NovelToon NovelToon

Odd Diary

PROLOG

Rotterdam, musim semi 1940

Langit memucat dalam hening yang tak biasa. Burung-burung enggan bernyanyi. Di dalam barak tua yang membelakangi kanal, seorang pria duduk membisu, tangannya mengusap sampul buku harian yang telah menguning.

Ia bukan pahlawan yang tercatat dalam sejarah, namun hidupnya pernah berdiri di tepi waktu yang hancur. Seragamnya lusuh, matanya menyimpan lebih banyak keraguan daripada keberanian.

"Jika mereka datang esok pagi... dan aku tak sempat bicara..."

Tulisnya pelan, tinta bergoyang seiring getar jemari.

Foto kecil terselip di antara halaman: seorang anak, berpakaian putih dari hari Minggu terakhir di tanah yang jauh-Hindia Belanda.

Di luar, sirine meraung. Bukan hanya tanda perang, tapi panggilan sunyi bagi mereka yang tahu bahwa dunia tak akan sama lagi.

Lembar demi lembar ditulis bukan untuk masa kini, tapi untuk seseorang di masa depan. Seseorang yang akan membuka diary tua itu... dan membaca dunia yang hampir hilang

Rotterdam, 10 Mei 1940 Tengah Malam

Sebuah kapal patroli tengah menjaga perairan di sekitar pelabuhan Rotterdam, Belanda. Kapal itu adalah kapal angkatan laut kerajaan Belanda. Seorang Kelasi tengah mengawasi keadaan perairan di sekitar pelabuhan.

Kelasi itu berbicara melalui radio.

"Rapporteer ... de situatie die voor ons ligt is veilig ... " Kelasi itu memencet sebuah tombol.

(Lapor .... Di depan kondisi aman ... )

Terdengar respon dari temannya.

"Goed, rapport ontvangen," respon temannya

(Baiklah, laporan di terima)

Namun, kelasi tersebut tiba-tiba kembali mendengar suara kapal perang lain.

"Rapporterend, hoorde ik alsof er een vliegtuiggeluid was, in grote getale op de richting van negen uur," kata kelasi itu sambil melaporkan kejadian melalui radio.

(Lapor, saya mendengar seperti ada suara pesawat, dalam jumlah besar di arah pukul sembilan)

Tiba-tiba beberapa kapal pesawat tempur milik Jerman menyerang kapal itu. Mereka mengeluarkan tembakan ke arah dua kapal perang angkatan laut Belanda. Alarm.pun di bunyikan. Pesawat itu menembakkan senapan otomatisnya di atas kapal perang.

"We worden aangevallen! Bereid je voor op de strijd!" teriak kelasi melalui radio.

(Kita di serang! Bersiap tempur!)

Dan, tak lama kemudian alarm perang di bunyikan.

"TEEEEET!! ... TEEEEET!! ... TEEEET!! Suara alarm itu menyalak begitu keras.

"Schip wordt aangevallen! Schip wordt aangevallen! Bereid je allemaal voor op de strijd!" Bunyi suara melalui pengeras suara.

(Kapal di serang! Kapal di serang! Semua bersiap untuk tempur!)

Alarm tanda bahaya pun begitu keras hingga menekakkan telinga, sehingga semua yang berada di kapal terbangun. Semua prajurit angkatan laut Belanda bersiap. Mereka segera berlari membawa senjata masing-masing. Ditengah kepanikan, seorang prajurit tampak masih menggeliat. Rupanya dia sebelumnya begitu lelah, hingga temannya membangunkannya.

"Robert! Schip wordt aangevallen! Kom op, schiet op en sta op!" Temannya berusaha keras membangunkannya.

(Robert! Kapal di serang! Ayo cepat bangun!)

Robert yang akhirnya terbangun tampak menguap. Dia sepertinya. begitu lelah sehingga alarm sekeras itu tak langsung membangunkannya.

"Ugh! Eindelijk ... de Tweede Wereldoorlog is hier he!" Robert yang baru tidur perlahan membuka matanya.

(Ugh! Akhirnya ... Perang Dunia II sudah disini rupanya,!)

Tenannya berkata, "Kom op man. Bereid snel je wapen voor. We gaan oorlog voeren!."

(Ayo, Bung. Cepat siapkan senjatamu. Kita akan berperang!)

Temannya segera menarik tangan prajurit itu.

Robert yang sudah terbangun segera berpakaian. Dia mengambil senapan di dekatnya dan bersiap di posisinya. Dia berada di buritan dan siap menyerang.

Terdengar suara tembakan di udara. Pesawat penyerang Jerman terus menyerang kapal angkatan laut Belanda. Mereka bertempur mati-matian mempertahankan wilayah kedaulatannya..

