NovelToon NovelToon

Two Love

Prolog

Musim dingin yang tak terasa dingin sama sekali. Seharusnya musim dingin akan menjadi musim yang disukai oleh semua orang. Akan tetapi, untuk situasi sekarang, bukanlah hawa dingin yang dirasakan Chihana. Ia sudah membalut sekujur tubuhnya dengan beberapa lapisan pakaian tebal dan jaket, tapi bukan merasa hangat melainkan rasa kepanasan yang ia dapat. Bukan karena balutan pakaian-pakaian itu, tapi karena situasi dan kondisi yang dihadapi sekarang sehingga merasakan panas.

Di sebuah restoran kecil namun nyaman, Chihana duduk makan malam bersama dengan kekasihnya, Mikage. Keduanya sudah menyantap setengah dari makanan mereka. Walaupun ia sudah meletakkan jaketnya di bangku, ia tetap masih merasa kepanasan. Suasana makan bersama Mikage tak sebaik sebelum masalah itu. Masalah yang seharusnya tak pernah terjadi.

“Sampai kapan kau akan diam seperti ini? Aku sudah sangat menunggu dan mempersiapkan semuanya untuk hari ini, agar aku bisa mempunyai kenangan indah bersamamu. Tapi, kenapa kau membuat suasana menjadi panas?” Chihana akhirnya memberanikan diri untuk membuka mulut dan menatap Mikage.

Mikage tampak menghela napas dan meletakkan sendok yang ia pegang. “Beraninya kau bilang seperti itu? Kau tak tahu apa yang kurasakan saat ini.”

Dahi Chihana berkerut. “Maka dari itu, ceritakan saja padaku. Apa yang kau rasakan? Kenapa kau mengacuhkanku seperti ini?”

“Aku juga sangat menunggu dan menantikan hari ini. Aku dapat bertemu denganmu dan kita bisa makan malam bersama. Aku juga sangat merindukanmu. Tapi, kau lebih dulu menyakiti hatiku, Chihana.”

Chihana tertawa kecil. “Apa yang kau bicarakan? Aku tak pernah sekalipun menyakiti hatimu.

Aku selama ini selalu memikirkanmu. Tak ada yang salah denganku...”

Mikage menghela napas. “Jangan membuatku untuk mengatakan semuanya. Hanya

memikirkannya pun aku sudah sangat kesal.” Ujarnya penuh emosi namun tetap terlihat tenang.

“Hei... sebenarnya ada apa? Aku mohon, beritahu saja aku lalu aku akan meminta maaf padamu jika aku melakukan kesalahan.” Chihana menjadi sangat ketakutan. Ia benar-benar tidak menyukai situasi

ini. Chihana merasakan firasat buruk akan hal ini.

“Aku sama sekali tak ingin pisah denganmu, Chihana. Aku sayang padamu, aku tak pernah

sekalipun berpaling darimu. Tapi, apa yang telah kau perbuat sudah cukup membuat hatiku hancur. Aku selalu percaya bahwa kau selalu cinta padaku. Aku selalu percaya kau takkan pergi dariku. Tapi, kurasa

aku salah... Secara fisik aku memang tak pantas untukmu, kau mungkin lebih memilih orang lain dibanding aku. Kau tahu, walaupun kau tak lagi mencintaiku, aku mungkin takkan bisa melupakanmu.”

“Aku mohon... beritahu aku apa yang terjadi. Aku tak ingin kau salah paham tentang aku.”

Mikage seketika berdiri dari bangkunya. “Sudah kubilang aku tak ingin pisah denganmu... tapi, sebaiknya kita jangan bertemu terlebih dahulu. Aku akan memberimu waktu untuk berpikir dan menyelesaikan masalahmu. Jika kau memang tetap memilihku... kau tahu aku akan ada dimana. Aku akan membayar makanannya. Selamat tinggal.” Ujar Mikage yang langsung mengarah ke pintu keluar. Ia memberikan uang kepada salah satu pelayan dan langsung keluar begitu saja dari restoran itu.

Chihana tercengang. Ia terdiam. Masih memproses apa yang Mikage katakan. “Memandang fisik? Memilih orang lain? Memilihnya? Apa yang dia katakan...? Semuanya seperti mengarah pada... tidak... jangan-jangan....” Chihana langsung berdiri mengambil jaketnya dan langsung berlari keluar restoran untuk menyusul Mikage.

