Seorang pria berjalan kaki menuju kampus dari tempat kost nya dengan santai. Dia adalah Dimas Anggara, berusia 21 tahun, kulit sawo matang, wajah tampan khas pria Indonesia. Tahun ini merupakan tahun terakhirnya kuliah di salah satu Universitas terkenal Ibukota. Dia hampir menyelesaikan skripsinya, hanya tinggal beberapa revisi kecil dari dosen pembimbingnya untuk mendapatkan tanda tangan dari dosen mentornya tersebut. Hari ini, Dimas ke kampus karena ada janji bertemu untuk dosen pembimbingnya tersebut.
Kampus masih lumayan sepi karena hari masih pagi. Dimas menuju kantin untuk sarapan pagi. Sesampai di kantin kampus, Dimas menuju kios bubur ayam langganannya, dia memesan seporsi bubur ayam dan segelas teh hangat. Dimas duduk di salah satu sudut kantin. Sebuah notifikasi muncul di smartphone nya.
----------------------------------
Dana Rp 535\,525\,545.5 telah masuk ke Rekening 7611***1531 pada 17/12/20** 08.17:32. Ket:986093412564#WD#BTC#TRF#TRADE
------------------------------------
Dimas tersenyum simpul melihat notifikasi tersebut. Penghasilan yang Dimas peroleh dari trading dan dia tarik semalam, dananya masuk ke rekeningnya pagi ini. Selama 2 tahun terakhir, tiap hari Dimas menerima notifikasi serupa. Penghasilan yang Dimas dapatkan, menjadikan Dimas dengan kekayaan yang luar biasa dalam waktu yang cukup singkat.
Ibu penjaga kantin membawa pesanan Dimas ke meja Dimas berada. "Silahkan, Kak."kata Ibu penjaga kios.
"Terima kasih, bu." Seperti biasa, Dimas menikmati sarapan bubur nya dengan tenang.
Dia menjalani kehidupan di kampus menjadimahasiswa normal pada umumnya. Dengan segala hal yang milikinya, sebenarnya Dimas bisa meningkatkan standar hidupnya, makan di restoran tiap hari alih-alih makan di kantin kampus, tinggal di apartemen atau membeli rumah alih-alih tinggal di kost, naik mobil ke kampus alih-alih berjalan kaki.
Selesai sarapan, dia berjalan di koridor menuju ruang dosen untuk bertemu dengan dosen pembimbing. Di koridor, Dimas berpapasan Silvia Martin, salah satu mahasiswi seangkatannya. Silvia merupakan salah satu bunga kampus di universitasnya. Wajah blasteran Silivia sangat cantik, rambut coklat panjang bergelombang, mata cokelat, kulit pulih khas ras kaukasiod, tubuh seksi dan tinggi semampai. Wajah Silvia sering terlihat di TV dan film layar lebar. Ya.. Silvia artis muda yang sudah bermain di beberapa mini seri dan beberapa film layar lebar.
Silvia dikenal sebagai salah satu kalangan elit di universitas ini. Kalangan elit ini terdiri dari sekumpulan anak-anak orang kaya, konglomerat, pejabat dan artis terkenal. Biasanya mahasiswa dari kalangan ini hanya berkumpul dengan kalangan mereka sendiri. Dimas tidak menganggap kalangan elit ini ada. Dimas tidak suka ide adanya kalangan memandang rendah orang lain.
Akhir-akhir ini Dimas dan Silvia sering bertemu saat bimbingan skripsi karena mereka memiliki dosen pembimbing skripsi yang sama.
"Hai, Dimas.."sapa Silvia.
"Pagi, Silvia. Ingin bertemu dengan Bu Reni juga?" balas Dimas seraya tersenyum tipis.
"Iya.. Bu Reni memintaku membawa hasil bab-bab yang direvisi."Jawab Silvia lemas. Dimas tersenyum menanggapinya.
