NovelToon NovelToon

Polly Is Trouble

Welcome aboard!

🍭🍭🍭🍭🍭🍭🍭🍭🍭🍭🍭🍭🍭🍭🍭🍭

Cerita ini bergaya ringan lucu tapi tetap ada kesan mendalam tiap narasinya. Petualangan chaotic antara tingkah absurd dan konyol si Polly bersama Dorian si manusia tanpa emosi dengan keahliannya sebagai the Hitman.

Anyway. Kuharap kalian membaca deskripsi awal terlebih dahulu. Daann Semoga kalian semakin tertarik dengan kelanjutan cerita absurd Polly!

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

– Akan ada 2 POV atau bahkan lebih. Ini akan memudahkan kalian memahami jalan pikiran karakter masing masing. Dan karena akan ada banyak kebohongan dan manipulatif

– Typing miring—simbol dariku menunjukkan sarkasme.

Visualisasi karakter utama

Sumber: pinterest/rosie huntington whiteley/ keanu reeves

- Polly Aldridge -

Pekerja serabutan. Naif, optimis kronis, cukup nekat dan terlalu jujur.

_______

— Dorian Quinn —

Criminal mastermind. Hitman. Tenang, manipulatif, tanpa emosi, efisien, psiko, dan berdarah dingin.

She thought she walked into the right room

Baltimore, pukul 08.46 pagi.

Pagi itu seolah sedang menguji kesabaran Polly Aldridge. Langit menggantung rendah, angin membawa aroma kopi basi, aspal basah, dan sedikit keputusasaan. Ia berdiri di depan apartemen bertingkat yang tampak seperti gabungan antara motel anggaran rendah dan rumah sakit jiwa.

Panggilan hari ini datang dari website kerja online:

'Bradford Apartemen unit 131_, pukul 9 pagi. Bayaran tunai.'

Angka terakhirnya buram—bisa 0, bisa 8, atau mungkin 3. Entahlah. Sepertinya terkena percikan kopi tadi pagi. Dan ia tidak repot untuk memastikan lagi atau bahkan mencetak ulang. Typical Polly. (Polly banget.)

Polly memilih berdasarkan metode universal pekerja kelelahan: kalau angka awalnya cocok, berarti itu sudah cukup.

Polly masuk ke lobi, menarik napas, lalu melangkah ke meja resepsionis.

"Hai, aku dari jasa cleaning. Ada titipan kunci buatku?"

Wanita paruh baya di balik meja tidak menoleh, hanya membuka laci dan menggeser satu kunci ke arahnya—tanpa kata, tanpa tatap mata, seperti robot yang sudah muak jadi manusia.

Polly mengambilnya dengan hati-hati. "Terima kasih...?" katanya ragu, lalu melangkah pergi, merasa seperti baru direkrut untuk misi rahasia, padahal cuma bawa pel dan kantong sampah.

Dan begitu saja, ia tiba di depan Unit 1313.

"Hmm... it must be three? Should be three, definitely!" (Harusnya ini tiga? sepertinya tiga, pasti!) gumamnya sambil memicingkan mata, membandingkan slip dengan nomor pintu.

Keyakinan itu mulai goyah saat kunci di tangannya tidak berhasil memutar lubang kunci. Ia mencoba sekali. Dua kali. Tiga kali.

Klik? Tidak.

Alih-alih panik, Polly hanya mendesah pelan. "Jangan bilang... petugas lobby salah kasih kunci."

Tapi bukannya mengecek ulang, dia justru memutar gagang pintu.

Klep.

Pintunya... terbuka.

Tidak dikunci. Tidak ada alarm. Tidak ada suara dramatis seperti di film. Hanya bunyi engsel tua dan udara dingin yang menyambutnya dari dalam.

Polly mengangguk kecil. "Yup. Some people really do forget to lock their doors."

(Yup. Sebagian orang memang benar benar lupa untuk mengunci pintu.)

Kalau kau bertanya-tanya apakah Polly benar-benar percaya itu, jawabannya: ya. Dia terlalu malas untuk berpikir rumit. Atau setidaknya cukup percaya untuk melangkah masuk sambil membawa ember kecil berisi alat pel, sarung tangan karet merah muda, dan ponsel dengan playlist bersih-bersih favorit yang hanya tinggal lima persen baterainya.

Ruangan itu... terlalu rapi. Terlalu steril. Tidak ada foto keluarga, tidak ada barang pribadi, tidak ada sisa kehidupan. Dapur bersih, tapi berdebu. Bau ruangan seperti lilin mahal dan kertas baru.