Sebuah kertas yang ternodai takkan pernah bisa bersih kembali. Sekalipun noda tersebut ditimpa oleh noda putih, kertas itu tak lagi bersih seperti semula. Begitu pula dengan kenangan indah yang selama ini aku buat dengan Mikage. Memang, kenangan-kenangan buruk yang kecil mungkin akan terlupakan seiring dengan berjalannya waktu yang dialami bersama. Tapi, jika salah satu sudah merasakan sakit hati, tak semudah itu untuk mengembalikannya seperti semula.

Semua ini memang salahku... aku tak pernah menyadari bahwa satu hal kecil yang kulakukan, akan menyakiti hati Mikage dan hampir menghancurkan hubungan kami. Yang kukira takkan seburuk ini, namun membuat hubungan kami cukup hancur. Memang seharusnya... aku tak mengatakannya... pada Kizuki...

New Life

“Oh, tidak... aku terlambat!” pekik seorang gadis berambut hitam panjang sambil mengambil ikat rambutnya dan bergegas ke luar kamar. “Ibu, aku pergi dulu!” teriaknya lagi.

“Baiklah, hati-hati! Dasar... anak jaman sekarang sangat santai menjalani hidup.” Ujar ibunya sambil membereskan peralatan masak di dapur.

Sial... seumur hidup aku tak pernah terlambat. Semoga saja aku tak dipandang buruk oleh para dosen.

Chihana berlari menyusuri jalan menuju kampusnya yang sebenarnya tak jauh dari rumahnya. Namun, namanya terlambat, tetap saja harus buru-buru. Seusai mengikat rambut panjangnya yang cukup mengganggu, ia benar-benar berfokus pada kedua kakinya untuk berlari. Selama dua puluh menit Chihana berlari, menyeberang jalan, hingga terpaksa menerobos orang-orang yang tampak berangkat bekerja demi tiba di kampusnya tepat waktu. Ia melirik ke jam tangan pada lengan kirinya dan segera berlari lagi tanpa henti. Sisa waktu sepuluh menit dan ia harus tiba di kelas.

Tidak... bagaimana ini... aku harus sampai... tepat waktu...

Setelah sekian lama Chihana berlari, akhirnya ia pun tiba di depan kelas. Semua orang tampak memperhatikannya yang sedang terengah-engah tepat di depan pintu kelas. Aku... tak bisa... bernapas...

“Chihana! Kau sedang apa?” tanya Mei tiba-tiba sambil menepuk bahu Chihana dari belakang. Chihana terkejut dan langsung merasa lega. “Aku lega aku tak terlambat... kau masih di sini rupanya... aku berlari dari rumah hingga kemari... sangat jauh.”

Mei langsung tertawa terbahak-bahak. “Hebat sekali kau berlari dari rumah hingga kemari. Lebih baik kau minum terlebih dahulu.”

Chihana mengangguk. Ia menurut dan mengambil bekal minum yang ada pada tasnya. “Untunglah kita masih ada beberapa menit. Kita masuk saja.”

Chihana, Mei, dan yang lainnya memasuki kelas dan tak lama setelah itu dosen pun masuk ke kelas.

Aku gadis berusia dua puluh tahun yang sedang berkuliah di Universitas Waseda jurusan teknologi informatika. Sudah memasuki semester ketiga dan sampai saat ini, nilaiku masih aman. Aku tak terlalu pintar tetapi aku masih memiliki niat untuk belajar dan ingin mendapatkan nilai bagus. Temanku juga tak terlalu banyak namun ada beberapa teman baik yang dekat denganku, seperti Mei dan Tsumi. Sisanya, kebanyakan teman laki-laki. Sampai saat ini, aku menyadari bahwa jurusan ini sulit tetapi aku

harus bisa melewati ini semua hingga aku lulus. Aku juga tak berharap menemukan orang yang cocok denganku, tetapi jika memang berjodoh, aku akan dengan senang menerimanya.

“Rasanya aku sudah ingin berlibur lagi...” ujar Chihana. Ia menyusuri lorong dan berjalan menuju tempat makan yang ada di kampus bersama Mei dan Tsumi. “Aku mulai tak menyukai mata kuliahnya... kelas pun dijadwalkan pagi semua...”

“Bersabarlah... baru saja semester tiga.” Sahut Tsumi.

Chihana hanya menghela napas.

Mereka bertiga tiba di kafetaria dan memilih meja untuk mereka duduki. Setelah itu, mereka

membeli makanan dan duduk lagi sambil menyantap makanan mereka.

