NovelToon NovelToon

Here For You : Aku Di Sini Hanya Untukmu

One Night of the Engagement

Di malam yang gemerlap ini akan menjadi sebuah malam bahagia. Mungkin? Karena sebuah cincin telah tersemat di jemari masing-masing pasangan ini. Mereka baru saja melangsungkan acara pertunangan di salah satu hotel di Jakarta. Pertunangan yang dilaksanakan hikmat dan privat, yang dihadiri oleh orang tertentu.

Seusai pertukaran cincin, keduanya menghampiri tamu undangan yang menghadiri pertunangannya. Sehabis menghampiri kolega, Arthala dan Reina menghampiri sahabatnya yang duduk di bangku dekat kolam air mancur.

"Selamat yaaa." Sahabatnya bernama Laras itu antusias sekali mengucapkan.

"Selamat yaaa Reina akhirnya lo bentar lagi jadi calon istrinya mantan pak Dosen." Grace juga tak kalah heboh mengucap selamat.

"Aku beneran nggak nyangka lho mbak, hubungan kamu sama pak Arthala sampai ke tahap ini," ujar Elisa yang terharu atas lamanya perjalanan asmara Reina sampai di titik keseriusan.

Seluruh sahabat Reina hadir dan satu persatu mengucapkan selamat serta mereka turut ikut berbahagia dengan acara pertunangannya. Reina tersenyum. "Terima kasih ya semua udah nyempetin hadir."

"Lo nggak perlu khawatir, Na. Sesibuk apapun kami kalau ada hal penting berkaitan dari pertemanan ini pasti bakalan disempatin kok," ujar Milka yang sedari awal selalu mendukungnya.

"Pacaran udah hampir 5 tahun nggak sampai diseriusin perlu dipertanyakan." Entah kenapa ucapan Fajar tidak ramah untuk didengar padahal ada Arthala di sisinya.

"Ya kalau ujungnya disakitin berarti Arthala minta dihajar," ujar Jovian menambahkan sembari melirik Arthala.

Arthala merangkul Reina, "Kita bakal baik-baik saja sampai pernikahan tiba," rangkulan itu terasa mengerat. "Iya kan, Sayang?"

Reina hanya tersenyum kecil.

"Harus sih. Jangan sampai lo ... menyakiti Reina," ujar Farhan penuh peringatan.

"Yaaaa sahabat kita ini di doain dong lah langgeng teruuss, dijauhi para ani-ani, pelakor di luar sana," Angel, sahabatnya. Si wanita dominan itu mulutnya selalu tak bisa dikendalikan.

"Udah-udah lanjut minum aja," Angga, berusaha menengahi. Menetralkan keadaan daripada berujung saling lepas perbincangan yang pedih.

"Pokoknya doa yang terbaik buat lo, Na," ujar Delia sembari mengusap lengan wanita itu.

"Aku seneng banget, kamu udah diseriusin begini sama Arthala. Aku juga seneng kamu bahagia, Na." Fenita. Sahabat yang paling dekat dengan Reina. Wanita yang pembawaannya lemah lembut itu memeluknya.

"Terima kasih ya, Ta," balas Reina.

Arthala izin menyambut kedatangan koleganya, sementara Reina ikut bergabung duduk di bangku bersama teman-temannya saling mengobrol. Membahas mengenai dirinya, pekerjaan dan lainnya. Selama mengobrol Reina sekilas melirik tunangannya yang jauh darinya, sibuk sekali menyambut dan mengajak berbincang para undangan. Sejenak Reina menghela napas rendah.

"Btw ini jadinya Erlangga nggak datang?" Tanya Hani ditengah obrolan.

"Telat dia. Lagi ngurusin rancangan proyek bandara," jelas Jovian sesaat menegak cocktail.

"Beneran telat? Atau dia ragu buat dateng ke sini?" Sandy sekali berbicara membuat Reina menoleh dan hendak bertanya namun secara tiba-tiba yang dibicarakan datang.

"Sorry nih telat dateng ada kerjaan yang perlu gue beresin dulu." Erlangga memberikan alasan yang sebenarnya. Kini pusat atensi Reina dan teman-temannya mengarah ke Erlangga. Dia datang dengan masih memakai pakaian kerja yang rapi namun terlihat lelah sekali dari raut wajahnya.

