NovelToon NovelToon

Sisa Harapan

Pertemuan di Pagi Berkabut

Pagi itu, kabut tipis masih menyelimuti kota. Jalanan mulai padat dengan kendaraan yang berlalu-lalang, suara knalpot dan deru mobil mengisi udara. Di tengah hiruk-pikuk pagi yang biasa itu, dua orang yang tidak saling mengenal, sama-sama terjebak dalam rutinitas dan masalah pribadi mereka masing-masing.

Ray, pemuda dengan wajah tampan yang hidupnya penuh lika-liku, berdiri di pinggir jalan, menatap motornya yang mogok. Si Rongsok—motor butut kesayangannya—hari ini sepertinya benar-benar ngadat. Sudah dicoba start berulang kali, cuma suara "brek-brek" yang terdengar tanpa ada tanda-tanda mau hidup.

Ray bukan pemuda biasa. Kehidupannya keras, penuh perjuangan. Lahir dari keluarga miskin, ia terbiasa dengan konflik sejak kecil. Dulu, dia anak geng jalanan yang terkenal dengan kelakuan ugal-ugalan. Wajahnya tampan, tapi reputasi buruknya di kalangan cewek malah bikin dia sulit dekat dengan siapa pun. Berkali-kali nyoba mendekati, tapi selalu berakhir dengan penolakan.

"Dasar motor sialan!" Ray memaki pelan sambil menendang bodi motor yang udah penuh goresan itu.

Karena nggak ada pilihan lain, akhirnya Ray rela ninggalin motornya di bengkel pinggir jalan dan naik angkot ke sekolah. Duduk di kursi angkot yang sempit, dia menghela napas panjang, matanya melirik ke sopir—Pak Joko, yang udah dikenalnya sejak kecil. Pak Joko sosok yang baik hati, selalu siap bantu anak-anak di lingkungan mereka.

"Eh, Ray! Kenapa naik angkot? Motormu mogok lagi?" tanya Pak Joko dengan senyum lebar.

"Iya, Pak. Si Rongsok ngadat lagi," jawab Ray sambil menggelengkan kepala.

Pak Joko tertawa kecil. "Harus hati-hati sama motor itu. Jangan terlalu dipaksain."

"Lain kali aku bawa palu buat motor itu," gumam Ray sambil senyum tipis.

Di sudut angkot, seorang cewek duduk dengan wajah cemberut. Nadya, anak baru yang cantik, tapi jutek banget. Tertinggal karena alarmnya nggak berbunyi, dia bangun kesiangan. Hari ini sopirnya sakit, jadi dia terpaksa naik angkot biar nggak terlambat ke sekolah.

Nadya bukan tipe cewek yang manja meski lahir dari keluarga kaya. Dia peduli sama orang-orang terdekatnya, tapi masalahnya dia susah percaya sama orang asing. Kepercayaan itu harus diperjuangkan.

Begitu Ray naik dan lihat Nadya, dia langsung menyeringai.

"Eh, anak baru. Kamu telat juga?" tanya Ray santai.

Nadya cuma melirik sekilas, menghela napas, "Bukan urusanmu."

Ray tertawa pelan, "Jutek banget. Padahal aku cuma mau ngajak ngobrol biar perjalanan nggak garing."

Nadya malas menanggapi, biasanya cowok genit kayak gini cuma cari perhatian.

Beberapa menit perjalanan dalam diam, ketegangan antara mereka makin terasa. Sampai akhirnya, mereka sampai di sekolah. Begitu turun dari angkot, pemandangan yang nggak menyenangkan langsung menyambut mereka—guru piket udah berdiri di depan gerbang, siap mencatat nama-nama murid terlambat.

Nadya panik. "Aduh, hari pertama udah kena masalah..."

Ray melirik Nadya yang cemas, terus mikir sebentar sebelum melangkah cepat ke arah guru piket.

"Pak, maaf kami terlambat," kata Ray dengan nada tegas. "Tadi saya lihat Nadya bingung nyari jalan ke sekolah. Jadi, saya temenin dia. Kan, anak baru, jadi masih belum tahu rute angkot di sini. Saya cuma ngerjain dia sedikit biar dia belajar hati-hati."

