Azura Claire Morea, seorang dokter muda yang terpaksa membuat suatu kesepakatan bersama seseorang yang masih berstatus pria beristri.
Ya, dia Regan Adiaksa Putro, seorang kapten TNI AD. demi kesembuhan dan pengobatan sang ibu Azura terpaksa menerima tawaran sang kapten sebagai istri simpanan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penapianoh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SIMPANAN KAPTEN 9
Pria itu menyeringai, membuat azura semakin gemetar ketakutan. Namun, dia tidak tinggal diam, Ia memperhatikan wajah pria itu lekat-lekat. Berusaha mengenali wajahnya.
Pria itu mengernyit, "Ada apa?"
"Tidak ada apa-apa," teriak azura sembari mengangkat lututnya dan menghantam benda pusaka milik pria itu dengan sangat kuat, sehingga pria itu mengerang kesakitan dan berguling ke atas ranjang.
Azura segera bangkit dan hendak berlari keluar dari kamar itu, namun langkahnya terhenti, saat mendengar suara rintihan pria itu.
"Ra, kau jahat sekali! Masa depanku hancur karena lutut kecilmu itu," ujar pria itu.
"Ma-mas! Itu kamu?" ujar azura yang sangat terkejut.
Regan segera melepaskan wajah silikon yang Ia kenakan untuk membohongi Azura. Dan terpampang sudah, wajah tampan itu.
Azura yang sangat kesal, tidak ingin mendekatinya. Ia menatap suaminya itu dari jauh, sembari meneteskan airmata.
"Jahat kamu, Mas!" ucapnya dengan suara bergetar.
"Maafin aku, Isa!" balas Regan.
Ya, pria itu adalah Regan. Dia menggunakan wajah silikon, untuk mengerjai azura, namun sial baginya, istri sirinya itu malah ketakutan dan gemetaran karena perbuatannya ini.
Dan yang lebih parahnya lagi, Ia berakhir kesakitan, karena aset berharganya, hampir tewas karena tendangan maut, sang dokter muda.
Azura tidak ingin mendekati Regan.
"Ra, sini!" Panggil Regan. Namun, azura masih tak bergeming.
"Ra... Maafkan aku! Aku tidak bermaksud membuatmu ketakutan seperti itu. Aku hanya ingin mengetesmu, apa kau akan tergoda dengan pria lain! Ternyata, kau istriku yang baik. Kau tetap berusaha, melindungi dirimu sekuat tenaga. Maafkan aku, karena sudah berprasangka buruk padamu."
Azura hanya tertunduk lesu, tanpa ingin mendekati Regan sedikitpun.
Hatinya terasa sakit. Akibat kesepakatan yang mereka buat, dirinya di anggap sebagai wanita gampangan, yang mudah, takluk oleh pria.
Dia tidak menyalahkan apa yang ada dipikiran Regan. Itu hal wajar. Namun, sampai kapan, Ia harus terus berada dalam situasi seperti ini.
Dicurigai, tanpa bisa melakukan apapun, selain menerima dan memaafkan.
Melihat azura enggan untuk mendekatinya, Regan gegas berdiri, dan menghampiri gadis itu.
"Ra," Regan mengulurkan tangannya. Airmata azura yang mulai berhenti, kini kembali mengucur deras, menuruni wajah cantiknya. Ia segera memberikan tangannya untuk di genggam pria tampan itu.
Dengan sekali tarikan, tubuh azura segera tenggelam didalam tubuh kekar sang kapten tampan itu. azura mengusap lembut punggung belakang gadis itu, yang sesekali bergetar karena tangisan.
"Ssss... Udah! Berhenti nangisnya!"
Azura akhirnya menghentikan tangisannya, meskipun sesekali, dirinya masih terisak-isak.
"Kamu jahat, Mas! Dengan berbuat seperti ini, secara tidak langsung, kamu udah nuduh aku, Keganjenan saat gak ada kamu!" lirih azura.
"Aku gak bermaksud kek gitu, aku cuma iseng ajah. Gak tahu, kamu ternyata setakut ini."
"Iya jelas aku takut lah, Mas! Disini, gak ada orang yang bisa bantuin aku, kalau sampai ada apa-apa. Aku harus bertanggung jawab untuk diri aku sendiri."
"Eh tapi, muka silikon itu, cukup tampan. Apa kau tidak tertarik?" goda Regan.
"Wajah tampan, bukan jaminan untuk hidup bahagia. Kebaikan hati, ketulusan cinta, bertanggungjawab, kepercayaan dan saling memahami, adalah dasar penting dalam membangun sebuah kehidupan berumah tangga. Wajah tampan hanyalah bonus. Kaya materi, belum tentu membuat seseorang bahagia."
