Arjuna dikenal sebagai sosok yang dingin dan datar, hampir seperti seseorang yang alergi terhadap wanita. la jarang tersenyum, jarang berbicara, dan selalu menjaga jarak dengan gadis-gadis di sekitarnya. Namun, saat bertemu dengan Anna, gadis periang yang penuh canda tawa, sikap Arjuna berubah secara drastis.
Kehangatan dan keceriaan Anna seolah mencairkan es dalam hatinya yang selama ini tertutup rapat. Tak disangka, di balik pertemuan mereka yang tampak kebetulan itu, ternyata kedua orangtua mereka telah mengatur perjodohan sejak lama. Perjalanan mereka pun dimulai, dipenuhi oleh kejutan, tawa, dan konflik yang menguji ikatan yang baru saja mulai tumbuh itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ivan witami, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 Kesepakatan
“Na, itu ruang kerja kamu berantakan. Kamu mau bikin apa? Kain berserakan,” tanya Ibunda Anna, Bu Bianca, dengan nada setengah khawatir, setengah mengoceh.
Anna yang sedang duduk di ruang makan, dengan sendok berhenti di udara, terkejut. Ia langsung memalingkan wajahnya dari piring berisi sup dan nasi hangat, memandang ke arah mamanya yang baru saja duduk di samping suaminya, Pak Reza.
“Iya, Ma. Masih berantakan. Nanti aku bereskan. Itu, aku lagi buat baju pesanan. Baju hanfu,” jawab Anna sambil tersenyum tipis, berusaha terdengar santai.
“Oh, siapa yang pesan? Buat cosplay?” Bu Bianca terlihat penasaran, matanya yang tajam menatap keramahan wajah putrinya.
“Teman aku, Ma. Iya buat cosplay,” jawab Anna tanpa semangat.
Bu Bianca tidak langsung membalas, ia malah mengamati raut wajah Anna yang terlihat agak kikuk. Ia menghembuskan napas, kemudian berkata dengan suara lebih pelan, namun penuh arti, “Na, besok kamu ketemu calon suami kamu ya? Kemarin kamu gak jadi katanya lembur kerja.”
Anna tiba-tiba tersedak kecil karena minumannya, lalu buru-buru meneguk air dalam gelasnya. Ia memalingkan wajah agar tidak berhadapan langsung dengan ibunya. “Gak, aku gak mau dijodohin, Ma.” Suaranya terdengar berat, seperti ada beban yang selama ini dipendam.
“Lihat dulu fotonya ya, Ini.” Bu Bianca mengulurkan sebuah foto yang bergambar pria muda tampan berjas hitam rapi. Namun, tangan Anna langsung menepisnya.
“Gak usah. Pasti orangnya jelek,” jawab Anna sambil tertawa kecil yang dipaksakan.
Bu Bianca dan Pak Reza cuma saling menatap dan mengulum senyum kecil. Mereka sudah tahu betul, pria itu adalah bos Anna sendiri, seorang pengusaha sukses dan tampan yang telah lama diatur untuk dipertemukan dengan Anna. Namun, keduanya memang sangat sulit ditemui sekaligus menolak ketika hendak dipertemukan.
“Sudah ya, aku mau lanjut lagi.” Ana bangkit dari duduknya dan ingin menyelesaikan jahitan baju pesannya.
“Iya, jangan begadang. Besok kamu kerja.”
“Iya,” jawab Anna sambil berjalan menuju ruang kerjanya.
“Butuh bantuan gak?” tanya sang mama.
“Gak usah, Ma. Mama temani papa aja.” Anna menutup pintu ruang kerjanya.
Anna menatap seisi ruangan kerjanya yang memang tampak berantakan. Kain-kain berwarna hitam, putih dan merah berlalu-lalang di atas mejanya. Jarum, benang, dan pola-pola hanfu berserakan begitu saja. Namun, dari balik itu semua, ada karya seni yang luar biasa tersembunyi.
Anna menatap layar ponselnya, tampaknya sedang membalas pesan seseorang di aplikasi chat. Pesan terakhir bertuliskan: “Kalau kamu sudah selesai, kita ketemu di kafe, ya?”
Anna menarik napas panjang. Malam itu rencana perjodohan itu mengusik pikirannya terlalu kuat. Ia merasa seolah kehilangan kebebasannya. Apalagi ketika laki-laki yang hendak dijodohkan dengannya tidak tahu asal usulnya.
Ia menutup sambungan ponselnya dan berdiri. Melangkah menuju ruang tengah tempat keluarganya duduk.
“Ma, Pa, aku mau keluar sebentar,” ucap Anna meminta izin.
Pak Reza mengangkat alis. “Keluar? Untuk apa?”
Anna menggaruk kepala, berusaha santai. “Aku mau jalan-jalan, lihat badut mungkin. Aku butuh ide baru.”
