Setan Gepeng

Setan Gepeng

Setan Gepeng

 Oleh Damar Pratama Yuwanto

Aku melangkah kaki menuju masjid untuk Shalat Jumat dan terus mengingat-ingat

kejadian beberapa pekan lalu yang membuat kelas heboh seperti kawanan cacing

yang kepanasan. Bukan tanpa alasan mengapa aku flashback kisahku ini pada hari

Jumat karena hanya di hari yang mulia ini orang tuaku mengizinkanku

bermain-main setan gepeng.

Ya,

aku menyebut

benda yang sebenarnya handphone alias telepon genggam itu sebagai setan

gepeng. Aku menyebutnya demikian karena salah seorang

guruku saat upacara menjuluki benda itu sebagai setan gepang. Ia

mengganggap

handphone yang berbentuk datar tersebut adalah setan karena membuat

banyak siswa malas belajar. Menurut guruku, setan yang sesungguhnya saat

ini adalah handphone yang membuat hampir semua siswa lalai

terhadap segala-galanya dan membuat banyak siswa gagal dalam ujian.

Hari Jumat pada

siang hari yang sangat cerah namun terik, seperti biasanya mataku seakan penuh

dengan cahaya. Sangat menyilaukan. Terkadang aku berjalan menuju

masjid dengan mata yang terpicing atau

menutup sebagian wajahku dengan sarung saking membanjirnya cahaya.

Hari yang cerah

itu mengingatkanku pada beberapa pekan lalu saat aku membeli akun e-mail dari

David, teman sekelasku di SMP,

untuk bermain game Clash of Clans (COC). Ini adalah salah satu pengalaman terburuk selama

aku menjadi seorang gamer, tapi biar bagaimanapun aku harus menanggung risiko untuk menjadi seorang gamer sejati.

Game itu memang

kuno dan bagi sebagian gamer, COC

dianggap ketinggalan zaman. Tetapi aku sangat menyukai COC sebagai sesuatu yang tak terpisahkan dari

diriku dan kenangan masa kecilku.

Tentu saja aku

sangat tergiur dengan penawaran David. Ia menjual akun itu seharga 25 ribu rupiah. Ia menjual akun COC tersebut dengan harga

yang benar-benar rendah, jika dibandingkan harga yang ditawarkan gamer-gamer

lain di toko online.

Saat itu, David bertanya padaku seperti biasa, hanya basa-basi menayakan mengapa aku tak pernah membawa

handphone ke sekolah.

"Eh Farid

elu ngapa dah ke sekolah gak pernah bawa handphone?" tanya David padaku.

"Nggak apa

apa aku cuma takut aja kalau dibawa nanti handphone-nya bisa rusak atau ilang, lagian orang tuaku

juga gak ngizinin aku main handphone

setiap hari. Orang tuaku cuma ngizinin aku main handphone hari Jumat pas pulang sekolah sampai

Sabtu, karena Sabtu sekolah

libur. Itu pun cuma sampai baterainya habis," jawabku sambil tersenyum.

Dengan basa-basi

David bertanya lagi padaku. "Ngomong-ngomong elu kalo di rumah main game

gak?"

 "Iya maen

sih kadang-kadang kalo lagi bosen hehehe,"jawabku.

 "Elu main game apa?” tanya David penasaran.

 "Yah

palingan aku sih main COC, game kesukaanku sejak masih kelas 5 SD,"

jawabku.

 "Emangnya

elu maen COC udah level TH berapa?" tanya David yang sepertinya penasaran.

 "Yah masih

TH 7 sih, aku kan jarang maen

hehehe," jawabku agak malu-malu.

 "Ngomong-ngomong

elu mau akun gua nih TH 11 gak prematur kok," tawarnya basa basi.

 TH 11?

Ini pasti hari keberuntunganku, "Mau! memang kamu mau ngasih harga berapa?"

tanyaku antusias.

 "Murah kok

cuman 25 ribu," jawabnya sambil memiringkan topi dengan sok keren.

 "Ok maulah

yang penting dapet akun TH 11," cetusku dengan perasaan senang.