“Chihana.” Panggil Mei tiba-tiba.

Chihana hanya melirik kepada Mei karena mulutnya terlalu sibuk untuk mengunyah.

“Adakah yang menarik perhatianmu?” tanyanya kembali.

Lalu, ada seseorang yang datang menghampiri meja mereka dan duduk di samping Mei. Jio,

kekasih Mei sejak mereka masih duduk di bangku sekolah menengah atas.

“Hm... kurasa tidak. Aku sudah cukup sakit hati dengan apa yang terjadi padaku karena Haruto...

tidakkah kau ingat ceritaku?” tanya Chihana yang seketika wajahnya berubah murung.

Mei menghela napas. “Aku sudah memperingatimu... jangan terlalu dipikirkan mengenai Haruto. Dia baru saja berpisah dengan kekasihnya, lalu dia mendekatimu. Aku takut kalau kau hanya akan menjadi pelampiasan kesepiannya saja. Sekarang, lihat ‘kan hasilnya? Dia menjadi seakan-akan

menolakmu dan menjadi jauh denganmu.”

“Aku sudah tahu!” pekik Chihana. “Maaf... aku tahu aku tak seharusnya menyukainya, aku juga

tahu bahwa dia baru saja berpisah dengan kekasihnya. Jadi, ini memang salahku. Aku berusaha untuk tak mengingat kejadian itu lagi.”

Mei dan Tsumi pun terdiam. Merasa bersalah karena telah membuat suasana menjadi canggung.

“Baiklah, makan apa kita hari ini?” tanya Jio tiba-tiba yang membuat suasana canggung itu pecah.

Setelah itu, mereka mengobrol dan berbincang-bincang kembali seperti biasa.

“Tapi kurasa, kau cukup populer Chihana. Ada beberapa yang menyukaimu, bukan?” tanya Tsumi.

Chihana menghela napas. “Mana kutahu jika mereka tak bilang sendiri padaku.” Jawabnya sambil tertawa kecil.

“Lihat, mereka datang.” Ujar Mei. Tangannya menunjuk pada sekelompok orang yang datang ke kafetaria dan duduk di samping meja Chihana. Mereka adalah segerombolan laki-laki dari jurusan yang sama dengan Chihana.

“Siapa itu?” tanya Tsumi.

Chihana yakin bahwa Tsumi menanyakan salah satu laki-laki yang tersenyum dan menyapa mereka. “Dia Mikage. Mikage Imura, kalau tidak salah.” Jawabnya.

“Mikage?” timpal Mei.

“Ya. Mereka semua sangat pintar, Mikage adalah salah satunya yang terpintar.” Ujar Chihana. Ia langsung berpaling ketika melihat Haruto ada di antara gerombolan itu. Ia cukup sedih untuk mengakui bahwa Haruto juga termasuk yang terpintar.

“Begitu rupanya... ya, kuingat dia memang sangat pintar.” Sahut Mei.

Dalam kelompokku, hanya Tsumi yang kira-kira paling pintar. Gadis mungil dan menggemaskan ini sangat pintar dan rajin. Sisanya... kami sama rata dan suka belajar bersama. Sedangkan gerombolan itu... kira-kira ada tujuh laki-laki dan rata-rata semuanya pintar. Aku memang tidak sebanding dengan mereka.

“Baiklah... untuk hari ini, mungkin aku akan pulang lebih cepat.” Sahut Chihana. Ia membereskan tasnya dan memasukkan botol minum ke dalam tasnya.

Wajah Tsumi dan Mei terlihat kaget. “Kenapa begitu cepat?” tanya Mei.

“Aku ingin tidur... aku sangat lelah berlari dari rumah ke sini.”

Semuanya tertawa karena mengingat kejadian tadi pagi. “Baiklah, hati-hati di jalan. Tak perlu

berlari lagi.” Kata Jio.

Chihana ikut tertawa sambil berdiri dari bangkunya dan menyapa teman-temannya.

Chihana berjalan menyusuri lorong-lorong dan sangat tertarik untuk membeli minuman dari mesin penjual otomatis. Ia mengeluarkan dompet dan beberapa koin untuk dimasukkan ke mesin tersebut. Setelah minuman tersebut keluar dari mesin, ia mengambilnya dan segera meminum botol bertuliskan susu rasa jeruk itu. “Ah... segarnya...” gumamnya.

