Nuansa dan Angger adalah musuh bebuyutan sejak SMA. Permusuhan mereka tersohor sampai pelosok sekolah, tiada yang luput untuk tahu bahwa mereka adalah dua kutub serupa yang saling menolak kehadiran satu sama lain.
Beranjak dewasa, keduanya berpisah. Menjalani kehidupan masing-masing tanpa tahu kabar satu sama lain. Tanpa tahu apakah musuh bebuyutan yang hadir di setiap detak napas, masih hidup atau sudah jadi abu.
Suatu ketika, semesta ingin bercanda. Ia rencakanan pertemuan kembali dua rival sama kuat dalam sebuah garis takdir semrawut penuh lika-liku. Di malam saat mereka mati-matian berlaku layaknya dua orang asing, Nuansa dan Angger malah berakhir dalam satu skenario yang setan pun rasanya tak sudi menyusun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Does He Get Her Pregnant?
Belasan hari berlalu, Nuansa mencoba menjalani hari-harinya dengan normal. Dia berupaya keras agar tidak ada satu hal pun yang akan mengingatkannya kepada Angger dan kejadian malam itu. Setiap kali wajah Angger muncul di kepalanya, Nuansa akan langsung mencari pengalihan.
Waktunya dihabiskan lebih banyak untuk mengurusi pekerjaan, sebisa mungkin membuat dirinya sibuk agar pikirannya tidak kosong. Lembur sampai larut malam, menangani sendiri beberapa proyek lapangan, sampai sesepele mengantarkan hadiah untuk klien besar (yang biasa dilakukan perwakilan) pun Nuansa kerjakan. Kegiatan apa pun dia libas. Membiarkan tubuh dan pikirannya beristirahat hanya saat tidur saja—puji Tuhan Angger tidak pernah muncul di dalam mimpinya.
Amy yang biasanya keras kepala menanyakan sesuatu, dan tidak akan berhenti sebelum mendapatkan jawaban, untungnya bisa diajak bekerja sama. Sejak Nuansa bilang untuk tidak mengungkit apa pun, daripada terjadi hal-hal yang lebih buruk, Amy sepenuhnya tutup mulut.
Pria melambai itu malah terlihat jelas berusaha menghibur Nuansa dengan tingkah polahnya yang ajaib. Terkahir kali, Amy sempat memanggil rombongan barongsai yang sedang pentas di pinggir jalan, dibawanya masuk ke halaman rumah Nuansa yang luas, dan disawer untuk pentas di sana sampai membuat Nuansa tertawa puas.
Mengenai Han Jean, tunangannya itu juga tidak lagi mencoba bertanya permasalahan apa yang menimpa dirinya sampai menangis terisak-isak sehabis tidak pulang semalaman. Pria itu sepakat menutup lembaran hari itu ketika bibirnya mengecup milik Nuansa lembut, sambil membisikkan kalimat penenang bahwa apa pun yang terjadi, Han Jean akan tetap berada di sana menjaga Nuansa. Tidak peduli meski seluruh dunia menepi, Han Jean berjanji akan menjadi satu-satunya yang tinggal dan membela Nuansa dengan segenap hati.
Selain itu, Han Jean juga sibuk. Agenda hariannya hampir membuat mereka tidak bisa saling memberi kabar, kalau pria itu tidak ngotot meluangkan waktu. Yeah, katanya, sibuk itu hanya omong kosong. Jika kamu prioritasnya, segelintir kabar tetap akan datang meski di tengah-tengah kekacauan sekalipun.
Papi dan maminya juga tidak menanyakan apa pun. Membuktikan baik Amy maupun Han Jean kompak tidak membocorkan kondisinya malam itu, sama-sama mengerti bahwa para orang tua lebih rentan merasa khawatir.
Awalnya Nuansa kira semua usahanya pada akhirnya berhasil. Hampir tidak ada ingatan tentang malam itu muncul di kepalanya, karena dirinya selalu sibuk dan pikirannya tidak pernah dibiarkan berhenti.
Namun, distraksi kecil membuat banyak hal buyar seketika.
Sudah beberapa hari ini, Nuansa merasa ada yang tidak beres dengan tubuhnya. Gerakannya tidak bisa selincah biasanya. Lelah terasa lebih mudah menyerang, padahal Nuansa sudah pastikan tidak skip asupan vitamin dan makanan bergizi.
Puncaknya adalah hari ini. Pagi ketika bangun, Nuansa merasakan perutnya seperti diaduk-aduk. Dia mual luar biasa, disertai sakit kepala yang sampai menimbulkan efek berputar-putar.
Nuansa mendadak gelisah. Dia menggapai ponsel barunya yang tergeletak telungkup di atas nakas. Semua data dari ponsel lamanya yang rusak sudah dipindahkan ke sana dengan sempurna, terima kasih kepada Amy yang cekatan dan teliti.
Dia menggeser layar, memindahkan tampilan dari homescreen ke halaman kedua dengan beberapa folder aplikasi terpisah. Salah satu folder diketuk, lalu dia memilih aplikasi kalender yang tersimpan di sana. Ibu jarinya mengetuk cepat, kemudian menggulir ke bawah.