Aku

sangat senang

karena akhirnya aku memiliki jalan pintas yang tak kuduga sebelumnya

untuk

menamatkan game yang membutuhkan kesabaran dan sudah susah payah

kumainkan

sejak duduk di bangku kelas 5 SD. Aku tidak akan ketinggalan jauh dengan

teman

teman alumni SD ku yang sudah mencapai TH 13. Aku pun langsung tergesa

gesa mencatat

alamat e-mail beserta passwordnya agar bisa kutautkan ke handphoneku,

serta membayar 10 ribu lebih dulu karena David mengizinkan untuk

mencicilnya.

Kini seakan aku

merasakan segentong manisnya madu setelah berjuang mengeluarkan keringat dan darah

di medan perang. Aku pulang sekolah dan bergegas menyembunyikan password email

itu di lemariku. Aku berharap tak ada yang dapat menjumpainya.

Saat aku

menyimpannya, aku teringat kembali jika aku ada tugas bahasa Indonesia di rumah

temanku. Aku pun langsung izin ke orang tua untuk pergi belajar kelompok di rumah

teman.

Setelah aku

diberikan izin untuk menyalakan handphone, aku langsung login di tengah kerja kelompok

bareng teman-teman. Aku sangat senang karena berhasil login tetapi agar lebih yakin aku membuka Google Play Games

untuk memeriksa kemajuan gamenya. Dan, aku benar benar gembira begitu aku tahu

bahwa COC-nya memang sudah TH 11.

Aku langsung

memainkanya sampai lupa dengan tugas yang seharusnya kuselesaikan.

Sampai-sampai Mira teman sekelasku langsung menegurku hingga aku terkaget karena terlalu asyik bermain game.

 "Woi kerjain

gak kamu, kerjanya diem mulu

kaya patung, aku

sendirian terus kan yang ngerjain tugasnya," ujar Mira sambil bersungut-sungut.

 "Maaf iya

sebentar kukerjain," jawabku sambil mengelus rambut.

Mira adalah anak

perempuan di kelasku

yang cerewet dan suka ngatur-ngatur teman-teman lainnya, termasuk diriku. Ia

selalu detail dan selalu mengomeliku. Tetapi

kuakui dia satu-satunya teman di sekolah yang peduli padaku.

Meskipun

Mira anak yang terlihat

rajin, jangan pernah remehkan

kemampuanya dalam bermain game.

Dia adalah gamer yang

sangat brilian.

Dia sering menyelinap ke

warnet sepertiku,

meskipun ayahnya melarangnya karena takut nilai ulanganya turun. Tapi

Mira benar-benar beda dariku meskipun menjadi gamer, itu semua tidak

pernah membuatnya kecanduan. Meskipun bermain game sesering aku,

nilai ulangan Mira

selalu jauh lebih tinggi dari ulanganku. Tapi tetap saja ayahnya tidak

memberikan izin

untuk bermain game,

bahkan pernah dia sampai disetrap berdiri di depan halaman rumah karena

ketahuan pergi ke warnet.

Meskipun aku agak

teralihkan karena bermain handphone,

aku masih berusaha mengerjakan tugas itu semampuku. Teman temanku yang lain

tidak bekerja sama sekali dan tak melakukan apa apa.

Selain menonton

anime percintaan yang menampilkan adegan tak senonoh, jika dibandingkan dengan

kisah cinta Dilan dan Milea yang terkesan lebih sopan. Dan ternyata untuk hal

ini aku dan Mira memiliki kesamaan. Kami berdua jijik melihat anime percintaan

yang sangat tidak pantas

dipertontonkan untuk anak SMP.

Setelah bekerja

sangat lama dan menyusahkan, akhirnya pekerjaan kelompok ini pun berakhir,

meskipun hanya aku dan Mira yang bekerja. Kerja kelompok yang menyusahkan itu akhirnya selesai. Kini

aku sudah sampai di rumah. Aku bergegas

menyiapkan buku pelajaran untuk

sekolah besok.

Hari ini pun tiba.

Hari paling menyebalkan dalam ceritaku. Aku mengetahui akun game itu telah diberikan David kepada orang lain karena tiba tiba

gamenya suka keluar-keluar

sendiri dari klan kelompok.

Barang barang dalam gameku tiba-tiba upgrade tanpa sepengetahuanku.

 "Maaf nih David, aku merasa ada orang lain yang mainin akun ini, selainku,"

tanyaku curiga.

 "Iya kemarin

akunnya gua kasih ke Kaban soalnya dia maksa," jawab David dengan agak panik.

 "Kok gitu

kan akunnya udah kubeli lunas," hardikku.

