Metanoia
Langkah kaki saling bersahutan di belakang Xavier sama sekali tidak menggetarkan hatinya untuk menoleh ke belakang.
Sementara, ada seorang wanita yang sedang mati-matian menuntut alasan sebenarnya atas kandasnya hubungan mereka.
Jalinan cinta antara Rossie dan Xavier sudah pupus dua bulan lalu. Namun, masih banyak rentetan pertanyaan di kepala Rossie yang belum terjawab.
"Xavier, tunggu!" Rossie mencekal langkah mantan kekasihnya itu dengan menggenggam bisep kekar milik Xavier.
"Bisakah kamu berhenti menerorku seperti ini, Rossie? Kita sudah tidak ada hubungan apapun lagi, jadi pergilah," ucap Xavier dingin. Tatapan Xavier tak sehangat dulu, dan itu membuat hati Rossie tercabik-cabik.
Nama Xavier masih setia mengisi setiap sudut hati Rossie hingga detik ini. Alasan di balik hubungan mereka kandas semakin membuat Rossie tak yakin Xavier benar-benar mengakhiri kisah cinta mereka.
Rossie bergerak gelisah. Niat bicara empat mata dengan Xavier pun lenyap begitu saja, dipatahkan dengan penolakan Xavier barusan.
"Aku yakin kamu tidak serius mengakhiri ini semua 'kan, Xavier?" kata Rossie.
Bukan perkara mudah bagi Rossie melepaskan seseorang yang sudah menjadi alasannya untuk bahagia. Bersama Xavier, Rossie menyelami perasaan terindah yang pernah eksis dalam hatinya.
Tetapi kini, siapa yang menyangka perjalanan cinta selama empat tahun kandas begitu saja. Xavier begitu mudah memutuskan ikatan cinta yang masih menggelora dalam hati Rossie.
"Kalau aku nggak serius, buat apa memutuskan hubungan kita? Lagi pula aku lebih nyaman dengan hubunganku sekarang. Jelas bukan sama kamu," tandas Xavier kejam kemudian melepaskan pegangan Rossie di tangannya dan berlalu tanpa kata.
Wanita mana yang tidak sakit hati ketika orang yang ia cintai memilih berjalan sendiri tanpa ia di sampingnya.
Hati Rossie bergemuruh saat penolakan demi penolakan terus dilayangkan Xavier untuknya. Persetan dengan harga diri, Rossie hanya menginginkan Xavier kembali.
Disaat ia berjuang untuk mempertahankan hubungan ini, di momen bersamaan Xavier berusaha meruntuhkan harapan.
Entah wanita mana yang sudah membuat pria itu berpaling dari Rossie. Apakah penggantinya adalah sosok yang lebih baik darinya? Ataukah wanita itu jauh lebih mampu membuat Xavier nyaman dibandinb Rossie sendiri. Wanita yang sudah menemani Xavier empat tahun kebelakang ini.
Melupakan memang bukan perkara mudah untuk seseorang yang menyimpan perasaan cinta terlalu dalam. Di saat semua memori tentang mereka indah, mimpi buruk itu datang menyapa Rossie dan menamparnya pada kenyataan bahwa Xavier bukan lagi miliknya.
Rossie masih mematung di tempatnya. Menatap bayangan Xavier yang semakin menjauh dari jangkauan.
Hatinya sakit, rasanya seperti dicabik-cabik ribuan kali oleh kuku-kuku tak kasat mata.
"Rossie." Seseorang menepuk pundak Rossie dari belakang. Membuyarkan bayangan indah yang berseliweran di kepala. Rossie menoleh, dan mendapati Javier sudah berdiri di sampingnya.
"Kamu lagi apa di sini sendirian?" tanya Javier. Lelaki itu menatap wajah Rossie lamat, kemudian mengikuti arah pandang sahabatnya.
Kosong.
Hanya lorong sepi yang diapit oleh beberapa bilik ruangan. Lantai dasar adalah pusat dari segala aktivitas rumah sakit namun kali ini, area itu nampak lengang. Seolah sedang menggambarkan suasana hati salah satu dokter forensik yang sedang patah hati.
"Nggak apa-apa. Tadi sepertinya aku melihat seseorang yang aku kenal. Tapi dia sudah menghilang," jawab Rossie berbohong.
Lelaki di sampingnya mengernyitkan dahi, heran sekaligus menangkap kebohongan di mata Rossie.
