Seorang gadis kecil melangkah bingung tak tentu arah, tangannya mengepal baju longgar yang ia kenakan. Bau amis yang menyeruak memekakkan hidung kecilnya. Dia menyusuri jalan yang di jelaskan ibunya sebelum beliau menghembuskan nafas terakhirnya di hadapan gadis kecil bernama Lily itu.
Air mata terurai dari kedua mata gadis itu, rasa sedih kehilangan keluarga satu-satunya bercampur rasa takut saat menyusuri hutan es yang gelap itu. Bercak darah di baju putihnya menjadi saksi pengorbanan sang ibu.
Sang ibu memeluknya dan menutupi tubuh kecilnya dari reruntuhan akibat bom yang meneror kotanya akhir-akhir ini.
“Lily .., saat nanti kau tak mendengar lagi suara ledakan itu, dan suara langkah orang-orang diluar meredup. Berjalanlah merunduk dan larilah ke dalam hutan es”, pinta sang ibu kepada anaknya dengan suara ketir menahan sakit.
Darah dari sekujur tubuhnya mengalir, ditambah sang ibu menerima reruntuhan itu menimpanya, untuk melindungi sang buah hati.
“Maafkan ibu tak bisa menemanimu, kau tak boleh mengeluarkan suara saat di perjalanan. Datangilah suatu suku yang ada di ujung hutan itu. Berjalanlah lurus dan hati-hati, karena di sana sangat licin” Sang ibu memberikan pesan terakhir berharap sang anak bisa bertahan hidup dan menemukan tempat berlindung dari kegilaan yang sedang berlangsung.
“ma...”, Lily memanggil ibunya dengan suara terisak.
“Mama menyayangimu anak", suara parau itu terdengar lirih dari mulut ibunya.
“Mama menyayangimu..”, suara sang ibu terdengar semakin lemah. Hingga mungkin saja suara tersebut keluar dari mulut orang yang sudah tak sadarkan diri.
Kaki mungil Lily bergetar dan terdiam setiap dia mengingat hal itu. Air matanya mengalir desar, sedangkan dadanya sesak menahan suara yang hampir keluar.
Udara yang dingin di hutan es hampir membekukan darah gadis kecil itu. Lengannya sudah tak bisa merasakan apa pun, dia bahkan tak sadar apakah ia menapak atau tidak.
Gadis kecil itu melihat sebuah cahaya remang, kedua lengannya di pegangi oleh seseorang dan membuatnya hangat. Saat dia sadar sang gadis sedang berbaring di sebuah gubuk kecil. Dia di kelilingi oleh 3 orang manusia dengan penampilan aneh.
Wajah mereka terlihat biru dan terlihat licin, telinganya mekar seperti sirip ikan. Hal itu membuat Lily terkejut dan terduduk. Ketiga makhluk itu menatapnya sembari memiringkan kepala mereka ke kiri dan ke kanan.
“Siapa kalian?”, tanya Lily mencoba tenang.
Tapi mereka tak merespons dan hanya terus memandangi Lily.
Tiba-tiba seorang dengan tubuh yang paling besar berdiri dan membalik badannya lalu berjalan ke suatu arah. Saat dia membalikkan badan terlihat ekor yang menjuntai seperti ekor kadal. Dia mengambil sebuah wadah berwarna biru dan menyerahkannya pada Lily.
Lily menerimanya dan melihat berry segar di wadah itu. Lily menatap ke arah makhluk tersebut dan mendapati makhluk-makhluk itu memperhatikannya.
Lily yang merasa lapar langsung memakan berry-berry itu dengan lahap.
“aakkkk..akkkk..”, 3 makhluk itu berteriak dengan suara yang memekik hingga Lily menjatuhkan wadah yang di pegangnya, dan menutupi telinganya rapat. Melihat Lily yang menutup telinganya, makhluk-makhluk itu terlihat terdiam dan membuka mulutnya. Giginya yang runcing dilumat oleh lidahnya yang panjang seolah sedang di bersihkan. Lily yang terkejut melihatnya mundur ke belakang, dia melihat tangannya yang terdapat noda darah yang keluar dari telinganya.
Lily ketakutan setengah mati, dia meraba-raba dinding yang terbuat dari tanah itu dan menyusurinya berharap menemukan jalan. Namun 3 makhluk itu menghalanginya dari semua arah.
