di kamar. Keluar kamar hanya untuk sarapan pagi dan bekerja. Pulang bekerja, sudah hampir larut malam, lalu mengurung diri lagi di kamar.
"Sudah berapa banyak telurmu yang menetas, Kak?" Tanya meledek Fatih.
Hasan langsung memukul kepala putra bungsunya, "jangan kurang ajar sama kakakmu!" Fatih langsung senyum dengan memperlihatkan jejeran giginya yang rapih.
"Sudah, Za. Kamu harus bisa move on. Apa kamu mau mama kenalkan dengan anak teman mama?"
Reza menggeleng.
"Biarkan ma, beri Reza waktu untuk menata hatinya dulu." Ucap Hasan.
****
Hai, pak Reza." Sapa Doni sambil menepuk bahu Reza. Ia melewati tempat yang biasa Reza duduki di ruangan itu.
"Hai, Don." Reza membalas sapaan Doni, setelah Doni duduk di sampingnya.
"Weekend besok ada acara pak?" Tanya Doni.
Kemudian Reza menggeleng.
"Kebetulan, besok ulang tahun pernikahan saya. Tidak ada acara spesial sih. Tapi saya ingin mengundang pak Reza saja untuk makan malam di rumah saya." Ucap Doni dengan senyum.
"Oh, begitu. Baiklah, saya pasti akan datang." Reza pun menjawab dengan senyum.
Ia merasa terhormat karena menjadi satu-satunya tamu yang di undang pada hari spesial Doni dan istrinya. Sekaligus ia ingin melihat sosok istri Doni, mengingat Doni begitu menyayangi dan sangat perhatian pada istrinya itu. Terlihat tatkala ia yang sedang menerima telepon dari istrinya atau ia yang tidak pernah absen membelikan buah tangan untuk istrinya, sepulang dari kampus.
Malam ini Reza tengah bersiap-siap untuk mengunjungi rumah Doni. Dengan bekal share lokasi yang diberikan Doni melalui whatsapp, Reza menemukan rumah teman sejawatnya itu.
Tok.. Tok.. Tok.. Reza mengetuk rumah Doni. Rumah Doni terlihat sederhana, tetapi begitu asri.
Ceklek.. Doni membuka pintu rumahnya.
"Assalamualaikum," ucap Reza, setelah pintu itu terbuka.
"Waalaikumusalam, akhirnya sampe juga pak." Kata Doni dengan senang. Senyumnya begitu mengembang.
"Silahkan duduk pak." Doni melebarkan tangannya ke arah sofa yang tak jauh dari pintu tadi.
Istri Doni pun keluar, menyambut kedatangan Reza. Istri Doni tidak begitu cantik, tetapi terlihat manis ketika tersenyum. Mungkin ini, yang membuat Doni menyukainya.
"Kenalkan pak, ini istri saya." Doni memperkenalkan istrinya.
"Namanya Hasna." Doni berkata lagi. Namun, istri Doni hanya mengangguk dengan terus tersenyum dan tak mengeluarkan suara.
Mungkin ia begitu pemalu, pikir Reza.
Setelah Reza berbincang dengan Doni di ruang tamu. Tak lama, Doni menawarkan untuk ke ruang makan dan menikmati makan malam yang sudah di hidangkan oleh istrinya.
"Enak ya pak?" Tanya Doni yang meilhatku makan dengan lahap.
"Iya Don, masakan istrimu enak sekali. Rasanya ingin tambah terus." Jawab Reza.
"Itulah mengapa saya begitu menyukainya pak." Ucap Doni. Hasna hanya tersenyum.
"Bapak pasti bingung kan, dari tadi istri saya hanya tersenyum?" Tanya Doni, membuat Reza menghentikan pergerakan alat makannya. Benar sekali, dari tadi hal itu juga yang ingin Reza tanyakan.
Reza mengangguk.
"Istri saya bisu pak. Namun, saya tetap mencintainya. Hatinya begitu lembut, ketaatannya pada Agama membuat saya damai. Di tambah lagi, dia selalu membuat perutku kenyang karena masakannya yang lezat." Kata Doni dengan penuh senyum sambil menciumi punggung tangan istrinya.
"Saya sangat beruntung memilikinya," ucap Doni lagi sambil menatap wajah istrinya. Sejenak mereka bertatapan mesra, membuat Reza membeku.
"Tapi, bagaimana kalian bisa berkomunikasi?" Tanya Reza dengan sedikit rasa tak enak.
"Oh iya, pasti pak reza juga bertanya-tanya soal itu. Karena pak reza sering melihat saya menelepon istri saya." Jawab santai Doni.
"Saya sangat mengenali istri saya pak. Jadi walaupun hanya terdengar suara teriakannya, saya mengerti yang mau ia jelaskan." Doni menjawab pertanyaan Reza lagi. Membuat Reza semakin terdiam.
Reza teringat dengan segala penolakan dirinya terhadap Rena. Rena lengkap dalam fisik. Untuk hati, ia juga memiliki hati yang baik. Memang, semua permasalahan hidupnya ada pada dirinya sendiri. Ia tidak bisa menyikapi hidup, ia tidak bisa menilai dari berbagai sisi. Ia tidak bisa mengambil hikmah seperti yang dilakukan Doni. Ia sungguh naif, melihat sesuatu hanya dari kacamata luarnya saja.