“Hai.” Sapa seseorang tiba-tiba.

Chihana kaget. Untung saja dia tidak tersedak dan masih bisa menjaga minumannya. “Kau membuatku terkejut. Mikage...?”

Ia dan Mikage tak pernah sekali pun berkenalan, mereka hanya saling tahu nama dan hanya bertukar sapa.

“Kau belum pulang?” tanya Mikage.

“Ya... aku ingin minuman segar di sini, aku kelelahan.” Jawab Chihana.

Mikage kebingungan. “Lelah? Apa yang kau lakukan?”

“Tadi pagi aku terlambat. Aku berlari dari rumah hingga kemari. Untung saja aku tiba tepat waktu.”

Saat itu juga Mikage tertawa kencang. “Kau sangat keren! Hahaha...”

“Hari pertama kuliah tak mungkin aku terlambat.” Lanjtunya.

“Baiklah. Kau akan pulang sekarang?”

Chihana kembali berjalan diikuti dengan Mikage. “Ya. Tapi kali ini aku akan berjalan santai saja.”

Katanya sambil sesekali meminum susu itu.

“Tidakkah ada yang ingin kau ceritakan?” tanya Mikage tiba-tiba.

Chihana mengerutkan dahinya. “Hm... kenapa? Kau mendengar gosip-gosip tentangku?”

“Tidak. Aku hanya tahu bahwa kau dekat dengan Haruto.”

“Ya... sudahlah... jangan bahas dia.”

“Kenapa? Apa yang terjadi? Kau bisa cerita padaku.”

Chihana menghela napas. Haruskah aku cerita padanya? Dia bukan siapa-siapa bagiku. Bahkan kami baru saja mengobrol untuk pertama kalinya.

“Haruto memang laki-laki seperti itu. Dia yang paling menyebalkan diantara kelompok kami. Dia

yang paling tampan namun dia yang paling menyebalkan.”

“Kenapa?” wajah Chihana berubah kaget.

“Dia sebenarnya baik, tetapi kekasihnya lah yang menyebalkan. Kudengar kekasihnya selalu

melarang Haruto untuk bergaul dengan kami. Kekasihnya terlalu posesif.”

“Begitu ya... sebenarnya, dia menjauhiku juga karena dilarang oleh kekasihnya. Haruto bilang

padaku bahwa mereka sudah berpisah. Namun, kekasihnya masih saja melarang-larang apa yang Haruto lakukan.”

“Dia menjauhimu?”

“Bukan berarti aku benar-benar menaruh hati padanya. Tetapi, jujur saja aku merasa nyaman dan senang mengobrol dengannya. Pada akhirnya dia memang bukan jodohku.” Ujar Chihana lantas tertawa kecil.

“Tidak apa-apa. Kau bisa cerita apa saja padaku.” Ujar Mikage.

Mikage... dia sangat baik dan juga pintar. Walaupun sebenarnya Haruto jauh lebih tampan, tetapi aku sama sekali tak memandang fisik. Aku hanya mencari orang yang benar-benar bisa membuatku nyaman dan bahagia. Aku tak butuh orang yang hanya mengandalkan fisik dan akhirnya mengkhianatiku dari belakang. Aku yakin, kelak aku akan menemukan orang seperti itu.

“Aku pulang.” Ujar Chihana sambil melepaskan sepatunya dan memasuki ruang makan. “Ibu masak banyak sekali.”

“Karena hari ini adalah hari pertamamu masuk kuliah lagi.”

“Ini bukanlah hal yang perlu dirayakan, Bu. Rayakan ketika hari pertama libur usai ujian akhir.”

“Yasudah, bersih-bersihlah dan mari makan.”

Chihana pergi ke kamarnya. Mengganti pakaian, mandi, dan membereskan barang-barangnya.

Lalu ia kembali ke ruang makan untuk makan malam bersama.

Sekitar pukul sepuluh malam, Chihana berbaring di kasurnya. Lelah sehabis menatap layar laptopnya, ia membantingkan tubuhnya ke kasur. Mengingat kejadian hari ini yang sangat melelahkan baginya. Mia dan Tsumi yang mengungkit-ungkit hal tentang Haruto dan berlari sepanjang jalan dari rumah ke kampus. Hari ini lumayan berat baginya.