Namun, kedua kapal angkatan laut Belanda akhirnya tenggelam.setelah di tembak dengan torpedo dari kapal selam Jerman. Banyak tentara Belanda yang tewas. Namun, beberapa berhasil selamat. Robert dan seorang temannya berusaha menyelam. Sambil memanggul senapan, Robert dan seorang temannya berusaha bertahan dengan menyelam

Drat ... DAT ... DAT ... DAT ... DAT ... DAT .... DAT .... DAT!

Suara senapan mesin dari pesawat tempur pasukan Nazi Jerman pun menyalak keras memecahkan kesunyian malam. Mereka menembaki tentara Belanda yang berenang dari udara. Bahkan, peluru senapan mesin pesawat itu menembus dalamnya laut. Beberapa tentara Belanda yang menyelam pun menjadi korban senapan mesin itu.

Robert dan seorang temannya terus menyelam tanpa alat bantu. Mereka berusaha keras bertahan hidup. Hingga akhirnya, terdengaar suara pesawat pergi dari atas laut. Robert dan temennya perlahan berenang ke permukaan

"Ahh! ... Akhirnya ... pesawat Jerman itu pergi," kata Robert menghela nafas panjang.

Seorang temannya menyusul. Dia menarik nafas panjang karena cukup lama menahan nafas di dalam air. Sejenak, mereka berusaha menarik nafas dan melegakan pernafasannya di tengah dinginnya air laut. Mereka berdua segera menuju daratan. Mereka berenang ke anjungan pelabuhan. Setelah berhasil naik ke daratan, terdengar suara tembakan dan sayup-sayup teriakan tentara musuh.

"Hallo! Da sind Feinde!" Teriakan itu terdengar jelas walau di jarak yang cukup jauh.

(Hei! Ada musuh di sana!)

Robert dan temannya begitu panik. Terdengar rentetan suara senapan mesin.

"Shit! Nazi-soldaten. Laten we ons snel verstoppen" kata Robert berbisik.

(Sial! Tentara Nazi disini! Cepat sembunyi)

Suara teriakan makin dekat. Dan mereka berdua yang terdesak segera melakukan perlawanan. Baku tembak pun tak terhindarkan. Mereka terus berlari untuk mencari tempat persembunyian. Akhirnya, setelah berlari sambil membalas tembakan, mereka berdua menemukan tempat persembuyian yang tampaknya aman.

"Robert! Laten we ons hier verstoppen,' kata temannya berbisik.

(Robert! cepat sembunyi di sana!)

"Oké, Hans. Kom op ... ," balas Robert berbisik.

(Oke, Hans. Ayo ...,)

Mereka berlari di antara bangunan di pelabuhan Rotterdam. Namun, ternyata ada tentara Jerman yang mengetahui keberadaan dua prajurit itu.

"Hey ... Es gibt Feinde. Attacke!" Seorang tentara Nazi mengabarkan pada temannya.

(Hei ... Ada musuh. Serang!)

Karena terdesak, Hans segera menembakkan senapan otomatis yang dia bawa. Baku tembak kembali terjadi. Namun, Naas menimpa Hans. Dia tewas setelah dadanya tertembus dua peluru pasukan musuh. Melihat Hans tertembak, Robert segers berlari dan mendekatinya.

"Hans, wacht even. ik breng je." Robert yang berlari menghamoiri temannya.

(Hans, bertahanlah. Aku akan bawa kamu)

Hans yang tertembak memegangi dadanya yang baru saja tertembus peluru.

"Robert ... Laat me hier ... ugh!" Hans mulai batuk.

(Robert ... Biarkan aku disini ... ugh! )

Rupanya, pasukan musuh mengambil.kesempaan.

Dia lempar granat untuk menghalau musuh. Mereka kembali melancarkan tembakan. Robert pun kembali berlari.

Robert terus berlari hingga akhirnya dia berhasil sembunyi di sebuah gorong-gorong.

Tak lama, suasana suara tembakan terhenti. Hanya tinggal suara pesawat tempur tengah terbang mengawasi situasi. Tentara Jerman semakin banyak yang masuk ke wilayah Belanda. Bangunan di pelabuhan Rotterdam telah hancur dan banyak puing-puing berserakan.

Di tengah banyaknya tentara Nazi yang datang, ada seorang Perwira wanita dari pasukan SS Jerman datang bersama ajudannya.

"Heil Fuhrer!" kata tentara Jerman yang memberi hormat pada Perwira wanita itu.

Dia tersenyum membalasnya. Seorang prajurit melaporkan kondisi pelabuhan Rotterdam

"Luitenant Eva! De omstandigheden zijn veilig. Alle Nederlandse soldaten kwamen om," kata seorang tentara pada perwira itu.

(Letnan Eva! Kondisi sudah aman. Semua tentara Belanda tewas.)

Perwira itu tersenyum. Dia memberi isyarat untuk terus menyerang dan menguasai Belanda. Namun, tak ada yang menyadari bahwa perwira wanita itu adalah Sri Lestari, seorang penyihir yang telah berusia lebih dari 300 tahun.