Silvia menatapnya tidak percaya,"jangan bilang kamu sudah menyelesaikan revisi skripsimu." Di universitas ini, Bu Reni terkenal sebagai dosen pembimbing yang tegas dan ketat. Silvia sudah menyiapkan proposal skripsi dan merencanakan penelitian dengan sempurna, berantakan saat berhadapan dengan Bu Reni. Revisi yang Bu Reni rekomendasikan sangat banyak, standar yang ditetapkan Bu Reni sangat tinggi. Tidak heran, hanya beberapa mahasiswa yang bertahan di mentori oleh Bu Reni ketika skripsi.
Dimas mengangkat bahunya, "Bu Reni hanya memberikan beberapa revisi kecil. Kurasa dia sedikit berbaik hati padaku."
"Sebaliknya, Bu Reni memberiku banyak sekali revisi. Aku hanya menyelesaikan sebagian."
Dimas hanya diam menanggapi ucapan Silvia. Mereka menuju ruang dosen bersama. Beberapa mahasiswa yang melihat Dimas berjalan dengan Silvia mengernyitkan dahi. Pemandangan yang tidak biasa, salah satu kalangan elit, sang primadona kampus berjalan berdampingan dengan mahasiswa yang bukan dari kalangan elit.
"Selamat pagi, Bu Reni." Sapa Dimas saat memasuki ruang Bu Reni.
"Kalian sudah datang. Ayo, silahkan duduk."ucap Bu Reni saat melihat Dimas dan Silvia. "Aku hanya punya sedikit waktu untuk mengecek hasil revisi kalian."sambung Bu Reni cepat.
Dimas langsung mengeluarkan satu bundle kertas dan menyerahkannya pada Bu Reni. "Silahkan dicek hasil revisi saya, bu."
"Oke, Dimas. Kita lihat hasil revisimu dulu." Bu Reni memakai kacamatanya, lalu mulai membaca naskah skripsi Dimas.
"Kulihat kamu menambahkan beberapa referensi lagi selain revisi dariku kemarin... bagus.. bagus.."ucap Bu Reni sambil terus membaca.
Setelah selesai membaca naskah skripsi Dimas, dosen wanita setengah baya itu meletakkan kacamatanya, lalu berkata, "Oke. Sudah memenuhi ekspektasiku. Draft skripsi ini ku ACC." Bu Reni membubuhkan tanda tangannya pada halaman pengesahan.
"Terima kasih kasih, bu."ucap Dimas singkat.
"Kamu sudah bekerja keras dan membuatnya dengan baik."kata Bu Reni pada Dimas. Lalu dosen itu menoleh pada Silvia, "Jadi Silvi.. bisa kamu tunjukkan hasil revisimu?"
"Saya belum selesai merevisi semuanya, Bu. Beberapa data yang ibu minta kemarin, saya masih belum bisa dapatkan." ucap Silvia sambil menyerahkan satu bundle naskah pada Bu Reni.
Dimas memasukkan draft skripsi ke dalam tasnya, "Saya permisi dulu." Bu Reni mengangguk kepala menanggapinya.
Bu Reni kembali memakai kacamatanya, dan mulai membaca draft Silvia. Sesaat kemudian, Bu Reni mengernyitkan dahi, lalu berkata pada Dimas, "Dimas, saya masih ada perlu sama kamu. Kamu tunggu di luar dulu, ya? setelah urusanku dengan Silvia selesai, kamu bisa temui saya lagi."
Dimas yang berada di ambang pintu, mengernyitkan dahi, lalu dia menjawab, "Baik, Bu." Dimas menunggu di luar ruangan Bu Reni.
Setelah beberapa lama, Silvia keluar dari ruangan Bu Reni. "Dimas, kamu dipanggil Bu Reni."ucap Silvia pada Dimas. Silvia terlihat kesal saat menyampaikan pesan itu pada Dimas.
