Tujuh belas tahun lalu, satu perjanjian berdarah mengikat dua keluarga dalam kutukan. Nadira dan Fellisya menandatangani kontrak dengan darahnya sendiri, dan sejak itu, kebahagiaan jadi hal yang mustahil diwariskan.
Kini, Keandra dan Kallista tumbuh dengan luka yang mereka tak pahami. Namun saat rahasia lama terkuak, mereka sadar… bukan cinta yang mengikat keluarga mereka, melainkan dosa yang belum ditebus.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lautan Ungu_07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 08 Teman Baru
Suara riuh sekolah menyambut Alka yang baru saja tiba. Langkahnya ringan, tali tas menggantung di sebelah pundaknya.
Begitu sampai di kelas, Alka sudah melihat Alesha yang sudah berada di sana. Senyumnya melebar, matanya menatap Alesha.
"Pagi, Aesh. Gimana kabar lo hari ini?" tanyanya, suaranya ramah.
Alesha sedikit mendongak, lalu menatap Jehan yang duduk di sampingnya. "Ngapain lo nanya-nanya?" jawab Alesha ketus.
Alka nyengir lebar, matanya ikut menyipit. "Ahh, pantes ketus kayak gitu. Ada pacarnya ya," goda Alka, ia menunduk Alesha lalu Jehan.
"Berisik lo, Ka." Jehan menepis tangan, Alka. "Hari ini gue ada rapat osis, kayaknya agak sibuk banget. Gue titip Alesha, tapi jangan lo godain." lanjut Jehan.
Alka duduk di kursi belakang mereka. "Aman! Lagian gue cuma menjalankan tanggung jawab, gue."
Bell sekolah berbunyi begitu nyaring. Membuat para siswa-siswi riuh berhamburan masuk ke dalam kelas masing-masing.
Dari arah pintu, wali kelas masuk. Di belakangan nya gadis berparas cantik dengan tinggi sekitar 155 cm mengikutinya. Membuat suasana kelas menjadi hening.
"Baik, anak-anak. Pagi ini kalian belajar sesuai jadwal hari ini. Dan satu lagi, ada teman baru kalian. Saya harap kalian bisa berteman dengan baik." Guru itu mundur satu langkah, mengangguk pada gadis di sampingnya.
"Pagi semua, perkenalkan namaku, Liona Maharani. Aku pindahan dari Surabaya. Semoga kita bisa berteman baik kedepannya. Terima kasih." suaranya lantang, tapi lembut. Senyumnya lebar, membuat paras cantiknya semakin bertambah.
Bisikan cowok-cowok di kursi belakang terdengar, saat Liona selesai memperkenalkan dirinya.
"Liona, kamu duduk di samping, Alka." kata guru itu, sambil menunjuk ke arah kursi Alka.
Alka tersenyum jahil, melirik ke Lista yang duduk di kursi jajaran sebelahnya. "Sikat, Ta," bisiknya.
Liona berjalan gugup ke arah Alka, bibirnya mengulum senyum tipis. "Nggak papa kan, kamu sebangku sama, aku?" tanya Liona, suaranya lembut.
Alka menatapnya, mengangguk sambil nyengir lebar. "Boleh banget, silahkan duduk." Alka meniup kursi di sampingnya.
"Terima kasih." Liona duduk, kepalanya mengangguk tipis.
Pelajaran kini di mulai, di depan kelas guru menjelaskan semua materi pelajaran. Tapi Alka terus menatap seseorang di sampingnya.
Jam terus berlalu, cahaya matahari masuk melalui celah jendela. Angin berhembus, membawa hawa siang yang panas.
Suara bell istirahat kini berbunyi. Guru langsung menutup pelajaran dan pamit pergi. Sementara ruang kelas menjadi riuh.
Liona memasukan buku ke dalam tasnya, di sampingnya, Lista berdiri mendekati, Alesha.
"Lo, gabung bareng gue aja. Kita ke kantin bareng," ajak Alka sambil melipat seragam hingga siku.
"Emang boleh?" tanya Liona pelan.
"Boleh dong, emang siapa yang larang?" Lista ikut menyahut. Bibirnya tersenyum lebar.
Liona menatapnya lama, ia menyeritkan kening, bingung. "Bentar, bentar..." ia menatap Alka lama, lalu Lista. "Kalian kembar?"
"Sesuai kepercayaan masing-masing aja." jawab Lista singkat.
Liona tertawa pelan. Lalu mengikuti langkah mereka ke luar kelas.
Setelah mengisi perut di kantin sekolah. Kini mereka memilih untuk ngadem di taman belakang sekolah. Di koridor, Alka berjalan lebih dulu sambil mendorong kursi roda Alesha, sementara Lista dan Liona mengikuti dari belakang.
"Kalian tahu, nggak? Konon katanya, sekolah ini tuh bekas rumah sakit waktu zaman Belanda." kata Alka tiba-tiba. Nadanya si buat serius.
"Emang, iya?" Liona menjawab cepat.