Dugaannya itu didukung oleh simap Rossie yang tak berani menatap balik Javier.
"Kamu yakin? Aku nggak melihat siapapun dari tadi kecuali–"
"Um, Jav, aku pergi duluan, ya. Aku perlu ke toilet!"
Rossie berhasil membungkam mulut Javier–kakak dari sang mantan kekasih–saat Rossie bisa menebak ke arah mana lelaki itu akan membawa pembicaraan ini.
Tanpa menunggu persetujuan Javier, Rossie bergegas angkat kaki dari hadapan Javier. Bendungan air di pelupuk mata Rossie tidak bisa di tahan lagi. Langkah cepatnya membawa Rossie masuk ke dalam toilet wanita yang tidak jauh dari sana.
Rossie beruntung keadaan toilet wanita kosong. Air matanya tidak bisa dibendung lagi. Dalam keheningan isak tangisnya pecah.
Sulit baginya menerima kenyataan bahwa hubungannya dengan Xavier kandas sudah. Batinnya masih bertanya-tanya, Apa salahnya?
"Hiks! Hiks!"
Tangis Rossie terdengar pilu. Satu minggu bergumul dengan perasaan tak menentu menyiksa batinnya.
Jika balasan mencintai adalah mengikhlaskan, apakah harus sepedih ini?
*
Javier hanya bisa menatap kepergian Rossie dengan tatapan heran.
"Apa yang terjadi padanya? Kenapa dia terlihat aneh belakangan ini?" gumamnya.
Tak hanya sikap Rossie yang berubah, Javier juga tak lagi melihat kedekatan diantara wanita itu dengan adik kandungnya, Xavier.
Kecurigaannya membawa berbagai pertanyaan di kepala. Khawatir Rossie akan kehilangan kendali atas dirinya, lelaki berparas tampan pemilik mata indah itu memutuskan untuk menunggu Rossie di depan toilet.
Sambil memastikan keputusan yang ia ambil benar, kepalanya menoleh ke kanan dan kiri. Lorong rumah sakit masih sepi.
Kreek..
Suara pintu toilet yang dibuka membuat Javier menegakkan tubuhnya. Butuh waktu beberapa saat untuk memastikan sosok yang keluar dari sana adalah sahabatnya.
"Astaga, Javier?! Sedang apa kamu disini? Mengagetkan saja."
Rossie hampir kehilangan sebagian ruhnya karena terkejut dengan eksistensi Javier di sekitarnya. Lelaki itu tersenyum manis sambil menggaruk tengkuk yang tidak gatal sama sekali. Salah tingkah.
"Maaf, aku nggak sengaja mengagetkan kamu. Kamu baik-baik aja 'kan?"
Pertanyaan Javier terlalu terus terang. Sikap hangatnya bisa meluluhkan hati banyak wanita dan itu bisa membahayakan Rossie yang tengah menjaga hatinya dari sosok lain selain
Xavier.
Ya, Rossie masih memiliki segudang harapan yang kelak bisa Xavier ketuk untuk melengkapi gudang harapannya yang terasa hampa.
Sosok di depan Rossie saat ini adalah duplikat dari Xavier. Usianya hanya satu tahun lebih tua dari mantan kekasih Rossie itu.
"Aku baik-baik aja," jawab Rossie, kontras dengan isi hatinya yang sesungguhnya.
"Maaf, aku tidak menemukan itu di matamu."
Javier terlalu peka untuk Rossie yang tidak pandai menyimpan kebohongan. Meski mulut Rossie berkata baik-baik saja, matanya tak menyanjung demikian.
Rossie tidak bisa menjawab apapun lagi disaat Javier sudah berhasil mematahkan kebohongan yang Rossie buat.
"Ikutlah denganku," pinta Javier. Sebelah tangannya menggamit tangan Rossie dan menarik wanita itu untuk mengikuti langkahnya.
"Kita mau kemana?"
"Ikut aja. Kamu bisa membohongi dunia kecuali aku."
Javier membawa Rossie keluar dari rumah sakit. Lelaki itu cukup peka dengan perubahan sikap Rossie belakangan ini.
“Duduklah. Kamu mau pesan apa?” Javier mendudukkan Rossie di sofa yang ada di sudut ruangan kafe ini. Jaraknya dengan rumah sakit tidak lebih dari sepuluh meter.
Disaat hati Rossie masih meraung pilu, apapun yang akan tersaji di hadapannya nanti tidak membuat minatnya muncul.