Tiba-tiba beberapa tanah gubuk itu runtuh, ketiga makhluk itu terkejut dan menabrakkan diri ke sisi lain dari reruntuhan itu, mereka berlari pergi sementara itu suara langkah kaki mendekat dan terlihat seorang manusia memakai mantel tebal. Tubuhnya tinggi dan besar membuat Lily merasa was-was. Terlebih orang itu membawa senjata.
Saat melihat Lily yang ketakutan, orang itu berteriak ke arah luar dan masuklah 2 orang lain, yang satu seorang perempuan dan satunya seorang anak kecil. Mereka bertiga sepertinya sebuah keluarga dengan tubuh yang tinggi dan besar.
Perempuan yang tadi masuk mendekati Lily perlahan sambil ter senyum.
“Kau baik-baik saja?” perempuan itu sambil memperhatikan seluruh tubuh Lily.
Lily mengangguk untuk merespons, dia agak takut. Tapi setidaknya yang ada di depannya adalah manusia.
Perempuan itu menyodorkan tangannya sambil tersenyum, ekspresinya seolah berkata bahwa kami akan menjagamu. Lily meraih tangan itu, tapi saat hendak berdiri dia terjatuh dan tak sadarkan diri.
Terlihat cahaya terang itu menyilaukan mata sang gadis kecil, dia melihat sekelilingnya. Ada seorang lelaki mengorek-ngorek telinganya dengan sebuah alat kecil. Lily tak bisa merespons apa pun, badannya seolah mati rasa.
Sedangkan agak jauh di dekat sebuah pintu di ruangan itu, perempuan dan anak laki-laki yang tadi ia temui di gubuk makhluk aneh itu melihat ke arahnya, setelah beberapa saat orang yang mengorek-ngorek telinga Lily menghampiri perempuan itu, mereka bercakap-cakap beberapa saat.
Sayup-sayup Lily bisa mendengar suara mereka, namun semakin Lily bisa mendengar, rasa sakit di sekujur tubuhnya semakin terasa.
“Akhh..”, Lily merengek saat rasa sakitnya menyengat.
“Tahan sebentar ya, dokter bilang kau akan merasa sakit beberapa waktu”. Ucap perempuan itu menjelaskan.
Akhirnya Lily tinggal dengan keluarga tersebut. Mereka menjelaskan bahwa makhluk yang seperti manusia tapi mirip kadal itu adalah makhluk yang menghuni hutan es. Mereka disebut manusia kadal oleh warga setempat.
Sebenarnya mereka adalah makhluk penakut, tapi memangsa anak kecil ada hal yang paling disukai mereka. Mereka biasanya akan memberikan makanan pada mangsanya seolah-olah mereka membumbui mangsa tersebut. Setelah itu mereka akan berteriak terus hingga mangsanya pingsan karena suara mereka memekik dan bisa mempengaruhi saraf otak mangsanya.
Setelah beberapa hari, Lily pulih dengan baik, keluarganya ternyata merupakan suku yang di maksud oleh mendiang ibunya. Kepala keluarga dengan tubuh paling besar itu bernama tuan Barack, sedangkan sang istri bernama Mona, dan anak lelakinya bernama Fredrick.
Setelah lama waktu berlalu, Lily yang sudah merasa lebih baik dan sudah lebih terbuka kepada keluarga Barack, untuk pertama kalinya dia ingin ikut berburu ke sungai di dekat hutan es. Nyonya Mona melarangnya, tapi tuan Barack mengizinkannya karena dia harus belajar cara bertahan hidup.
Lily berjalan menyusuri jalan di belakang tuan Barack dan nyonya Mona, sedangkan Fredrick di belakangnya. Setelah menyusuri jalan yang cukup panjang, mereka bertemu rombongan lain. Mereka terbiasa berburu dengan berkelompok, karena yang mereka buru adalah hewan berukuran besar dan cukup berbahaya.
Setelah sampai di sebuah sungai yang permukaannya beku, mereka berpencar dan mengetuk-ngetuk permukaan sungai yang menjadi es tersebut. Lily yang tidak tahu apa-apa terus mengikuti Fredrick karena nyonya Mona menitipkan Lily pada fredrick.