Aku sudah memutuskan untuk tidak akan berurusan lagi dengan Haruto. Aku takkan menyukai siapapun lagi hingga aku siap. Aku sudah cukup muak dengan hal percintaan. Sudah cukup aku menyukai seseorang selama empat tahun waktu aku masih sekolah dulu. Cinta pertamaku... cintaku bertepuk sebelah tangan. Bukan salahnya karena aku tak pernah menyatakan perasaanku. Sekarang dia sudah ada di universitas lain dan kami tidak akan pernah bertemu lagi. Kuharap kau menemukan pasangan hidupmu, Kizuki.

Little Touch

Sudah sekitar dua minggu sejak hari pertama kuliah. Hari demi hari berlalu. Chihana sudah tak pernah terlambat dan selalu menggeraikan rambutnya. Ia sudah bisa benar-benar melupakan dan menghiraukan Haruto. Tidak benci, namun lebih baik menjadi orang asing lagi seperti belum kenal. Ia sudah cukup bahagia dengan kondisinya yang sekarang.

Chihana berdiri dan menyandar pada dinding di samping sebuah pintu kelas. Bukan kelasnya, namun kelas teman-temannya. Sayangnya ada satu hari dimana ia tak satu kelas dengan teman-teman lainnya. Sekitar pukul dua belas siang, pintu kelas itu pun akhirnya terbuka hingga membuatnya sedikit terkejut. Chihana kembali berdiri tegak menantikan satu per satu temannya keluar dari kelas itu.

Dari jauh, Chihana dapat melihat Mei dan Tsumi sedang berjalan ke arah luar. Di depan mereka, terdapat segerombolan laki-laki yang tak ia perhatikan dengan jelas. Namun yang jelas, Chihana melihat Mikage berjalan keluar di depan Mei dan Tsumi.

Chihana melambaikan tangannya kepada Mikage dan Mikage malah menepuk tangannya. Chihana kaget karena sebenarnya bukan itu yang ia inginkan. Tanpa memedulikan itu lebih jauh, Chihana sudah menyapa dan bergabung dengan Mei dan Tsumi.

“Kau menunggu dari tadi?” tanya Mei.

“Ya. Mari makan siang.” Ajak Chihana. Mereka bertiga berjalan bersamaan menuju tempat makan utama, yaitu kafetaria.

“Mei, dimana Jio?” tanya Chihana.

Mei merogoh tasnya dan meraih ponselnya. “Tidak tahu, kurasa dia masih di rumah.” Jawabnya sambil menatap layar ponsel. Mungkin mencari dimana Jio berada.

Akhirnya mereka tiba di kafetaria dan langsung duduk di meja yang biasa mereka tempati. Mei dan Tsumi langsung pergi mencari makan setelah menaruh tas mereka. Sedangkan Chihana masih mengambil dompetnya dan ketika hendak pergi, Mikage datang menghampirinya.

“Kau ingin makan apa?” tanyanya.

“Tidak tahu. Aku akan menyusul Mei dan Tsumi. Sampai jumpa.” Jawab Chihana cepat dan langsung mengejar ke arah Mei dan Tsumi.

“Baiklah...” gumam Mikage pelan.

Ketika Chihana, Mei, dan Tsumi sedang menyantap makanannya, tiba-tiba saja Jio datang. Mereka bertiga terkejut dan langsung tertawa begitu melihat wajah Jio.

“Astaga, kau baru datang!” pekik Chihana sambil tertawa keras.

“Hei, kenapa kau baru datang? Aku sudah menelponmu tadi pagi, bukan?” tanya Mei.

Jio tersenyum lebar. “Aku masih mengantuk... hehehe...”

Saat itu pula semuanya tertawa.

“Ngomong-ngomong, bagaimana kelas tadi?” tanya Jio.

Mei langsung menampar pelan wajah Jio. “Siapa suruh tidur lagi? Aku takkan membantumu belajar saat ujian nanti. Belajarlah sendiri.”

“Lebih baik kita belajar bersama, bagaimana?” sahut Chihana tiba-tiba.

“Tentu.” Jawab Tsumi.

“Aku salut dengan kalian, sudah berapa lama kalian berpacaran?” tanya Chihana lagi.

Mei dan Jio terdiam. Sama-sama berpikir. “Hm... tahun ini kami akan empat tahun.”

“Wah... keren sekali kalian.” Ujar Tsumi.

“Kalian sungguh keren. Kalau aku, hanya menyukai seseorang selama empat tahun.” Gumam

Chihana.