"Hiiihh lamanyaaa!" seru Grace geregetan.

"Weh lama bener lo. Sini duduk!" Keanu memberikan kursi untuk Erlangga duduki. Pria itu duduk di sebelah kanan Reina.

"Kita kira lo nggak bakal dateng, Lang," ujar Hanna.

"Ya mana mungkin gue nggak dateng. Ini itung-itung gue dapet makanan gratis lho ya." Selalu saja ada gurauan yang ia katakan. Tak pernah berubah sifatnya.

Semua temannya mengumpatinya karena tingkahnya yang lumayan menyebalkan. Pria itu hanya terkekeh dan Reina ikut tersenyum kecil.

Lalu Erlangga mengulurkan tangannya dan berkata, "Hai Na ... selamat ya atas pertunangannya."

Reina menyambutnya dan membalas ucapan pria itu. "Terima kasih."

...****...

Singkatnya, waktu telah menunjukkan pukul sebelas malam. Para tamu undangan serta teman-temannya telah pulang meninggalkan hotel tempat acara pertunangannya. Termasuk keluarga pasangan itu telah pulang lebih dulu. Sementara Reina dan Arthala masih berada di sana. Keduanya berjalan bersisian ke arah lobi hotel. Menunggu mobil yang diambilkan oleh petugas hotel. Arthala menjauh sejenak dari Reina untuk menerima panggilan telepon. Dalam jarak lumayan dekat Reina memerhatikan tunangannya. Dia tampak serius. Ada gurat kekhawatiran menerima telepon tersebut. Siapa yang menelpon tunangannya malam-malam begini?

"Oke. Aku segera ke sana. Kamu tenang dulu ya? Tetap di situ. Jangan ke mana-mana. Tunggu aku."

Tak berselang lama mobil datang, bertepatan berakhirnya percakapan telepon Arthala dengan seseorang. Petugas hotel menyerahkan kunci mobil pada Arthala.

"Aku pulang duluan. Kamu bisa naik taksi untuk pulangnya." Arthala berkata sembari mengotak-atik gawainya.

"Kamu mau ke mana?"

"Aku ada urusan."

"Urusan? Malam-malam begini?" Tentu ia harus tahu ke mana tunangannya akan pergi, bukan?

Arthala berdecak. "Dengar, kamu nggak perlu tahu urusanku apa. Cukup di sisiku. Nggak membantah perintahku. Dan perlu diingat, kamu di sini bukan siapa-siapa Reina. Kamu nggak ada hak untuk ikut campur. Paham?"

Kalimat menohok dari Arthala membuat Reina diam. Menahan semuanya. Tidak ada kekuatan melawan pria itu. Selanjutnya pria jangkung itu bergegas menaiki mobil. Seperti biasa dia akan membiarkannya sendirian.

Reina mendongak menatap gelapnya langit yang terang dan cantik sekali karena dilukiskan oleh sinar cahaya bintang. Seharusnya malam ini menjadi hal bahagia, lantas nyatanya tidak bagi Reina. Siapa sangka malamnya ini merupakan malam yang menyakitkan dan menyedihkan. Tanpa ia sadari air matanya menetes. Mampukah ia bertahan hingga akhir, hingga waktunya tiba? Ataukah ia mengakhirnya walaupun harus menghadapi risiko?

Reina menghapus jejak air matanya, hawa semakin dingin. Reina mengusap-usap lengannya. Kebayanya tak mampu melindungi tubuhnya yang kedinginan. Reina celingak-celinguk siapa tahu menemukan taksi di jam yang larut. Nihil tak ada sama sekali taksi yang berhenti di hotel. Membuka aplikasi taksi online, berharap masih punya hati untuk menerima pesanannya. Sesaat ia mengetikkan di aplikasi, sebuah mobil civic hitam berhenti di lobi, di depannya. Reina mengernyitkan dahi, seolah mengenali pemilik mobil tersebut. Lalu seorang pria bertubuh jangkung keluar dari mobil menghampirinya yang berdiri di sana.

"Kok lo masih di sini? Arthala mana? Bisa-bisanya habis tunangan lo di biarin sendirian?"

"Erlangga? Kok kamu belum pulang?"

"Iya, ini tadi muter balik lagi ambil jam tangan ketinggalan di wastafel." Erlangga menoleh memerhatikan sekitar hotel yang sudah sepi hanya beberapa yang lewat, petugas hotel dan pengunjung. "Arthala mana, Na?"

