NovelToon NovelToon
Pembalasan Dendam Sangkara

Pembalasan Dendam Sangkara

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Lari Saat Hamil / Anak Yatim Piatu / Identitas Tersembunyi
Popularitas:3.6k
Nilai: 5
Nama Author: apriana inut

Sangkara, seorang pemuda yang menjadi TKI di sebuah negara. Harus menelan pil pahit ketika pulang kembali ke tanah air. Semua anggota keluarganya telah tiada. Di mulai dari abah, emak dan adek perempuannya, semuanya meninggal dengan sebab yang sampai saat ini belum Sangkara ketahu.

Sakit, sedih, sudah jelas itu yang dirasakan oleh Sangkara. Dia selalu menyalahkan dirinya yang tidak pulang tepat waktu. Malah pergi ke negara lain, hanya untuk mengupgrade diri.

"Kara, jangan salahkan dirimu terus? Hmm, sebenarnya ada yang tahu penyebab kematian keluarga kamu. Cuma, selalu di tutupin dan di bungkam oleh seseroang!"

"Siapa? Kasih tahu aku! Aku akan menuntut balas atas semuanya!" seru Sangkara dengan mata mengkilat.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon apriana inut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 10

Hati Sangkara tersenyum senang melihat kericuhan dan keheboan yang terjadi di puskesmas. Setelah beberapa hari yang lalu terjadi keheboan di kantor desa dan juga kebun cabe.

“Kara, kita dekat sana yuuk? Kalau dari sini gak kedengaran mereka ngomong apa!” ajak ibu itu.

“Ayoo, bu!”

Sangkara dan ibu-ibu yang merupakan tetangga rumahnya itu berjalan lebih dekat lagi kearah puskesmas. Dari tempat mereka berdiri saat ini, terdengar sangat jelas suara percakapan yang berada di dalam puskesmas. Tampak sepertinya kepala desa tengah mengintogerasi wanita yang di temukan di bukit.

Merasa belum puas, ibu itu kembali melangkah. Dia hampir masuk ke dalam puskesmas. Sedangkan Sangkara tetap memilih berdiri di tempatnya.

Dokter yang memberikan pertolongan pertama kepada wanita itu memilih keluar dari puskesmas. Selain untuk memberi ruang dan waktu kepada kepala desa, dia juga ingin menghirup udara segar. Berada di dalam puskesmas membuatnya terasa sesak. Banyak warga yang ikutan masuk, sehingga aliran udara terhambat. Belum lagi aroma-aroma yang keluar dari tubuh warga. Membuat udara di dalam puskesmas semakin  sumpek.

Ketika dokter itu keluar, matanya langsung tertuju pada Sangkara. Laki-laki gagah yang berbeda dari yang laki-laki yang ada di kampung ini. Sangkara tidak terlihat sebagai orang yang berasal dari desa. Walau pakaian yang dia gunakan layaknya seperti warga desa. Sangkara tampak seperti orang kota yang tengah menyamar jadi orang desa.

‘Matanya kenapa gak asing ya? Kayak mirip seseorang, tapi siapa ya?’ batin dokter muda tersebut. Dokter yang belum berusia 30 tahun tapi sudah keluar masuk desa. Dia tidak mau mengabdikan diri di rumah sakit di kota. Dia lebih memilih mengabdikan diri di puskesmas-puskesmas, walau gaji kecil dia merasa sangat di hargai.

Merasa tengah di tatap, mata Sangkara pun bergerak liar. Dia menganggukkan kepalanya sopan, saat mendapati jika yang menatapnya adalah seorang dokter yang berkerja di puskesmas di desanya.

“Kara! Kamu di sini juga? Ada apa sih?” seru Arif ketika melihat Sangkara diantara gerubungan warga desa.

“Eh, iya, Rif! Tadi aku diajak sama bu Tina. Katanya sih ada wanita yang di temukan di bukit belakang.”

“Oh, iya sih. Tadi aku juga dengar kabarnya kayak gitu. Makanya aku ke sini juga untuk cari tahu kebenarannya. Terus kamu udah tahu siapa yang wanita itu?”

Bahu Sangkara mengedik, “gak tahu, dan juga malas cari tahu, Rif! Mendingan aku mancing,” sahut Sangkara terkesan cuek.

“Hah??? Mancing lagi? Bukannya kemaren sampai malam kamu mancing, Kara? Sekarang mau mancing lagi?”

Kepala Sangkara mengangguk, “kalau aku gak mancing, aku ngapain? Mau ke sawah, tapi sawah abah lagi di urus orang. Gak enak dong kalau aku sembarangan ambil alih. Mau kerja, tapi kerja di mana. Kan aku baru pulang. Jadi, untuk sementara ini aku nikmati aja hidup aku. Lagian juga enak kok mancing. Santai dan gak capek.”

“Ya, tapi…”

“Udah, Rif. Aku juga kayak gini karena kamu yang nyarankan!”

Arif mendesah panjang. Dia tidak bisa berkata apa-apa lagi, selain menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Udah aaah, aku mau beli makan dulu. Untuk bekal mancing nanti!” ujar Sangkara menepuk pundak Arif.

Sangkara membalikkan badannya, lalu meninggalkan gerubungan warga desa. Dokter muda yang sejak tadi memperhatikan Sangkara, tanpa sadar mengikuti Sangkara dari belakang. Dia sangat penasaran dengan sosok Sangkara. Dia merasa tidak asing serta merasa dekat dengan Sangkara. Tapi, dia tidak tahu dimana dia pernah melihat Sangkara.