Tapi Polly tidak curiga. Ia justru terkesan.

Dengan ringan, dia mulai menyemprotkan cairan cuka ke permukaan meja dapur. Menyalakan lampu. Menyingsingkan lengan hoodie bertuliskan Mess Happens.

Tidak ada pertanyaan dalam kepalanya. Tidak ada tanda bahaya.

Karena di dunia Polly Aldridge, kunci yang tidak cocok dan pintu yang tidak dikunci bukan berarti sesuatu yang salah.

Itu hanya berarti: pekerjaan dimulai lebih awal.

Gesrek.

Suara dari pintu balkon yang membuka.

Langkah kaki. Berat. Teratur.

Polly membeku.

Langkah-langkah itu makin dekat. Seseorang masuk ke ruangan apartemen itu—dari balkon.

Refleks, Polly mencari tempat persembunyian. Matanya melesat ke lemari pakaian besar di pojok ruangan.

Tanpa pikir panjang, dia masuk dan menutup pintu perlahan. Nyaris tanpa suara.

Dalam pikirannya, ia pun baru tersadar...

'Why am I hiding for?! I'm not a thief—yet.'

(Kenapa aku sembunyi? Aku bukan pencuri—belum.)

Tapi belum sempat ia keluar. Dari kejauhan suara itu datang:

Klik.

Bukan kunci. Bukan pintu.

Pistol.

Di balik kegelapan lemari, raut wajah Polly  kembali tegang. Ia pun mengurungkan niatnya untuk keluar.

Dari celah kecil di lemari, ia melihat sepatu kulit hitam yang mahal. Langkahnya pelan. Tenang. Seperti seseorang yang sangat terbiasa dengan tekanan.

_____

-POV: the Hitman-

Aku tahu ada yang tidak beres sejak melihat semprotan cuka, ember kecil dan tas tote norak tergeletak di meja dapur.

Dan yang paling mencolok—bau pembersih, terlalu segar untuk apartemen kosong.

Aku diam. Mendengarkan.

Tarikan napas pelan. Gesekan kecil dari arah lemari.

Orang biasa mungkin akan langsung menodongkan pistol. Menyergap siapapun penyusup itu. Tapi aku hanya tersenyum tipis.

Seseorang sedang menonton.

Dan aku ingin tahu siapa yang cukup bodoh untuk mengendap ke sarangku.

____

—Back to Polly—

Polly langsung menahan napas. Jantungnya berdetak seperti mesin cuci yang hampir meledak.

Tiba-tiba. Trriiiinngg.

Pria itu berhenti. Mengangkat ponselnya. Menjawab telepon.

"Yeah. Tomorrow should be solo, around four to six. Red-brick house. Glenmore street."

Satu alamat. Terlalu jelas untuk sebuah kebetulan.

(Ya. Besok seharusnya sendirian sekitar pukul empat sampai pukul enam. Rumah bata merah. Jalan Glenmore)

Tak ada suara di seberang, hanya denging samar dari sinyal kotor.

"Back access confirmed. No visible security system." Ia menarik napas pelan.

(Pintu belakang terkonfirmasi. Tanpa sistem keamanan)

Ada jeda. Tapi bukan ragu.

Sekilas menoleh ke arah bayangan di balik lemari. Ia tahu. Lebih seperti pesan—untuk telinga yang tak diundang.

"Two-minute window. In and out. Clean job."

Kali ini suaranya lebih berat. Lebih tajam. Tak memberi ruang salah langkah.

(Celah kurang dari dua menit. Bersih tanpa masalah)

Jeda. Lalu tawa pendek.

"You know I'm efficient."

(Kau tahu aku efisien.)

Suaranya tenang. Terlalu tenang. Dan itu bukan pernyataan. Itu peringatan.

Polly membeku. Napasnya nyaris terputus.

Pria itu duduk sebentar, mengetik sesuatu di ponsel. Mengunci layar. Lalu berdiri.

Langkahnya... kembali mengarah ke lemari.

Polly menahan napas. Panik. Keringat dingin mengalir di punggungnya.

'He knows. He totally knows I'm here.'

(Dia tahu. Dia benar-benar tahu aku disini.)

Gagang lemari bergeser. Sedikit.

Tring!

Ponsel pria itu kembali berbunyi. Ia menjawab dengan suara pelan, menoleh ke arah lain.

Langkah kakinya menjauh.

Dan terdengar suara pintu depan membuka dan menutup.

Sunyi lagi.