"Hhm?"

"Arthala mana?"

Reina menelan salivanya dalam - dalam, sebetulnya ia bingung bagaimana harus menjawab. "Eeemm ... dia duluan tadi. Ada urusan mendadak katanya."

Erlangga membelalakkan matanya. "Serius? Dan dia ninggalin lo sendirian di sini?" Benar dia meninggalkannya.

"Dia ada urusan penting Lang. Mana mungkin aku bisa cegah dia, lagian aku tadi bilang ke dia buat milih naik taksi aja. Kasihan daripada dia bolak-balik." Dan Reina terpaksa berbohong. Dia tidak ingin image tunangannya buruk di mata sahabatnya.

"Astaga. Urusan apa coba menjelang tengah malam begini? Tega bener tunangan lo itu." Sangat tega memang.

"Aku udah mau pesan taksi online kok ini. Tenang aja."

"Jangan naik taksi sendiri. Ini udah malam. Bahaya." Erlangga mencegahnya. "Mending gue anter lo pulang."

Reina menggeleng cepat. "Erlangga. Nggak usah."

"Bahaya, Reina. Gue nggak mau terjadi apa-apa sama lo," jelas Erlangga.

"Lang –"

"Ini lo sungkan sama gue? Takut sama Arthala yang mikir macam-macam nantinya?" tebak Erlangga. "Tenang. Gue yang bakal jelasin nanti. Lo nggak perlu khawatir."

Reina tidak ingin berdebat. Reina sudah capek karena acara yang lumayan lama ini. Pada akhirnya menyetujuinya. Memutuskan ikut Erlangga yang memberinya tumpangan. Mengantarkannya pulang ke apartemen. Erlangga membukakan pintu mobil bagian penumpang, namun sebelum itu ia mengambil jas hitam yang diletakkan di kursi dan melingkupkan jasnya pada tubuh kecil Reina. Reina yang mendapatkan perlakuan seperti itu seketika membeku.

Keduanya kini saling beradu tatap.

"Tadi gue lihat lo ngusap-ngusap lengan terus. Dingin ya? Jadi pake jas gue aja ya supaya tubuh lo hangat?"

...*****...

Receive Assignments

Siang ini Reina selesai meeting bersama seluruh staff kantor majalah Ethereal. Meeting ini membahas klien selanjutnya yang akan di interview untuk bahan artikel yang akan diterbitkan di majalah, surat kabar, dan website. Reina kini menjadi yang terakhir keluar ruangan.

“Reina tunggu sebentar.” Langkahnya terhenti ketika bu Ambar selaku chief editor memanggilnya.

“Kenapa bu?”

“Ada yang perlu saya bicarakan sama kamu,” Reina mengernyitkan dahinya, “hal penting. Saya ingin berbicara empat mata dengan kamu. Di ruang meeting.”

Reina mengekori bu Ambar ke ruangan tersebut. Sampai ruangan keduanya duduk di kursi forum. Reina duduk di samping kiri bu Ambar. Ia menatap lawan bicaranya yang akan berbicara serius.

“Saya tadi telah berdiskusi bersama pak Yudi, beserta jajaran lainnya. Kami sepakat dan memutuskan kamu yang berangkat ke Kalimantan Timur untuk bertugas sebagai jurnalis lapangan untuk meliput dan menginterview Nadindra Corp mengenai pembangunan proyek bandara yang tengah dikerjakan …” Lihat. Reina tampak syok mendengarnya hingga membelalakkan kedua matanya. “Kamu sendiri mengetahui Reina, bahwa majalah kami bergerak di bagian ekonomi. Maka, selain menginterview Nadindra Corp kami juga menugaskan kamu untuk mencari data informasi karya wisata, budaya, dan ekonomi masyarakat Kutai. Di sana nanti kamu bisa mewawancarai langsung penduduk lokal atau kepala suku.” Jelas bu Ambar pada wanita muda di sampingnya.

“Ke Kalimantan Timur, bu?”

“Iya. Tepatnya di Kutai. Selama di sana nanti saya berharap kamu dapat mengeskplorasi kegiatan perekonomian masyarakat sana dan sejauh mana proyek pembangunan bandara.

“Kira-kira berapa lama, bu?”