Bu Bianca mengangguk, tapi dengan sedikit keraguan. “Hati-hati ya, Na. Jangan ngebut bawa motornya. mau bawa motor atau mobil?’ tanya Bu Bianca.
“Motor aja.” Anna naik ke lantai atas menuju kamarnya untuk bersiap.
***
Di sebuah kafe yang dipenuhi aroma kopi dan berbagai bentuk seni di dinding, pria itu menunggu seseorang. Ia menggoyang-goyangkan gelas kopi di hadapannya tanpa meminumnya. Jantungnya berdebar kencang.
Tak lama kemudian, pintu kafe terbuka, dan seorang wanita cantik muncul. Jaket kulit hitam dikenakannya, rambut hitam tergerai rapi, wajahnya cantik, imut dan penuh daya tarik sendiri.
“Anna,” sapanya dingin.
Anna berdiri gugup. “Pak Juna.”
“Kamu datang juga,” suaranya datar.
Anna melihat sekeliling, merasa aneh bertemu dengan bos di tempat seperti ini. Mereka biasanya hanya bertemu di kantor.
“Kenapa kita harus ketemu di sini?” tanya Anna sambil duduk kembali.
“Karena aku gak tahu rumahmu.”
“Ya kan, bisa telpon Bapak.., tanya dimana rumah kamu Na. Aku jemput ya.” Anna sedikit kesal.
Juna menarik pinggang Anna agar duduk lebih dekat.“Kamu berharap bos kamu ini jemput kamu ya?”
Anna tampak gugup melihat wajah Juna begitu dekat.“Ehm, bukan begitu maksudku,” Anna cepat-cepat melepaskan dirinya dari genggaman Juna, wajahnya memerah. “Aku hanya merasa aneh saja, Pak. Kenapa harus di sini?”
Juna tersenyum tipis, matanya yang tajam menyiratkan sesuatu yang tak bisa langsung dipahami Anna. “Aku ingin berbicara secara langsung, tanpa ada gangguan dari kantor atau staf lainnya. Ada hal penting yang harus kujelaskan.”
Anna menarik nafas panjang, mencoba menenangkan diri. Ia duduk kembali di kursi, menghadap Juna dengan ekspresi serius. “Baiklah, silakan.”
Kafe itu tampak remang, lampu-lampu gantung berkilauan lembut di atas mereka, menciptakan suasana yang seharusnya nyaman tapi kini terasa sesak bagi Anna. Dari luar, terdengar suara hujan yang mulai menetes lembut ke tanah, menambah suasana misterius.
Juna membuka pembicaraannya dengan nada yang berat, “Anna, aku tahu kamu dijodohkan sama orang tua kamu, tapi kamu gak mau kan?”
“Iya,aku memang gak mau dijodohin. Lagian ini bukan jaman Siti Nurbaya. Aku takut laki-laki yang dijodohin sama aku jelek. Aku kan suka yang ganteng,” ucap Anna diiring tawa kecil keduanya.
“Baguslah, aku sebenarnya juga dijodohin sama orang tuaku. Tapi aku juga gak mau. Aku juga capek harus beralasan apa lagi. Bagaimana kalau kita membuat kesepakatan, mungkin bisa menguntungkan kita berdua?” Juna menatap Anna dengan mata yang penuh harap di sebuah kafe kecil yang remang.
Anna mengangkat alis, sedikit terkejut namun langsung memainkan gelas kopi di depannya. “Kesepakatan?”
Juna menarik napas dalam-dalam, lalu dengan mantap berkata,“Bagaimana kalau kita pacaran?”
Anna tertawa kecil, setengah heran. “Pacaran? Bukannya kamu udah nyebut aku ini pacar kamu waktu di kantor tempo lalu. Kamu aja nyosor terus ke aku, beberapa kali kamu cium aku.”cibik Anna sambil melemparkan pandangan sinis.
Juna terkekeh, menggaruk kepalanya dengan malu. “Aku tahu, aku cuma gak mau kamu dihina sama beberapa karyawan yang gak suka sama kamu. Tapi kali ini aku minta kamu langsung jadi pacarku.”
Anna memicingkan mata, berpikir sejenak. Ia juga sulit jika harus menolak karena Juna sudah membantu membayar hutangnya.“Baiklah, berhubung aku juga berhutang sama Bapak, aku mau jadi pacar Bapak. Dan Pak Juna harus menganggap hutangku lunas, tapi mau sampai kapan?”
Juna tersenyum lebar. “Sampai orang tua kita tidak lagi membahas perjodohan. Dan kita menemukan pasangan masing-masing. Bagaimana?”
Anna mengulurkan tangan tanda setuju. “Ok, Deal!”
Uniknya, tanpa disadari kesepakatan itu mulai mengubah perasaan mereka.