Guru piket langsung mengerutkan kening, tampak kesal. "Ngerjain anak baru?" katanya dengan nada tegas, suara sudah mulai meninggi. "Kamu pikir itu lucu, Ray? Kamu ngerjain dia justru bikin dia makin bingung! Nggak ada waktu untuk main-main di sini!"

Ray tetap tenang sambil melirik Nadya. "Pak, saya cuma bercanda. Nggak ada niat jahat kok."

Guru piket menatapnya tajam. "Bercanda? Apa kamu nggak tahu kalau kamu bisa bikin dia lebih kesulitan? Itu bukan cara yang baik, Ray. Anak baru itu butuh dibimbing, bukan dibikin bingung! Jadi kamu tetap harus dihukum karena keterlambatan ini."

Ray merasa sedikit canggung, tapi tetap nyantai. "Iya, Pak. Saya paham."

Guru piket tetap memarahi Ray dengan suara keras. "Berdiri di halaman sampai pelajaran pertama selesai. Kamu harus belajar menghargai orang lain, bukan cuma ngerjain mereka! Dan Nadya, kamu bisa masuk kelas sekarang."

Nadya, yang terdiam mendengarkan, merasa sedikit lega akhirnya Ray dihukum. Tapi dia nggak tahu harus merasa marah atau justru berterima kasih.

Ray cuma senyum santai, mengangguk patuh. Sebelum balik ke Nadya, dia sempat ngasih tatapan penuh arti, "Tenang aja, hukuman kayak gini mah kecil, kok. Dibanding dorong motor butut tadi pagi."

Nadya terdiam, bingung tapi juga terkesan. Dia nggak tahu harus merasa kesal atau berterima kasih.

Saat Nadya jalan ke kelas, dia baru sadar satu hal penting tentang dirinya: cowok ini bukan sekadar anak nakal biasa... Mungkin, Ray bakal terus bikin harinya penuh kejutan, mulai sekarang.

Pertemuan di kantin

Bel istirahat akhirnya berbunyi, memecah keheningan kelas yang penuh dengan tumpukan tugas dan pelajaran yang membosankan. Para siswa buru-buru keluar dari kelas, ingin segera menghirup udara segar atau sekadar melepas penat. Nadya berjalan menuju kantin, ditemani oleh beberapa teman cewek yang baru dikenalnya.

Meski baru sehari di sekolah, Nadya sudah mulai bergaul dengan beberapa anak perempuan di kelasnya. Mereka ramah dan terlihat bersahabat, tapi ada satu hal yang masih mengganggu pikirannya—Ray.

Ray, cowok nyebelin itu, dengan santainya terima hukuman demi menutupi keterlambatannya Nadya. Yang lebih mengesalkan lagi, dia sama sekali nggak terlihat menyesal atau marah. Malah, kayaknya dia menikmatinya.

Saat Nadya berjalan menuju kantin, dia melihat Ray yang sedang duduk santai di bangku dekat lapangan. Di sampingnya, ada dua temannya yang udah cukup terkenal—Reno dan Dika. Mereka berdua tuh cowok-cowok kaya yang selalu tampak santai, tapi juga dikenal sering bikin onar. Reno tuh suka banget berantem dan punya reputasi buruk di sekolah. Kalau Dika, sih, dia lebih sering jadi sumber tawa karena kelakuannya yang konyol.

Saat itu, Reno dan Dika lagi sibuk memperdebatkan sesuatu yang nggak penting, dan jelas-jelas absurd.

Reno: "Gue yakin banget deh, kalau kita lempar kertas gulung ke kipas angin, itu bakal muter kayak baling-baling helikopter."

Dika: "Helikopter? Bro, itu cuma khayalan lo aja! Gue lebih yakin kalau kita gulung kertas, terus tempel di jari, terus jentik ke kipas angin, efeknya bakal kayak peluru kertas yang nembus tembok!"

Reno: "Peluru kertas? Lo serius? Itu malah bisa nembus kaca jendela, terus masuk ke rumah orang, terus orangnya malah nonton TV, terus... eh, kok jadi cerita, ya?"

Dika: "Eh, iya! Bisa jadi viral tuh! Bayangin, peluru kertas nembus kaca, terus masuk rumah orang, dan langsung viral di TikTok. ‘Kertas Terbang Masuk Rumah, Efek Gagal Eksperimen!’ Gokil!"