Begitu mendengar Chihana berkata begitu, Mei dan Tsumi langsung tercengang. “Kau? Menyukai

seseorang selama empat tahun? Itu juga sangat keren bagiku...” ujar Mei.

“Benar sekali.” Timpa Tsumi.

“Tetapi aku tak pernah menyatakan perasaanku. Mungkin aku tahu bahwa perasaanku hanya bertepuk sebelah tangan, maka dari itu aku tak pernah menyatakannya.” Kata Chihana.

“Sejak kapan? Dan dimana laki-laki itu sekarang?” tanya Tsumi.

Chihana sebenarnya tak ingin membahas hal ini sama sekali. Namun melihat hubungan Mei dan Jio yang bertahan lama membuatnya jadi teringat akan cinta pertamanya. “Sejak aku masih di sekolah menengah pertama, kira-kira sampai sebelum aku kuliah. Dia sekarang kuliah di Universitas Tokyo.” Jawabnya.

“Wah... sayang sekali. Andai saja dia kuliah di sini juga, kami bisa mendekatkanmu dengannya kembali.”

“Kalian kenal dia saja tidak, bagaimana bisa mendekatkanku padanya?” sahut Chihana sambil tertawa garing.

Benar, cinta pertamaku, Kizuki. Aku terlalu mencintainya secara diam-diam. Aku tak berani untuk menyatakan perasaanku sedikit pun. Aku tahu bahwa aku akan ditolak namun menyatakan apa yang kurasakan itu sangat menakutkan. Aku baru menyadari pertama kali bahwa menyukai seseorang sedalam itu menyakitkan. Aku memang menyukainya cukup lama, namun tak ada kenangan indah sedikit pun yang terwujud dari itu. Hanya kenangan sakit hati dan aku tak bisa melakukan apa-apa. Aku penasaran... apakah dia menyadari perasaanku ini?

“Kalau boleh tahu, siapa nama cinta pertamamu?” tanya Mei.

Chihana terdiam sejenak. Ia melihat ke samping, memperhatikan orang-orang yang berlalu-lalang. Mencari setidaknya apakah ada laki-laki yang mirip dengan Kizuki. Tetapi tidak ada. “Kizuki. Kizuki Ayato.” Jawabnya pelan.

Semuanya pun terdiam. Melihat wajah Chihana yang terlihat sedih dan menyimpan banyak makna dibaliknya. “Mungkin sudah saatnya kau melupakan orang itu, Chihana. Kita harus melangkah maju, biarkan kenangan sedih hanya menjadi kenangan yang tidak akan menghentikanmu di masa sekarang. Kau sudah dewasa, kau pasti tahu mana yang terbaik untukmu.”

Chihana kembali menghadap ke depan dan tersenyum. “Kau benar. Saat itu memang salahku karena tak pernah menyatakan perasaanku. Walaupun aku tahu bahwa Kizuki takkan mau berpacaran denganku. Yang kutahu sekarang dia sudah punya kekasih. Kukira dia sama sekali tak tertarik dengan perempuan.”

“Sudahlah... kau ini cukup populer di sini. Aku tebak, dalam sebulan lagi kau akan dekat dengan seseorang. Aku jamin itu.” Ujar Mei.

“Ha-?”

Beberapa minggu kemudian...

“Sial... aku gagal melakukan ujian tadi...” gumam Chihana.

Ia duduk sendirian di bangku taman yang ada di kampus. Duduk di bawah pohon rindang membuat udara semakin sejuk. Namun, ia harus meratapi nasibnya ketika mengingat ia tak bisa melakukan ujian pagi tadi. “Padahal ujian terakhir... seharusnya aku senang-senang, tetapi malah membuatku pusing.” Lanjutnya.

Tiba-tiba seseorang datang dan duduk di samping Chihana. “Kenapa kau?” tanyanya.

Chihana tersentak kaget. “Mikage? Kenapa kau ada di sini?”

“Karena melihatmu sedang duduk sendirian di sini. Kau kenapa?” tanyanya.

Chihana menghela napas. “Aku tidak bisa mengerjakan ujian tadi. Aku jadi tidak ingin bertemu dengan yang lain dan hanya ingin menyendiri.”

“Jangan meratapi nasib seperti itu. Lupakan saja tentang ujiannya.”

“Kau ini pintar... tidak akan merasakan kesulitan sepertiku. Setiap nilai yang aku dapatkan selalu

aku pikirkan.”