“di sini,,, cepaatt..”, seseorang di sudut lain berteriak membuat semua orang berlari mendekatinya.
Fredrick mengangkat Lily ke pundaknya saat melihat Lily hendak berlari kerumunan orang-orang.
“Kau tidak boleh ke lokasi ekspedisi, ibuku melarangnya”, jelas Fredrick yang kemudian mundur beberapa langkah menjauh dari kerumunan.
Lily melihat ke arah kerumunan yang sedang membolongi permukaan sungai yang membeku. Dia melihat Tuan Barack terlihat dengan sangat jelas karena tubuhnya merupakan yang paling besar. Terlihat tuan Barack mengarahkan orang-orang untuk melakukan sesuatu.
“Ayahku, selalu menjadi pemimpin perburuan karena dia yang paling cerdas dan kuat”, jelas Fredrick membanggakan sang ayah.
Kemudian suasana mendadak hening. Orang-orang itu membuat sebuah formasi acak menjauh dari permukaan sungai yang sudah di lubangi. Ada 3 orang lelaki dengan tubuh paling besar dari kerumunan kecuali tuan Barack berjongkok di tepian lubang tersebut, seseorang di antara mereka menceburkan diri dan menyelam. Sedangkan sekeliling sangat sepi dan senyap. Setelah beberapa lama orang yang mencebur tadi keluar dan di tarik oleh dua orang lainnya, semua orang mundur beberapa langkah. Sementara 7 orang maju memegangi tombak mereka.
“UUUOOOOOO...”, Suara yang menggetarkan permukaan itu terdengar di barengi sebuah getaran yang cukup besar, hingga permukaan sungai yang tebalnya setinggi 170 cm pun mulai retak.
Tak lama keluarlah seekor ikan besar berwarna putih. Ikan ini tak memiliki sisik, kulitnya mengkilap dan ukurannya sangat mengagumkan. Lily memegangi kepala Fredick karena merasa takut, padahal jaraknya cukup jauh.
Tujuh orang yang memegangi tombak menyerangnya, sedangkan tiga orang dari arah lain melembarkan tali yang sangat panjang dan menjeratnya. Semua orang kecuali penombak memegangi tali dan menariknya.
Sedangkan penombak terus menghantam ikan itu dengan tombaknya. Darah segar tercecer ke mana-mana. beberapa orang terhantam es yang terkibas ekor ikan, setelah beberapa lama, ikan itu dapat dilumpuhkan. Ikan tersebut mereka namai Jattar.
Sedangkan penombak terus menghantam ikan itu dengan tombaknya. Darah segar tercecer ke mana-mana. beberapa orang terhantam es yang terkibas ekor ikan, setelah beberapa lama, ikan itu dapat dilumpuhkan. Ikan tersebut mereka namai Jattar.
Tapi pemandangannya sangat mengerikan. Darah Jattar yang tumpah ke semua tempat seperti badai darah, tapi yang paling mengerikan adalah ada lima orang yang tewas dalam perburuan.
Fredrick menjelaskan bahwa hal tersebut sudah biasa setiap kali berburu, biasanya bisa sampai 10 orang yang tewas, karena itulah mereka berburu tiga bulan sekali. Mereka tidak bisa tidak berburu karena suku ini terhubung dengan ikan tersebut, mereka harus mengonsumsi jantung ikan tersebut setidaknya satu kali dalam satu tahun, karena kalau tidak mereka akan lumpuh dan akhirnya mati.
Setelah hampir 12 tahun, Lily kini tumbuh menjadi wanita yang manis. Namun hal yang menjadi penderitaannya adalah, keluarga Barack mengalami kelumpuhan yang cukup mengerikan, bukan hanya keluarga Barack, tapi hampir semua anggota suku mengalami hal ini.
Hal ini terjadi karena terjadi kecelakaan besar saat perburuan, di mana setengah dari anggota tewas dan menyisakan sebagian kecil. Akibat itulah perburuan yang terakhir kali mengalami kegagalan. Mereka tak bisa melumpuhkan jattar itu dan hanya bisa mundur karena bahaya dari makhluk tersebut tidak sebanding dengan pertahanan yang ada.