"Meskipun dalam hidup ini, kita tidak akan pernah terlepas, dari yang namanya uang. Namun, tetap saja, kita tidak boleh menjadi hamba uang. Kalau tidak, hidup kita akan menderita," ujar azura yang kemudian tertunduk lesu, sebab secara tidak langsung, Ia sedang menjudge dirinya sendiri. Yang rela menukarkan tubuhnya dengan uang.
Regan hanya tersenyum tipis. Dia tidak menyangka, gadis muda ini akan berubah menjadi wanita penceramah untuknya.
"Apa kau sudah selesai dengan nasihatmu, nona dokter?"
Azura mencebik.
"Gimana perjalanan kalian tadi, apakah baik?" tanya Regan.
"Semua baik, hanya saja, Sertu Bima, dia seperti batu, tak sedikitpun Ia mengeluarkan kata-kata. Dan dia terus saja, memasang wajah kesal. Entah apa, yang membuatnya begitu membenciku."
"Ohhh, Bima emang seperti itu. Dia bukan orang yang mudah bergaul, dan cenderung abai, terhadap orang-orang sekitar. Tapi, sebenarnya dia baik," ujar Regan.
"Orang baik, tidak menuduh orang sembarangan. Dia menuduhku, memiliki hubungan dengan Alan. Ngeselin, ckk!" azura mencebik, membayangkan wajah Sertu Bima saat menatapnya penuh selidik, saat dirinya bersama Alan.
"Wajar dia seperti itu. Mana bisa, dia melihat istri atasannya, berteman akrab dengan pria lain. Kamu saja yang terlalu polos, Ra! Pria itu baik sama kamu, dia pasti memiliki tujuan terselubung. Aku pria, aku memahami hal itu. Jadi sebaiknya, jauhi dia!"
"Baiklah," balas azura tanpa ingin bertanya lebih lanjut.
"Gimana kaki dan lenganmu, Mas?"
"Seperti yang kau lihat, aku sudah sembuh. Dua Minggu udah cukup, aku gak betah di Jakarta. Terlalu banyak orang muna. Mending disini, ada yang bisa dipeluk! Iya gak?" ujar Regan sembari tersenyum miring.
Azura yang mendengar perkataan itu, segera membulatkan matanya, dan menunduk jengah.
"Ra!"
"I-iya, Mas!"
"Udah boleh, gak?"
"Umm... Boleh apa mas?" tanya azura, berpura-pura tidak memahami arah pembicaraan Regan.
"3ntot kamu, udah boleh, gak?"
Bak tertiup angin panas, wajah azura memerah hingga ke telinganya. Ia merasa sangat gugup, mendengar hal itu.
"Ra... Besok aku kembali bekerja. Dan mungkin nanti gak akan ada waktu, karena rencana lusa akan ada peresmian pemancar Telkomsel yang di bangun di gunung tidak jauh dari pos militer. Jadi, aku bakalan sibuk banget untuk siaga, karena ntar Bupati ikut meresmikan." Regan menatap azura penuh harap.
"Emm, itu...," Azura tidak tahu harus berkata apa, Ia menjadi bingung sendiri.
Regan yang melihat gadis itu semakin gugup, segera mengangkatnya dan membawanya ke ranjang.
"Kalau diam berarti, Iya!" bisik Regan.
"Mas, aku...," lagi-lagi azura tidak mampu melanjutkan kata-katanya.
"Aku akan melakukannya dengan perlahan, kau hanya perlu sedikit rileks. Ayolah sayang... Udah bangun ini, si itingnya!"
Mendengar nama yang Regan sematkan pada rudalnya, membuat azura tidak mampu menahan tawa.
"Si iting, Mas?" Regan mengangguk dengan wajah yang dibuat semenyedihkan mungkin.
Kini azura sudah terduduk di tepi ranjang. Sejak tadi, dia masih menggunakan bathrobe, yang membuat Regan tidak mampu mengendalikan dirinya, menatap tampilan azura saat ini.
Dari tampilannya, azura hanya mengenakan segitiga pelindungnya. Sebab, kedua bukit kembarnya tercetak jelas dari balik bathrobe yang la kenakan. Hal ini yang membuat Regan kepayahan.
"Ra...," suaranya semakin serak.
Akhirnya, azura mengangguk. Wajah muram Regan, kini berubah cerah. Pria itu, tidak dapat menyembunyikan raut kebahagiaan yang terpancar di wajah tampannya.
Dia segera menggigit bibirnya, sembari menatap azura dengan tatapan sayu. Sekejap saja, oksigen disana seperti menipis. azura dengan susah payah, menelan salivanya, saat menatap wajah Regan.
Regan segera mendekati azura. Pria itu tahu, bagaimana menenangkan perasaan gugup sang dokter cantik itu.
Ia segera berdiri ditepian ranjang, menghadap azura yang sedang duduk disana. Ia menyandarkan tubuhnya, dan meraih kedua tangan azura dan dilingkarkan ke pinggangnya.