 "Ya udah elu

nanti kan bisa ganti passwordnya," jawab David tak bertanggung jawab.

Emosiku tiba tiba

seakan tercampur aduk antara marah, sedih, dan kecewa. Tak kusangka teman yang

kupercaya dengan baik selama ini ternyata tega mengkhianatiku. Hatiku terasa

terbelenggu kegelapan gerhana.

Kejadian itu membuatku tak nyaman mengikuti pelajaran sekolah dan membuat dadaku sesak sewaktu pulang sekolah.

Saat berjalan di

koridor menuju tempat parkir sepeda, pikiranku melayang tak karuan memikirkan

hal yang jelek-jelek serta memutar otak bagaimana dapat menguasai seluruh akun

game itu tanpa campur tangan Si Kaban, perampas akun gameku. "Awas kau

Kaban tanggung

pembalasanku!"

Meskipun aku

membelinya hanya dengan harga 25 ribu, harga yang sangat murah dibandingkan

jika aku membelinya di tempat lain yang bisa mencapai 2 juta rupiah, tetap saja

barang yang sudah dibeli dan telah terjadi kesepakatan antara penjual dan

pembeli, seharusnya tidak boleh

diberikan kepada orang lain. Barang itu sudah seratus persen menjadi hak milik

pembeli. Lagipula David sudah menerima uang itu secara lunas.

Kepalaku sangat

mumet saat berjalan di sepanjang koridor. Ketika langkah kakiku menginjak tanah bertanda aku

sudah sampai di parkiran sepeda.

Tiba tiba ada yang

menepuk pundakku dari belakang. "Ngapa lu cemberut Farid?" ternyata

Mira yang menepukku dari belakang sambil tersenyum.

 "Iya nih

akun game aku dibajak sama Kaban pusing deh aku," jawabku lesu.

 Mira pun

memperlebar senyumannya. Entah itu tersenyum atau tertawa mengejek.

xxx

Aku

selalu menunggu hari Jumat

dan sering berlari tergesa-gesa saat pulang ke rumah

seusai Shalat Jumat

demi memeriksa gameku. Ternyata masih ada orang lain yang memainkan

gameku. Huh.

Aku

telah melewati hari Sabtu

dan Minggu yang menyebalkan. Ini hari Senin aku harus kembali ke sekolah

yang

membosankan. Saat aku masuk ke pintu kelas, aku disambut dengan

kemarahan teman-temanku terutama Kaban. Ia sangat marah padaku meskipun

aku tidak tahu tidak tahu apa yang

telah terjadi.

 “Woy Farid,

elu ngeluarin semua anggota kelas kita yah?!!" amuk Kaban sambil mendorong badanku.

 "Nggak, aku gak tau apa apa," jawabku

kaget.

 "Gak usah boong lu kalo gak suka, gak usah gitu dong," ujar Kaban dengan nada tinggi.

 "Gak usah nuduh dong salah sendiri nyolong akun

orang!" sahutku.

Kaban

pun terdiam tetapi kejadian itu benar benar membuatku jengkel. Padahal dia yang salah mengapa justru dia marah-marah padaku.

Tetapi

aku juga masih penasaran siapa yang telah memainkan akun itu. Aku

semakin tidak suka dengan mereka yang menuduhku melakukan semua itu

padahal

kalaupun aku memang melakukanya aku tak

seharusnya disalahkan karena mempertahankan hak.

Beberapa

game online memang memungkinkan

untuk dimainkan dengan teman

secara berkelompok.

Mereka menuduhku

mengeluarkan seluruh anggota kelompok karena mereka memberikan jabatan wakil

pemimpin kepada Kaban

yang memungkinkan dia mengeluarkan anggota lain. Selain Kaban hanya aku yang bisa mengakses akun itu sekaligus

mengeluarkan yang lain.

Teman teman lain

menuduhku mengeluarkan seluruh anggota kelompok.

Aku

tak

nyaman saat hendak pulang

ke rumah. Aku dibayang bayangi

oleh ketakutan akan dikeroyok oleh teman-teman sekelasku yang akan

memburuku. Aku mempercepat kayuhan sepedaku. Aku melintas di jalanan

sepi di sisi kiri dan

kanan  hanya kebun kosong yang jarang dilewati orang. Tapi itu satu satunya jalan untuk menuju rumahku.

Usahaku

untuk keluar dari jalanan sepi ini dengan selamat sia-sia.