“Sekitar lima bulanan. Itu sampai proyek bandara rampung. Ya kemungkinan itu,” bu Ambar menatap Reina. “Tapi, sepertinya tidak sampai lima bulan sudah selesai. Kemarin saya sudah banyak berbincang langsung dengan penanggung jawab proyek itu, mereka bilang pengerjaannya selesai 2-3 bulan lagi. Jadi saya berharap selama di sana nanti kamu dapat semaksimal mungkin mencari banyak data mengenai pembangunan bandara dan perekonomian daerah Kutai.”

Reina diam belum merespon.

Bu Ambar memegang tangan Reina seolah meyakinkannya, bahwa mampu melaksanakan tugasnya tersebut. “Reina kalau kamu yang berangkat ke Kalimantan Timur. Saya yakin sekali mereka mampu memberikan informasi mengenai pembangunan proyek bandara. Mereka akan jauh terbuka dengan kamu.”

“Maaf bu Ambar bukan saya menolak.” Reina mencoba menjelaskan. “Tetapi saya tidak ingin berdebat lagi dengan Helga. Saya dengar Helga sangat menginginkan sekali mengambil interview ini. Saya tidak keberatan Helga yang berangkat ke Kalimantan Timur. Saya yakin Helga bisa. Saya yakin Helga lebih kompeten.”

“Bukan saya meragukan batas kemampuan Helga dalam hal interview atau mencari sumber data. Tidak. Bukan seperti itu. Saya tahu pengalaman kamu dengan Helga hampir setara.” Bu Ambar menyeret kursi mendekat ke Reina. “Kantor majalah Ethereal membutuhkan jalinan kerja sama dengan Perusahaan Nadindra Corp. Saya dan lainnya amat yakin seandainya kamu yang berangkat, Nadindra Corp akan mudah menerima jalinan kerja sama. Mereka tidak akan pandang bulu untuk tanda tangan kontrak ini.”

Kalau dirinya memilih berangkat, bagaimana hubungannya dengan tunangannya itu?

"Kamu ragu karena tunanganmu ini? Takut dia akan melarang?" Pertanyaan bu Ambar kenapa tepat sekali menyerangnya.

"Bukan bu ... Bukan begitu," elak Reina.

"Lalu? Alasan apa yang membuat kamu ingin menolak, Reina?" Bu Ambar kekeh bertanya. "Kamu nggak seperti ini lho? Masalah pertugasan kamu selalu utamain."

Ada benarnya memang.

Haruskah ia menerima pertugasan ini? Dan tidak menghendaki persetujuan tunangannya?

Reina sejenak tertegun. Memikirkan menerima atau tidak tugas ini.

“Bagaimana Reina kamu bersedia untuk berangkat? Ini demi perusahaan majalah kita.” Bu Ambar sangat berharap staff jurnalis kebanggaannya ini menerima. “Mau ya, Reina?” bujuk bu Ambar. Genggaman tangan di tangan Reina begitu menguat.

Reina mengangguk. “Iya bu Ambar. Saya bersedia.”

*****

Familiarity and A paparazzi

Ketukan hak tinggi dari wanita muda itu dengan anggun melewati ramainya orang di gedung berlantai sangat tinggi. Malam ini adalah acara keberhasilan project kerjasama hotel Wijaya Group milik Arthala dengan Andalas Group milik Roy. Senyum lugunya terus ia ukir menyapa para undangan di sana. Retina Reina berpendar ke penjuru ruangan untuk mencari seseorang. Ketemu. Seseorang yang ia cari tengah berbincang dengan dua pria dewasa. Reina menghampirinya dengan langkah pelan namun tampak elegan.

"Mas Artha..." pria yang dipanggilnya itu menoleh.

Senyum Arthala mengembang. "Hai Sayang." Arthala lantas merangkul pinggang Reina. Sandiwara yang pintar sekali. "Kenalin ini tunangan gue, Reina. Reina kenalkan, ini Roy dan Harry."

Roy dan Harry bergiliran menjabat tangan Reina. Mereka saling memperkenalkan diri satu sama lain.

"Oh ya, mereka adalah teman sekaligus kolegaku. Mereka ini termasuk orang yang dulu berjasa membantu permasalahan hotelku—mereka dengan sangat tulus mau bekerjasama dengan project ini. Jadi kita harus berterima kasih sama mereka," jelas Arthala.