"Kruger, lass mich hier in Ruhe. Ich möchte die Atmosphäre sehen," kata perwira itu pada ajudannya.

(Kruger, tinggalkan aku disini. Aku ingin berkeliling melihat suasana sekitar)

"Bereit, Leutnant Eva," balas ajudanya

(Baik, Letnan Eva)

Dia memberi hormat pada perwira itu, lalu pergi meninggalkan perwira itu. Dia berkeliling di sekitar puing-puing pelabuhan. Rotterdam. Tampak senyum manisnya. Dia seperti merapal mantra.

"Alexander, aku tahu kamu ada di sini. Kamu gak akan bisa lari dari aku," kata Lestari dalam hati.

Sementara, di persembunyiannya Alexander begitu resah. Kepalanya begitu pusing. Dia terus mendengar bisikan Lestari. Dia mengeluarkan sepasang kalung ruby. Kalung itu mengeluarkan cahaya putih. Dia pakai kalung itu, dan akhirnya dia terlelap di persembunyiannya.

BUKU HARIAN ALEXANDER

Rotterdam, 11 Mei 1940, Siang Hari

Siang harinya, perlahan Robert membuka matanya. Sinar matahari menembus celah gorong-gorong tempatnya bersembunyi.

"Uhft! Hari telah siang," bathinnya.

Dia dengarkan suara-suara, namun ternyata suasana di sana begitu senyap. Dengan hati-hati, dia awasi keadaan sekitar.

"Uhm ... rupanya telah sepi," lanjutnya dalam hati.

Perlahan, Robert membuka penutup gorong-gorong, dan dia pun keluar dari persembunyiannya.

Kini, dia sedang berada di sebuah reruntuhan bangunan di Belanda. Ketika itu, sedang terjadi Perang Dunia II. Tentara Nazi telah memporak porandakan pelabuhan Rotterdam. Dia duduk termenung. Dibukanya sebuah Diary yang cukup tua.

Semua tulisannya hilang, namun hanya satu halaman yang ada tulisannya. Dan ada satu halaman di posisi agak belakang robek. Dan, sebuah bekas bercak darah masih tampak di bekas robekan itu. Tentara itu tampak sedih.

"Dewi, kutukan ini begitu menyiksaku. Ribuan kesedihan, ribuan kematian kualui tanpamu," bathinnya.

Dia baca satu halaman yang ada tulisannya. Dia teringat tulisan itu.

"Dewi. Entah sampai kapan aku hidup dengan identitas lain. Aku begitu sedih harus melupakan anakku. Aku begitu sakit melihat Charlotte dan Ernest yang menikmati hari tua. Aku begitu menderita setiap mengunjungi pusaramu, dan juga pusara anak kita," lanjutnya dalam hati.

Sesekali air matanya menetes mengenang sebuah kisah indah masa lalunya. Ketika itu, salah seorang temannya menepuk pundaknya. Dia spontan menutup diary itu.  Dalam bahasa Belanda, temannya berkata.

"Hei, Robert. Apa yang kamu tangisi?" tanya rekannya dalam bahasa Belanda

Dia terkejut. "Sial! hampir saja dia tahu, siapa aku," bathinnya.

"Uhm ... bukan apa-apa, Eugene," jawabnya gugup.

Eugene mengerti. Dia kembali mengajaknya.

"Robert, ayo tinggalkan tempat ini," kata Eugene.

Alexander terdiam. Dia pandangi puing-puing itu.

"Eugene. Aku ingin disini sendiri. Nanti aku akan menyusulmu," kata Alexander

Eugene mengangguk. Sebelum pergi, dia menyentuh lembut pundak Alexander.

"Oke, aku mau ke persembunyian. Tetap waspada, Nazi ada di mana-mana," kata rekannya.

Tentara itu hanya mengangguk. Akhirnya, ketika dia berjaga sendiri, dia membuka kembali satu satunya halaman yang ada tulisannya. Di halaman itu terdapat foto seorang wanita cantik. Sebuah foto lama namun masih terawat dengan baik.

"Amsterdam, 15 November 1939

Sudah lebih dari 100 tahun aku pergi meninggalkanmu, berkelana ke seluruh dunia, untuk bersembunyi. Aku masih mencari penangkal untuk menghapus kutukan ini dan untuk membunuh Lestari, sang penyihir jahat yang juga mengutukku untuk hidup abadi. Dia selalu mengejarku. Andai aku terima cintanya, mungkin aku gak akan pernah memaafkan diriku. Maafkan aku, Dewi. Aku harus pergi karena tak sanggup melihatmu menua sedangkan aku tidak menua karena kutukan ini. Setelah kutukan ini berakhir, kita akan berkumpul di alam lain. Do'akan aku, Dewi. Aku berharap aku dapat melihat anak cucumu, tapi sepertinya tak mungkin. Sekali lagi, maafkan aku.

