Half love, half regret
Dressin' up for Polaroids and cigarettes
Socialize, romanticize the life-ife-ife
Musik itu mengalun tenang seiring gerakan tangan pria kepala tiga itu mulai bertambah cepat. Deru napas berantakan serta panas membuat suasana kamar yang remang-remang itu kian terasa membakar tubuhnya.
Jasper menghirup dalam aroma baju yang ada di tangan kirinya, Merasakan ejakulasi yang tak lama menghampirinya ke dalam sang tertinggi.
Menatap telapak tangannya yang kotor oleh cairannya sendiri, menggeram rendah setelah berhasil meluapkan nafsunya. Beranjak duduk, menyibak rambut biru tua-nya dan segera mematik api di ujung rokok di celah bibirnya.
Menghembuskan asapnya perlahan, merasakan kepalanya yang mulai pening oleh banyaknya dosis marijuana yang dia konsumsi akhir-akhir ini. Meraih bingkai foto yang sudah setengah pecah dengan seorang pria yang tengah tersenyum di sana.
"Sang terkasih, Alaric-ku tersayang," netra biru Jasper menggelap, memancarkan aura obsesi yang tinggi terhadap Alaric, pria yang ada di dalam foto.
.
.
.
.
.
"Hey Alaric, kau sudah mengerjakan tugas patofisiologi-mu?" tanya seorang lelaki berambut pirang sambil menepuk pundak Alaric, menyadarkannya dari lamunannya.
Patofisiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari tentang perubahan atau gangguan pada fungsi-fungsi tubuh manusia, yang disebabkan oleh suatu penyakit atau kondisi medis.
Pemilik nama lengkap Alaric Dempsey itu hanya bisa tersenyum kecil dan mengangguk singkat, tampaknya wajah tampan itu terlihat lebih kusut dari biasanya. Juga kantung matanya terlihat menggelap.
Asher Ravenwood, pria yang menyapanya tadi menarik kursi dan mendaratkan pantatnya di bangku sebelah Alaric. Menatap sang rambut hitam dalam diam.
"Ada apa? Wajahmu terlihat lebih pucat dari biasanya. Apa kau sakit?" ujarnya diikuti menempelkan telapak tangannya di dahi Alaric, merasakan hangat menyapu tangannya.
"Tidak demam, kau kurang tidur?" tanyanya kembali.
Merasa tidak ada jawaban, Asher menghela napas panjang. Ada yang tidak beres, pikirnya. Mendekat ke wajah Alaric untuk memastikan, sang empunya ternyata asik bermain sendiri di bunga tidurnya.
Menatap dalam diam pria tampan yang di sebelahnya, Asher tak dapat berkedip mengamati struktur halus nan tegas milik Alaric.
Tersadar dari kelakuannya, Asher memilih menjauhkan kepalanya darinya, semburat merah tipis menyelimuti pipinya.
Ia menoleh saat mendengar langkah kaki yang mendekat dari arah luar kelas mereka, terdiam sejenak sembari menunggu pemilik suara derap kaki memunculkan batang hidungnya di ambang pintu.
Ah, dia mendesah lega. Yang muncul ternyata dosen mata kuliahnya, Asher memang memiliki kemampuan pendengaran yang tajam. Bahkan dalam jarak 20 meter jauhnya, dia dapat menyadari jika ada suara orang lain yang sedang berbisik. Benar-benar hebat.
Memilih fokus ke dosennya yang masuk kelas dan berhenti merecoki Alaric yang sedang terlelap. Mengeluarkan bindernya dan ia siap untuk menyerap materi-materi baru yang datang.
.
.
.
.
"Ahhnn..." erang Alaric sembari meregangkan otot-otot tubuhnya yang menegang akibat tidur paginya yang cukup lama. Mengerjapkan beberapa kali matanya untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke netra-nya.
Melihat ke sekitar, matanya melebar menyadari hanya tinggal dia seorang yang ada di kelas. Segera mengecek jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kirinya kemudian bergegas meninggalkan ruang belajar itu.