Dalam diam yang terlalu senyap, Polly tersadar satu hal:

Kesalahan sekecil apa pun bisa menjadi akhir.

Dan saat ini, dunia di luar lemari terasa jauh lebih berbahaya dari yang ia kira.

...

She thought she was a hero

Sejenak Polly tidak bergerak seperti manekin.

Saat merasa situasi benar-benar aman, ia keluar. Dengan sangat perlahan, Polly membuka pintu lemari. Ruangan itu sudah kosong.

Ia menyambar tas, semprotan cuka, dan pergi nyaris berlari keluar ruangan. Tas tote dan ember kecilnya terayun liar, jantungnya masih berdetak kacau.

Polly tidak menyadari dibalik belokan ujung lorong lainnya, sepasang mata melihatnya keluar dari unit apartemen itu.

Ketika Polly masuk lift, tangannya gemetar menekan tombol di dalamnya. Meski udara sejuk, punggungnya basah oleh keringat.

Ia tidak tahu siapa pria itu atau maksud kalimat abu-abu yang ia dengar. Tapi satu hal yang pasti: ada yang tidak beres. Pria itu membawa senjata, dan Polly merasa seharusnya tidak mendengar percakapan itu.

Di halte bus, napas masih ngos-ngosan, baru satu hal yang terlintas:

Dia bahkan belum dibayar.*

_______

Apartemen Polly, pukul 22:10.

Malam tiba.

Gedung tua itu berdiri seperti kotak korek api bekas: rapuh, kusam, dan mudah dilupakan.

Catnya mengelupas, suara keran menetes dari lorong, dan lampu tangganya berkedip seperti sedang sekarat.

Di seberangnya, sebuah mobil hitam terparkir diam. Mesin mati. Lampu padam. Dengan kaca gelap yang menyerap semua bayangan tanpa memantulkan kembali.

Di dalamnya, sosok pria duduk dengan laptop terbuka di pangkuannya.

Wajah Polly terpampang di layar, bersama satu catatan kecil yang menarik perhatiannya:

'Juvenile Detention, Age 15. Dugaan Pencurian Kecil. Kasus ditutup.'

Pria itu menghela napas pelan, menutup laptop.

Tatapannya naik ke jendela lantai dua dengan lampu yang masih menyala lalu mati. Polly beranjak tidur.

Ia tahu gadis itu yang menguping.

Ia tahu gadis itu menyelonong masuk ke apartemennya tanpa izin.

Dan ia membiarkannya.

Siapa pun yang melakukan itu biasanya sudah mati. Tapi Polly?

Dia berbeda.

Setelah diselidiki, ternyata gadis itu hanya salah masuk unit apartemen. Bukan hanya ceroboh, gadis itu juga punya masa lalu yang cukup... menghibur.

Dengan kasus hukum yang pernah dialaminya, hampir pasti dia tidak akan menelepon polisi.

Pria itu menyandarkan punggung, diam.

Dan untuk pertama kalinya sejak lama, ia memutuskan: membiarkan seseorang... hidup.

Setidaknya untuk malam ini.

___

Keesokan harinya, pukul 09.00 pagi.

Dunia terus berputar, dan uang sewa apartemen tetap jatuh tempo tiap tanggal lima. Polly memilih untuk sibuk. Sibuk adalah aman. Sibuk artinya tidak gila.

Pagi itu, ia mengantar kue ulang tahun untuk anak seorang CEO di Lobi kantor elite yang sudah disulap jadi pesta mini bertema "magical land"—penuh balon pastel, confetti, dan satu unicorn tiup raksasa yang nyangkut di plafon. Polly tetap tersenyum dan mengucapkan, "Happy magical birthday!", tepat sebelum hampir nyungsep gara-gara pita kado yang melintang di lantai marmer.

Setelah itu, dia lanjut mengepel kamar mandi eksekutif, yang menurutnya adalah satu-satunya tempat di dunia ini di mana parfum Jo Malone dan bau pembersih bisa hidup berdampingan.

Selama sibuk kerja, kepala Polly juga semakin sibuk. Sibuk memutar ingatan: suara pria apartemen kemarin.

'Rumah bata merah.'

'Pintu belakang.'

'Pukul empat sampai enam.'

'Sendirian.'

Sial. Semuanya terdengar terlalu spesifik untuk diabaikan. Dan semakin Polly mencoba untuk tidak memikirkannya, semakin suara itu terdengar seperti alarm mobil yang terus berbunyi di otaknya.

Bahkan tanpa melihat wajahnya, tanpa mendengar seluruh isi percakapannya, Polly bisa merasakannya di tulangnya.