Tertanda,

Alexander Van Koohn"

Tentara itu memandangi kalung berbandul batu ruby merah. Dengan meneteskan air mata, dia mengenang seseorang yang memberinya kalung itu. Perasaannya tampak hancur.

"Dewi, semoga kamu tenang di alam sana. Maafkan aku yang belum menyusulmu. Aku rindu padamu. Bahkan kini, lebih dari seabad aku hidup seorang diri. Sudah berulang kali aku berganti nama dan berulang kali aku pindah. Aku yakin, Lestari masih mencariku. Dewi, semoga kutukan ini segera berakhir," katanya dalam hati.

Ternyata, tentara itu bernama asli Alexander yang sudah berulang kali berkelana ke berbagai belahan dunia untuk berganti identitas.

Dia akhirnya mengingat peristiwa awal yang menyebabkan dia hidup abadi.

_____flash back______

Pada tahun 1793, di kerajaan Belanda, Seorang ajudan muda, bernama Alexander sedang menghadap Ratu. Dia menerima mandat dari sang Ratu. Dalam bahasa Belanda, Ratu itu bertitah.

"Letnan Alexander Van Koohn, mulai besok anda saya tugaskan bersama Jenderal Coen Pieterz ke negeri Hindia Belanda. Di sana, kamu akan melatih pasukan VOC. Besok pagi, anda akan berlabuh bersama kapal Van Derg Berg, dan nanti akan berlabuh di pelabuhan Sunda Kelapa. Ini surat tugasnya," kata Sang Ratu.

Dia memberikan surat tugas kepada Letnan Alezander dan Jendral Coen Pieterz.

Mereka berdua menerimanya.

"Baik baginda ratu. Kami akan melaksanakan tugas sebaik baiknya," kata Alexander dan Pieterz.

Sang Ratu tersenyum. Dia memerintahkan kedua perwira itu untuk pulang.

"Bagus. Kalian bertugas di sana selama tiga tahun. Sekarang,  kalian bisa pulang dan berkemas," kata Sang Ratu.

Kedua perwira itu memberi hormat pada sang ratu, lalu mereka segera keluar istana. Di kuar istana, mereka berdua berbincang-bincang dalam bahasa Belanda.

"Alexander, kamu bisa bahasa melayu?" tanya Pieterz.

"Uhm ... bisa sedikit. Tapi aku akan bisa," kata Alexander.

"Baiklah, sampai ketemu besok pagi di pelabuhan Rotterdam," kata Pieterz.

Alexander hanya tersenyum manis. Mereka berpisah di sebuah persimpangan menuju ke kediaman mereka masing masing.

Keesokan paginya, Alexander dan Pieterz menaiki kapal yang membawanya ke Hindia Belanda. Dalam perjalanan ke Hindia Belanda, Alexander membuka Diarynya. Dia tuliskan sesuatu di Diary itu

"Het schip Van Der Berg, 2 December 1793

Dit is mijn eerste dag zeilen van de haven van Rotterdam naar Nederlands-Indië. Ik zag Nederlands-Indië alleen door middel van een ansichtkaart. Een groen land, rijk aan kruiden, en slechts twee seizoenen. Net als de hemel. Mag ik daar een mooie vrouw vinden. Ik was al gekwetst nadat ik door Sharron was verraden."

(Kapal Van Der Berg, 2 Desember 1793

Ini adalah hari pertama ku berlayar dari pelabuhan Rotterdam menuju Hindia Belanda. Aku hanya melihat Negeri Hindia Belanda melalui sebuah Kartu Pos. Negeri yang hijau, yang kaya rempah rempah, dan hanya dua musim. Seperti negeri surga saja. Semoga aku menemukan wanita cantik di sana. Aku sudah sakit hati setelah dikhianati Sharron.)

Alexander menutup buku hariannya. Dia tersenyum penuh harap dengan perjalanan dinasnya di Hindia Belanda. Mereka berlayar selama dua tahun lamanya.

Setelah berlayar selama dua tahun, Alexander dan Pieterz mendarat di Pelabuhan Sunda Kelapa. Di pelabuhan, mereka di jemput oleh Mayor Ernest. Dengan mengendarai kereta, mereka akhirnya tiba di sebuah barak militer. Di sana, Mayor Ernest berkata dalam.bahasa Belanda.

"Selamat datang di Negeri Hindia Belanda," kata Ernest.

Jenderal Pieterz tersenyum dengan sambutan dari Mayor Ernest.

"Terima kasih atas penyambutannya," balas Pieterz dengan senyum lebarnya.

"Oh ya, biar Patrick yang menunjukkan ruang kerja anda, berikut mess kalian," kata Joen.

Ernest memanggil Patrick. Dia memerintahkan Patrick untuk menunjukkan mess dan ruang kerja kedua perwira itu. Setelah mengantarkan kedua perwira itu, Patrick segera pergi mengantarkan kedua perwira di ke mess nya.