Dia melangkah cepat di lorong gedung fakultasnya dan membuat keributan kecil di setiap langkahnya. Tak lama setelahnya, pantatnya membentur lantai keramik yang dingin. Memunculkan suara mengaduh dari pihak Alaric. Sedangkan yang menabraknya segera berjongkok untuk menyamakan tingginya.
"Kau baik-baik saja Alaric?" ia bertanya dengan raut khawatir menghiasi wajahnya. Menaruh tempat makanan yang ia bawa di sebelahnya.
Alaric mengangkat pandangannya dan matanya menatap lurus kepada pria yang sangat dia kenali, Asher. Terdiam sejenak dalam kontak mata sebelum memutus tatapan satu pihak sebelum kembali menatap lelaki jangkung tinggi 187 cm di depannya.
"Aku baik-baik saja, kau dari mana saja!? Kenapa tidak membangunkanku tadi?" omelnya cepat sepanjang rel kereta api yang seperti tidak ada ujungnya.
Asher hanya tersenyum kaku dan menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Merasa canggung dan membiarkan lawan bicaranya memarahinya hingga selesai.
"Maafkan aku, aku tadi melihatmu yang sedang tidur lelap. Kurasa kau kurang istirahat, jadi kau tidak aku bangunkan. Lihat, aku membeli babi kecap tadi di kantin. Kau menyukainya bukan?" ucapnya seraya meraih wadah makanannya dan membuka tutupnya, membiarkan Alaric mengintip isinya.
Dan benar saja, isinya sungguh menggoda nafsu Alaric untuk tidak berhenti menatapnya. Lamunannya terbuyarkan setelah Asher menutupnya kembali. Dia beranjak berdiri dan mengulurkan tangannya.
"Ayo berdiri, kita ke taman untuk mencari tempat duduk."
Alaric menerima uluran tangannya, membiarkan Asher menarik tangannya untuk membantunya berdiri.
Mereka berjalan keluar meninggalkan gedung itu dan menuju taman bunga di samping kampus mereka.
Memilih bangku kayu di area yang teduh, duduk berhadapan dengan satu wadah pork belly yang menguarkan aroma harum, serta laki-laki lucu berambut hitam yang menemani.
Asher menusukkan ujung garpu ke salah satu potongan dan menyodorkannya ke depan bibir Alaric.
Alaric membuka mulutnya dan menerima suapannya, matanya berbinar merasakan rasa kecap yang manis serta daging yang lembut menyapu lidahnya. Kebetulan ia belum sempat sarapan pagi ini, waktunya habis untuk tidur.
Suap demi suapan dia terima hingga tak terasa habis. Asher beranjak berdiri untuk membuangnya di tempat sampah terdekat lalu menatap Alaric kembali.
"Ayo kita kembali, sepertinya kelas selanjutnya akan segera dimulai"
Alaric mengangguk mengiyakan ucapannya, seraya lah mereka bersama masuk ke kelas untuk melanjutkan mata kuliah.
.
.
.
.
.
Satu jam, dan dua jam berlalu, kelas berakhir. Sang cumulus mengeluarkan air matanya dengan deras membasahi kota.
Aku berdecak menatap langit mendung yang mengguyur air dari atas, sialnya ini sudah jam pulang dan aku masih terjebak di bawah hujan.
Badanku terhenyak sekilas merasakan seseorang yang menepuk bahuku tiba-tiba. Mengernyitkan dahiku kebingungan setelah dibuah tangani sebuah payung.
"Kau bisa menggunakan itu!"
Aku menatap punggung kecilnya yang semakin menjauh dari pandanganku. Beralih menatap payung di tanganku, isi pikiranku tiba-tiba penuh dengan siluet pria tadi. Siapa dia? Kenapa dia memberi perhatian kepadaku? Apakah aku mengenalnya?
Tidak ingin berpikir banyak, segera menekan tombol yang ada di gagangnya dan melangkah keluar gedung setelah kanopi terbuka. Meninggalkan area kampus sambil menjinjing tas gendong dengan satu bahu dengan banyak pertanyaan yang terus muncul di otak.
Download NovelToon APP on App Store and Google Play