"Terima kasih sudah membantu Mas Arthala membangun kembali hotel ini dan terima kasih atas jalinan kerjasamanya ini," senyum rekah Reina terulum kala mengucapkan.

"Kami sudah mengenal lama dengan Arthala, Reina. Hal wajar saya dan Harry bantu Arthala," ujar Roy.

"Benar kata Roy. Ar, Reina ini yang lo maksud waktu itu? Mahasiswi yang udah lo incar lama?" Pertanyaan Harry membuat Reina menoleh ke Arthala.

Rangkulan Arthala di pinggang Reina menguat. "Benar. Reina ini lulusan dari kampus tempat gue ngajar dulu." Artha memalingkan kepala singkat ke tunangannya. "Dia memang .... Salah satu wanita yang bikin gue jatuh hati."

Reina mengeratkan kuat genggaman pada tali sling bag-nya. Ingin sekali Reina menyangkalnya namun keberaniaannya sekarang di pucuk hilir. Tak ada sama sekali. Ia hanya mampu diam dan patuh pada tunangannya itu.

"Kata gue lo harus beruntung dapetin Arthala. Dia sampai nungguin lo lama. Dia yang akhirnya punya keberanian buat nyatain perasaan ke lo dan ngajak lo ke tahap yang serius." Roy yang berkata serius, membuat Reina justru merinding.

"Sama-sama beruntung sih. Reina cantik begini apa nggak extra keras jagain Reina dari buaya di luaran sana. Ya nggak, bro?" sahut Harry.

Arthala merespon dengan tawa. Tawanya terdengar sangat jumawa. Risih sekali mendengarnya.

Reina? Reina hanya menanggapi senyuman kecil. Perbincangan kian berlanjut. Hanya membahas perbisnisan. Dan itu sangat lama, menyita banyak waktu. Reina yang telah jenuh, memutuskan, meninggalkan mereka dan memilih menjauh.

*****

Wanita muda ber-dress pink soft itu berjalan jauh dari ballroom. Dia melangkahkan kaki keluar hotel. Berjalan terus hingga ia menemukan sebuah taman kecil yang indah. Letaknya tak jauh dari lobi. Berada di samping kanan air mancur. Taman kecil dihiasi oleh pijaran lampu, beberapa bunga yang tumbuh dan rumput hijau di sekitaran.

Langkah Reina terhenti ketika ia melihat seorang pria dari jarak 1 meter itu tengah duduk di kursi taman sambil menyulutkan sebatang tembakau. Ia mengenal siapa pria tersebut. Lalu ia mendekat. Menghampiri pria yang duduk santai memandangi pohon di depannya.

Reina berdeham kala sudah berada di jangkauan terdekat pria muda itu, lantas menoleh terkejut saat mendengar.

"Reina?"

"Aku ganggu kamu ya?" Reina meringis, merasa tidak enak hati.

Erlangga menggeleng. "Nggak sama sekali. Sini duduk?" Erlangga sedikit bergeser dan menyingkirkan jas hitam yang ia sampirkan dipenyangga. Sebelum Reina menyadari, Erlangga segera mematikan rokoknya dengan cara menggenggamnya. Rasanya memang-lah panas. Dan hal itu telah menjadi kebiasaannya.

Reina menurut. Kini mereka duduk di bangku yang sama. Entah kenapa ini menciptakan kenyamanan teruntuk Reina.

"Kok lo di luar? Bukannya harusnya lo di dalam nemenin Arthala?" tanya Erlangga. Pria itu yang memulai obrolan.

"Aku jenuh di dalam. Banyak obrolan yang nggak aku mengerti. Tentang bisnis-lah. Saham-lah. Muter itu mulu. Jadi, aku milih keluar buat cari udara segar," tutur Reina dengan nadanya yang jengkel. Siapa sangka itu tampak lucu dimata Erlangga. Serta membuatnya tertawa kecil.

"Namanya juga pebisnis, Na. Apa yang mereka obrolin ya seputar itu."

"Kamu sendiri, kok di luar juga?"

"Oh. Gue bosen di dalem. Lagi pengen nyebat juga. Sebenernya gue udah izin pulang duluan sama Nino, Ardi, Guntur. Eh ternyata malah ke jegal di sini," gurau Erlangga dan mendapat respon tawa kecil dari Reina.