"Dimas, Ibu mau minta tolong sama kamu."kata Bu Reni saat Dimas duduk di hadapannya. "Ibu menerima permintaan khusus dari atasan untuk membimbing skripsi Silvia. Ibu tahu, Silvia sendiri enggan menjadikan Ibu sebagai dosen pembimbing. Gadis itu kesulitan memenuhi kualitas standar skripsi yang Ibu tentukan. Ibu tidak mau menurunkan kualitas standar skripsi dari mahasiswa yang Ibu bimbing. Jadi Ibu minta bantuanmu untuk menjadi asisten ibu untuk skripsi Silvia."
"Maaf, Bu. Saya rasa, saya bukan orang yang tepat untuk hal tersebut, Bu."Tolak Dimas secara halus.
"Kamu mahasiswa yang brilian, Dimas. tentu saja kamu orang yang tepat untuk menjadi mentor Silvia. Kamu mendapatkan beasiswa akademik saat masuk kampus ini, itu bukti kamu mahasiswa yang brilian."Sanggah Bu Reni.
"Saya sudah tidak mendapatkan beasiswa tersebut saat tahun kedua, Bu."
"Ibu tahu, kamu menolak beasiswa tersebut karena alasan pribadi. Nilai akademikmu selama kuliah sangat bagus sampai saat ini, "Universitas pasti menawari kamu untuk melanjutkan beasiswa."
Dimas memang menolak saat Pihak universitas ingin melanjutkan beasiswanya. Saat itu, Dimas sudah mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai kuliahnya sendiri. Dimas berpikir, lebih baik beasiswa untuknya, digunakan oleh mahasiswa lain yang lebih membutuhkan. Itulah alasan Dimas menolak beasiswa pada tahun kedua.
Dimas diam sejenak,"Apakah Bu Reni tidak ada kandidat lain selain saya, bu?"
"Sebenarnya Ibu punya beberapa kandidat lain, mahasiswa ibu dari program pascasarjana. Ibu tidak yakin, Silvia akan cocok dengannya. Sebaliknya, Ibu merasa Silvia dan kamu akan cocok. Kalian satu angkatan, kulihat terlihat akrab saat konsultasi denganku."Jelas Bu Reni.
Dimas menggelengkan kepala, "Kami tidak seakrab itu, Bu. Selama kuliah, saya duduk berdekatan hanya saat kami konsultasi dengan Bu Reni."
"Terus terang, Ibu sudah bicara mengenai rencana asisten mentor dengan Silvia. Silvia terlihat keberatan dengan rencana Ibu. Namun, dia cukup cerdas dengan tidak menolak, karena dia merasa butuh bantuan untuk memenuhi kualitas standarku. Silvia lebih memilih kamu daripada kandidat satunya. Setidaknya, dia sudah mengenal kamu."Lanjut Bu Reni menjelaskan.
"Sepertinya, saya benar benar tidak bisa menolaknya kali ini ya bu?"
"Silvia tidak keberatan untuk mengeluarkan biaya konsultasi."lanjut Bu Reni lagi.
Jika Mahasiswa lain dalam posisi Dimas saat ini, mungkin mereka akan mengatakan Dimas sungguh bodoh karena tidak tertarik dengan tawaran Bu Reni untuk menjadi mentor Silvia. Kesempatan untuk berdekatan dengan primadona kampus, kesempatan untuk merebut hati gadis cantik, bonus bayaran. Kesempatan flirting dengan Silvia dan dibayar.
"Maaf, Bu. Saya tidak butuh bayaran, biaya konsultasi atau semacamnya."
"Jika begitu, tolong bantu Ibu kali ini. Anggap saja ini hutang budi ibu padamu." Bu Reni masih bersikeras meminta bantuan Dimas.
Dimas merasa berhutang budi pada Bu Reni dan dosen dosen lain, karena mengajarkan ilmu mereka pada Dimas selama kuliah. Dan seorang dosen, berkeras meminta tolong pada Dimas, menganggap sebagai hutang budi ke Dimas, rasanya terlalu berlebihan.
Selama menjadi mahasiswa, Dimas tidak banyak mengikuti kegiatan UKM, Senat Mahasiswa, BEM atau sejenisnya. Saat dosen dosennya menginginkannya menjadi asisten dosen karena kecerdasannya, Dimas menolak dengan halus. Dimas hanya fokus dengan belajar, fokus mencari uang dengan trading cryptocurrency, saham, forex atau sejenisnya. Dimas tidak mau repot untuk memikirkan hal lain.
