NovelToon NovelToon

The Idol’S Secret

The Eyes That Remember

Ruangan meeting di lantai tujuh LUMINA Entertainment terasa terlalu besar untuk Han Nari. Udara dingin dari AC menampar kulitnya, tapi telapak tangannya tetap saja lembap. Jemarinya menggenggam buku sketsa di pangkuan, sementara pena yang tadi ia putar-putar kini terhenti.

"Fokus, Nari. Ini hanya pekerjaan. Tidak lebih."

Namun, rasa sesak di dadanya tak mau pergi. Ini bukan proyek biasa. Ini adalah comeback terbesar LUMINA, grup idol nomor satu di Korea. Semua mata industri musik tertuju pada proyek ini, dan jika ia gagal…

"Jangan kacaukan ini. Kau sudah bekerja keras untuk sampai di sini."

“Konsepnya sudah siap?” tanya seorang staff yang duduk di ujung meja, menatapnya dengan senyum ramah.

Nari mengangguk cepat. “Y-Ya, semua sudah saya siapkan di presentasi,” jawabnya, suaranya sedikit gemetar.

Belum sempat ia menarik napas lega, suara pintu berderit terdengar. Suasana ruangan mendadak hening.

Suara langkah kaki memenuhi ruangan—mantap, teratur, dan membuat semua orang tanpa sadar menegakkan punggung mereka.

Tujuh pria memasuki ruangan, masing-masing memancarkan aura yang membuat udara terasa tebal. Para staff yang tadi masih sempat berbisik kini menunduk penuh hormat.

Dan di antara mereka… ada Lee Jihoon.

Leader LUMINA.

Pria yang dulu pernah menepuk kepalanya sambil berkata, “Kau pasti bisa jadi desainer hebat, Nari.”

Pria yang menghilang tanpa kabar, meninggalkan ruang kosong di hatinya yang tak pernah benar-benar ia tutupi.

Jihoon berjalan paling depan. Rambut hitamnya ditata rapi, wajahnya terlihat jauh lebih dewasa dan dingin daripada sosok yang dulu ia kenal. Kemeja hitam yang ia kenakan membuatnya terlihat semakin tak terjangkau.

Lalu, mata mereka bertemu.

Sepersekian detik.

Tapi cukup untuk membuat dunia Nari berhenti.

Jihoon sedikit melambat. Sorot matanya yang tajam berubah sesaat—seperti ada pengakuan dalam diam—sebelum kembali ke ekspresi datarnya yang profesional.

"Tidak… dia tidak mungkin mengenaliku. Ini sudah lima tahun."

Jihoon berpaling, menyapa semua orang dengan anggukan singkat. “Terima kasih sudah bekerja keras untuk comeback kami,” katanya dengan suara dalam yang terdengar tenang namun penuh wibawa.

Nari buru-buru menunduk, berharap tak ada yang melihat pipinya yang memanas.

"Dia tidak mengenalku… kan? Jangan bodoh, Nari. Dia pasti sudah melupakanmu."

Meeting dimulai. Nari mempresentasikan konsep desain dengan suara sedikit bergetar. Setiap kali ia mencuri pandang ke arah Jihoon, pria itu terlihat fokus… tapi ada saat-saat di mana mata mereka bertemu lagi, dan dada Nari seolah diremas.

Apalagi saat Jihoon sedikit mengernyit—tatapan itu, hangat sekaligus menusuk.

Atau mungkin… itu hanya perasaannya?

Ketika meeting hampir selesai, Nari baru bisa bernapas lega. Tapi saat ia menunduk membereskan sketsanya, suara berat memecah keheningan.

“Konsep ini… terasa familiar.”

Suara baritonnya yang dalam terdengar pelan namun cukup jelas untuk membuat semua orang menoleh.

“Seperti… seseorang yang pernah aku kenal,” lanjut Jihoon, matanya menatap Nari sekilas sebelum ia melangkah keluar ruangan.

Saat Jihoon melangkah keluar, aroma parfum maskulinnya samar-samar tertinggal di udara. Nari menahan napas, berusaha menenangkan detak Jantungnya yang menggila.

Beberapa staff mulai berkemas dengan wajah lega. Suasana kembali ramai dengan suara kertas yang dilipat dan kursi digeser. Tapi bagi Nari, dunia terasa seperti berhenti berputar sejak pria itu menatapnya.

"Kalau dia benar-benar ingat… bagaimana sekarang? Apa yang harus kulakukan?" pikirnya panik.

Ia menggigit bibir bawah, berusaha meredam perasaan yang kembali menyeruak setelah bertahun-tahun terkubur.

“Han Nari-ssi, presentasi Anda sangat bagus.” Suara salah satu staff memecah lamunannya.

“Ah, t-terima kasih,” jawab Nari cepat. Jemarinya masih mencengkeram pena seolah itu satu-satunya pegangan agar ia tak runtuh.