Ditinggal Xavier dengan berbagai pertanyaan yang berseliweran di kepala bukan hal yang mudah untuk Rossie terima.
Bayangan tentang Xavier masih jelas melintas di pikiran Rossie hingga ia tidak menyadari sikapnya yang dingin telah menyinggung perasaan orang lain.
Javier menghela napas berat. Niatnya melangkah menuju kasir tertunda melihat Rossie yang diam mematung.
Sakit. Hatinya masih terluka parah ketika mental Rossie harus dihantam oleh kenyataan yang tidak pernah ia sangka sebelumnya. Apa salah Rossie sampai-sampai Xavier rela melepasnya demi wanita lain dari antah berantah.
Meski hubungannya dengan Xavier sudah berlalu, bukan berarti Rossie bisa dengan mudah menghapus semua memori indah yang telah terukir. Semakin Rossie berusaha untuk melupakan setiap.gelembung memori tentang Xavier di otaknya, bayangan sang mantan kian menjamur.
“Rossie, kamu nggak berniat membiarkan aku menunggu lebih lama lagi ‘kan?” suara Javier memecah semua fokus Rossie dari alam sadarnya. Ia menoleh, dan mendapati kakak dari Xavier ini berdiri cukup lama di sisi meja.
Rossie menyapu pandang, ia bahkan tidak ingat sejak kapan kakinya berpijak di atas lantai kafe ini.
“Apa aja terserah kamu,” jawabnya pasrah. Untuk beberapa detik Javier menatap Rossie dengan sorot menelisik. Mencari alasan paling mungkin yang telah membuat sahabatnya murung merana.
“Ya sudah tunggu sebentar,” kata Javier kemudian ia beralih menuju kasir.
Bukan hanya bayangan-bayangan memori yang membuat batin Rossie tersiksa, melainkan, keputusan Javier memilih kafe ini sebagai tempat persinggahan mereka di tengah jam istirahat.
Dulu, sebelum kisah cinta Rossie dan Xavier kandas, tempat ini adalah tempat persinggahan dua orang itu. Jaraknya yang sangat dekat dengan rumah sakit membuat kafe ini menjadi titik temu Xavier ketika mengunjungi Rossie di tempat kerja.
Berbeda dengan Javier, kakak Xavier yang memilih jalan melanjutkan karir sang ayah sebagai dokter forensik, Xavier memilih untuk mengabdikan diri pada bidang hukum yang sudah menjadi minatnya sejak kuliah dulu.
Tetapi sekarang, Rossie menyambangi kafe penuh kenangan ini dengan orang yang berbeda. Sosok yang hanya Rossie anggap sebagai sahabat sekaligus kakaknya.
“Aku lihat kamu murung terus belakangan ini, apa ada hal yang mengganggu?”
Entah sejak kapan Javier sudah berada di depannya. Lelaki itu sibuk mengatur posisi gelas kopi dan piring berisi kudapan yang dibawa pelayan.
Aroma roti menusuk penciuman Rossie, menggodanya untuk segera menuntaskan jam istirahat dengan mengisi perut.
“Nggak ada masalah apapun, kok. Cuma kelelahan aja,” jawab Rossie. Mentalnya belum siap untuk mengutarakan semua isi hati yang dipendamnya dalam-dalam.
Tetapi, Javier sangat peka dengan kegundahan yang sedang dirasakan oleh Rossie. Lelaki itu tidak sedikitpun melepaskan pandangannya dari Rossie. Mencari tahu kebenaran atas jawaban sahabatnya barusan.
Hiruk pikuk pengunjung lain di kafe ini melengkapi suasana hati Rossie yang kacau.
“Kamu tahu ‘kan, kamu itu nggak pandai berbohong,” kata Javier sedikit memberikan sindiran pada Rossie.
Hati Rossie masih ragu apakah ia harus membagi rasa sakitnya pada sosok yang mempunyai hubungan darah dengan mantan kekasihnya sendiri.
“Sejujurnya, aku khawatir sama kondisi kamu belakangan ini. Aku perhatikan kamu banyak diam dan menyendiri. Apa kamu sedang ada masalah dengan Xavier?” bagi Javier, menunggu jawaban Rossie terlalu lama. Dan pertanyaan yang keluar dari mulutnya barusan sudah Javier tahan sejak melihat perubahan sikap Rossie sejak dua bulan lalu.