Reno: "Viral gara-gara kertas nempel di muka guru? Itu sih bukan eksperimen, itu bencana!"

Dika: "Bencana? Hah, itu jadi eksperimen seni modern, cuy! Gitu kan namanya ‘Karya Seni Aneh’, nanti jadi masuk pameran seni!”

Ray yang mendengarkan perdebatan mereka cuma tertawa pelan, sambil menikmati es teh. "Dua-duanya sama absurdnya, kalian ini pada ngebut banget mikirnya."

Dika: "Makanya, kita buktikan aja nanti di kelas! Siapa tahu jadi viral! Gila, kan?”

Reno: "Viral gara-gara eksperimen gagal? Lu sih cari masalah. Gue mending jadi meme nasional daripada ngerjain eksperimen konyol."

Ray cuma menggelengkan kepala, ngakak pelan. Tapi sebelum dia bisa jawab lagi, suara cewek tiba-tiba memanggil namanya.

"Hei."

Ketiga cowok itu langsung menoleh, dan Nadya berdiri di depan mereka dengan ekspresi datar. Cuma Nadya yang nggak ada di antara mereka, dan itu cukup bikin Reno dan Dika ternganga.

Dika: "Tunggu… cewek cantik barusan nyapa Ray?!"

Reno: "Gila, dunia udah mau kiamat?! Ini nggak bener, bro!"

Ray cuma senyum nakal. "Oh? Anak baru udah kangen sama gue, ya?"

Nadya cuma melipat tangan di dada dan memandangnya serius. "Aku cuma mau bilang… terima kasih soal tadi pagi."

Reno dan Dika langsung melongo, nggak bisa nyangka kalau Nadya yang biasanya jutek bisa bilang terima kasih. Ray yang dengerin cuma nyengir jahil.

Ray: "Wah, momen langka nih. Cewek jutek bilang terima kasih."

Nadya tetap mempertahankan ekspresi seriusnya, meski dalam hatinya dia mulai merasa agak aneh dengan sikap Ray yang ternyata beda dari yang dia kira.

Nadya: "Thanks, ya, buat tadi pagi."

Ray cuma tertawa kecil dan angkat bahu, seperti nggak ada beban. "Santai aja. Gue nggak rugi kok. Lagian, berdiri di halaman sekolah lebih enak daripada duduk di kelas dengerin pelajaran."

Nadya ngelirik ke arah Ray yang terlihat santai banget, padahal baru aja kena hukuman. Gimana bisa sih cowok itu tetap tenang?

Setelah beberapa saat, Nadya akhirnya ngomong lagi dengan nada agak tegas. "Tetap aja, kamu nggak perlu bohong buat aku. Aku bisa nerima hukuman sendiri."

Ray menatapnya sesaat, lalu senyum jahil muncul lagi di wajahnya.

Ray: "Kalau gitu, besok gue nggak akan bantuin kamu lagi. Tapi kalau mau gue bantu terus, boleh kok. Asal ada bayarannya."

Nadya cuma muter bola mata, nggak mau terjebak dalam guyonan Ray.

Nadya: "Oh ya? Mau minta apa?"

Ray pura-pura mikir, senyum nakalnya makin lebar. "Gampang. Minta kenalan ama kamu, boleh?"

Nadya langsung jawab tanpa ragu dan dengan nada dingin. "Hmmm… Nadya," sambil menjulurkan tangannya.

Ray langsung nyambut tangan Nadya dengan genggaman sedikit lebih lama dari yang seharusnya. Dika dan Reno yang ngeliat itu cuma bisa melongo, nggak percaya.

Reno: "Ray… kenalan sama cewek cantik… dan ceweknya beneran nanggepin?"

Dika: "Ini… kejadian langka," katanya sambil ngeluarin ponselnya, siap buat ngerekam.

Ray yang sadar Dika mau ngerekam langsung melempar sedotan bekas es teh ke kepala temannya itu.

Ray: "WOY, NGAPAIN?"

Dika: "Bro! Momen langka harus direkam!"

Nadya yang udah nggak sabar langsung mau pergi, tapi salah satu teman ceweknya menarik lengan Nadya.