Tapi di balik senyum kikuknya, satu pertanyaan tak henti bergema di pikirannya:

"Apakah dia… benar-benar masih ingat aku?"

That Familiar Voice

Studio latihan itu masih terasa asing bagi Nari. Cermin besar memantulkan wajahnya yang pucat, dan ia hampir tak mengenali dirinya sendiri dengan raut sekaku itu. Cahaya lampu LED menyinari ruangan luas yang dipenuhi suara musik pelan dari speaker di pojok. Beberapa member LUMINA duduk santai di pojok ruangan; ada yang stretching, ada pula yang asyik dengan ponsel masing-masing.

Nari meremas map di tangannya lebih erat saat langkah kaki mendekat.

“Wah, jadi kau yang membuat desain itu?” Suara hangat Park Minjae membuatnya terkejut. Ia menoleh dan mendapati idol itu sudah berdiri di depannya, senyum cerah menghiasi wajah tampannya.

“Aku suka banget konsepnya. Elegan tapi ada sisi misteriusnya… seperti dirimu.”

Nari tertegun, pipinya langsung memanas. Matanya membesar sedikit, tapi ia cepat-cepat menunduk untuk menyembunyikan wajah yang sudah memerah.

“A-Ah… t-terima kasih…” jawabnya dengan suara hampir tak terdengar.

Minjae tertawa kecil, suaranya rendah dan menyenangkan. “Kau tidak perlu tegang begitu. Kami ini manusia biasa juga, tahu?” katanya sambil sedikit menunduk, membuat jarak di antara mereka semakin dekat.

Jantung Nari berdetak tak karuan. Kenapa dia terlalu ramah? Apa semua idol sehangat ini pada staf? pikirnya gugup.

Tiba-tiba, sebuah suara berat memotong suasana.

“Minjae.”

Satu kata itu cukup untuk membuat udara di ruangan menegang.

Minjae menoleh, masih dengan senyum jahilnya. “Ya, Hyung?”

“Jangan ganggu staf.” Nada suara Lee Jihoon terdengar tenang, tapi ada ketegasan yang tak bisa diabaikan.

Seisi ruangan mendadak senyap. Bahkan member lain yang tadi bercanda ikut menoleh, suasana berubah hening seketika.

Minjae mengangkat tangan seperti menyerah. “Oke, oke. Aku hanya ramah pada staf baru, Hyung.” Ia mundur selangkah dengan senyum nakal yang belum juga pudar, tapi sorot matanya sempat melirik Nari seolah berkata: “Kita belum selesai.”

Nari menunduk dalam, berusaha menenangkan wajahnya yang kini benar-benar panas. Apa Jihoon… marah? Atau hanya ingin melindungi stafnya? pikirnya bingung.

“Han Nari-ssi.”

Suara Jihoon kembali terdengar, lebih lembut, tapi tetap cukup untuk membuat bulu kuduk Nari berdiri.

Perlahan ia menoleh, mendapati Jihoon masih bersandar pada dinding, lengan terlipat di dada. Mata pria itu tajam namun ada sesuatu di sana—hangat, namun penuh teka-teki—yang membuat dadanya sesak.

“Bisa ikut aku sebentar?” ucap Jihoon akhirnya.

Nari terpaku. Tangannya mengepal di samping tubuhnya, berusaha menenangkan detak jantung yang seolah tak terkendali. Ia bisa merasakan tatapan Minjae yang ikut mengawasi dari samping, tapi ia terlalu sibuk menenangkan dirinya sendiri.

"Kenapa… harus sekarang? Kenapa dia tiba-tiba seperti ini? Jangan bilang dia benar-benar… ingat."

Nari menelan ludah, lidahnya terasa kelu. Jarak antara mereka hanya beberapa meter, tapi rasanya seperti ada dinding kaca tebal yang memisahkan dunia mereka.

"Seandainya dia tahu… bahwa aku masih mengingat semua tentang masa kecil itu. Senyumannya, caranya menyebut namaku, bahkan janji kecil yang dia lupakan begitu saja."

Jihoon berdiri tegak, matanya masih tak lepas darinya. “Nari-ssi?” Suaranya sedikit lebih rendah kali ini, nada yang tak bisa ditolak.

Nari merasakan langkah kakinya berat ketika ia akhirnya bergerak maju.

Minjae yang berdiri di sudut tersenyum tipis. “Apa sebenarnya hubungan kalian?” begitu jelas terlukis di wajahnya.

Saat Nari berjalan melewati Jihoon, aroma parfum maskulin yang samar menyapanya. Detik itu juga, semua memori lama berputar di kepalanya, membuat hatinya terasa nyeri sekaligus hangat.

"Lee Jihoon… jangan buat aku berharap lagi."

"Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja," kata Jihoon sebelum pergi, meninggalkan Nari yang terdiam dengan jantung berdegup kencang.

Between the Lines

Suasana lorong itu begitu sunyi saat Nari mengikuti Jihoon. Langkah kaki mereka bergema di dinding putih yang terasa terlalu sempit untuk menampung segala macam pikiran yang berputar di kepala Nari.