Reina menghela napas lalu menyenderkan punggungnya di kursi."Mas Arthala ngenalin aku sama rekannya yang bantu dia nyelesain masalah hotelnya dulu. Kamu tadi pasti lihat. Yang namanya Roy dan Harry. Nah, aku disuruh akrabin diri sama mereka. Tapi, aku sendiri masih belum bisa," jelasnya dengan tatapan tertuju ke jalan raya.

"Karena lo sendiri dari dulu susah banget buat akrab sama orang baru," ujar Erlangga yang memahami sekali. Pria itu kini tak lagi menghadap ke arah jalanan, lantaran ada yang lebih menarik dari ramainya jalan yaitu wanita di sampingnya ini. Cantik sekali. Cukup memujinya di dalam hati.

"Hmm. Iya itu jadi permasalahannya."

"Soalnya dulu kalau anak-anak ataupun gue yang nggak akrabin ke lo duluan, pasti ya lo lebih milih banyak diamnya," kata Erlangga.

Reina terkekeh. Ia memalingkan kepalanya ke hadapan Erlangga. "Oh iya, sebenernya tadi itu aku inisiatif buat nyamperin kamu tahu."

"Oh iya?"

Reina mengangguk. "Tapi, Mas Arthala posesif banget hari ini. Dia nyuruh aku buat di sampingnya terus. Dia nggak ngebolehin aku ke mana-mana. Padahal aku izinnya nyamperin kamu yang notabenya temenku sendiri. Tetap nggak dibolehin."

"Arthala cemburu kali sama gue. Soalnya lo dari dulu deketnya sama gue," kelakar Erlangga. Dia kentara sekali sedang menggodainya.

Reina tertawa yang masih betah memerhatikan ramainya lalu lalang kendaraan malam itu. "Mas Arthala nggak pernah cemburuan kok, Lang. Kalau hari ini posesifin aku mungkin karena—"

"WOYYY!"

Kalimat yang diucapkan Reina terhenti lantaran secara tiba-tiba Erlangga berteriak, meneriaki seseorang di belakangnya. Reina menoleh cepat. Erlangga bangkit dari duduknya. Reina yang masih terkejut turut bangkit.

"LO TUNGGU DI SITU. DUDUK DI SITU JANGAN KE MANA-MANA!" Sesaat, Erlangga mengisyaratkannya untuk berada di tempat. Selanjutnya berlari mengejar pria berbaju hitam yang membidik kebersamaannya.

"BERHENTI LO ANJING!"

Pria tadi begitu gesit dalam berlari dan tak memedulikan teriakan Erlangga. Erlangga-pun tak lengah untuk mengejarnya, karena ia ingin tahu siapa pria itu dan ingin tahu apa tujuan membidiknya bersama Reina. Erlangga terus mengejarnya sampai area rubanah. Pria berpakaian serba hitam itu berlari melewati banyak mobil terparkir di sana, menaiki dan melompati sekitar tiga mobil seolah sedang menunjukkan atraksi seperti adegan di film. Dalam jarak dekat ada sebuah mobil yang hendak keluar. Hampir Erlangga tertabrak. Beruntungnya seseorang dalam mobil sigap mengerem—meminta maaf walaupun masih mendapat umpatan. Tidak mengindahkan itu, lantas ia terus berlari memasuki lorong gelap, dan menemukan pria berbaju serba hitam tadi berdiri di sana, tengah membuka dan mengotak-atik kameranya.

Erlangga yang telah dirudung emosi, berkesempatan menyerang dengan menendang punggung pria itu hingga terjatuh telungkup. Pria itu dengan tertatih bangkit hendak membalas memukul Erlangga. Gagal. Erlangga bergerak cepat menangkis dan berbalik memukul pria itu hingga tumbang-tidak diberi peluang untuk memukul balik. Kekuatan Erlangga jauh lebih besar. Pria itu tak berdaya. Terlentang di lantai kasar tersebut. Erlangga mendekat membuka paksa masker yang menutup wajah pria itu. Dia begitu penasaran siapa dibalik seseorang itu. Lalu, "Bangsat ... Ternyata lo pelakunya."

*****

Download NovelToon APP on App Store and Google Play

novel PDF download
NovelToon
Step Into A Different WORLD!
Download NovelToon APP on App Store and Google Play