Rossie mengangkat kepalanya, beralih menatap Javier dengan sorot berkaca-kaca. Desakan air mata akan segera merobohkan dinding pertahanan yang sudah Rossie bangun susah payah.
“Aku dan Xavier putus dua bulan lalu, Javier,” jawab Rossie dengan bibir bergetar.
*
Dua bulan lalu…
Di sebuah taman komplek Rossie melangkah dengan tergesa-gesa. Seharusnya ia sudah sampai di tempat ini sejak sepuluh menit lalu, namun padatnya jalanan membuat Rossie harus menyiapkan kata maaf berlapis-lapis saat bertemu dengan sang kekasih nanti.
Xavier, lelaki itu tiba-tiba meminta Rossie untuk menemuinya di taman komplek sebuah perumahan tempat pertama kali Xavier menyatakan perasaannya.
Jantung Rossie berdegup kencang kala itu. Setiap langkah menuju tempat yang disebut Xavier selalu mengundang kegugupan Rossie akan berbagai hal yang mungkin terjadi setelahnya.
Sama halnya seperti saat ini. Pagi-pagi sekali, di akhir pekan, Xavier menghubungi Rossie untuk sebuah pertemuan dadakan. Tak biasanya.
Rossie terlalu berpikiran positif di saat berbagai kekhawatiran berusaha mengintimidasi dirinya.
Dari jarak kurang lebih sepuluh meter Rossie berdiri, kedua matanya menangkap siluet seorang lelaki. Rossie sudah bisa menebak sosoknya hanya dari sekali pandangan. Siluetnya, bahkan setiap.gestur yang ditunjukkan lelaki itu sudah dihafal oleh Rossie di luar kepala.
“Semoga aja dia nggak bete karena menungguku,” gumam Rossie lantas bergegas menghampiri sang pujaan hati.
Awalnya, Rossie berniat untuk memberikan.sedikit efek kejut atas kehadirannya. Namun, melihat tubuh Xavier bergeming, niat itu seketika kandas. Xavier terlihat gelisah. Kedua tangannya tepat di depan dada sambil menatap lurus pada padang rumput di depan sama. “Sayang, maaf aku terlambat,” kata Rossie. Suaranya membuat Xavier menoleh. Rossie pikir, lelaki itu akan terkejut dengan kedatangannya. Namun, realita tidak berpihak pada Rossie. Sebaliknya, ia justru dikejutkan dengan mimik wajah Xavier yang terlihat serius.
Suasana diantara keduanya langsung berubah tegang. Rossie bergerak gelisah.
Menghampiri sang kekasih sambil melayangkan kecupan kecil di pipi kanan Xavier.
“Maaf, ya. Kamu harus menunggu lama. Aku–”
“Rossie, ayo kita putus.”
Rossie belum selesai berceloteh, ia juga belum sempat melampiaskan kegundahannya saat melihat sikap Xavier tadi.
“Apa kamu bilang? Putus? Kamu bercanda ‘kan, sayang?” kata Rossie. Menyangkal adalah cara terbaik untuk menghalau luka.
Jangan pikir Rossie tidak mendengar kalimat mematikan yang keluar dari mulut pacarnya ini. Rossie dengar, namun, Rossie masih meyakini kalau dirinya hanya salah dengar.
“Aku serius. Aku nggak bisa berhubungan lagi sama kamu. Jadi, aku rasa hubungan kita cukup sampai di sini,” balas Xavier. Kata-katanya terdengar semakin kejam di telinga Rossie. Rossie diam.encoba mencerna setiap kata dari mulut Xavier.
“K-kenapa kamu bicara begitu? Kita udah pacaran empat tahun, kenapa kamu putuskan hubungan kita ini, Xavier? Apa aku ada salah sama kamu?” rentetan pertanyaan itu keluar tanpa kendali. Mulutnya terus bicara tanpa henti. Xavier yang mendengar itu lama-lama jengah.
Pegangan tangan Rossie di tangannya dihempaskan begitu saja. Bahkan Xavier mundur beberapa langkah untuk memberikan jarak padanya.
Sikap Xavier barusan langsung menorehkan luka dihati Rossie.
“Kamu nggak salah apa-apa. Aku yang memilih untuk mengakhiri ini semua. Tolong terima keputusanku,” kata Xavier. Kedua kakinya perlahan bergerak menjauh. Tanpa berkata apapun lagi, Xavier membalikkan tubuhnya. Meninggalkan Rossie yang masih setia memanggil nama Xavier di belakangnya.
