Goresan ISENG!!!
Aku adalah jemari yang gemetar. Berusaha menuliskan cinta yang masih ada, menitip sebaris rindu, setangkup pinta pada langit yang menaungi aku, kamu dan kalian.
Aku coba menulis perjalanan pulang, mencari arah dan menemukan rumah di saat senja.
Di atas kertas kusam, tulisan ini lahir sebagai cara melepaskan hati dari sakit yang menyiksa, sedih yang membelenggu ketika suara tidak dapat menjahit retak-retak lelah.
Berharap kebahagiaan kembali menghampiri seperti saat dunia kita begitu sederhana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aksara_dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7. Semakin Sayang
...**...
Di ujung bukit, senja perlahan turun menyebarkan warna jingga yang indah. Aku duduk di atas permadani meluruskan kaki ke depan. Kekasihku, Prabu Kamandaka, merebahkan kepalanya di atas pahaku sambil memejamkan mata, wajahnya tersenyum manis. Aroma tubuhnya membuatku melayang setinggi nirwana, ketika tubuhku masih menempel dengan permadani yang lembut.
Di bawah bukit, pemandangan reruntuhan kerajaan kami terpampang dengan jelas menyisakan puing-puing candi dan artefak yang semakin terkubur oleh debu dari setiap masa.
"Nyai... Cahaya senja, udara sore yang hangat menuju dingin dan senyuman di wajahmu, adalah tiga hal yang membuatku seringkali berdoa agar Sanghyang Agung mengabulkan penyatuan cinta kita. Meskipun kita hidup di alam yang berbeda. Aku ingin dunia berhenti hanya untuk abad ini saja, agar kita tidak terpisahkan lagi seperti dulu." Prabu menjulurkan tangan menyentuh wajahku.
Mataku terpejam merasakan hangat sekaligus dingin dari sentuhannya. Suhu tubuh Prabu sangat aku kenali, dia tidak terlalu hangat seperti terik matahari siang, tidak juga terlalu dingin seperti gelapnya lautan.
Dia seperti cahaya di pagi hari juga cahaya di senja hari. Hangat juga sejuk.
"Andai saja kita bisa selalu seperti ini, betapa bahagianya hatiku Kang mas," jawabku menundukkan pandangan dan menyapa tatapannya yang seringkali membuatku meleleh.
Ia menggeser kepalanya menatapku lebih lekat dan intens. Manik matanya yang pekat dengan sorot mata yang tajam sekaligus meneduhkan, seakan ada sebuah kalimat yang ia tahan di kedalaman tatapan matanya.
"Apa?" tanyaku tersipu malu.
"Menikahlah denganku, Nyai." Prabu mengangkat kepalanya dan ia dekatkan dengan wajahku.
"Bagaimana caranya, aku nyata dan kamu tidak." suaraku sedikit bergetar saat mengatakannya, getir.
Cinta kami berbeda alam.
"Aku tidak mungkin hidup kembali ke alammu, Nyai. Hanya ada satu cara, kamu tinggalkan dunia fana ini dan hidup di alamku." Prabu selalu membujukku seperti itu.
Aku menghela napas berat.
"Andai aku bisa. Tuhanku akan marah jika aku mengambil takdirku sendiri, arwahku tidak akan diterima langit dan bumi, Prabu."
"Tapi kita akan bersatu!" ucapnya tegas dan penuh otoritas.
Aku menggeleng. "Aku bukan Tuhan."
"Ugh!" keluhnya sambil menurunkan kepalanya.
Ia merebahkan kepalanya di dadaku. Kulit di dadaku bisa merasakan hembusan napasnya yang sejuk antara dingin dan hangat, suhu dan aroma yang istimewa, hanya dia pemiliknya. Aku mengelus kepalanya dengan lembut, merasakan kemesraan yang indah ini dengan segenap jiwaku.
"Nyai, aku mencintaimu... Semakin sayang padamu," ucapnya lirih, gerakan bibirnya yang kenyal menyentuh dadaku.
"Prabu... Aku—"
Klotak klotak klotak
Suara tapak sepatu kuda yang berlari dan ringkikan keras suara kuda jantan bergemuruh.
Suara gemuruh itu mengganggu kemesraan kami, pasukan berkuda sedang berlari menuju kami. Prabu terkesiap, ia mengangkat wajahnya dari dadaku lalu berdiri dengan senjata kujang dalam genggamannya.