“Loh, dokter? Kenapa ngikutin saya?” tanya Sangkara mendapati dokter yang mengikutinya dari belakang. Sebenarnya dia sudah tahu  sejak tadi. Hanya saja dia membutuhkan suasana sepi untuk memergoki dokter muda tersebut.

“Eh, sa-saya ingin ke-ke sana. Ca-cari makan!”

“Oh, cari makan juga? Ya udah. Ayoo kita bareng, dok! Saya juga mau ke sana beli makan,” sahut Sangkara dengan senyum sopan.

“Iya, ayoo!!!”

Dokter muda itu menyamakan langkahnya di samping Sangkara. Matanya terus melirik Sangkara yang berjalan di sebelahnya.

“Oh, ya! Kita belum kenalan. Saya juga baru pertama  kali lihat kamu.  Nama kamu siapa? Saya Adit, saya dokter yang berdinas di puskesmas tadi,” ujar dokter tersebut mengulurkan tangannya kearah Sangkara.

Langkah Sangkara terhenti, dia menatap tangan dokter yang terulur kearahnya. “Sangkara, atau panggil Kara saja, dok. Senang berkenalan dengan anda, dok!”

Kepala dokter itu mengangguk. Dia mulai membuka obrolan, lebih tepatnya dia menanyakan mengenai Sangkara yang di kemas dengan kata obrolan. Sangkara bukan warga desa biasa, dia sudah sangat terlatih. Bahkan 8 tahun dia berada di luar negeri bukan hanya berkerja, tetapi dia di latih, dididik dan diajarkan dengan keras. Apa yang dilakukan oleh dokter muda itu sudah terbaca jelas oleh Sangkara.

Dan dia pun sama sekali tidak keberatan menceritakan semuanya, seperti yang warga desa tahu. Jika dia adalah seorang TKI, yang baru pulang beberapa waktu belakangan ini. Dan dia mendapati kalau keluarganya sudah meninggal dunia dengan kondisi mengenaskan.

“Hah??? Serius kamu, Kara? Kok saya gak pernah dengar  ya?”

“Wajar dok, kan dokter baru satu tahunan di sini kan? Sedangkan keluarga saya sudah meinggal sejak 5 tahun yang lalu.”

“Astaga, Kara. Maaf saya gak tahu,” ucap dokter itu merasa bersalah karena sudah mengukit hal yang menyedihkan bagi Sangkara. “Terus kamu sudah ketemu pelakunya? Mau saya temani ke penjara?”

Sangkara terkekeh pelan, “pelaku dok? Saya tahu kebenaran mengenai kematian keluarga saya belum satu minggu ini. Bagaimana saya tahu pelakunya?”

“Maksud kamu?”

Sangkara dengan gamblang menceritakan semuanya mengenai penyebab kematian keluarganya yang di tutupi oleh kepala desa dan para warga. Dan pada akhirnya dia pun tahu dari sahabat dekatnya yang tidak bisa merahasiakan semuanya lebih lama dari dirinya lagi.

Dokter Adit tidak bisa berkata-kata lagi. Dia benar-benar tidak tahu hal  seperti ini terjadi di desa tempatnya berkerja. Setahu dirinya, desa tempatnya berkerja ini sangat aman. Bahkan sering mendapatkan pengharagaan sebagai desa teraman. Ternyata desa ini menyimpan sebuah misteri yang belum terpecahkan sampai sekarang.

“Sabar ya Kara! Walau klise, hanya itu yang bisa saya ucapkan sama kamu. Tapi, kalau kamu butuh bantuan saya, saya siap membantu! Ayoo, kita sama-sama mencari kebenarannya serta pelaku yang sudah menghilangkan nyawa keluarga kamu.”

“Terimakasih, dok!” ucap Sangkara.

Sementara itu, di puskesmas semakin bertambah hebo dengan kehadiran anggota kepolisian yang di panggil tanpa sepengetahuan kepada desa. Dan sangat kebetulan yang datang ke puskesmas adalah Indra dan rekan-rekannya

“Mana pak, korbannya?”

“Eh, ini mah bukan korban. Tapi orang kesasar!”

Indra tersenyum tipis menghadapi kepala desa, “bagaimana mungkin orang kesasar bisa naik keatas pohon, pak? Ke sasar atau di sasari setan?” sahut Indra dengan nada bercanda, walau sebenarnya dia sama sekali tidak ada niat bercanda.

“Ka-kamu!!!”

“INDRAAA? Kamu Indra kan? Indra anak SMA 3? Aku Intan, Ndra. Kamu ingat aku kan? Tolong aku, Ndra…”

“Intan…” lirih Indra pelan.

Raut wajah Indra langsung berubah. Bukan kelihat panik atau khawatir dengan wanita bernama Intan itu, dia malah memalingkan wajahnya. Seperti enggan melihat wanita itu.

“Indraaa…”

1
Nurhartiningsih
waduh...jangan2 dokter Adit bagian dari mrk..
Pelita: Hmm, mungkin kali ya kak...? Tunggu aja bab berikutnya...

Hmm... Mungkin kali ya kak? Jawabannya tunggu di bab selanjutnya...😁
total 1 replies
Taufik Ukiseno
Karya yang keren.
Semangat untuk authornya... 💪💪
Taufik Ukiseno
😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!