Dengan gelisah, ia memeriksa kalender bulan lalu, mengecek di tanggal mana ia menggambar lingkaran untuk menandai dimulainya siklus bulanan.
Lalu ruhnya seperti dicabut perlahan dari tubuh, begitu otaknya selesai menghitung di tanggal berapa bulan ini seharusnya siklus bulanannya datang. Nuansa lemas, karena sudah terlewat delapan hari sejak tanggal yang seharusnya. Dirinya terlalu menenggelamkan diri dalam kesibukan, sampai luput memperhatikan sesuatu yang teramat penting.
Tidak ada ingatan yang tertinggal dari malam itu tentang bagaimana ia dan Angger berhubungan. Tidak yakin apakah pria itu mengenakan pengaman atau malah dengan cerobohnya membiarkan diri mereka terhanyut tanpa melakukan pencegahan.
“Goblok…” Nuansa memukuli kepalanya, sesekali menjambak kuat helaian rambutnya sampai membuat kulit kepalanya terasa panas.
Sekarang harus bagaimana? Apa yang harus lebih dulu Nuansa kerjakan? Apa? Apa yang harus Nuansa lakukan???
“Nuansa, you fucking bad bitch.”
...✨✨✨✨✨...
Tidak seperti Nuansa yang masih berusaha melupakan ingatan tentang malam itu, Angger sudah menyerah sejak hari ketiga. Kini, tidak ada lagi penolakan untuk setiap ingatan yang muncul di kepalanya. Ketika mereka muncul, Angger hanya akan menepi sejenak, menikmati waktu sendiri sampai nanti pikirannya jernih kembali.
Sejauh ini semuanya masih terkendali. Tidak banyak dari hidupnya yang terpengaruh. Angger masih bisa berfungsi sebagai manusia pada umumnya. Pekerjaannya juga berjalan mulus, nyaris tanpa hambatan.
"Ew."
Angger melirik ke arah pintu. Martin, sekretarisnya, baru saja datang tanpa permisi, dan lelaki itu langsung menunjukkan raut wajah jijik pada buket bunga yang ada di genggamannya.
"Dari Anneke," kata Martin ketika menyerahkan buket tulip merah muda itu kepadanya. Kelopaknya terlihat segar, wanginya semerbak menyapa indera penciuman.
"Taruh aja." Angger berucap acuh, mengabaikan buket bunga tersebut dan kembali fokus dengan pekerjaannya di laptop. Ini hari Sabtu, omong-omong. Entah apa gerangan yang membawa Martin repot-repot datang ke penthouse-nya. Rasanya tidak mungkin jika sekadar mengantarkan buket bunga pemberian Anneke.
Martin mendengus. Dilemparnya buket bunga tadi ke tong sampah dekat meja kerja Angger.
"Nice shot!" serunya, merasa bangga sudah berhasil membuat buket bunga pemberian Anneke masuk sempurna.
Bicara soal Anneke, dia adalah anak dari salah satu kolega Angger. Baru kelas 2 SMA, masih bau kencur. KTP saja belum punya, tapi sudah gatal sekali mengejar-ngejar pria dewasa. Angger jelas tidak akan menanggapinya. Seberengsek apa pun, haram baginya untuk berpacaran dengan orang di bawah umur. Itu bukan cuma tidak bermoral, tapi juga merupakan tindak kriminal.
"Bilang ke bapaknya buat kirim anaknya cepet-cepet ke luar negeri." Martin kembali bersuara. Dia berdiri di depan meja Angger, menumpukan kedua telapak tangannya di sana. "Lo nggak risih diganggu terus sama bocil kematian kayak gitu?"
"Am I your friend, Martin?" tembak Angger dengan suara rendah. Tatapannya datar, tapi terasa menusuk.
Martin berdecih. Pertanyaan sarkas itu adalah andalan Angger, yang akan dikeluarkan setiap kali sedang tidak ingin diganggu. Biasanya, kalau pikirannya sedang waras-waras saja, Angger malah akan mengamuk jika Martin sengaja meledeknya dengan memanggil Pak setiap kali mereka hanya berdua, meski konteksnya di luar kantor seperti sekarang.
"Basi," semburnya. Nyalinya tidak ciut sedikit pun, karena tahu Angger tidak akan memecatnya hanya untuk alasan sepele. Kalau dirinya terbukti menggelapkan dana perusahaan, nah, baru Angger akan ambil tindakan. Tidak hanya dipecat, pria itu juga akan memastikan dirinya membusuk di penjara dengan jaminan masa depan suram.
Martin masih ingin mengomel lebih banyak, tetapi ponsel Angger terus berkedip sehingga sang empunya lebih memilih mengurusi ponselnya. Dia sempat melihat sederet nomor asing tertera di layar, sebelum Angger menyambar ponselnya dan menempelkan telunjuk di bibir.
Angger menggeser tombol hijau, kemudian menempelkan ponselnya ke telinga.
"Ya, halo?"
Bersambung....
Hamil dulu tapi😁