Kaki-kaki berlari para pengawal Prabu mendekati kami, suara geraman dan auman harimau putih bersiaga di sekitar kami. Makhluk itu kini tidak hanya satu atau dua seperti biasanya. Mereka datang berbondong-bondong dari arah selatan.
"Ada apa Kang mas Prabu? Aku takut!" ucapku sambil bersembunyi di balik punggungnya.
"Tenanglah Nyai, ada aku. Mereka hanya ingin menjemput ku untuk kembali ke kerajaan kita."
"Apa ada yang menunggumu di Kerajaan? Hingga mereka mencarimu?"
"Nyimas Prameswari, ibuku... Dia menginginkanku segera melamar gadis pilihanku. Aku harus kembali ke singgasanaku, Nyai."
"I-ibu Ratu Selatan ... ?! Bu-bukankah di sana reruntuhan kerajaan mu?" tanyaku gugup sambil menunjuk reruntuhan bangunan candi di bawah bukit yang semakin tertutup oleh tanah.
"Di sanalah Kerajaan kita. Di duniamu kerajaan itu terlihat sudah runtuh tersisa hanya puing dan debu. Tapi di duniaku, kerajaan itu masih kokoh berdiri dengan rakyat dan wilayah paling makmur di negeri pasundan ini," jawab Prabu.
"Lalu kamu akan meninggalkanku lagi, sendirian?" aku mulai cemas. Aku memegang pinggangnya dengan erat.
Prabu hanya tersenyum tipis lalu mengecup bibirku dengan lembut, lama dan dalam. Aku terhanyut dengan caranya menyentuhku, memanjakan ku.
Akan tetapi suara gemuruh roda ranjang pasien yang menggores lantai marmer menarik aku kembali ke dunia nyata, dunia yang masih aku tinggali.
"Beri jalan... Beri jalan... Pasien kecelakaan, kepala terbentur aspal."
"Suster tolong, kursi roda!"
"Sus, pasien bed lima mengalami kejang!"
"Lepasin! Aku ingin pulang ke asrama bersama suamiku!" teriak Mince setelah berhasil dibujuk masuk ruang IGD dan diikat di atas ranjang pasien.
"Lepaaass!!" teriakannya makin menggelegar seperti bunyi gemuruh.
Teriak demi teriakan panik di ruang IGD menghentak dadaku, gendang telingaku yang sensitif berdenging keras sampai aku harus menutup telinga dengan kedua telapak tanganku. Tubuhku gemetar hebat, sampai aku bisa merasakan tempat tidur yang aku tempati bergetar dan bergoyang.
Yang lebih mengejutkan wajah ibu Tuna Wisma yang tadi memukuliku ada di depan wajahku dengan senyuman menyeringai. Tangannya ingin mencekik leherku.
Aku berteriak ketakutan. Aku berontak, aku menendang wanita tua itu. Akan tetapi yang aku tendang hanya udara kosong dan hampa.
Aku menangis histeris.
Serangan Delusi dan halusinasi menghantam ku, aku panik luar biasa. Sulit membedakan antara ilusi dan dunia nyata.
Semua orang berlari ke arahku. Mereka membawa tali karet yang ketat. Dua orang perawat pria memegangi kedua tanganku dengan keras, aku berontak. Sekuat tenaga aku berontak saat mereka akan melakukan Restraint.
"Lepaskan! Lepaskan dia!" bentak dokter Sabil
Tapi aku tidak mengenali wajah lelaki yang memakai baju scrub operasi dan berlari ke arahku, dia membentak dan melotot pada semua orang.
Aku semakin ketakutan.
"Tapi dok, ini bisa membahayakan. Kita harus jalani prosedur restraint."
"Lepaskan, biar aku yang tangani."
Tangan panjangnya menjulur ke arahku, tapi wajahnya seperti ibu tua yang tadi memukuliku. Aku menjerit ketakutan, aku gigit bahunya sekuat tenaga... Gigiku tertancap di kulit bahunya, aku merasakan cairan asin berwarna merah memenuhi rongga mulutku. Dia berdarah. Kudengar dia mengaduh dan bibirnya mendesis kesakitan.
Tapi dia semakin memelukku. Mengusap punggungku dengan lembut, perlahan... namun menyalurkan kehangatan yang tidak sanggup untukku tolak.
Terlalu nyata
Terlalu hangat
Dan membuatku tenang.