Sesampainya di mess, Alexander mengatur barang bawaannya. Semua pakaiannya di almari yang ada di mess tersebut. Setelah mengatur barang bawaannya, Alexander mengambil.sebuah buku diary yang baru. Dia mengisi halaman pertama diary itu.

"Nederlands-Indië, 14 oktober 1795

Na twee jaar zeilen ben ik nu geland in Batavia, de hoofdstad van Nederlands-Indië. Eerlijk gezegd werd ik verliefd op dit land. De mensen zijn ook vriendelijk. De lucht is zo gezond en er is genoeg zonlicht. Geen wonder dat mensen dit land een paradijs op aarde noemen."

(Hindia Belanda, 14 Oktober 1795

Setelah dua tahun berlayar, kini aku sudah mendarat di Batavia, ibukota Hindia Belanda. Sejujurnya, aku jatuh cinta pada negeri ini. Orang orangnya juga ramah. Udaranya begitu sehat dan cukup cahaya matahari. Pantaslah orang orang menyebut negeri ini adalah surga dunia.)

Alexander tersenyum. Baru besok dia mulai bekerja. Dia menutup buku hariannya.

"Uhm ... kayaknya aku ingin keluar. Aku ingin jalan-jalan," kata Alexander dalam hati.

Dia segera keluar dari messnya. Dia berjalan mengelilingi area sekitar mess nya. Ketika berkeliling, dia tergelitik melihat seorang gadis penjual makanan kecil.

"Kue. Kue ... kue ... kue ...,"teriak gadis itu menawarkan dagangannya.

Rupanya Alexander tertarik dengan dagangan  yang di jual gadis itu.

"Hai, penjual kue, kemari. ik mau beli," kata Alexander memanggil penjual kue itu.

"Ya Meneer ... sebentar," kata gadis itu berjalan menuju Alexander.

Setelah di depannya, Alexander mengajaknya ke teras messnya. Gadis itu berjalan di belakang Alexander. Setelah tiba di teras, Alexander menyuruhnya duduk. Namun, gadis itu menolaknya.

"Meneer, saya tidak boleh duduk di situ. Saya kan orang pribumi," kata gadis itu.

"Ne ... ne ... ne. Buat ik siapapun dia, selama tamu ik, harus duduk di kursi ini. Ayolah, gadis cantik. Duduklah. Nanti jika di tegur petugas keamanan, katakan jika Letnan Alexander yang memerintahkan," kata Alexander dengan senyum ramahnya.

"Baik, meneer" kata gadis itu.

Gadis itu mulai membuka selubung barang dagangannya. Alexander belum pernah melihat kue itu. Dia penasaran.

"Ini kue apa?" tanya Alexander sambil menunjuk sebuah kue. Gadis itu tersenyum manis.

"Ini namanya gethuk, Meneer. Dan yang ini kue kucur," kata gadis itu menjelaskan.

Alexander menggut-manggut. Dia tersenyum memandangi gadis itu. Dia sejenak berfikir. Dia pandangi kue-kue itu. Dia tunjuk sebuah kue.

"Ik beli yang ... uhm ... ge cu ...," kata Alexander dengan terbata bata.

"Meneer, gethuk," kata gadis itu menjelaskan.

"Iya ... eike beli tiga buah. Berapa harganya?" tanya Alezander.

"Semuanya satu gulden dua puluh sen, Meneer," kata gadis itu.

Alexander mencoba kue yang dibelinya. Dia tersenyum puas dan mengisyaratkan rasanya enak. Dia mengeluarkan uang receh, dan melebihkan jumlahnya. Gadis itu terkejut.

"Meneer, uangnya kebanyakan satu gulden," kata Gadis itu.

Gadis itu hendak mengembalikan kelebihan uangnya, namun Alexander mencegahnya.

"Sudah, tidak apa-apa. Ambil saja lebihnya," kata Alexander memaksa.

Gadis itu trrsenyum manis. "Terima kasih, Meneer," katanya.

Alexander mencicipi kue itu, sambil memandangi gadis penjual kue. Dia tersenyum manis. Dalam hati, Alexander mengagumi kecantikan penjual kue itu. Sambil melahap kue itu, Alexander mengajak gadis itu berkenalan.

Uhm ... maaf. Setelah ini kamu jangan panggil eik meneer. Panggil saja Alex. Eik Alexander, Alexander Van Koohn. Lalu kamu, siapa?" tanya Alexander.

Gadis itu tersenyum manis. Rupanya sang gadis juga tertarik.dengan ketampanan Alexander.

"Saya Dewi, Me …." Kata Dewi yang langsung di putus Alexander.

"Ne ... ne ... ne …! Dewi, ingat kata saya. Panggil saya Alex. Tapi kalau didepan orang orang, panggil saja tuan. Mengerti?" kata Alexander sambil mengacungkan telunjuknya dan menggerakkannya ke kiri dan ke kanan.

"Maaf, Alex. Saya takut kena hukuman," kata Dewi dengan nada khawatir.