Dia merasa—tidak, dia yakin—bahwa pria itu

....berbahaya.

Setelah selesai shift cleaning service di kantor pengacara yang menyimpan rahasia lebih kotor dari karpetnya, Polly keluar dari gedung dengan langkah cepat. Ia naik bus, turun tiga blok lebih panjang dari rutenya, dan berdiri di seberang jalan dengan hoodie ditarik sampai mata.

Bukannya langsung menghubungi polisi. Ia malah ingin bertindak sendiri. Hanya ingin memastikan. Hanya Polly. Dengan pikiran sederhananya.

___

Glenmore Street, pukul 05.35 sore.

Polly berdiri di depan sebuah rumah merah-bata kecil di kawasan tenang Baltimore.

Ia menekan bel.

Pintu terbuka. Seorang wanita paruh baya muncul—berpakaian kasual, rambut sedikit acak, ekspresi datar seperti baru saja nonton drama kriminal dan kesal karena episode-nya menggantung.

"Yes?"

"Hai!" kata Polly ceria. "Sorry, i know this is crazy, but... (Maaf, aku tahu ini gila, tapi...)

aku cuma mau bilang: berhati-hatilah. Aku rasa... seseorang mungkin akan berniat jahat padamu hari ini."

Wanita itu mengedip pelan.

"...Apa?"

"Sumpah ini bukan lelucon. Aku dengar seseorang bilang soal rumah merah bata, pintu belakang, sendirian jam 6 sore. Semua cocok banget! Aku cuma—ya, you know (kau tahu), menyelamatkanmu !"

Wanita itu menghela napas dalam-dalam, lalu menutup pintu.

Klik.

"Okay," gumam Polly sambil melangkah mundur. "Itu bukan sambutan heroik seperti yang kubayangkan."

Ia berdiri di depan rumah itu selama hampir sepuluh menit, mondar-mandir seperti kurir yang kehilangan alamat.

"Apa baiknya telepon 911?" pikirnya. Tapi... sepertinya itu bukan solusi.

Tangannya sempat merogoh saku jaket, ragu. Ponselnya sudah siap. Jempolnya hampir menekan angka darurat.

Tapi jantungnya berdetak terlalu kencang.

Ingatannya memutar kembali sesuatu yang lama terkubur—

Sirene. Interogasi. Lampu putih menyilaukan dan suara orang dewasa yang tidak mendengarkan.

Polisi.

Yang waktu itu katanya mau 'membantunya', tapi justru menahannya semalaman.

Menyuruhnya menandatangani sesuatu yang tak ia mengerti.

Membuatnya tercatat sebagai 'troublemaker'.

Sejak itu, Polly tahu:

Tidak semua yang terlihat seperti bantuan... benar-benar membantu.

Matanya melirik jam di pergelangan tangan.

Kurang sepuluh menit menuju pukul enam petang—sesuai waktu yang disebut pria itu di telepon.

Ia menggigit bibir bawah.

Bagaimana kalau semua ini cuma kesalahpahaman?

Bagaimana kalau ia melapor... dan justru disalahkan lagi?

Polly menatap rumah itu. Lalu ia mendesah. "Oke, Polly. Either you're a crazy person... (Entah kamu orang gila...) atau sedang mencegah kejahatan atau bahkan mungkin pembunuhan. Nothing to lose." (tak rugi apa-apa.)

Ia mencabut pinset dari dalam dompet. Karena, well... Polly pernah sering terkunci dari apartemennya sendiri, jadi keterampilan membuka kunci pintu dengan alat darurat adalah semacam survival skill.

Klik.

Pintu terbuka. Tidak ada suara alarm.

"Easy," (gampang) gumamnya bangga. "Sepertinya wanita itu lupa mengaktifkan alarm." Pikir Polly tanpa curiga.

Rumah itu sunyi. Terlalu sunyi.

Ia menoleh ke arah tangga.

Langkah kecil mundur. Nafas tertahan. Jemarinya masih menggenggam pinset.

Dan di tengah ketegangan itu, satu pikiran melintas di kepalanya:

"This is crazy. You're f*ckin crazy, Polly."

(Ini gila. Kau benar-benar sudah gila, Polly)

...

*Terlepas apakah Polly salah masuk kamar apa tidak. Dia tetap berpikir bayarannya.

Download NovelToon APP on App Store and Google Play

novel PDF download
NovelToon
Step Into A Different WORLD!
Download NovelToon APP on App Store and Google Play