Otot-otot ku perlahan mengendur, tubuhku melemah dalam pelukannya, kulepaskan gigitanku di bahunya lalu menurunkan wajahku untuk terbenam di dadanya. Aku terisak dalam gemetar rasa takut yang perlahan mereda.
"Tenang Hania... Tenang... Aku di sini, bersamamu."
Suara itu... Suara dokter Sabil.
"Dok... Aku takut."
"Jangan takut, ada aku... Tarik napas perlahan, iya seperti itu... Lalu buang... Tenang ya."
Tangannya perlahan menyentuh kepalaku, memberi usapan lembut dan napasnya terasa di pucuk kepalaku. Aku meremas sisi baju scrub yang dia kenakan dengan erat. Aku takut kehilangan rasa aman ini, takut kehilangan rasa tenang dan hangat ini.
"Dok, jangan pergi... " ucapku dengan suara serak.
"Aku tidak akan kemana-mana, aku di sini bersamamu, Hania."
Dia terus memberi usapan lembut dan hangat di punggungku.
...***...
Setelah kejadian dokter Sabil menolak restrain pada Hania, gosip semakin merebak ke seluruh gedung Rumah Sakit Khusus pasien gangguan mental. Berita itu sampai ke telinga Presdir yang merupakan mertua dokter Sabil. Lelaki paruh baya itu termenung di depan dinding kaca menatap pemandangan jalan raya yang hiruk pikuk.
"Anak bodoh, kenapa kamu memilih perempuan yang memiliki kelemahan mental. Tidakkah kamu lelah merawat perempuan dengan gangguan metal seumur hidupmu?" gumamnya, wajahnya berkerut seakan beban berat sedang bergelayut dalam benaknya.
Jauh di lubuk hatinya, ia ingin anak angkat yang juga menjadi menantunya itu mendapatkan kebahagian di usia dewasanya. Profesor Darmono tahu betul bagaimana perjuangan Sabil merawat ibunya yang mengalami gangguan mental sejak ia masih kecil, sendirian. Tujuannya menikahkan Sabil dengan putrinya agar bisa mengangkat derajat Sabil yang selalu jadi cibiran dan cemoohan warga kampungnya.
Di tempat lain, Wina tidak henti-hentinya mengomeli juniornya yang bebal dan tidak mau mendengarkan nasehatnya, ia tidak ingin Hania menjadi sasaran kemarahan Presdir rumah sakit juga istri sah Sabil. (Tidak ada yang tahu jika status Pernikahan Sabil hanyalah pernikahan kontrak).
"Kamu bebal, keras kepala!" gerutu Wina, ia merentangkan perban lalu mengguntingnya beberapa bagian.
"Puasin deh ngomelnya mba, aku cuma ingin memberinya perasaan aman. Bahwa masih ada orang yang peduli padanya." Sabil meringis saat alkohol dituangkan Wina di bahunya yang terluka gigitan.
Wina mendengus kasar, "bagian administrasi sudah memberi warning untuk memulangkan Hania, besok," ucap Wina sambil mengobati luka di bahu Sabil.
Sabil terperanjat lalu memutar tubuhnya menghadap Wina, "pulang? Kenapa?"
"Kenapa? Jatah asuransi kesehatan hanya 10 hari rawat inap, Bil. Kalau dia melebihi sepuluh hari, dia harus membayar biaya yang tidak di cover asuransi. Itu akan membebani dia, selama dirawat dia tidak ada pemasukan sama sekali dari cafenya. Perekonomiannya lumpuh selama dia berada di sini."
"Aku yang akan membayar semua pengobatan yang tidak di cover asuransi untuk Hania." dengan keras kepala Sabil menjawab kegelisahan Wina.
"Nggak bisa! Kubilang cukup, cukup sampai di sini kamu peduli padanya." Wina menekan luka itu lebih keras untuk menghukum Sabil.
"Awhh ... Sakit mbak!" jerit Sabil.
"Aku nggak bisa berhenti, Win. Nggak bisa berhenti peduli padanya. Aku semakin sayang padanya."
"Duuwableek!" maki Wina seraya melemparkan sisa kain kasa ke wajah Sabil.
Di depan pintu, asisten Presdir rumah sakit memanggil dokter Wina. "Dokter Wina ditunggu Presdir di ruangan beliau."
"Sabil! Kamu lihat, ini pasti karena ulahmu!" maki Wina, geram.
merinding aku Thor.....😬
kenapa prabu seperti nya marah ?