“Tidak juga. Aku juga pernah dan sering mendapatkan nilai yang dibawah rata-rata. Aku hanya

beruntung saja aku dapat menguasai apa yang diajarkan di sini.”

“Yah... sedangkan aku tidak menguasainya.”

“Kalau kau terlalu memikirkannya, kau akan terus-terusan merasa pusing dan terpuruk. Karena sudah berlalu, biarkan saja berlalu dan tunggu saja hasilnya. Aku yakin nilainya takkan seburuk yang kau pikirkan. Masih bisa diperbaiki saat ujian akhir nanti. Percayalah padaku.” Ujar Mikage sambil menepuk-tepuk bahu Chihana.

Mendengar itu, Chihana memang menjadi lebih tenang. Tak kusangka dia berhasil menenangkanku.

“Baiklah, baiklah...”

“Kalau begitu, mari kita jalan-jalan untuk merayakan hari ini.” Kata Mikage lalu berdiri.

“Jalan-jalan? Kemana?”

“Tidak tahu, ikut saja!” ajaknya sambil meraih tangan Chihana dan menariknya.

Inilah pertama kali dimana Mikage mengajakku pergi. Dia menenangkanku yang sedang

terpuruk dan menghiburku. Dia menggenggam tanganku dan menarikku kemana pun ia pergi. Tubuhku hanya mengikuti kemana pun ia menarik tangannku. Namun rasanya aku tak pernah sehidup ini. Aku merasa... sangat senang.

Setelah berjalan cukup lama, mereka tiba di sebuah tempat makan yang tak terlalu mewah namun juga tak terlalu kumuh.

“Ini adalah tempat makan yang sering kudatangi.”

Chihana melihat ke sekeliling restoran itu dan memang suasananya lumayan nyaman.

Lalu Mikage mengarah ke meja makan yang berada di ujung ruangan dan menyuruh Chihana

untuk duduk di depannya. Lalu ia membuka menu makanan dan melihat-lihat apa yang menarik baginya.

“Dulu, aku sangat sering memesan ini... ah, ini juga. Tapi yang ini juga sangat enak... ini

direkomendasikan oleh ibuku... yang ini enak namun sedikit mahal... ini...”

Apakah Mikage selalu secerewet ini? Apakah dia selalu seceria ini? Dibalik sosoknya yang serius dan pintar, seperti inikah sosoknya yang ceria dan menyenangkan?

“Aku pesan yang menurutmu enak saja. Aku percayakan padamu.” Gumam Chihana sambil tersenyum.

Melihat senyuman Chihana, waktu seperti terhenti dan Mikage ingin melihatnya lebih lama lagi. Namun, ia tak ingin memperlihatkan tingkahnya yang aneh dan langsung memalingkan wajahnya ke menu makanan lagi. “B-baiklah...”

Setelah itu, Mikage memanggil pelayan dan memesan makanan yang sudah ia putuskan untuk dirinya dan untuk Chihana.

Chihana menyadari bahwa akhir-akhir ini dia sangat dekat dengan Mikage. Bahkan banyak kejadian yang tidak sengaja terjadi di antara mereka. Seperti misalnya ada kelas dimana Chihana tidak bersama dengan yang lain namun ia bersama Mikage, makan bersama di kafetaria karena tak ada teman lain, menunggu jam pulang bersama, dan bertemu tanpa disengaja di suatu acara di kampus. Chihana sama sekali tak berharap kalau Mikage akan menyukainya, tetapi ia memang mengakui bahwa Mikage adalah orang yang baik. Setelah apa yang dilalui, hubungan mereka menjadi sangat dekat.

Chihana pernah merasa kaget yang sampai sekarang membuatnya kepikiran. Mikage sering sekali melakukan kontak fisik dengannya. Mikage pernah menyentuh tangannya saat sedang menunggu Mei dan Tsumi ke luar dari kelas, lalu menepuk-tepuk tangannya ketika sedang duduk di meja kafetaria. Sebenarnya itu adalah hal yang biasa. Namun, sangat aneh bagi Chihana seorang laki-laki sering bersentuhan fisik dengannya. Entah lah... hal itu membuat adanya sedikit getaran untuk hatinya. Ditambah... ketika Mikage menarik tangan Chihana tadi.

Download MangaToon APP on App Store and Google Play

novel PDF download
NovelToon
Step Into A Different WORLD!
Download MangaToon APP on App Store and Google Play