Alesha melirik malas. "Nggak usah ngada-ngada, Alka."
"Lo, bisa diem nggak, Ka?" sahut Lista, tangannya menepuk pundak Alka.
"Eh, tapi serius, kalau nanti tiba-tiba gue ngilang, kalian panggil nama gue tiga kali. Siapa tahu gue nongol di plafon." lanjut Alka dengan nada sok misterius.
Alesha mendengus, tapi bibirnya nyaris tersenyum. "Bodo amat!"
"Kalau cara bikin lo ngilang, gimana?" tanya Lista.
Liona menahan tawa kecil sambil menggelengkan kepala.
"Na, gue harap lo tahan ya dengerin cowok bawel ini." kata Lista, kali ini ia menatap Liona.
"Nggak papa, Na. Justru yang bawel itu ngangenin. Apalagi kalau bawel perhatian sama kamu," Alka menoleh ke belakang, menatap Liona sambil menggerakkan alis.
"Gombal mulu, lo," Liona menepuk lengan Alka, dan di susul tawa pelan dari Alka.
Mereka duduk di bangku bawah pohon beringin. Semilir angin terus berhembus menyapa mereka, yang masih tenggelam dalam obrolan ringan, dan ocehan tipis dari Alka yang berpadu dengan samar suara siswa-siswi lainnya.
Matahari semakin bergeser ke arah barat, tapi cahayanya masih memancar sempurna. Siswa-siswi berhamburan di lapangan, suara riuh, klakson dan knalpot motor jadi satu.
"Ta, kalau lo ke cafe, tolong bilang sama, Cakra. Bawain motor gue di sini," kata Alka, sambil mengutak-atik ponselnya.
Lista menoleh, menatapnya heran. "Kenapa nggak lewat whatsapp aja, Ka?"
Alka menghela napas pendek. "Udah, tapi centang satu. Athar juga sama."
"Emangnya, lo mau kemana?" tanya Lista.
"Gue mau nemenin, Alesha terapi. Papanya lagi sibuk, Jehan juga belum kelar." jawab Alka sambil menatap, Alesha yang menunggu di depan gerbang.
"Terus, lo berangkat naik apa?"
"Di jemput Papa Aesh. Dia cuma nganter ke rumah sakit aja, terus balik lagi ke kantor." Alka berbalik, lalu berjalan menghampiri Alesha.
Dari lapangan, Liona berlari kecil menghampiri mereka.
"Kalian belum, pulang?" tanyanya dengan napas terengah.
"Jangan lari-lari, Na. Belum, lagi nunggu jemputan." jawab Alka, nadanya lebih santai.
Liona mengangguk, "Aesh, lo mau terapi ya? Semangat?" ia tersenyum lebar, matanya menatap Alesha.
"Makasih, Na. Do'ain biar cepet pulih, biar bisa lomba lari sama, lo." jawab Alesha, ada tawa tipis di ujung nadanya.
"Siap," Liona mengacungkan jari jempolnya. "Ehh, yang jemput gue udah datang. Gue duluan, ya. Byee!"
"Bye, Ona. Hati-hati, sampai jumpa besok." teriak Alka sambil melambaikan tangannya.
Tak lama, mobil hitam milik Edgar kini tiba di depan gerbang sekolah. Alka membantu Alesha naik ke kursi mobil, lalu di susul oleh dirinya.
Jalanan sore ini belum begitu macet, jadi cukup cepat perjalanan mereka sampai di tempat terapi.
Langit sore menua di jendela terapi. Ruangan itu, wangi minyak kayu putih, bunyi alat terapi bergantian.
Alesha terbaring, sementara Alka duduk di kursi, tangannya terlipat di dada. Tapi matanya terus memperhatikan tiap gerak kecil, Alesha.
"Aesh, lo pasti bisa. Kalau lo udah sembuh total, gue bakal ajak lo, dance." katanya tiba-tiba.
Alesha melirik sekilas. "Kalau gagal?"
"Gue tunggu sampai lo bisa, dan gue bakal terus ada di samping lo, nemenin terapi lo sampai bener-bener berhasil sembuh." matanya menatap dalam Alesha.
Ada senyum kecil di bibir Alesha. Alka tak lagi bersuara, hanya mendengarkan suara alat terapi. Tubuhnya bersandar ke kursi. Matanya menatap langit gelap sana, ada beberapa bintang yang bersinar kecil dari kejauhan.
Rasa lelah seharian, dan rasa bersalah kini ia rasakan. Sesekali ia menoleh ke Alesha. Ada ringisan kecil dari mulut Alesha, saat perawat membantunya.
Ringisan kecil itu, mampu membuat dada Alka merasa sesak. Menyalahkan dirinya sendiri.
'Andai malam itu gue nggak ngantuk. Mungkin, Alesha nggak akan menderita seperti ini' batinnya lirih.
Tapi angin malam tiba-tiba berhembus kencang, seolah sedang menghapus rasa sesal yang tak seharusnya ia sesali.