Liana: "Nadya, kamu ngapain ngobrol sama dia?"

Citra: "Iya, jangan deket-deket sama Ray. Dia itu berandalan sekolah."

Nadya cuma melirik ke arah Ray yang masih duduk santai, memain-mainkan sedotan di botol es tehnya. Pandangannya penuh ketidakpastian, dia nggak tahu harus merasa khawatir atau justru… penasaran?

Liana: "Ya ampun, jangan bilang kamu mulai suka sama dia?"

Nadya langsung mendelik tajam ke arah temannya, sambil jawab tegas.

Nadya: "Tentu saja tidak!"

Liana dan Citra cuma tertawa kecil. Tapi Nadya yang masih mikirin kejadian tadi, mulai merasa ada yang aneh dalam hatinya sendiri. Ray memang nyebelin, tapi kenapa dia nggak bisa berhenti kepikiran dia?

Dengan langkah cepat, Nadya kembali berjalan menuju kantin bersama teman-temannya yang masih terus nggodain dia tentang interaksi mereka tadi. Tapi jauh di dalam hati Nadya, satu pertanyaan besar muncul: siapa sebenarnya Ray?

Tantangan Baru

Bel pulang sekolah akhirnya berbunyi, memberi tanda bahwa para siswa bisa meninggalkan kelas dan kembali ke dunia bebas mereka setelah berjam-jam dihadapkan dengan pelajaran yang kadang nggak ada habisnya. Para siswa berhamburan keluar, berharap bisa segera bebas dari rutinitas membosankan yang baru saja mereka jalani.

Di gerbang sekolah, Ray sudah bersantai, menunduk, dan menyender di pagar. Matanya tampak menerawang ke jalan yang kosong. Reno dan Dika, dua sahabatnya yang selalu setia menemani, berdiri di sampingnya, berusaha mencerna suasana yang entah kenapa terasa sedikit aneh. Ketiganya tahu hari ini tidak akan semudah yang mereka kira. Ada yang berbeda.

Reno: "Jadi… lo nunggu siapa di sini?" tanya Reno dengan suara setengah penasaran, setengah becanda.

Ray cuma senyum dan ngelirik temannya itu. "Nunggu seseorang."

Dika: "Jangan bilang lo nunggu Nadya?" Dika menatap Ray sambil mengangkat alis, pura-pura terkejut. "Gila, sih! Lo bisa-bisanya nungguin cewek kaya gitu."

Ray cuma mengangkat bahu, senyumnya makin lebar. "Pinter, bro."

Reno dan Dika langsung ngakak. Mereka berdua bisa baca ekspresi Ray yang nggak pernah kelihatan bimbang. Ray itu cowok yang selalu tampil percaya diri, kadang sok tahu, tapi selalu berhasil membuat situasi jadi menarik.

Reno: "Lo serius nih? Tapi yaudah deh, kita lihat aja nanti."

Saat mereka lagi asyik ngobrol, akhirnya Nadya muncul dari gerbang sekolah, berjalan menuju mereka dengan teman-teman cewek yang lain. Wajahnya tampak bingung, sedikit cemas—kayak orang yang bingung mau ke mana.

Ray langsung bergerak cepat, senyum nakalnya langsung muncul. "Nadya! Pulang bareng yuk!" ucapnya dengan gaya santai, seakan semuanya sudah pasti.

Nadya langsung berhenti di tengah langkahnya, matanya menatap Ray dengan bingung. Liana dan Citra, dua temannya, sudah menatap tajam ke arah Ray, penuh tanda tanya.

Liana: "Wah, dia makin berani ya?" bisiknya sambil menatap Ray.

Citra: "Iya! Gimana, Nadya? Mau dianter sama si cowok berandalan?"

Nadya mendengus pelan, langsung menatap Ray dengan ekspresi datar. "Maaf, aku nggak bisa."

Ray tetap tersenyum, senyum khasnya yang nggak pernah hilang meski dia baru saja ditolak. "Oh, kenapa? Takut jatuh hati kalau sering bareng aku?" godanya dengan nada main-main.

Nadya: "Enggak, sorry, udah ada yang jemput."

Reno langsung terbahak, ketawa terbahak-bahak sambil menepuk pundak Ray. "Duh, sakit banget tuh, bro!"