Permintaan Bu Reni menyadarkannya, Dimas belum membalas budi ke kampusnya yang pernah memberinya beasiswa, membalas budi ke dosen dosennya.
Dimas mengangguk, "Bu Reni, sampai kapanpun, saya lah yang berhutang budi pada Bu Reni karena mengajar saya selama ini. Bukan sebaliknya. Baik, saya setuju untuk menjadi asisten mentor Silvia. Saya tidak meminta bayaran atau semacamnya."
Bu Reni menyandarkan tubuhnya pada kursi, wajahnya terlihat lebih rileks. "Syukurlah. Terima kasih, ya, Dimas."
"Setidaknya ini hal yang bisa saya lakukan untuk sedikit membantu Bu Reni. Jujur, saya merasa bersalah karena menolak tawaran Bu Reni menjadi asisten dosen pada tahun kedua saya."Ungkap Dimas pada Bu Reni.
Setelah menlanjutkan pembicaraan sebentar. Dima pamit pada dosen wanita itu. Bu Reni juga harus bersiap untuk mengajar di kelas.
<<< bersambung data-tomark-pass data-tomark-pass >>
Silvia menunggu Dimas di sebuah bangku luar ruangan dosen. Bu Reni merekomendasikan beberapa mahasiswa untuk membantu menyelesaikan skripsinya. Silvia sedikit terkejut ada nama Dimas disebut Bu Reni. Beberapa nama yang direkomendasikan Bu Reni merupakan mahasiswa pascasarjana dan asisten dosen, hanya Dimas mahasiswa yang seangkatan dengannya.
Silvia tidak terlalu mengenal Dimas karena Silvia jarang menghadiri kuliah. Ini hak khusus yang diperoleh dari kampus karena keluarga besarnya merupakan pemilik yayasan kampus ini. Dia tahu Dimas mahasiswa yang cerdas, nilai akademiknya tinggi. Namun, Dimas juga di kenal sebagai mahasiswa kupu kupu (kuliah pulang kuliah pulang), sangat amat cuek, pendiam dan membosankan. Membosankan.. Itulah yang Silvia dengar dari beberapa teman wanita nya yang pernah tertarik pada Dimas, kemudian ilfeel (ilang feeling) karena sikap Dimas.
Teman teman wanita Silvia tertarik karena fisik dan wajah Dimas yang menarik. Kebanyakan kaum hawa akan menoleh dua kali pada Dimas saat pertama kali melihatnya. Tubuh tinggi dengan otot yang cukup menonjol, bahu lebar dan berkulit sawo matang. Menurut Silvia, kulit sawo matang Dimas terlihat eksotis dan seksi. Silvia menggelengkan kepala, setelah menyadari pikirannya melantur. Dia disini menunggu Dimas untuk meminta bantuan.
Fokus Silvia.. fokus, batin Silvia.
Ketika Silvia melihat Dimas keluar dari ruang dosen, Silvia bergegas menghampiri Dimas.
"Apakah Bu Reni sudah memberitahumu untuk melakukan sesuatu padaku?"tanya Silvia pada Dimas.
Dimas terkejut dengan pertanyaan Silvia, membulatkan matanya. "Hmm?"
Silvia menyadari kesalahalan dalam pertanyaannya. Pertanyaannya ambigu dan bisa salah artikan. Silvia menutup mukanya dengan kedua tangannya, sangat malu.
Sudut bibir Dimas berkedut. Dimas mengerti maksud pertanyaan Silvia, hanya saja pemilihan kata dalam pertanyaannya membuatnya berpikir hal lain.
"Bu Reni memintaku untuk membantumu dalam menyelesaikan skripsi. Aku setuju. Sebelum kita mulai, aku ingin kita membuat aturan dan batasan agar kamu bisa menyelesaikan tepat waktu. Apakah kamu keberatan?" Ucap Dimas kemudian. Dimas tidak ingin membuat Silvia malu lebih lama.