Azura segera memeluk pria itu erat-erat. Dirinya tidak dapat memungkiri, kalau Ia pun sangat merindukan Regan. Regan pun balas memeluknya.
"Mas... Waktu itu, Dokter aulia, sama sekali gak bilang, kalau kamu manggil aku, loh Mas! Aku gak temuin kamu, karena emang gak tahu. Padahal aku udah berusaha untuk bisa pergi ke tendamu, tapi... Aku gak di ijinin sama senior aku. Katanya, hanya dokter aulia, yang boleh ngerawat kamu. Aku waktu itu sedih banget. Aku takut, aku khawatir kamu kenapa-napa. Tapi...,"
Azura mengangkat wajahnya, dan menatap wajah tampan yang juga sedang menatapnya dalam diam.
Mata azura mulai memerah, dan berkaca-kaca.
"Kamu malah lebih percaya pada dokter aulia, dan menatapku dengan tatapan dingin. Aku sedih sekali waktu itu. Tapi aku sadar diri, dan berusaha memahami posisimu!" Airmata itu, akhirnya meleleh menuruni wajah ayu itu.
Regan menangkup kedua pipi azura, dan menatapnya lekat-lekat.
"Maafin aku, Ra! Aku salah! Aku tidak percaya, wanita bodoh itu berani membohongiku. Dia akan menerima ganjarannya." Regan segera menghapus airmata azura.
"Dah, sekarang kita tunaikan siang pertamanya yah, kalau ngomong terus, ntar kapan mulainya. Aku udah pusing ini," ujar Regan.
"Aku ganti baju du...,"
"Astaga, ntar kerja dua kali. Mending yang ini, yang dilepaskan ajah, biar cepat!" selah Regan sembari menarik tali yang mengikat bathrobe azura.
"Ehh," azura tersentak sembari menepuk tangan Regan pelan. Regan terkekeh dan mendorong tubuh azura hingga kini gadis itu sudah berbaring di atas ranjang.
Regan segera naik ke sana, dan perlahan mendekati azura dengan siku kirinya, menyanggah tubuhnya.
Perlahan Ia mulai mendekati wajah ayu itu, dan mengecup lembut kening azura, kemudian turun ke hidung dan seterusnya. Kini Regan mengecup lembut bibir sang dokter.
"Balas, Ra!" titah Regan dengan suara serak.
"Mas, janji pelan-pelan yah?!"
"Iya, Mas janji!" balas regan.
Akhirnya entah sejak kapan, kini azura telah terbaring di ranjang tanpa sehelai benangpun. Regan yang sejak tadi terus menyentuh tubuh gadis itu, membuatnya mulai menikmati sentuhan nikmat pria itu.
Sementara itu, handphone Regan terus saja bergetar sejak tadi. Regan mengabaikannya, dan fokus pada apa yang sudah Ia mulai ini.
Namun azura, semakin lama, Ia mulai terganggu. Tapi, seperti biasa, Ia takut untuk mengatakannya pada Regan. Ia juga sudah terbawa suasana, dan berusaha fokus pada sentuhan Regan.
"Aku masukin yah?" azura hanya mengangguk dengan mata tertutup. Nafasnya kian tersengal-sengal. Regan mulai melakukannya.
Dalam percobaan pertama, gadis itu mengerang kesakitan. Regan tidak patah semangat, Ia mulai mengalihkan perhatian azura dengan sentuhan bertubi-tubi ditubuhnya, sedangkan dibawah sana, Ia masih berusaha untuk menerobos dinding penghalang itu.
Azura mulai menangis karena kesakitan. "Ssss... sakit Mas!" azura meringis.
Akhirnya Regan menjeda apa yang sedang Ia lakukan itu. Ia juga tidak dapat fokus, karena sejak tadi handphonenya terus bergetar, dan terdengar bunyi getarannya, sebab diletakkan diatas nakas.
Ia segera bangkit dari ranjang dan meraih benda pipih itu. Ia mendapati nama Sertu Bima, tertera di sana.
"Woyyy... Ko stop telepon-telepon sudah yo, sa gantung ko di pemancar Telkomsel, nanti!" ujar Regan yang kesal, dengan dialek Papua-nya yang sangat kental.
"Kapten, Mbak Ratu, baru saja tiba di bandara!" ujar Sertu Bima dengan nada panik, dari seberang sana.
"Bandara mana?"
"Bandara sini, Bandara Wamena!"
"Ckk, untuk apa dia datang, gangguin aja!" balas Regan santai.
"Jadi gimana ini kapten?" Sertu Bima yang menjadi sangat panik.
"Ya udah, pesanin kamar di hotel ini juga. Urus dia sampai tiba disini, nanti aku temuin kalau udah ada disini."
tutthh...
Regan segera memutuskan panggilannya.
tambah seru nih