Napas Rossie tercekat. Tenggorokan kering karena terus berteriak memanggil nama Xavier berulang kali tapi tidak ada tanggapan.
Hingga bayangan Xavier menghilang dari pandangan, Rossie masih berusaha mengontrol dirinya. Pelan-pelan menelaah situasi saat ini.
Hatinya terkoyak, ditambah harapannya sirna begitu saja karena Xavier benar-benar telah menghilang dari pandangan.
Tega. Hubungan yang sudah Rossie banggakan selama empat tahun kini kandas tanpa alasan yang jelas. Satu-satunya sosok yang telah mengisi hampir sstiap sudut hatinya pergi tanpa meninggalkan salam perpisahan yang baik dan hanya menorehkan luka di dada.
Rumput hijau, selir suara air mancur di tengah taman seolah menjadi saksi hari ini akan menjadi hari yang tidak akan pernah Rossie lupakan.
Rossie tidak bisa menggapai Xavier mulai detik ini. Kenyataan itu sudah menghantam mental Rossie sedemikian rupa hingga berbagai pikiran negatif pun berkecamuk di kepala.
Rossie hengkang dari tempatnya berpijak. Membawa serpihan hati yang berceceran di setiap langkahnya pulang ke rumah. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya, Xavier akan meninggalkannya dengan cara tragis seperti sekarang.
Pulang dengan hati yang hampa, kedatangan Rossie disambut oleh seorang wanita berusia empat puluhan yang duduk di ruang keluarga. Mendapati putrinya pulang dengan langkah gontai, Shinta–mama Rossie-melayangkan sebuah pertanyaan menohok.
“Rossie, kamu sudah pulang? Kenapa wajah kamu ditekuk begitu. Habis putus cinta, ya?” tanya Shinta meledek.
Melesakkan tubuhnya di sela-sela bantal sofa, Rossie merengut pilu. Suasana hatinya tidak karuan. Sedih, kecewa, marah, dan tidak menyangka bercampur jadi satu. Apa salahnya? Apa yang salah dengan keadaan?
“Kamu kenapa, sih? Datang-datang bukannya salam. Sapa mamanya baik-baik. Ini malah pasang muka cemberut kaya gitu. Ada apa? Cerita sama mama.”
Bujukan mamanya terdengar seperti sebuah solusi yang tepat. Tapi tidak untuk suasana hati Rossie yang bergejolak. Rasanya ia tidak berniat mengeluarkan sepatah katapun bahkan hanya untuk memberikan penjelasan.
Rossie membawa tubuhnya miring ke kiri, berhadapan dengan mamanya. Tatapan heran sekaligus penasaran sudah menghiasi manik indah hitam legam milik Shinta. Warna yang sama dengan milik Rossie.
“Nggak apa-apa, ma. Aku cuma kecapekan saja. Banyak kerjaan yang harus selesai sebelum jatah cuti ku dimulai,” jawab Rossie. Ia tidak pandai berbohong, tapi kali ini sepertinya Rossie melakukannya dengan sangat baik. Tidak ada guratan curiga, pun rasa penasaran yang semakin besar di wajah mamanya. Rossie bisa bernapas lega ketika mengetahui itu.
“Ya sudah, mandi dulu sana. Kamu pasti lelah setelah bekerja.”
Tepat setelah pertemuannya dengan Xavier tadi. Rossie memaksakan diri melepas penat dengan bekerja. Padahal, hari ini adalah hari pertama Rossie libur setelah pengajuan cuti selama empat hari ke depan.
Deretan rencana sepanjang struk belanja bulanan sudah Rossie buat. Antusiasme yang menggebu-gebu membuatnya tak sabar untuk menanti hari esok. Hari dimana dirinya telah membuat janji pada Xavier untuk menghabiskan waktu bersama.
Tetapi. Rossie harus menelan bulat-bulat kenyataan bahwa pagi tadi adalah kali terakhirnya menyandang status sebagai kekasih Xavier–seorang Jaksa muda yang terkenal dengan kemampuannya yang mengagumkan dalam membedah kasus.
“Hei, kenapa melamun? Sudah mandi sana sebelum terlalu sore.” sentuhan Shinta di lengan putrinya membuatnya menoleh.
“Iya, iya. Ya sudah, aku ke kamar dulu, ya, ma.”
“Iya, dua jam lagi turun untuk makan malam ya!”