"Tidak, aku tidak keberatan."jawab Silvia cepat.
Beberapa mahasiswa melihat mereka dengan penasaran, membuat Silvia risih. "Bisakah kita bicara hal ini di tempat lain?"
Dimas mengangguk, "Tunjukkan jalannya."
Silvia mengarahkan Dimas ke tempat parkir mobil. Mereka berdiri di sebelah Mini Cooper S warna merah. "Kamu bisa menyetir?"Tanya Silvia pada Dimas.
"Ya, aku bisa."Jawab Dimas Singkat.
"Kamu saja yang menyetir."Silvia menyusurkan kunci mobil padanya. Tanpa banyak bicara, Dimas menerima kunci itu dan duduk di belakang kemudi.
"Kita ke cafe Alpha Breeze saja." sahut Silvia.
"Oke." Dimas mengemudikan mobil Silvia tanpa banyak bicara.
Setelah mereka di cafe Alpha Breeze, memilih kursi di teras. "Sesuai yang kubilang sebelumnya, aku ingin membuat aturan dan batasan tentang bantuan yang bisa kuberikan."
"Baik. beritahu aku aturan dan batasannya."Silvia mengangguk.
"Sebelum itu, bolehkah aku membaca draft skripsi mu dan semua rekomendasi revisi yang Bu Reni sarankan ?"
Silvia mengambil hal yang di minta Dimas dan menyusurkannya di depan Dimas. Dimas mulai membaca draft di depannya dengan teliti. Silvi memesankan minuman dan cemilan untuk mereka berdua.
"Pendapatku, skripsimu lumayan bagus. Kurasa kamu sudah lama melakukan penelitian untuk skripsi ini. Jika bukan standar yang ditetapkan Bu Reni. Aku yakin skripsi ini sudah di ACC."
Senyum Silvia mengembang, mendengar semacam pujian dari Dimas.
"Baiklah. Kurasa menyelesaikannya hanya butuh waktu yang tidak lama. Kita bicarakan dulu aturannya."tegas Dimas dengan nada tenang. "Hanya ada 2 aturan disini. Pertama, kamu yang melakukannya sepenuhnya, aku hanya memberi arahan secara lisan. Kita akan lebih banyak berdiskusi, kamu bisa merekam diskusi kita agar kamu tidak lupa. Kedua, Kulihat ada 4 poin utama revisi dan aku yang menentukan batas waktu setiap revisi. Aku memeriksa revisi kamu sebelum lanjut ke revisi berikutnya, atau sebelum kamu serahkan ke Bu Reni."
Silvia tersenyum dan mengangguk tegas, "Aturan yang sederhana, aku yang lakukan sepenuhnya dan tepat waktu. Dan mengenai biaya.."
"Aku tidak memerlukannya." Dimas menolak biaya. Dia tidak kekurangan dana. Lagi pula, Dimas melakukan ini untuk Bu Reni.
"Kamu yakin?"
"Tentu saja. Aku sangat yakin."Dimas tersenyum tulus.
"Terima kasih, Dimas."
"Simpan terima kasihmu untuk nanti. Beberapa minggu ini, aku yakin kamu akan kesal padaku. Kuharap nanti kamu bisa menahannya. Oke. Kita lanjutkan mengenai garis besar revisi yang akan kamu lakukan. Katakan padaku, apa yang membuatmu kesulitan saat ini."
"Kurasa aku perlu data data tambahan untuk menyempurnakannya. Aku bisa memintanya pada narasumber, namun hal tersebut akan butuh waktu."
Dimas tidak setuju dengan pendapat Silvia. "Aku bisa melihat Bu Reni menyarankanmu untuk menggali nilai intrinsik dari data penelitianmu. Kamu tidak perlu mencari data lain. Data yang kamu butuhkan sudah ada di sini."