Alexander tersenyum manis. Dia memahami kekuatiran Dewi. Alexander tergelitik untuk mengenal Dewi lebih jauh. Dia kembali bertanya pada Dewi.

"Baiklah, nanti eik antar kamu keluar. Kamu jangan khawatir. Uhm,  kamu berjualan di mana saja?" tanya Alexander.

"Di sekitar komplek sini saja," kata Dewi.

Alexander manggut-manggut. Dia tersenyum manis memandangi wajah cantik Dewi, si penjual makanan kecil itu. Dewi tersipu malu dipandangi Alexander.

"Duh, dia begitu tampan. Dia juga baik. Tidak seperti kompeni lainnya, dia baik sekali," katanya dalam hati.

Alexander kembali melahap kue yang baru dia beli. Dia begitu suka dengan kue-kue yang di jual Dewi.

"Dewi, kue ini enak sekali. Mulai besok, kamu mampir ke sini ya. Nanti kalau di tanya sama penjaga bilang saja eik yang menyuruh," kata Alexander dengan dialek Belanda.

"Baik, Alex. Saya permisi dulu," kata Dewi berpamitan.

Dia kembali memasukkan dagangannya di gendongannya. Alexander membantu Dewi membawakan dagangannya. Mereka berdua berjalan ke luar komplek asrama kompeni Belanda. Setelah melewati gerbang, Dewi berpamitan pada Alexander. Alexander kembali masuk di asramanya.

GETAR ASMARA YANG TERPENDAM

Malam harinya, Alexander membuka buku hariannya. Sejenak, dia kembali teringat akan Sharon, mantan kekasihnya yang justru memilih menikahi sahabatnya.

"Uhm ... sudah saatnya lupakan kekecewaanku pada Sharon," katanya dalam hati.

Alexander tersenyum.sendirian. Dia mengambil bulu ayam dan tinta, lalu mulai menuliskan sesuatu di dalam diarynya dalam bahasa Belanda.

"Batavia, 4 juni 1795

Mijn dagboek,

Vanmiddag ben ik aangekomen in Nederlands-Indië. Ik vind dit land zo aangenaam. Vriendelijke mensen. Weet je wat mij gelukkig maakt?

Dewi. Het cakemeisje. Een zachtaardig en mooi meisje. Oh, mijn dagboek. Het voelde alsof ik zo lichtzinnig vrede had gesloten met mijn verleden met Sharon. Ik wil een nieuw hoofdstuk beginnen met haar, het cakemeisje, Dewi."

(Batavia, 4 Juni 1795

Buku Harianku,

Baru siang tadi aku datang di Hindia Belanda. Kurasakan tanah ini begitu menyenangkan. Orangnya ramah. Tahu apa yang buat aku senang?

Dewi. Gadis penjual kue itu. Gadis yang lembut dan cantik. Oh, Buku Harianku. Rasanya aku sudah begitu ringan berdamai dengan masa laluku bersama Sharon. Aku ingin awali lembaran baru bersama dia, sang gadis penjual kue, Dewi.)

Alexander tersenyum manis sambil menutup buku hariannya. Tak lama kemudian, pintu messnya diketuk.

"ja voor een moment," kata Alexander sambil melangkah ke arah pintu.

(Ya, Sebentar)

Pintu di buka. Dan muncullah Ernest, orang yang tadi menjemputnya.

"Ernest, kom alsjeblieft binnen," kata Alexander mempersilahkan Ernest masuk.

(Ernest, silahkan masuk)

Ernest masuk, dan langsung duduk di ruang tamu. Dia langsung menyerahkan surat penugasan kepada Ernest. Ernest membacanya. Dia tersenyum.

"Goed, Ernest. Morgen ben ik klaar om te werken," kata Ernest sambil melipat surat penugasannya.

(Baiklah, Ernest. Besok saya sudah siap bekerja)

Ernest tersenyum. Dia langsung pamit kelur dari Mess Alexander. Sepeninggal Ernest, Alexander memandangi bintang yang bersinar cerah. Dia tersenyum mengingat perkenalannya dengan Dewi.

"Dewi, als ik de sterren zie die helder aan de hemel schijnen, wil ik terugkijken naar je stralende gezicht dat de duisternis van mijn hart siert," kata Alexander dalam hati sambil memandangi bintang malam yang bersinar.

(Dewi, andai kulihat bintang yang bersinar cerah di langit, ingin ku pandangi kembali wajahmu yang berseri menghiasi gelapnya kalbuku.)

Sementara itu, di gubuknya Dewi dan ibunya sedang memasak kue untuk dijual esok harinya. Dewi tampak begitu ceria. Lebih ceria dari biasanya. Sukma, ibunya keheranan.

"Dewi, dari tadi ibu lihat kamu, koq kelihatan ceria. Beda dari biasanya," kata Sukma.

Dewi tersenyum manis. Sambil menghaluskan singkong rebus, Dewi akhirnya menceritakan pertemuannya dengan Alexander.