Kenapa dia tiba-tiba mengajakku bicara? Apa dia tahu?

Setiap langkah semakin membuatnya sesak. Ia bisa mencium samar aroma parfum Jihoon, aroma yang begitu familiar hingga menyesakkan dada.

Sebuah pintu terbuka. “Masuklah,” kata Jihoon tanpa menoleh.

Ruangan itu adalah practice room kecil dengan cermin besar di satu sisi dan kursi panjang di sudut. Lampu temaram membuat bayangan Jihoon memanjang di lantai kayu.

Nari berdiri kaku di dekat pintu, tangan gemetar memeluk map. “Jihoon-ssi… ada apa ya? Kalau soal desain—”

“Han Nari.”

Suara itu memotong kalimatnya. Nari menegadah, mendapati Jihoon menatapnya dengan mata yang sulit diartikan. Tajam, tapi juga ada lembut yang terselip di sana.

“Berapa lama kau berniat berpura-pura tidak mengenalku?” tanyanya pelan.

Jantung Nari seolah berhenti berdetak. “A-Apa maksudmu…?”

Jihoon melangkah mendekat. Setiap langkahnya terasa berat bagi Nari.

“Dulu kau selalu memanggilku Jihoon-ah. Sekarang bahkan kau tak berani melihat mataku.”

Nari mundur setapak, punggungnya nyaris menyentuh cermin. “Aku… aku tidak tahu apa yang kau bicarakan.”

Jihoon mendekat lagi hingga hanya tersisa setengah meter di antara mereka. Suara napasnya terdengar begitu jelas.

“Kau benar-benar pikir aku bisa melupakan Han Nari kecil yang selalu menggambar di halaman belakang rumahku?” bisiknya. “Aku ingat semuanya.”

Nari meremas map erat-erat hingga kukunya menekan kulitnya. “Itu sudah lama sekali. Kau sekarang… idol terkenal. Aku hanya—”

“Dan kau pikir statusku membuatku berhenti jadi manusia?” Mata Jihoon sedikit melembut. “Aku ingin tahu… kenapa kau menghilang tanpa kabar waktu itu?”

Nari menggigit bibir. Ada genangan air di sudut matanya. Semua perasaan yang selama ini ia tahan mendesak keluar.

“Aku… aku takut,” bisiknya nyaris tak terdengar. “Aku takut kau akan berubah begitu kau menggapai mimpimu.”

Jihoon menarik napas panjang. Jemarinya nyaris terangkat, seperti hendak menyentuh pipi Nari, tapi ia urungkan. “Kau salah. Tidak ada satu pun hari aku lupa padamu.”

Ruangan itu begitu hening hingga suara detak jantung mereka terasa memekakkan telinga.

“Jihoon-ssi… kita tidak boleh begini. Aku staf. Kau idol. Bagaimana kalau orang tahu?”

Jihoon tersenyum tipis, tapi matanya penuh dengan sesuatu yang tak bisa diucapkan. “Dan bagaimana kalau aku tidak peduli?”

Sebelum Nari sempat menjawab, suara pintu diketuk dari luar. “Hyung! Kami mau latihan koreografi lagi!” terdengar suara Minjae.

Nari langsung melangkah mundur, menjatuhkan mapnya ke lantai. Suara kertas berserakan terdengar begitu keras di telinganya, seperti menggema di ruangan yang sunyi itu. Jihoon tanpa ragu menunduk, meraih map itu, dan menyerahkannya padanya. Jemari mereka bersentuhan sebentar, hangat kulit Jihoon seolah membakar telapak tangan Nari.

“Jangan lari lagi, Nari.” Suara Jihoon terdengar rendah namun penuh tekanan. Tatapannya tajam tapi ada kilatan emosi yang sulit ditebak di sana. “Aku sudah kehilanganmu sekali. Aku tidak mau ke hilangan lagi.”

Nari menunduk, menahan air mata yang nyaris jatuh. Seluruh tubuhnya terasa kaku, tapi jantungnya berdetak begitu keras seolah hendak meledak. Ia ingin berkata sesuatu, tapi kata-kata tertahan di tenggorokannya.

Langkah kaki di luar ruangan terdengar mendekat lagi. “Hyung, cepat! Kami sudah menunggu,” seru Minjae dari balik pintu, nadanya terdengar sedikit heran.

Nari buru-buru membungkuk, suaranya nyaris pecah saat berucap, “Maaf… saya harus kembali.” Ia bergegas keluar sebelum Jihoon sempat menahannya lagi.

Di luar, langkahnya terasa ringan namun dadanya semakin berat.

"Bagaimana jika aku juga… tidak sanggup menjauh darinya?"

Download NovelToon APP on App Store and Google Play

novel PDF download
NovelToon
Step Into A Different WORLD!
Download NovelToon APP on App Store and Google Play