"Hmm.. sebaiknya kamu mulai merekam diskusi kita agar kamu tidak lupa."Dimas kembali menyarankan Silvia. Sang primadona menggunakan smartphone untuk merekam. Setelah itu, Dimas kembali berdiskusi dengan Silvia.
Sekitar satu jam kemudian, Silvia memeriksa kembali poin poin hasil diskusinya dengan Dimas. Beberapa koreksi Dimas tentang skripsi yang membuatnya sedikit kesal, karena hasil kerjanya dikritik habis habisan.
Dimas melihat waktu di smartphone nya. "Kurasa hari ini cukup diskusinya, Silvi. Tenggat waktu kamu menyelesaikan revisi poin pertama besok lusa."
"Baiklah. oh iya.. Berapa nomor ponselmu agar aku mudah menghubungimu."
Dimas menyebutkan nomor ponselnya, lalu sebuah misscall masuk ke ponsel Dimas. Nomor Ponsel Silvia. Mahasiswa pria dikampusnya pasti akan iri dengannya. Dia mendapatkan nomor ponsel Primadona kampus.
"Itu nomor pribadiku. Tolong jangan disebarkan."gurau Silvia pada Dimas. Silvia tahu, banyak mahasiswa di kampus menginginkan nomor ponselnya.
"Tentu saja, mungkin aku bisa mendapatkan uang dengan melelang nomor ini pada penawar tertinggi." Dimas menanggapi gurauan Silvia. Silvia tertawa pelan.
"Kamu punya bakat menjadi pengajar yang hebat."puji Silvia mengalihkan pembicaraan tentang nomor ponsel.
"Terima kasih. Terus terang, Ibu seorang guru. Mungkin bakat itu menurun dari Ibuku."ucap Dimas tersenyum.
"Benarkah?"Kata Silvia terdengar antusias.
Dimas menceritakan sekilas tentang keluarganya. Dimas Anggara anak tunggal dari sebuah keluarga kecil. Mereka tinggal di sebuah kampung di pinggiran kota Mojokerto, Ayah Dimas dulu seorang karyawan swasta di sebuah pabrik kertas, Ibu nya seorang guru Sekolah Menengah Kejuruan. Lima tahun lalu, Ayah Dimas meninggal karena kecelakaan di jalan raya saat pulang kerja. Dimas baru berusia 16 tahun saat peristiwa itu terjadi.
Silvia Devianti Martin, lahir dari Ayah perancis dan Ibu WNI. Silvia anak kedua dari tiga bersaudara, dia punya seorang kakak dan adik laki-laki. Ayahnya merupakan Chairman Grup Reksa Makmur, Ibu Silvia seorang aktris senior terkenal, Laura Permata Sari. Sebagai anak perempuan satu satunya di keluarga, Silvia sangat dimanja oleh anggota keluarga yang lain.
Dimas sebenarnya bisa menjadi teman ngobrol yang asyik. Silvia belum pernah tahu sisi lain Dimas ini. Bukan Dimas yang cuek dan membosankan, namun Dimas yang cerdas dan menenangkan. Ya.. menenangkan, entah kenapa Silvia merasa nyaman saat ini. Rasa nyaman ini berbeda saat dia berkumpul teman-teman artis atau teman kampusnya. Bahkan berbeda dengan rasa nyaman yang dirasakan Silvia saat bersama mantan pacarnya, yang baru dua minggu lalu putus dengan Silvia.
Empat tahun lalu, Dimas menyewa virtual office di sebuah gedung dan mendirikan perusahaan investasi. PT Surya Indah Dana Investama, diambil dari nama almarhum Ayah Dimas, Surya Nugraha dan Ibunya, Indah Wardhani. Dana investasi dari Ayah dan Ibu, begitulah Dimas memaknai nama perusahaan yang didirikannya.
Dengan bantuan manajemen Virtual Office, perusahaan yang didirikan Dimas dapat beralamat secara legal di gedung perkantoran tersebut. Dimas juga dapat bekerja di coworking space elegan dengan fasilitas lengkap yang ada di gedung perkantoran tersebut, namun Dimas lebih suka bekerja di kamar kost nya. Hampir seluruh dokumen legal di urus oleh pihak Virtual Office, Dimas hanya mengirim beberapa persyaratan dan membayar biaya, selanjutnya Dimas terima beres.