"Bu, tadi aku bertemu dengan kompeni yang baik hati. Katanya sih, itu pengganti Letnan Aart yang baru saja dipindah tugaskan di daerah Buintezorg," kata Dewi.

Sukma begitu antusias. Dia kembali bertanya.

"Oh ya. Uhm ... orangnya bagaimana?" tanyanya.

Dewi tersenyum. Dia sejenak tenggelam dalam lamunannya. Dia teringat akan pesona ketampanan Alexander.

"Eh, Dewi. Di tanya ibu malah diam?" tegur Sukma.

Dewi tersadar dari.lamunannya. Dia tersenyum manis.

"Bu, pejabat yang baru ini ramah. Dia baik sekali pada orang pribumi sepertu kita. Tadi saja Dewi di beri uang lebih," kata Dewi.

Sukma teringat ketika Letnan Aart berkuasa. Alih-alih dapat untung dari dagang kue.Justru Dewi sering rugi karena modal habis. Karena itulah, terpaksa Sukma berhutang pada Larso yang seorang tuan tanah dan rentenir yang licik. Sukma begitu khawatir melihat sikap Larso yang sering genit terhadap Dewi, anaknya.

"Semoga dengan di gantinya Letnan Aart kejahatan Larso segera berakhir," bathinnya.

Tanpa mereka ketahui, rupanya percakapan mereka di dengar Larso.

"Sial! Pantas saja tadi aku cari Letnan Aart tidak ada. Ternyata, dia di pindah tugaskan ke daerah lain," bathinnya.

Larso merasa resah. Selama ini, dia banyak diuntungkan oleh Letnan Aart. Tak heran Larso begitu resah..Selama ini, dia dengan mudah menyuap Aart, sehingga setiap kejahatannya selalu mulus. Dengan perasaan resah, dia pulang ke rumahnya.

Keesokan paginya, Dewi berniat berangkat jualan. Dia bawa kue-kue di kerajang dan memikulnya di atas kepalanya.

"Kue ... kue ... ," teriaknya menawarkan dagangannya.

Dewi berjalan sambil membawa dagangannya ke arah loji yang tak begitu jaub dari rumahnya. Sambil berjalan, dia cari pelanggan. Dan, di tengah jalan dia di cegat Larso. Dewi tampak risau.

"Dewi Sayang, daripada jualan kue, mending nikah sama akang. Hitung-hitung, bisa lunasi hutang ibu," kata Larso merayu Dewi.

Larso menyentuh dagu Dewi dengan genit. Dewi yang merasa risih segera mengjindar dari Larso. Larso hanya tersenyum licik melihat Dewi yang kabur.

"Lihat saja, Dewi. Ibumu telah berhutang kepadaku, dan bunganya segera membengkak. Sekarang kamu bisa menolak, tapi bulan depan, lihat saja. Kamu gak bakal ada pilihan selain menikah dan jadi gundikku," bathinnya.

Dewi tampak berlari terengah-engah ketika masuk di daerah loji. Ketika itu, Alexander habis lari pagi. Dia keheranan melihat Dewi yang ketakutan.

"Dewi. Apa yang terjadi? Mengapa u begitu ketakutan?" tanya Alexander.

Dewi tak menjawabnya. Nafasnya tersengal dan wajahnya ketakutan. Jendral Pieterz yang kebetulan lewat mendekati Alexander dan Dewi.

"Alex, waarom deze vrouw?" tanya Pieterz.

(Alex, kenapa wanita ini?)

"Ik weet het niet, Pieterz. Het was alsof iemand hem achterna zat," jawab Alexander.

(Entahlah, Pieterz. Dia seperti di kejar seseorang)

Pieterz manggut-manggut. Dia menyuruh Dewi untuk duduk di bangku dekat pos penjagaan.

"Uhm ... Kamu orang duduk di bangku itu. Tenangkan dirimu," kata Pieterz pada Dewi dengan dialek Belanda.

Dewi menjawab singkat. "Terima kasih, Meneer."

Pieterz tersenyum manis. Dia segera beranjak ke messnya. Alexander memberi Dewi air minum yang dia bawa.

"Dewi, minumlah dulu supaya tenang," kata Alexander sambil memberikan tempat minumannya pada Dewi.

Dewi meminumnya. Akhirnya, dia mulai tenang, namun wajahnya tampak begitu pucat. Alexander kembali menanyainya.

"Dewi, apa yang membuat u begitu ketakutan?" tanya Alexander.

Dewi menghela nafasnya. Dia berusaha mengendalikan dirinya. Setelah dirasa tenang, Dewi akhirnya menceritakan kejadian yang dia alami. Alexander mendengarkan cerita itu. Dia merasa iba dengan apa yang di alami Dewi. Alexander mencoba menenangkannya.

"Dewi, kamu jangan takut. Ik janji akan jaga U punya orang. Tenanglah, Dewi," kata Alexander menenangkan Dewi.