Setelah meninggalkan rumah Doni, sepanjang perjalanan Reza terus berpikir.
Reza mengendarai motor dengan pelan, sambil menikmati suasana malam kota Jakarta. Ia menepikan motornya, tepat di jantung ibukota. Kebetulan malam ini, adalah malam minggu. Ia duduk di pinggir jalan, sambil menatap setiap yang lewat di depannya. Ada sepasang kekasih yang sedang asyik bergandengan tangan. Ada juga sepasang suami istri, yang lengkap dengan satu atau dua anaknya. Ada beberapa yang ia lihat, benar-benar pasangan sempurna, keduanya cantik dan tampan, tapi itu bisa di hitung jari. Selebihnya, terlihat pasangan biasa, ada yang wanitanya cantik, tetapi prianya tidak. Ada yang prianya tinggi, tetapi wanitanya tidak. Atau ada yang prianya tampan, tetapi wanitanya tidak. Namun, mereka semua terlihat bahagia. Itulah cinta, tidak bisa di nilai dengan sebuah fisik, tapi rasa.
Ia menatap ponselnya, dimana ada beberapa foto lamarannya bersama Rena yang belum di hapus. Ia juga membaca lagi beberapa percakapan bersama Rena di whatsapp. Sungguh, ia sangat bodoh. Orang sebaik Rena, di abaikan. Padahal, Rena dengan sabar memaklumi segala sifat buruknya.
Reza men-dial nomor ponsel Rena. Ia ingin sekali memperbaiki semuanya.
****
Pagi-pagi sekali, Reza sudah berada persis di depan pagar rumah Rena. Ia tak berani memasuki rumah mantan calon istrinya. Ia hanya menunggu di depan, hingga Rena keluar dari rumahnya.
Greeek.. Rena membuka pagar rumahnya.
Rena melihat ada sosok pria yang sedang berdiri di sana.
"Kamu, ngapain di sini?" Tanya Rena bingung.
Reza langsung memegang kedua daun telinganya, sambil berjongkok. Ia menghukum dirinya sendiri di hadapan Rena.
"Maaf, karena aku berkata dengan ketus sewaktu di rumah sakit, padahal kamu ingin sekali menghabiskan nasi goreng itu." Reza berjongkok, lalu berdiri.
"Maaf, karena aku memarahimu sewaktu kamu mengupload foto lamaran kita di instagram." Reza berjongkok, lalu berdiri lagi.
"Maaf, karena aku berkata tidak menyukaimu." Reza berjongkok, lalu berdiri lagi.
"Maaf, karena aku diam saat keluargaku menyudutkanmu atas gagalnya pernikahan kita." Reza berjongkok dan berdiri lagi
""Maaf, karena aku baru menyadarinya sekarang." Reza berjongkok dan berdiri lagi.
"Stop!" Ucap Rena dengan tawa yang tertahan.
"Aku maafkan," jawab Rena dengan senyum.
Reza langsung menaiki motornya.
"Ayo aku antar!" Ajak Reza penuh harap.
"Tidak." Rena menggeleng.
"Nanti kita jatuh lagi." Rena berkata lagi.
"Tidak akan jatuh, kali ini aku siap membawanya," ucap Reza dengan penuh senyum.
Baru kali ini Rena melihat senyum di wajah Reza.
"Mulai sekarang, tidak usah menurunkan berat badanmu. Biarkan seperti ini." Kata Reza, setelah mereka berada di atas motor.
Reza menemui orang tua Rena dengan di penuhi rasa takut. Pasalnya, ia adalah dalang dari gagalnya pernikahan mereka.
"Mau apa kamu kesini?" Tanya Rusdi pada Reza yang sudah berdiri menghadapnya, di temani Rena tentunya.
"Pa..." Sapa lembut Rena pada sang ayah. Meisya hanya bisa mengelus punggung suaminya agar lebih tenang.
"Silahkan, anda pukul saya pak! Saya akan terima." Ujar Reza.
"Apa? Anda? Siapa anda?" Rusdi bertanya dengan nada tinggi.
"Saya hanya orang bodoh yang baru mengerti kebodohan itu sekarang." Ucap Reza menunduk.
"Maksud saya, jangan panggil saya dengan sebuatan anda! Panggil saya papa." Rusdi berkata lagi. Namun kali ini kata-katanya mulai melemah.
Rusdi merangkul pundak Reza. Membuat semua orang yang ada di ruangan itu tertawa dan menghelakan kasar nafasnya. Suasana yang tadinya tegang, seketika mencair seiring gema tawa Rusdi dan Meisya. Rza dan Rena pun ikut tersenyum. Terlebih Reza, senyumnya begitu mengembang.
Kedua keluarga yang sempat bersitegang karena tidak jadi menikahkan putra putrinya itu, kini kembali harmonis. Reza menceritakan kronologis gagalnya pernikahan mereka sebelumnya. Tepat di hadapan dua keluarga yang sedang bersilaturahmi untuk mengeratkan hubungan keduanya.
Sekarang, Reza menemani Rena fitting baju pengantin. Tidak seperti sebelumnya, Reza yang tak pernah senyum setiap kali jalan bersama Rena. Kini selalu menampilkan senyum sumringahnya, tatkala mereka berjalan berdua.
***END***