Dika: "Udah biasa, sih. Dari dulu juga gini terus. Ditolak cewek, udah jadi makanan sehari-hari buat Ray."

Ray cuma terkekeh, meskipun tampaknya dia sedikit kesal. "Hahaha, biarin aja. Yang penting gue udah coba. Kalau lo berdua, mana pernah berani ngajak cewek secantik Nadya pulang?"

Dika langsung mendengus. "Gue? Nyari cewek gampang, nggak kayak lo."

Reno: "Gue sih mending tidur di rumah daripada dapet malu kayak lo."

Ray cuma terkekeh dan ngangkat bahu, nggak peduli sama komentar mereka. Dia tahu persis apa yang ada di pikirannya. Hari ini, dia nggak nyerah begitu saja.

Tapi sebelum Ray bisa ngomong lebih lanjut, suara motor terdengar mendekat dari kejauhan. Semua orang menoleh, dan pemandangan yang muncul langsung bikin suasana jadi berubah.

Sebuah motor sport hitam berhenti di dekat mereka. Seorang cowok tinggi, rambut rapi, dan pakai jaket kulit keluar dari motor, membuat semua orang di sekitar terkesima. Cowok ini punya aura berbeda—dingin, tajam, dan penuh kepercayaan diri.

Ini Adrian, pacar Nadya.

Nadya langsung berjalan mendekat dan naik ke motor Adrian tanpa berkata apa-apa. Liana dan Citra langsung berbinar-binar, tergila-gila dengan penampilan Adrian.

Citra: "Waaah! Pacarmu ganteng banget!"

Liana: "Iya! Keren banget."

Nadya cuma tersenyum tipis, nggak ada yang terlalu spesial di ekspresinya. Tapi dia nggak menanggapi mereka lebih lanjut. Di sisi lain, Ray, Reno, dan Dika cuma bisa terdiam, melihat pemandangan yang tiba-tiba berubah itu.

Reno akhirnya memecah keheningan, suara serius tapi ada sedikit empati. "Bro… lo kalah jauh."

Dika: "Gue udah bilang kan? Lo nggak ada harapan dari awal. Cewek kayak Nadya butuh cowok yang ‘selera tinggi’—bukan lo yang cuma modal nekat."

Adrian sempat menoleh sekilas ke arah mereka, tapi hanya memberikan tatapan dingin penuh penilaian. Setelah itu, tanpa berkata apapun, dia menyalakan motornya dan pergi, meninggalkan debu-debu kecil beterbangan di sekitar gerbang sekolah. Nadya berada di belakangnya, tidak banyak bicara, tapi tampaknya bisa merasakan ketegangan di udara.

Begitu motor itu menghilang, Reno dan Dika nggak bisa berhenti tertawa. Mereka berdua merasa kasihan tapi juga geli dengan situasi Ray.

Reno: "Jujur deh… lo sakit hati nggak?" tanya Reno pelan, penuh rasa kasihan.

Ray cuma terkekeh, memasukkan kedua tangannya ke saku celananya, wajahnya tetap tenang meskipun ada sedikit ketegangan. "Dikit."

Dika menggelengkan kepala. "Udah lah bro, lo nggak bakal bisa saingan sama dia. Cowok itu beda kelas jauh sama lo."

Ray cuma tersenyum kecil, lalu mengangkat bahu. "Siapa bilang ini selesai?" katanya santai tapi penuh tekad. "Ini baru mulai."

Reno: "Lo tuh kebangetan positif thinking, bro."

Ray tetap tertawa ringan, seakan nggak ada yang perlu dipusingkan. Untuknya, ini cuma tantangan baru dalam hidup. Dan buat Ray, tantangan adalah sesuatu yang selalu menarik untuk ditaklukkan.

Dengan langkah santai, Ray berjalan meninggalkan gerbang sekolah menuju jalanan luas di depan sana. Di belakangnya, Reno dan Dika masih bergurau, meski kali ini ada sedikit rasa simpati yang tak bisa mereka sembunyikan.

Download MangaToon APP on App Store and Google Play

novel PDF download
NovelToon
Step Into A Different WORLD!
Download MangaToon APP on App Store and Google Play