Dewi berangsur tenang. Senyumnya kembali muncul.

"Tuan, terima kasih. Saya akan antar kue-kue pesanan orang ke beberapa mess di loji ini," kata Dewi sambil.mulai menggendong dagangannya.

Alexander tersenyum.memandangi Dewi.

"Dewi, U jangan lupa pesanan Ik. Nanti antar ke kantor Ik," kata Alexander.

Dewi tersenyum manis. dia segera bangkut dan mengantarkan kue -kue pesanan istri pejabat VOC yang memesannya. Sepeninggal Dewi, Alexander tersenyum. Dia segera pulang ke messnya dan mandi.

Sementara itu, Larso yang begitu resah dengan di gantinya Letnan Aart mendatangi lobby. Dia berusaha menjalin jaringan dengan pejabat baru. Di temuinya Jendral Pieterz.

"algemeen, iedereen wil afspreken," kata bawahannya.

(Jenderal, ada yang ingin bertemu)

Jenderal.Pieterz keheranan..Dia yang penasaran akhirnya menyuruh orang itu masuk.

"Is goed. Haal hem binnen," kata Jenderal Pieterz.

(Baiklah. Suruh dia masuk)

Orang itu menyuruh Larso masuk. Dan, Larso pun masuk menemui Jenderal Peiterz.

Larso pun masuk. Pieterz mempersilahkan Larso duduk. Setelah duduk, Larso mengajak bicara. Jenderal Pieterz memandang Larso terlalu angkuh. Dia tak terkesan tak menghiraukannya

Cukup lama Larso berbicara. Dan, setelah agak lama, Larso segera berjalan keluar. Ketika keluar dari tempat kerjanya Jenderal Pieterz, wajahnya tampak kecewa. Ternyata Jenderal Pieterz berbeda sikapnya dengan Letnan Aart.

Ketika itulah dia berpapasan dengan Alexander. Alexander yang tak mengenalnya hanya tersenyum.ramah dan masuk ke.tempat kerjanya. Larso pun langsung pulang.

Seaampainga di rumah, dia ditemui putrinya. Larso menemukan ide untuk mendapatkan koneksi yang bisa memuluskan bisnisnya. Dia temui Sri Lestari, putrinya yang sangat cantik.

"Nak, tadi waktu ke loji, ayah bertemu fengan penggantinya Letnan Aart. Dan, di sana ada pejabat VOC yang tampan. Kata penjaga loji, dia bernama Letnan Alexander," kata Lekso pada Lestari.

Lestari keheranan, namun dia begitu antusias mendengarkan cerita ayahnya.

"Oh ya? Apakah Alexander itu begitu tampan, Yah?" tanya Lestari.

Lekso tersenyum. Dia mengangguk.

"Yah, Lestari ingin mengenalnya," kata Lestari merajuk manja.

Lekso tersenyum. Dalam hati, Lekso berniat menjodohkan Lestari dengan Alexander demi memuluskan usahanya memperkaya dirinya sendiri.

Sementara itu, di loji Dewi begitu senang. Kue dagangannya ternyata di minati istri-istri pejabat VOC. Dia menerima cukup banyak pesanan. Setelah mengantarkan pesanan kue, Dewi ke luar dari loji untuk menjajakan kue dagangannya. Sepeninggal Dewi, Alexander tersenyum simpul. Dia begitu menikmati kue dagangan Dewi.

Siang telah tiba. Dewi yang tengah beristirahat di dekat pasar membuka surat dari Alexander.

"Dear, Dewi.

Ik begitu senang dengan kedatangan U. Ik ingin U besok kembali datang. Ik ingin mengenal U lebih jauh.

Alexander"

Dewi tersenyum simpul setelah membaca surat dari Alexander. Lestari yang melihat Dewi sedang duduk di depan pasar mendatanginya.

"Oh, sudah bosan jualan kue?" ejek Lestari sambil tersenyum sinis.

Dewi yang mengetahui tabiat Lestari hanya diam menatapnya dengan tajam.

"Eh! Kamu tak pantas pandangi aku begitu. Dasar orang miskin!" bentak Lestari mendorong Dewi.

Seorang kuli panggul di pasar yang melihatnya mendekati Lestari dan menghardiknya.

'Hei! Jangan mentang-mentang kamu kaya bisa seenaknya dengan kami! Sadar, Lestari! Ayahmu itu penjilat kompeni. Sana. Pergi kamu! Dasar anak antek kompeni!" usir kuli panggul itu sambil mendorong Lestari hingga terjatuh.

Dia mengajak Dewi untuk beristirahat di tempat lain. Lestari yang terjatuh menjadi bahan tertawaan orang-orang di sekitar pasar. Karena malu, dia segera berlalu dari pasar.

Download NovelToon APP on App Store and Google Play

novel PDF download
NovelToon
Step Into A Different WORLD!
Download NovelToon APP on App Store and Google Play