Pada dokumen pendirian perusahaannya, Dimas memasukkan Ibu Dimas sebagai Komisaris atau chairman dan Dimas sendiri sebagai Direktur Utama atau CEO. Setiap karyawan akan mendapat gaji, begitu juga Ibu Dimas dan Dimas, perusahaan menggaji mereka tiap bulan. Selama dua tahun ini, Dimas dan Ibunya hidup dari gaji perusahaan.
Semua penghasilan trading dan investasi tiap hari yang Dimas lakukan masuk pada rekening perusahaan. 60% dari penghasilan tersebut, Dimas belikan emas batangan 1 kg. Tiap minggu, setidaknya Dimas membeli 12 kg emas batangan. Dimas memilih emas karena emas mudah dipindahkan, sangat mudah diuangkan, berisiko rendah, sangat bagus sebagai dana cadangan. Dalam empat tahun ini, sudah terkumpul emas hampir 1 ton. Dimas menyimpan emas-emas tersebut pada safe deposit box di beberapa bank. Sedangkan 40% sisa penghasilan, Dimas konversi dalam bentuk surat berharga negara, deposito, reksadana, dan tanah atau properti. sejauh ini sudah terkumpul lebih dari 1 triliun rupiah dan akan terus bertambah.
Dimas hanya menggaji Ibu dan dirinya hanya dari sebagian hasil reksadana atau bunga deposito. Saat ini, Dimas menetapkan gaji ibunya 75 juta perbulan dan 50 juta untuknya. Angka yang cukup besar untuk seorang mahasiswa dan guru SMK Swasta. Biaya hidup seperti listrik, internet, tagihan air, pulsa, premi asuransi yang dikeluarkan oleh Ibu dan Dimas dibayarkan oleh perusahaan sebagai fasilitas karyawan, dicatat sebagai pengeluaran perusahaan.
Sampai saat ini, Dimas hanya dibantu 2 karyawan yang mengerjakan seluruh operasional perusahaan, mulai dari trading, pembelian aset-aset, pencatatan dan laporan keuangan, pelaporan pajak. Dimas lah yang meciptakan, tidak ada waktu selain belajar mencari ilmu dan mengembangkan kemampuannya untuk mengurus perusahaan.
Dimas mencari ilmu dan mengembangkan kemampuan dengan kuliah, mengikuti seminar, workshop dan pelatihan bisnis. Ilmu dan kemampuan tersebut pula yang dia gunakan untuk mengurus dan mengembangkan perusahaannya. Pada dasarnya, Dimas memang pria yang sangat cerdas, dia berhasil mengembangkan aset perusahaan dengan sangat cepat. Usahanya selama ini tidak sia-sia.
Awalnya perusahaan ini didirikan Dimas bertujuan agar Ibunya mau menerima kiriman uang dari Dimas sekaligus menyiapkan dana pensiun Ibu Dimas. Ibu Dimas, Indah Wardani seorang guru SMK swasta di sebuah yayasan pendidikan. Indah tidak mungkin mendapatkan dana pensiun dari yayasan tersebut. Penghasilan beliau sebagai guru tidak besar, namun cukup untuk menghidupi. Indah selalu menolak dan mengembalikan kiriman uang dari Dimas.
Sebagai guru SMK, Lulusan sarjana ekonomi, Indah sedikit banyak mengerti mengenai laporan keuangan. Dimas membuktikan ucapannya. Setiap bulan, Indah melihat aset perusahaan yang dikendalikan anaknya berkembang dengan sangat cepat.
Indah yang mendorong Dimas untuk meluangkan waktu mengikuti seminar, workshop atau pelatihan bisnis. Hasilnya, kemampuan Dimas dalam mengelola bisnis berkembang luar biasa.
Download NovelToon APP on App Store and Google Play