Dari anak tangga kesekian Rossie hanya mengangguk. Entah responnya itu bisa disadari oleh mamanya atau tidak, Rossie tidak peduli. Yang penting sekarang, Rosssie harus mengasingkan diri dari kelamnya realita. Terasa menyakitkan, namun harus Rossie terima.
Pintu kamar bercat putih itu ditutup rapat-rapat. Dikunci dua kali lalu Rossie merebahkan tubuhnya di ranjang. Sprei warna merah muda motif bunga lily adalah dua aksen kesukaannya. Ia melirik dua tangkai bunga Lily yang terpajang di sudut kamar. Di atas meja kerja tepat di samping komputer.
Bunga itu pemberian dari Xavier dua minggu lalu. Disaat romansa cinta diantara keduanya masih membara begitu hebat.
Tetapi hari ini, seperti musibah. Kobaran cinta seolah meredup disiram kenyataan kalau Xavier memilih melanjutkan jalannya sendirian tanpa Rossie di sampingnya.
“Apa sih salahku, Xav, Sampai kamu rela mutusin hubungan kita?” Rossie bergumam.
Hatinya ditikam berkali-kali. Pikirannya masih menyanggah meski kenyataan sudah berada di depan mata–Xavier tidak menginginkan Rossie lagi.
Ayo kita putus.
Tiga kata itu masih terngiang di kepala Rossie sampai sekarang. Sepertinya, sengaja menyibukkan diri di rumah sakit tadi jadi usahanya yang paling percuma.
“Gimana aku bisa melewati semuanya tanpa kamu, Xav? Empat tahun aku bergantung sama kamu. Menaruh harapan tahun depan kita bisa mewujudkan pernikahan impian itu.”
Sesak di dada Rossie semakin menjadi. Apalagi saat ia membayangkan sebuah acara pernikahan yang digelarkan di pinggir pantai. Dihiasi pemandangan laut lepas dan angin sepoy-sepoy. Adalah impiannya dengan Xavier.
Sama-sama pecinta laut, sama-sama pecinta taman bunga. Mengenal Xavier bagaikan menemukan rumah kedua bagi Rossie. Menghabiskan waktu untuk melakukan hal yang sama-sama mereka suka adalah hal yang paling sulit ia temukan lagi setelah hubungan mereka kandas.
Kenangan yang diukir Xavier dalam hidup Rossie terlalu mahal untuk digantikan oleh apapun.
Rossie beralih meraih tas yang tergeletak di atas ranjang yang sama dengannya. Mencari benda pipih di dalam salah satu saku tasnya.
Layar ponselnya menyala. Foto latar belakang ponselnya bahkan masih menggunakan foto terakhir sebelum hubungan mereka berakhir.
Diambil tiga bulan lalu. Mantan sepasang kekasih itu menghabiskan akhir pekan dengan berkunjung ke pantai. Lautan lepas menjadi saksi perjuangan cinta Rossie dan Xavier jauh lebih kokoh dibandingkan alasan Xavier memutuskannya.
Beberapa saat Rossie memandangi foto mereka. Bahkan ketika layar ponselnya mati, pandangan Rossie masih terpaku pada benda itu. Seolah ada magnet yang berusaha untuk menstimulasi otaknya agar terus memikirkan Xavier.
Tetapi di sisi lain, hati Rossie tidak terima dengan kenyataan yang harus ia telan. Ini tidak adil, ditinggalkan tanpa alasan, pertemuan serba dadakan, sama sekali tidak menunjukkan diri Xavier yang sebenarnya.
Butir-butir kecurigaan muncul di kepala Rossie. Mengarahkannya untuk mengaktifkan kembali ponsel dan membuka aplikasi pesan singkat.
Ketika deretan pesan terbuka, nama Xavier berada di paling atas. Sengaja Rossie sematkan sebagai pesan prioritas. Ya, sebucin itu Rossie pada Xavier.
Rossie kira, semua ini bisa diperbaiki. Tetapi sedetik kemudian harapannya diruntuhkan kembali ketika melihat foto profil Xavier di aplikasi pesan singkat itu.
Tidak ada foto mesra Xavier dengan dirinya seperti sebelumnya–tadi pagi. Yang ada hanya foto Xavier seorang diri mengenakan jas hitam terlihat profesional.
“Kayaknya kamu serius sama omongan kamu tadi, Xav. Tapi apa masih boleh aku berharap kamu balik lagi sama aku?”
***Download NovelToon to enjoy a better reading experience!***
Comments