Lily memandangi wajah nyonya Mona yang terlihat sangat pucat, badannya lumpuh dan pandangannya hanya melihat kesatu titik tanpa bisa bergeming. Lengan Lily menyeka wajah itu dengan sebuah lap hangat, dia merawat keluarga itu sebisanya.
Terkadang dia pergi untuk ikut berburu dengan orang-orang yang tersisa, namun setiap kali pemburuan dia harus melihat seseorang meninggal.
Rasa frustasi menyarang di hatinya, perasaannya hancur melihat keluarga angkatnya tak berdaya.
Di suatu hari, Lily pergi menemui 9 orang dari sisa anggota yang masih bisa hidup walau kekuatan mereka melemah. Mereka pergi menyusuri sungai es yang memiliki lubang cukup banyak, itu karena akhir-akhir ini mereka mencoba berburu hampir setiap hari. Seseorang berjongkok dan menutupi matanya dan mulai menangis karena rasa frustasi yang teramat sangat.
Semua orang terdiam, mereka terlihat mengerti apa yang di rasakan perempuan paruh baya itu. Kemungkinan kegagalan mungkin adalah 100%, karena 7 dari 10 orang kelompok adalah perempuan termasuk Lily.
Suasana hening menyelimuti sore yang hampir gelap, rombongan memutuskan untuk kembali pulang, sedangkan Lily mematung di tengah sungai, terdiam dengan air mata yang membasahi pipinya. Dia teringat kepergian ibunya dahulu, dan dia membayangkan bagaimana jadinya jika keluarga barunya juga pergi.
Hingga malam tiba dia mematung di tengah sungai, berharap muncul Jattar yang berukuran kecil dan dengan ajaib dia bisa melumpuhkannya, kemudian menyuapi keluarga Barack dan beberapa tetangga dengan jantung Jattar. Tentu saja itu adalah hal yang mustahil. Tapi dia lebih memilih untuk diam di tempat itu dengan harapan seperti itu, dari pada pulang dan melihat ketiga orang terkasihnya terbaring, dan jika dalam perkiraan masa hidup, hanya tinggal seminggu lagi mereka akan meninggal.
Lily menjulurkan tangannya ke perapian yang ia buat, setelah beberapa saat dia membangun tenda sebelum matahari benar-benar padam. Lubang-lubang di beberapa tempat permukaan sungai mulai kembali membeku. Matahari yang semalam bersembunyi kini datang menyapanya lagi, seolah semuanya sia-sia bahkan sampai bulan kembali mengusir cahaya surya pun Lily hanya bisa mematung dan sesekali memecahkan salah satu dari lubang yang mulai membeku.
Dia hanya fokus pada satu lubang itu dan mencegah lubang itu mengeras, karena akan sulit untuk membuat lubang baru sendirian.
Hingga kini sudah sekitar empat hari dia berdiam diri, dia merasa bahwa lebih baik dia tetap di tempat itu dari pada harus melihat keluarganya sekarat. Matahari yang berpamitan dengan sinar jingga yang memancar, menyampaikan pesan bahwa malam segera datang, dan hari akan segera berlalu.
Di tengah malam yang gulita, Lily terduduk menghadap perapian. Tangisnya pecah tak terbendung lagi, namun sebuah suara membuatnya terdiam. Suara cipratan air dari arah lubang yang ia jaga berhari-hari. Lily mengambil tombaknya dan perlahan mendekati lubang. Dia melihat sebuah cahaya dari dalam sungai. Lily terpaku dan menggenggam tombaknya erat.
Dia kaget saat melihat makhluk seperti manusia keluar dari lubang itu, makhluk yang memiliki ekor ikan itu duduk di pinggiran lubang. Karena tak menyadari kehadiran Lily makhluk yang seperti putri duyung itu dengan santainya mengibas-ngibas ekornya sambil tertawa. Tubuhnya menyala sedang rambut berwarna silver tergerai panjang dari kepalanya.
Mata Lily terkagum melihat keindahan makhluk itu. Lily mendekatinya perlahan, suara sepatunya terdengar jelas beradu dengan permukaan sungai yang membeku. Makhluk itu memutar pandangannya dan kaget melihat Lily di belakangnya. Dia melompat ke air karena terkejut. Lily yang ikut terkejut karena reaksi duyung itu terpeleset dan ikut tercebur ke sungai.
Download NovelToon APP on App Store and Google Play