Ternyata

yang kutakutkan benar-benar terjadi! Sungguh sial! Mereka menemukanku di sini sendirian, di tempat sepi!

Mereka

langsung menarik kerah bajuku lalu mencari pohon terdekat dan langsung menekan

dadaku di pohon tersebut  untuk dijadikan korban "skip challange". Aku hanya bisa

menahan rasa sakit di dada. Aku terjatuh dan pura-pura pingsan. Mereka pun

langsung kabur melarikan diri

tanpa satu orang pun yang menjadi saksi mata.

Semua

kejadian buruk kemarin membuat kepalaku pusing semalaman. Saat tiba di sekolah aku melihat Mira

bersandar di dinding kelas. Ia

terlihat santai.

Senyumannya tersungging.

Aku pun langsung

menghampirinya.

"Mira aku

mau nanya dong kok tiba tiba tiba ada yang ngeluarin anggota kelompoknya Kaban di game padahal aku gak ngapa-ngapain

loh?" tanyaku dengan nada

penasaran.

 "Eh Farid ngagetin aja! Oh soal itu hmm kayaknya aku tahu siapa pelakunya" ujarnya sambil

tersenyum tengil.

 "Siapa pelakunya kok kamu bisa tahu?" tanyaku dengan kaget.

 "Dasar

anak culun, kamu lupa yah kalo pas belajar kelompok kamu sempat main

game

di sampingku? Aku bisa lihat password-mu. Kamu gak curiga sama sekali

aku masukin akun itu ke handphoneku dan aku lalu ngeluarin semua anggota

kelompoknya si Kaban di dalam game hahaha…" jawabnya sambil tertawa

terbahak-bahak.

 "Kenapa kamu tega ngelakuin itu?” tanyaku terkejut.

 "Salah sendiri gak waspada," jawabnya.

 Aku hanya terdiam

kesal.

Mira lantas

memandang wajahku dan langsung mengeluarkan senyumnya. Kali ini  bukan senyum keangkuhan.

Baru kali ini sepanjang

aku mengenalnya aku melihat senyuman tulus terpajang indah di wajahnya. Ternyata kalau diamati, saat tak

sedang jutek, Mira manis juga.

"Denger ya Farid, aku minta maaf aku ngelakuin ini buat ngasih

pelajaran ke kamu biar kamu gak kecanduan main game lagi. Soalnya sebenarnya kamu itu gak bodoh tapi

sejak kamu kecanduan main game nilai ulangan kamu mulai turun, kamu juga mulai malas ngerjain tugas, tolong maafin aku

ya aku sebenernya gak punya hak buat lancang maenin akun kamu, "jawabnya dengan senyuman seperti malaikat.

Sejenak aku terdiam. Di antara marah atau bahagia.

Tapi rasa bahagia agaknya yang lebih kuat menghinggapiku.

"Iya aku maafin kamu kok, mulai sekarang aku bakal berusaha ngilangin

game dari pikiranku,"

jawabku membalas senyumannya.

Setelah

kejadian itu aku berusaha membuang kesialan dari akun terkutuk itu.

Akhirnya aku menjual akun itu. Aku menjualnya kepada anak sekolah lain

karena

jika kujual akun itu kepada anak

satu sekolah aku takut anak itu akan diganggu oleh Kaban.

Aku

menjual akun itu seharga 180 ribu.

Mungkin ada hikmah dari semua kejadian ini. Aku mendapatkan keuntungan berlipat lipat

daripada saat aku membeli akun itu dari David. Aku juga sadar

di balik kecerewetannya, Mira ternyata sangat peduli padaku,

Aku

sudah memberi tahu pembeli akun itu jika akan ada pemain lain yang

mengakses akun itu. Aku pun memberi tahu Kaban jika ada pemain lain yang

memainkan akun

itu, maka itu

bukanlah aku karena aku telah menjualnya.

Kaban

terlihat agak

menyesal karena tidak mencoba membeli akun itu dariku. Sekarang aku

yakin dia tidak akan pernah bisa memainkan akun itu dengan tenang.

Depok, 2019

Episodes
Episodes

Updated 1 Episodes

Download

Like this story? Download the app to keep your reading history.
Download

Bonus

New users downloading the APP can read 10 episodes for free

Receive
NovelToon
Step Into A Different WORLD!
Download NovelToon APP on App Store and Google Play